16 | Godaan Shangzi
“Bisa-bisanya kau kabur ke Quanzhou di saat genting, Hao!”
Minghao menjauhkan ponsel pintar dari telinga. Tanpa mode pengeras suara, teriakan membahana Yuxi sudah terdengar hingga jarak satu meter.
“Aku lupa.” Minghao berkata tanpa nada bersalah.
“Kembali sekarang juga! Acaranya nanti malam!”
“Tapi susah dapat tiket pesawat dadakan, Yuxi-ge.”
“Berani sekali kau bohong padaku. Sekarang kau baru keluar dari jet pribadimu. Naik lagi dan kembali ke Shanghai sekarang juga.”
Minghao sontak menoleh kanan kiri, curiga bila seseorang telah melaporkan kedatangannya pada sang kakak sepupu. Tapi tidak ada siapa pun di sana, kecuali Kama yang berdiri tepat di belakangnya.
Dan jelas Kama tidak mengenal Yuxi, batin Minghao geli. Dia segera menyelesaikan panggilan telepon dan berbalik menghadap Kama.
“Sayangku, aku ada urusan penting dan mendadak sekarang juga. Shanghai menungguku.”
Kama membeliak kaget. Lupa sudah dia bila Minghao memanggilnya kelewat mesra. “Tapi kita baru saja tiba. Kita bahkan belum keluar dari bandara.”
“Ini penting.” Minghao mengedipkan sebelah mata. “Bing Yi akan mengantarmu ke hotel. Kuusahakan nanti malam sudah kembali.”
Mata Kama ganti melotot galak. “Hei, yang benar saja! Kau meninggalkanku sendirian di sini?”
“Tidak sendirian. Ada kru yang lain. Bing Yi!”
Asistennya tergopoh-gopoh menuruni tangga pesawat. Dia terlihat mengantongi ponsel pintar dan bicara cepat pada Minghao.
“Asisten pribadi Yuxi-da ge menelepon. Katanya ada urusan penting yang harus dibicarakan denganmu sekarang juga, tapi dia tak bisa meneleponmu dari tadi.”
“Sudah. Aku sudah tahu urusannya.” Minghao tanpa jeda langsung memberi instruksi pada Bing Yi untuk mengantar Kama ke hotel dan bertemu dengan kru yang lain.
“Aku akan kembali ke Shanghai sekarang juga.”
“Untuk bertemu Nona Chen?”
Minghao langsung melemparkan tatapan memperingatkan pada Bing Yi. Sementara sang sahabat terlambat menyadari efek keseleo lidahnya. Saat berserobok pandang dengan Kama, baru lelaki itu merutuki kecerobohannya.
“Jadi, urusan penting dan mendadakmu itu adalah Nona Chen?” Kama bertanya dingin.
Bing Yi beringsut menjauhi Minghao. Dengan bijaksana, dia berbisik pada Kama, memberi tahu bila akan membawa koper gadis itu ke mobil lebih dulu.
Sementara Kama masih terus menatap tajam pada Minghao. Suaranya mendesis sinis. “Kau menelantarkan aku di negeri antah-berantah demi perempuan lain? Bagus sekali, Tuan Zheng. Anda memang seorang playboy sejati.”
“Aku bukan playboy,” tolak Minghao lembut.
“Maaf, sanggahanmu itu tidak seperti yang kudengar sekarang.” Kama berbalik secepat kilat.
Namun, tangannya ditarik tiba-tiba dari belakang. Kama terkesiap lirih saat masuk ke pelukan Minghao.
“Lepas, Hao.” Gadis itu meronta-ronta.
“Katakan dulu padaku, apa arti sikapmu tadi. Apa kau sedang cemburu?”
Kama berhenti bergerak. Kepalanya sedikit beringsut, tetapi sudah ditahan oleh Minghao.
“Aku tak akan jatuh di lubang yang sama untuk kedua kali, Kama. Kau tak akan bisa menghantam mukaku lagi.”
Kama hanya diam. Dia bisa merasakan napas Minghao di tengkuknya. Panas, menggelitik hatinya, sekaligus mendebarkan.
“Siapa yang akan menyerang kepalamu?” tanya Kama lirih.
Minghao bernapas lega. Namun, detik berikutnya dia mengerang saat satu siku Kama menghantam rusuknya. Belum cukup sampai di situ, Kama berhasil memanfaatkan kelengahan Minghao dengan memiting lengan lelaki itu, berbalik cepat, lalu menendang belakang lutut Minghao.
Keadaan sekarang berubah seratus delapan puluh derajat. Ganti Minghao yang berlutut ditahan oleh Kama. Sang gadis membungkuk rendah, berbisik di telinga Minghao, menggodanya dengan napas yang tidak kalah panas.
“Aku cemburu? Itu hanya terjadi di mimpimu, Hao.”
Kama lantas melepas bos barunya. Dia berjalan santai meninggalkan Minghao yang masih duduk berlutut. Tanpa menoleh, Kama masuk mobil diikuti Bing Yi yang memberi tatapan geli ke arah sahabatnya.
“Gadis yang menarik.” Minghao bergumam seraya bangkit berdiri. Dia membersihkan kotoran dari celananya.
“Tunggu saja, Kama. Kali ini kau membuatku berlutut. Lain kali, aku yang akan membuatmu berlutut di hadapanku.”
Minghao tertegun sejenak. Kepalanya menunduk pelan, mengamati bagian depan celananya. Bayangan Kama duduk berlutut sembari mendoangak ke arahnya membanjiri benak Minghao.
“Sialan.” Lelaki itu merutuk keras dan bergegas masuk ke pesawat. Gairahnya harus segera didinginkan dengan berbotol-botol anggur sekarang juga.
~~~
Chen Shangzi adalah seorang model papan atas China. Wajahnya yang menampilkan kecantikan oriental disempurnakan dengan postur tubuh tinggi semampai. Ribuan runaway telah dijelajahinya selama berkarier sejak usia belasan tahun itu.
Kini Shangzi telah memasuki usia seperempat abad. Waktu yang sempurna untuk melepas masa lajang, begitulah yang ditentukan oleh orang tuanya. Mereka tidak memedulikan keinginan Shangzi untuk mengembangkan karier modeling lebih luas lagi karena faktor keturunan.
Sebagai putri tunggal dari keluarga Chen yang terhormat, Shangzi punya darah biru yang berinduk dari leluhur di zaman Sānhuáng Wǔdì [1]. Koneksi keluarganya sangat luas, kekayaan juga berlimpah ruah. Hal inilah yang menjadi alasan Zheng Renzhong mengatur perjodohan dengan salah satu putri keluarga Chen.
Dan malam itu, di salah satu sudut Restoran Yone yang berhadapan langsung dengan keindahan Sungai Huangpu, Shangzi duduk dengan tenang menunggu kedatangan Zheng Yuxi.
“Chen Shangzi?”
Perempuan itu menoleh. Perhatiannya langsung terpusat pada penampakan sesosok aktor tenar yang saat ini sedang naik daun. Zheng Minghao.
Shangzi tersenyum dalam hati. Dia merasa takdir tengah bergurau dengannya. Kehadirannya di Restoran Yone untuk bertemu satu lelaki Zheng, tetapi malah bertemu lebih dulu dengan lelaki Zheng yang lain.
“Minghao, kebetulan sekali kita bertemu di sini.”
“Menunggu seseorang?” Tanpa minta izin, Minghao langsung duduk di depan Shangzi.
“Yah, bisa dibilang begitu. Tapi sepertinya …, dia tidak datang.” Shangzi melirik arlojinya. Yuxi sudah terlambat satu jam lebih dari jam pertemuan mereka.
Entah mengapa, firasat Shangzi mengatakan cucu keluarga Zheng itu sama sekali tidak berminat dengan perjodohan ini. Panggilan teleponnya juga tidak diangkat oleh Yuxi. Awalnya dia merasa kesal, tetapi dengan cepat luruh setelah Minghao muncul di hadapannya.
“Apa kau benar-benar tak ada hubungan dengan konglomerat Zheng?” Shangzi mencondongkan badan ke depan, memamerkan belahan dadanya yang malam itu berbalut gaun berpotongan dada rendah.
“Selalu itu yang kau tanyakan tiap kali bertemu. Kami hanya sama marga, tapi beda nasib.” Minghao melambaikan tangan pada waiter, meminta sebotol anggur terbaik.
“Baiklah. Walau beda nasib, tapi bintangmu masih sangat bersinar, tak kalah dengan cucu Konglomerat Zheng.”
“Oh, Zheng Yuxi? Jadi, malam ini kau akan bertemu dia?”
Shangzi tersenyum menggoda. Dia tidak menjawab pertanyaan itu. “Bagaimana denganmu, apa kau juga sedang menunggu seseorang di tempat ini?”
“Tidak ada. Aku hanya ingin makan malam.”
“Sendirian?” Shangzi semakin berani menggoda aktor yang pernah satu proyek dengannya dalam sebuah pemotretan itu.
“Jika kencanmu tidak datang, malam ini aku tidak sendirian. Kita bisa saling menemani makan malam.” Minghao menatap lurus ke mata Shangzi yang berlapis lensa kontak.
Shangzi tertawa kecil, menikmati balasan godaan Minghao. Dia punya sisi lain yang tidak diketahui oleh keluarganya. Sisi yang ditutup rapat-rapat oleh Shangzi dan kini waktunya untuk dikeluarkan di hadapan Minghao.
“Apa aku harus memberikan performa terbaikku agar bisa diterima oleh Zheng Minghao?”
Lelaki itu memutar gelas wine dan menatapnya bingung.
“Semua orang tahu selera aktor Minghao sangat tinggi. Tidak sembarang perempuan bisa dekat dengannya.”
“Aku dekat dengan siapa pun.” Minghao berkata datar.
“Tapi tidak semua dari kategori siapa pun itu bisa naik ke ranjang Zheng Minghao.”
Minghao menyesap minumannya. Restoran Yone punya koleksi anggur yang sangat bagus. Lidahnya terpuaskan oleh after taste lezat dari cairan berwarna burgundi itu.
“Sepertinya namaku sangat buruk di mata kalian, para wanita.” Minghao tertawa kecil.
“Tidak akan buruk jika itu hanya akting.” Shangzi menjulurkan tangan, menyentuh ujung jari Minghao yang berada di atas meja.
Perempuan itu senang karena Minghao tidak menarik tangannya.
“Akting adalah bagian dari pekerjaan. Kurasa kita sama karena kau sudah pernah mencicipi layar lebar, bukan? Kau berakting di depan kamera, memesona semua orang, tetapi menyembunyikan kehidupan bebasmu dengan sangat baik.”
Shangzi terkejut, lalu tertawa. “Kehidupan bebas? Kau bicara seolah kau tidak digosipkan sebagai playboy. Atau mungkin, kau hanya belum bertemu seseorang yang cukup menarik perhatianmu?”
Minghao mengangkat alis, tetap tenang. “Gosip adalah bagian dari pekerjaanku. Tapi aku bukan orang yang membuktikan omongan itu dengan tindakan. Bagaimana denganmu, Shangzi? Apakah kau selalu membuktikan setiap desas-desus tentang dirimu?”
“Desas-desus apa?” Shangzi tertawa kecil. Dia meraih gelas anggur dan langsung menenggak separuh isinya. Gerakannya jauh dari elegan, menyembunyikan rasa kaget karena ucapan Minghao.
“Banyak hal tentangmu yang terdengar di kalangan model. Aku harus belajar darimu soal menutup rumor, agar nama baikku tetap … baik?”
Perempuan itu mengerjapkan mata. Dia paham sindiran Minghao. Shangzi terdiam sejenak, lalu membalas dengan nada lebih dalam.
“Mungkin aku membuktikannya—kadang untuk bersenang-senang, kadang hanya untuk melupakan sesuatu. Bagaimana denganmu? Apa kau tidak pernah tergoda untuk melupakan dunia dengan sedikit kebebasan?”
Minghao tersenyum datar. “Kebebasan itu overrated. Aku lebih suka menjaga diriku tetap fokus. Lagipula, aku tidak punya waktu untuk melupakan. Aku terlalu sibuk mengingat siapa aku sebenarnya.”
Shangzi memandang Minghao dengan tatapan baru, seperti seorang pemburu yang menemukan mangsa menarik. Ketika makanan utama datang, Shangzi mencoba taktik lain. Dia berpura-pura menjatuhkan sumpit lalu memandang Minghao dengan senyum nakal.
“Sepertinya aku butuh bantuan. Mungkin kau bisa menyuapiku? Anggap saja ini bagian dari peran kita untuk berakting di depan banyak orang.”
Minghao memandangnya tanpa ekspresi selama beberapa detik sebelum mengangkat sumpitnya sendiri, mengambil potongan sushi, dan menyuap dirinya sendiri dengan gerakan penuh percaya diri. “Aku lebih suka memainkan peran sesuai dengan skripku sendiri.”
Shangzi terkekeh, meneguk minumannya sambil menggeleng. “Kau benar-benar berbeda, Minghao. Aku biasanya bisa menaklukkan siapa pun dalam sepuluh menit. Tapi kau? Kau seperti teka-teki yang menyenangkan untuk dipecahkan.”
Minghao tersenyum tipis. Sorot matanya menyimpan misteri saat menatap Shangzi. “Mungkin itu karena aku bukan seseorang yang bisa kau ‘taklukkan.’ Aku hanya aktor, Shangzi. Aku mengikuti skenario.”
Perempuan itu tersenyum kecut. Waktunya memainkan teknik tarik ulur. Dia tak ingin membuat Minghao meloncat pergi dari hadapannya begitu cepat. Jadi, Shangzi memutuskan mengikuti alur Minghao dengan meluncurkan godaan seminimal mungkin.
Hingga seluruh menu selesai disajikan dan mereka pulang. Shangzi berjalan keluar restoran bersama Minghao. Ketika angin malam Shanghai menyapu wajah mereka, Shangzi tiba-tiba berkata, “Jujur saja, malam ini aku sedang kencan buta. Tapi kencanku tidak datang. Aku harus menemuinya lagi lain waktu, tapi aku lebih senang bertemu denganmu.”
Minghao berhenti, menatapnya dengan senyum ambigu. “Hati-hati, Shangzi. Beberapa skenario lebih rumit dari yang terlihat. Dan aku tidak pernah memberi spoiler.”
Shangzi tertawa, mengangkat bahu. “Aku suka tantangan. Sampai jumpa, Minghao.”
Perempuan itu berjinjit, mengecup pipi Minghao yang lebih tinggi darinya, lalu melambaikan tangan sembari berjalan pergi. Tinggal Minghao yang termenung seorang diri di depan restoran.
“Apa yang sudah kulakukan? Kenapa Shangzi malah tertarik padaku?” Minghao mengeluh pelan. Kepalanya menunduk melihat arloji dan langsung merutuk keras.
“Kama! Aku harus segera kembali ke Quanzhou.”
Dengan gerakan cepat, Minghao pergi ke motornya yang terparkir di tempat khusus. Salju mulai turun membuat lelaki itu cemas. Penerbangannya ke Quanzhou bisa tertunda bila cuaca jadi buruk.
Sebelum menggeber gas, Minghao sempat mengirim pesan pada sepupunya. Bibirnya meringis teringat sikap genit Shangzi selama makan malam tadi.
[Yuxi-ge, transfer dananya sekarang juga. Chen Shangzi sudah kubereskan. Ada sedikit komplikasi, tapi kau tak perlu cemas. Komplikasi ini pasti akan disukai Kakek. Kujamin, dia tak akan merongrongmu dengan Chen Shangzi lagi.]
~~ BERSAMBUNG ~~
Catatan Kaki:
[1] Sānhuáng Wǔdì (Tiga Raja dan Lima Kaisar) merupakan legenda sejarah kuno paling awal Tiongkok. Berjaya di antara tahun 2872 SM-2070 SM, Tiga Maharaja dan Lima Kaisar adalah “Kaisar-Kaisar” legenda Tiongkok yang muncul sebelum Dinasti Xia (dinasti pertama yang memerintah di Tiongkok).
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro