Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Break Up


Pantulanku di cermin mengerikan. Muka pucat, mata sembab, hidung merah, rambut acak-acakan. Tinggal mengganti piyama dengan daster putih, aku sudah menjelma menjadi kunti patah hati. Tawa getir terlepas karena pikiran itu. Aku masih hidup, belum berminat menjadi kunti, aku hanya sedang meratap.

Aku tidak sadar kapan langit berubah menjadi terang. Sambil menahan sesak, kuseret kaki menuju kamar mandi. Berendam dalam air hangat seharusnya bisa membuatku pulih. Nyatanya setelah hampir 30 menit. Yang kudapatkan hanya kulit mengerut, aku masih saja terisak. Air yang merendamku pasti sudah asin digarami air mataku.

Masih berusaha tetap waras, kuseduh kopi. Berharap wanginya membuatku lupa. Satu jam kemudian, aku masih duduk dengan pandangan menerawang. Kopiku sudah dingin.

Cass menelepon, rupanya kabar Andre memutuskanku sudah sampai di telinganya. Aku enggan mengangkat, tapi berdasarkan watak Cass, ia akan panik menelepon pemadam kebakaran, dan melesat dengan sekompi polisi yang mengetuk pintu rumahku jika tidak mendapat kabar apa pun dari mulutku.

"Mau aku ke sana? Tidak mau jawab? Setidaknya embuskan napasmu keras-keras supaya aku tahu kau masih hidup!" Suaranya histeris dipenuhi nada frustrasi.

Aku tidak punya tenaga untuk meladeninya, tak cukup kuat untuk mengembuskan napas keras-keras. Jadi yang kulakukan hanya menjawab "ya", lalu secepat kilat memutuskan panggilan.

Tanpa diminta, aku tahu Cass akan segera datang. Bubur ayam dan Tim Telur hangat adalah makanan wajib untuk menyembuhkan hati. Aku menangis lagi, kali ini tanpa suara. Diam saja di rumah membuat kepalaku semakin nyeri. Aku berganti pakaian dan memutuskan keluar rumah.

Sebuah mobil berhenti mendadak hanya sejengkal dari tempatku berdiri. Suara decit ban yang beradu dengan aspal tidak membuatku segera berlari menuju seberang jalan. Aku tetap saja berjalan pelan, mengabaikan sopir angkot yang mengomel meneriakkan sumpah serapah.

"Walaaaaaah, mbak... mbok tolah-toleh!" seru mas Aki penjaga parkir dari seberang jalan.

Aku hanya tersenyum tipis, tetap melangkah santai, membiarkan keriuhan bunyi klakson yang saling menyahut di belakangku.

Toko kain selalu menjadi tempat pertama yang kutuju jika sedang kalut. Memandang dan menghirup wangi khas lembaran kain beraneka warna biasanya ampuh membuatku merasa lebih baik. Pintu toko masih ditutup, sebagian rolling door masih belum dinaikkan, dari luar aku bisa melihat karyawan sibuk menata gulungan kain dan mengatur etalase.

Aku duduk diam di depan toko, menunggu toko buka, mengabaikan tatapan ingin tahu dari Mas Aki. Tepat pukul 9 pintu dibuka. Begitu masuk, wangi khas kain menyambut. Sambil berjalan pelan, aku mengedarkan pandangan. Berusaha mencari tempat nyaman untuk duduk menikmati keheningan toko. Deretan kain yang bergantung di cincin sepanjang dinding toko kali ini tidak berhasil memberiku kelegaan atas hatiku yang porak-poranda.

Pak Tik, pegawai toko yang biasa melayaniku langsung menghampiri dengan seringai lebar. Seperti pemburu yang menemukan mangsanya. Hari ini aku adalah mangsanya yang sudah terluka. Beruntunglah Pak Tik, aku sedang tidak ingin memainkan peran sebagai calon mangsa yang gesit menghindar, kali ini aku membiarkan diriku tertangkap.

"Eitss ..., juragan datang," katanya sambil memainkan meteran kayu. "Seperti biasa? Sateen? Asahi ? Sifon?"

Tanpa menunggu jawabanku, Pak Tik berjalan memimpin sambil menandak-nandak.

Kami sampai di tempat puluhan gulung kain sateen ditata berjajar. Aku duduk di atas alas manekin yang masih telanjang. Mencoba mengingat apa yang aku lakukan di sini.

Kepalaku memutar lagi pesan yang kubaca dini hari tadi,

Let's Break up

Sekali lagi aku merasa ada yang meremas hatiku. Sakitnya naik ke tenggorokan.

"Sifon? Asahi? Sateen?" ulang Pak Tik.

"Sateen Pak Tik."

"Siap! Setengah meteran seperti biasa ya?"

Aku tidak mendengar dengan jelas suara Pak Tik. Rasanya otakku terlalu lelah mencerna kata-katanya. Kepalaku mengangguk begitu saja.

"Oke, Khaki ... mana Khaki ...," gumam Pak Tik menelusuri deretan kain.

"Jangan! Emm ... cokelat tua saja."

Aku menunjuk kain dengan warna cokelat yang paling tua.

Sudah hampir dua tahun menjadi langganan tetap toko ini, Pak Tik hafal dengan warna-warna kain yang aku beli. Selalu diawali dengan Khaki lalu berlanjut dengan ....

"Pink muda, tinggal 3,5 meter nih. Ambil semua diskon 10%."

"Jangan!" seruku.

Beberapa pengunjung toko menoleh. Pak Tik sampai menjatuhkan meteran kayunya.

"Eh ... ra sah buanter gitu to, ganti apa? Fanta?"

Aku mengangguk.

Ponselku bergetar, aku tersentak. Potongan pesan lain kembali melintas di benakku.

No more chat,

Dengan gemetar, kumasukkan ponsel ke dalam tas.

Pak Tik yang sudah selesai memotong 2 warna kain, dengan sigap menata beberapa gelondong kain lagi sambil menyebutkan warna-warnanya. Alih-alih memperhatikan, mataku sibuk mengerjap, berusaha menahan air mata yang mendesak jatuh. Pesan lain melintas lagi membuat dadaku semakin sesak.

Aku hapus, mari putuskan semuanya.

"Ada toska nih, Baru datang. Tiga meter ya, mumpung ada. Nanti susah carinya lagi."

Aku menggeleng. "Hijau lumut aja Pak Tik, aku tidak suka toska."

Andre suka toska. Katanya, campuran hijau dan biru yang sempurna untuk melukiskan kejernihan mataku. Andre pintar menyanjung. Perhatian dan ucapannya tidak pernah kurasakan sebagai gombalan semata. Selalu membuatku percaya kalau ia sungguh-sungguh. Perhatiannya tulus, sikap yang mau berkorban juga sudah aku rasakan ketika cowok itu menolak tawaran bekerja di luar kota. Tidak tahan berjauhan denganmu, katanya. Sayangnya aku buta karena mulut manisnya. Mataku cokelat tua, bukan toska seperti khayalannya.

Pak Tik mengangkat kepala memandangku heran. Aku berpaling mengalihkan pandanganku ke tumpukan kain tile di pojok ruangan, berharap Pak Tik tidak melihat air mata yang sudah merembes turun.

Don't call me. Let's stop here

Kali ini aku mendengar suaranya. Suara yang kudengar hampir setiap pagi dan sore selama 3 tahun. Seperti angin yang berembus, bergaung seperti gema yang berputar dan menabrak ruang di kepalaku. Aku mengerjap sekali lagi, memandang langit-langit berusaha keras menahan tangis.

Pak Tik pindah ke deretan kain Sifon.

Hubungan ini tidak akan berhasil. Sudah tiga tahun seperti ini. Mari menarik garis lagi. Kembali ke awal. Sebagai orang asing.

Aku mengaduk tasku meraih apa saja yang bisa kugunakan menutup mulutku.

"Semua ini ya...warna pastel semua,"

Pak Tik menyodokku dengan meteran kainnya.

Aku tidak sanggup menjawab. Sambil menutup mulut, aku memberinya isyarat agar menunggu. Secepat kilat aku berlari menuju kamar mandi, memutar keran lalu menangis tanpa suara. Lima menit cukup. Pak Tik pasti akan bertanya-tanya begitu aku kembali. Jadi kubasuh wajahku, menarik napas panjang berulang-ulang. Dengan potongan kain contoh yang kuambil dari tas tadi, aku menutup mulut dan hidung. Semoga saja Pak Tik tidak memerhatikan mataku yang memerah.

Ketika aku kembali, Pak Tik sibuk mengedarkan pandangan, memperhatikan pengunjung toko yang mulai berdatangan. Setumpuk kain sifon siap potong ada di pangkuannya.

"Yang gelap-gelap aja Pak Tik. Ungu tua, biru dongker, abu-abu, hitam."

Aku berusaha membuat suaraku yang serak senormal mungkin.

Pak Tik rupanya sedang mengincar mangsa baru, jadi dia tidak memerhatikanku, sibuk memotong kain yang aku tunjuk sambil mengomel,

"Lah, buat opo to mbak... biasane pastel-pastel. Lagi putus cinta po piye iki?"

Aku tersenyum getir.

"Sebelas kain dua meteran. Ada katun jepang shabby. Cuantiik. Mau ya? Dua meteran juga?"

Aku tidak menjawab. Pak Tik naik ke atas kursi tinggi lalu menurunkan beberapa kain dari cincin-cincin di dinding.

Aku menunjuk 2 kain bermotif bunga kecil berwarna peach dengan dasar kain hitam.

"Lah, bukan shabby ini namanya. Gelap. Peteng," komentar Pak Tik.

Ponselku berdering nyaring, suaranya terdengar dari dalam tas. Lagi-lagi aku mengabaikannya.

Pak Tik menulis nota sambil tersenyum puas. Aku mengembuskan napas. Ini sudah kesekian kalinya aku membiarkan Pak Tik menguras isi dompetku.

"Notanya. Kenapa, kok tutupan gitu? Sakit ? Laris manis ben cepet balik ke sini ya...." Pak Tik menyodorkan nota dengan riang, tidak bertanya lagi. Pengunjung baru lebih menarik perhatiannya.

Aku melangkah gontai. Masih tidak percaya ini terjadi lagi. Tidak ada antrean di meja kasir, jadi Mbak Nurul langsung menerima notaku dan mulai menghitung.

"Semuanya 600 ribu, cash atau gesek?"

Tanpa sadar, aku menuang tasku di meja kasir. Kunci, benang, gunting, beberapa lembar kain contoh berhamburan. Aku mengorek-ngorek tas lagi. Tidak ada dompet.

"Lupa bawa dompet," kataku lirih.

Mbak Nurul tersenyum maklum, ikut membantu mengumpulkan lagi barang-barangku.

Ponsel dan tas aku tinggalkan di meja kasir.

"Pulang dulu sebentar ya Mbak, Nitip ini."

Mas Aki langsung menyambar tanganku begitu aku melangkah ke jalan raya. Baru hendak melangkah, Mbak Nurul berseru sambil melambaikan ponsel.

"Mbak! Mbak! Ada telpon!"

Kami berhenti. Mbak Nurul berlari menghampiriku di tepi jalan.

"Dari siapa mbak?"

Mbak Nurul menyerahkan ponsel kepadaku sambil mengangkat bahu.

"Tulisannya separuhku."

Aku mengembalikan ponsel yang masih tersambung itu ke tangan Mbak Nurul, lalu menyeret Mas Aki kembali ke jalan raya.

"Buang saja, Mbak. Ponselnya rusak."

Cass menungguku di seberang jalan. Tentu saja, dia hafal kebiasaanku jika sedang tidak keruan. Ekspresi prihatin dan cemas jelas terukir di wajahnya. Lipatan kening di dahinya semakin dalam ketika menerimaku dari tangan Mas Aki.

"Tasku masih di sana," kataku lirih.

Cass tidak menyahut, ia memanggil Mas Aki, berbincang sebentar dan menyerahkan uang. "Antar ke rumah nanti ya, Mas."

Kami berjalan pulang dalam diam. Satu tangan Cass menggengam tanganku, satunya lagi memegang rantang yang aku tahu pasti berisi ramuan patah hatiku.

Bubur yang Cass buat selalu harum dengan kaldu ayam yang kental. Wangi taburan seledri dan bawang goreng tidak pernah gagal membuatku nyaman. Tim telur buatannya selalu jadi favoritku. Ketika menyuapnya, aku baru sadar kalau dua menu ini selalu menemaniku jika aku sedang sakit atau sedih. Tak pernah dibuatkan Cass jika kami sedang gembira merayakan sesuatu.

"Kau menambahkan jampi-jampi di buburmu, ya?

Pertanyaanku membuat Cass tergelak. Ia berkacak pinggang. Mata sipitnya semakin hilang, ia mengucir rambut ikalnya yang membuat wajahnya semakin bulat.

"Seandainya saja ada, sudah kujual dan kunamai Potekminophen. Obat khusus untuk segala kondisi yang disebabkan hati yang luka."

Cass bergabung denganku di meja makan, menyodorkan mug berisi teh markisa pahit.

"Katakan saja." Aku menunggu ia mencelaku karena tidak memercayai instingnya dua tahun lalu.

Cass hanya mengangkat bahu, mengambil sendok lalu makan dari mangkuk buburku.

"Untuk apa, sudah terjadi," komentarnya.

Aku memandanginya mengaduk buburku.

"Andre memang tidak tahu beda kain organza dan kain kaca. Aku juga tidak tahu bedanya polos dan bego. Jangan aduk buburnya!"

Cass mengangkat sendok tanda menyerah. Bibirnya mengulas senyum tipis.

"Tidak ada yang bisa meramalkan apa yang terjadi hari ini. Waktu itu aku hanya menuruti instingku, merasa aneh dengan seorang manajer pabrik tekstil yang tidak bisa membedakan produk perusahaannya. Dan, hei! Aku enggak pernah mengataimu bego. Justru aku takut sudah melukaimu dengan prasangkaku. Kalau sekarang kejadian ya ... dasar kau bego." Kalimat terakhir diucapkannya sambil berbisik.

Aku memelototinya. "Lain kali, kau boleh meneruskan investigasimu jika ada laki-laki lain yang mendekat. Aku sudah lelah patah hati. Juga tidak mau lagi diselingkuhi."

"Baru dua kali sudah kapok?" tantang Cass.

Kupukul kepalanya dengan sendok.

"Cass, terima kasih. Sejak SMA sampai sekarang, kau tidak pernah meninggalkanku meski aku melakukan kesalahan. Kalau kau laki-laki, pasti sudah kunikahi."

"Aku tidak mau," jawabnya mantap. "Perempuan bego kayak kamu, percaya semua orang di dunia baik adalah kerugian bagiku," lanjutnya sambil mengaduk lagi bubur di mangkuk.

Bukan bubur dan tim telur yang ampuh menambal setiap luka di hatiku. Namun kehadiran Cass. Apa pun yang kulakukan, meski tidak selalu benar menurutnya, dia selalu menjadi sahabat tempatku pulang. Tidak ada penghakiman, hanya penghiburan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #cerpen