Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 20 [END]

Setelah kejadian di lapangan, sampai satu bulan kemudian Roy juga tidak kunjung membuktikan omongannya. Tara semakin yakin bahwa saat itu Roy memang tidak serius. Tapi anehnya Roy makin mendekat padanya. Laki-laki itu juga mulai terbuka dengan berani memberi tahu Tara rahasia yang membuatnya benci pada Kharisma.

Ternyata dulu Roy memang menjalin hubungan dengan Kharisma. Ia selalu mendukung Kharisma yang ingin membesarkan grup band-nya dari nol. Meski hubungan mereka dirahasiakan dari media, Roy sama sekali tidak keberatan. Ia tetap ada di saat Kharisma sedang susah maupun senang. Hingga hubungan mereka semakin serius, Roy berniat melamar perempuan itu untuk menjadi istrinya. Namun, tiba-tiba Roy dikejutkan karena Kharisma bilang dirinya hamil. Padahal Roy berani bersumpah, gaya pacarannya tidak pernah melebihi batas.

Akhirnya Roy tahu kelakuan Kharisma di belakangnya. Perempuan itu diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Edwin, gitaris Alto Band. Dengan hati hancur, Roy melepaskan Kharisma agar hidup bersama Edwin yang saat itu berkata ingin mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Tara sangat kaget saat mendengar kebenaran itu. Cerita yang selama ini orang dengar adalah Kharisma mengalami cinta lokasi dengan Edwin, tanpa tahu bahwa dibalik kisah yang terlihat indah itu di baliknya ada orang yang tersakiti.

Tara yang saat ini sedang menikmati udara malam di halaman belakang rumahnya berkali-kali mengusap dada. Dipercaya sebagai pendengar sebuah rahasia juga harus bisa memegang janjinya. Tara sebisa mungkin jangan sampai membocorkan hal ini ke pihak lain. Kalau sampai media tahu, yang pertama bisa disalahkan adalah pihak Kharisma sendiri yang mungkin sengaja menyebar aib. Pihak kedua adalah Roy lalu dirinya sendiri.

Tara berkali-kali menekankan pada hati ia harus bisa menjadi penjaga rahasia yang amanah.

"Ih, adek gue udah gede. Bentar lagi mau jadi istri orang." Tiba-tiba Tari muncul dan menurut Tara saudarinya itu bicara melantur.

"Harusnya yang ngomong gitu gue. Yang bentar lagi mau nikah kan elo." Tara melepas rangkulan Tari di pundaknya.

"Elo juga bentar lagi nikah. Kita nikahnya bareng." Tari menutup kalimatnya dengan senyum haru. Setelah itu ia kembali masuk ke dalam meninggalkan Tara sendiri di gazebo.

Baru saja keheranan karena tingkah Tari, sekarang Tara kembali merasa bingung karena Papanya datang dengan aura serius.

Camilan ringan berupa keripik kentang yang menemani waktu santainya kini terasa tidak seenak tadi. Tara menyesal karena hari ini ia tidak berada di kafe sampai malam. Tara punya firasat orang tuanya sedang merencanakan sesuatu seperti yang pernah terjadi sebelum ini.

Tara menekuk kakinya sembari memperhatikan Papa yang kini duduk di sebelahnya.

"Papa mau ngomong sesuatu. Penting."

Tara mengangguk tanda mengerti. Dari awal gelagat Papa sudah terlihat jelas.

"Sebenarnya kemarin waktu kamu masih kerja, ada seseorang datang ke rumah. Intinya dia secara resmi ingin melamar kamu."

Tara tidak habis pikir. Apakah orang tuanya benar-benar tidak sabar ingin melihatnya segera dipinang orang?

"Kenapa Papa nggak bilang dulu? Tiba-tiba nerima tamu gitu aja," protes Tara.

Papa kelihatan kesal. "Papa aja juga kaget, dia itu sebelumnya nggak ngomong apa-apa. Waktu ketemu Papa juga masih biasa aja. Tiba-tiba kemarin malam datang ke rumah."

Tara menatap Papanya dengan sangsi. Tentu saja ia tidak percaya. Pasti seseorang yang Papa ceritakan itu adalah salah satu anak teman Mama yang lain.

"Mending kamu ketemu dulu sama dia untuk menghargai niat baiknya," kata Papa.

Belum sempat protes lagi, tapi Tara sudah ditinggal pergi oleh Papa. Sekarang ia hanya bisa mengomel sendirian. Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Roy tertera di layar sebagai penelepon.

"Halo?" sahut Tara dengan ketus.

"Kedengerannya sewot banget."

Tara menarik napas. Ia terbawa suasana sampai ikut besikap sinis pada Roy. "Lagi banyak pikiran."

Di seberang telepon Tara bisa mendengar Roy tertawa. Lalu laki-laki itu menimpali, "Efek sering ditanya kapan nikah jadi gini nih. Sabar, Bu. Jangan emosi."

"Lo kenapa sih telepon malam-malam?" Tara benar-benar tidak ada hasrat untuk bercanda.

"Santai, Bosku. Jangan ngegas dong. Gue mau ke rumah lo. Boleh nggak? Nastar gue udah jadi, kali ini rasanya lumayan enak."

"Ya udah sini! Seenak apa sih? Awas kalau gosong," sahut Tara.

"Oke, gue udah otw kok." Suara Roy tiba-tiba terdengar sangat jelas.

Tara lalu menoleh ke arah pintu rumah yang mengarah ke halaman belakang tempatnya berada sekarang. Dari sana ada Roy muncul dan mulai berjalan mendekat. Tara lekas mematikan telepon sembari mendengkus pelan. Buat apa Roy izin kalau ternyata sudah sampai di rumahnya.

Tanpa basa-basi Roy langsung menyerahkan hasil karyanya. Masih dengan wajah tidak bersemangat, Tara menerima nastar yang diwadahi plastik mika itu. Namun, Tara bertanya dalam hati ketika jarinya tidak sengaja menyentuh telapak tangan Roy yang terasa sedingin es.

"Lo sakit?" Tara akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya langsung.

Roy seketika terperangah. Ia menggeleng dengan gugup. "Enggak, gue baik-baik aja."

Meski masih heran, Tara mengangguk seolah percaya saja pada jawaban Roy. "Lo nggak mau duduk? Bisulan pantat lo?" tanya Tara kemudian.

Roy berdeham canggung lalu duduk agak jauh dari Tara.

"Lo kenapa sih?" Tara menatap Roy yang malam ini sedikit berbeda dari biasanya. Tara juga baru sadar bahwa Roy datang dengan penampilan rapi. Biasanya laki-laki itu kalau mampir ke rumah pasti hanya mengenakan kaus oblong santai dan bawahan celana kasual. "Lo dari kondangan ya?" tanya Tara.

Roy menghela napas untuk kesekian kalinya. "Jangan banyak tanya dulu deh, mending lo cobain nastar gue."

"Oh, lo grogi karena gue mau nyobain nastar buatan lo? Ya ampun santai aja kali. Komentar gue nggak bakalan pedes kok." Tara mulai membuka kemasan nastar sembari tertawa. Malam ini secara tidak langsung Roy telah menghiburnya.

Sebelum mengambil untuk dicicipi, Tara memotret beberapa hasil olahan Roy itu. Tidak ada yang gosong, namun ukuran nastarnya masih belum bisa seragam. Ada yang terlalu besar dan beberapa yang lain malah terlihat kekurangan isi. Setelah puas dengan hasil fotonya, Tara memasukkan satu butir nastar ke dalam mulutnya.

"Enak," puji Tara. Ia tidak bohong. Meski bentuk nastar buatan Roy tidak menarik, tapi rasanya hampir mirip seperti buatan Tante Ida.

Roy tampak lega karena rasa nastar buatannya memenuhi selera Tara. "Lo kenapa bisa suka sama nastar?"

"Gue nggak gila, ngapain suka sama nastar? Cowok cakep masih banyak, masa gue suka sama benda mati." Tara menggelengkan kepalanya.

"Orang tanya serius dijawab bercanda," keluh Roy yang membuat Tara tertawa. "Kirain ada cerita spesial gitu, sampek bikin lo jadiin nastar camilan favorit."

"Dulu gue suka makanan manis. Tapi kan wajah gue masih jerawatan, sedangkan makanan dan minuman manis itu bisa memicu bertambahnya jerawat. Jadi gue kesel banget, sebel, marah. Padahal gue lagi pengin makan sesuatu yang manis tapi harus nahan demi kebaikan gue sendiri. Gue waktu itu udah ngerasa capek, sampek kapan harus jaga pola makan? Kenapa gue nggak bisa kayak temen-temen yang lain? Mereka bebas mau ngemil apa aja. Jadi gue malah nangis dan ngerasa udah jadi orang yang paling menderita. Padahal masih banyak yang mestinya bisa gue syukuri."

Roy memperhatikan emosi yang berubah-ubah di wajah Tara saat perempuan itu menceritakan kenangannya. "Terus?"

"Waktu gue nangis, tiba-tiba Papa datang. Nggak banyak ngomong, Papa langsung nyuapin gue nastar. Papa seolah ngasih tau, kalau lagi pengin makan manis ya makan aja sesekali. Jangan terlalu keras sama diri sendiri. Kalau ada jerawat yang tumbuh lagi, ya udah diobatin terus sampek sembuh. Jerawat itu hal yang normal. Gue nggak boleh malu. Mestinya yang malu itu orang-orang yang suka nyinyirin gue. Mereka nggak bantu gue perawatan, bisanya cuma komentar doang."

"Jadi dari situ lo nggak takut sama makanan manis lagi?" tanya Roy.

"Iya. Yang penting jangan keseringan aja makannya," jawab Tara sembari tersenyum. Ia lalu mengambil nastar buatan Roy lagi untuk dimakan.

"Lo beruntung punya Papa seperti Om Harsanto," kata Roy menimpali.

Tara mengangguk, tapi detik berikutnya ia mengibaskan tangan. "Tapi gue lagi kesel sama Papa. Udah, jangan ngomongin Papa dulu."

Roy bersedekap dan menatap Tara dengan heran. "Nggak boleh marah sama orang tua. Lo kayak Arin aja, hal kayak gini masih harus diingetin."

Tara memeluk kedua lututnya dengan bibir cemberut. Roy bisa berkata seperti itu karena tidak mengerti penyebabnya. Tapi Tara juga tidak bisa dengan mudah menceritakan apa yang menjadikannya bersikap seperti ini. Ia malu kalau Roy sampai tahu ia sudah dilamar orang. Meskipun Tara belum sepenuhnya menerima, tapi bisa dibilang keadaannya sekarang memang seperti itu.

"Lo nggak mau cerita?" Kedua alis Roy terangkat.

Tara menggeleng. Tapi setelah itu ia berubah pikiran. Mungkin jika bercerita pada Roy, ia bisa mendapat jalan keluar. Semoga Roy bisa membantu Tara memutuskan pilihan. Harus menerima entah siapa orang yang berniat serius padanya itu, atau justru menolak seperti yang ia lakukan pada Nao.

"Sebenarnya tadi Papa bilang kalau ada orang yang pengin serius gitu sama gue," kata Tara. Ia menunduk tidak berani menatap wajah Roy. Tara malah memutar-mutar cincin pemberian Mama yang tersemat di salah satu jarinya.

Perut Roy tiba-tiba mulas. Keringat menjalari telapak tangan yang menjadikannya terasa dingin kembali. "Bagus, kan? Mungkin emang udah saatnya lo berumah tangga, Ra."

"Tapi gue belum ketemu sama orangnya," sanggah Tara.

Kepala Roy terangkat. Tanpa keragu-raguan ia meraih pundak Tara agar perempuan itu menghadap padanya. "Lo udah ketemu sama orangnya."

Tara menghela napas. "Sok tau. Kapan gue ketemunya? Papa cerita ke gue aja barusan."

Roy mengunci tatapan Tara. "Orangnya sekarang ada di depan lo."

Selama beberapa detik Tara membeku. Meski saat ini muncul banyak pertanyaan di benaknya, tapi bibirnya terkunci rapat karena lidahnya kelu. Tara juga berusaha menormalkan debaran jantungnya yang tiba-tiba menggebu. Jika Roy hanya bercanda, Tara harap laki-laki itu segera memberi tahu. Tara tidak mau perasaannya dibuat mainan jika nantinya akan dihempas seperti debu.

"Aroyyan Rasendriya, meminang Shatara Gunadhya. Gue nggak main-main, Ra. Gue buktiin omongan yang waktu itu. Yang Papa lo maksud itu gue orangnya," ucap Roy tegas.

Tangan Tara meraih tangan Roy yang masih bertengger di pundaknya dengan gemetar. Dadanya sesak karena terlalu bahagia. Tara lalu menggenggam tangan Roy dengan erat seolah ingin menyadarkan laki-laki itu yang mungkin sedang berakting.

Roy melepas genggaman tangan Tara. Sebagai gantinya ia membelai pipi perempuan yang telah memenuhi ruang hatinya itu. Tara semakin dibuat merinding karena sentuhan Roy. Apalagi kini Roy malah sengaja menyelipkan jemarinya ke dalam rambut Tara. Perlahan tapi pasti ia menekan tengkuk Tara hingga wajah mereka makin mendekat.

Tara seketika memejamkan mata seiring dengan hembusan napas Roy yang mengenai wajahnya. Kedua tangan Tara yang bebas secara refleks meremas sisi kemeja yang Roy pakai dengan tegang.

Roy tersenyum gemas saat melihat Tara sedang salah tingkah. Lalu laki-laki itu mendekatkan bibirnya ke telinga Tara. "Will you marry me?" bisiknya.

Tara perlahan membuka matanya. Ia masih bungkam dan memilih untuk menatap Roy tanpa kedip. Roy yang diperhatikan begitu lekat oleh Tara pun merasa gerah. Sebenarnya ini saat yang pas. Bibir Tara seolah terus menggodanya. Dalam sekali gerakan Roy tentu bisa mengecup pusat pesona milik Tara itu. Tapi Roy tidak mau terburu-buru. Ia mau melakukan hal itu nanti di saat yang tepat. Maka selanjutnya Roy hanya membawa Tara dalam pelukannya.

Sekali lagi laki-laki itu menanyakan kesanggupan Tara untuk menjadi teman hidupnya. Roy benar-benar sudah menjadikan Tara sebagai muara hatinya.

Tara perlahan membalas pelukan Roy. Kedua tangannya melingkari punggung Roy yang kukuh. Kemudian kepala Tara mengangguk pasti, ia menerima Roy dengan segala kekurangan dan kelebihannya sebagai tambatan hati.

"Thank you for making my dream comes true," ucap Roy sepenuh hati.

-TAMAT-














Cerita Tara-Roy aku cukupkan sampai di sini. Karena ceritanya ringan jadi aku nggak mau banyak-banyak babnya.Terima kasih kepada pembaca setia. Maaf kalau ceritanya pendek. Maaf kalau alurnya belum sesuai sama harapan kalian.

Kalau ada kritik yang mau disampaikan silakan komentar aja ya. Atau kalau malu bisa DM aku hehehe.

Samapai jumpa di karya aku selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro