Bab 19
"Pagi, Mbak."
Tara yang baru sampai di kafe tersenyum pada Hanum yang menyambutnya. "Pagi," jawabnya. Lalu ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, sudah tampak rapi dan bersih. Kafe siap menerima pengunjung.
Tara kemudian beranjak ke dapur untuk menyapa para koki dan mengambil celemekmya. Ia sementara akan menggantikan posisi Dimas yang pagi ini masih ada jam kuliah.
"Mbak, tumben ya udah beberapa hari ini Mas Nao nggak mampir ke sini," seloroh Nisa ketika Tara keluar dari area dapur.
Bibir Tara tersenyum tipis. Tentu saja Nao tidak akan datang ke kafenya lagi. Laki-laki itu sudah memutuskan untuk menjauh darinya. Dua hari yang lalu, saat orang tua Tara berkata ingin keluar mencari makan malam, ternyata mereka sekalian bertemu dengan Nao di sebuah restoran. Orang tua Tara mengajak Nao bicara tentang ketidaksiapan putrinya dalam membina rumah tangga. Mereka minta maaf karena Tara tidak punya visi dan misi yang sama dengan Nao.
Kalau mengingat hal itu Tara menjadi sedih. Ia bisanya merepotkan orang tua saja. Apa lagi Mama malah bercerita saat diberi tahu keputusan ini, mata Nao sempat berkaca-kaca. Kata Mama juga, laki-laki itu sudah sering gagal saat mencoba menjalin hubungan. Maka saat bertemu Tara, Nao berharap besar bahwa ini adalah akhir pencairannya. Namun apa daya, Tara tidak bisa memaksakan perasaanya. Berarti Tuhan memang tidak menakdirkan mereka untuk bersatu.
"Mbak?" Nisa bersuara lagi saat melihat Tara yang malah melamun.
Tara tersadar dan menatap Nisa yang masih menanti jawabannya. "Kita fokus aja sama pengunjung kafe yang lain. Kalau Nao udah nggak ke sini lagi, pasti ada penggantinya."
Nisa mengangguk paham. Ia lalu tidak berani bertanya macam-macam lagi. Selain karena sungkan, juga karena disibukkan dengan pekerjaan. Beranjak siang pengunjung menjadi sangat ramai karena ada dua kelompok orang yang berbeda secara kebetulan mengadakan acara reuni kecil-kecilan di Ombrello Cafe.
"Nggak kerasa tiba-tiba udah jam empat sore aja," kata Dimas sehabis membawa piring kotor ke belakang.
Tara yang mendengar perkataan Dimas langsung mengecek jam di pergelangan tangannya. Lalu ia kembali menyelesaikan laporan penjualan nastar di bulan ini. Namun, kegiatannya harus berhenti saat ponselnya secara beruntun membunyikan notifikasi pesan masuk.
Tim Sukses Tara-Roy Menuju Halal
Monik telah menambahkan Anda
Monik telah menambahkan Roy
Monik telah menambahkan Mas Bayu
Monik telah menambahkan Saga
Yongki telah bergabung menggunakan tautan undangan grup ini
Tia telah bergabung menggunakan tautan undangan grup ini
Tara memijat pelipisnya saat nomor Whatsapp-nya dimasukkan ke sebuah grup obrolan oleh Monik. Apalagi nama grup itu sangat tidak masuk akal baginya. Orang-orang yang bekerja di perusahaan industri itu mungkin sedang butuh hiburan di tengah banyaknya pekerjaan mereka.
Tara: Grup nggak jelas. Izin left
Monik: Jangan sekali-kali lo coba mencet keluar!
Tara: Faedahnya apa gue gabung di sini?
Tia: Kasih tau tuh ada yang pura-pura nggak ngerti
Monik: (mengirim sebuah foto)
Monik: Skrinsyut dulu dong. Jejak digital xixixi
Tia: Kita tau kali ini tangan punya siapa. Gue hafal sama cincin yang ada di jari lo, Ra.
Tara segera mengunduh gambar yang Monik kirim. Ia langsung tercengang. Sebuah screenshot tampilan Insta Story dari akun Instagram Roy kini terpampang di layar ponselnya. Tara yakin ulah Roy sendiri yang sepertinya menjadi awal mula kehebohan ini.
Entah apa maksud Roy, laki-laki itu mengunggah sebuah foto dua tangan saling menggenggam di story Instagramnya. Tara tahu betul tangan siapa yang ada di dalam foto itu. Benar kata Tia, jari-jemari yang saling bertaut itu adalah milik Roy dan dirinya. Potret ini diambil saat mereka pulang dari resepsi pernikahan Tia. Waktu itu Roy bilang hanya iseng saja, ia ingin punya foto gandengan tangan.
Sekarang foto itu malah menjadi bumerang pada mereka. Meski Roy mengunggah tanpa diberi keterangan apa pun, orang yang melihat secara otomatis pasti akan bersepkulasi macam-macam.
Saga: Gandeng teross. Nyebrang kali ya
Tia: Itu namanya mencari kehangatan
Mas Bayu: Jangan kasih kendor. Kita kawal sampek sah biar bisa ahhh
Tara: Mas Bayuuuu!
Yongki: Mas, Tara jadi bayangin yang iya-iya tuh
Monik: Sabar dulu, Ra. WKWKWK
Tia: Kalau mau tutorial sini, tapi bisik-bisik aja. Hahaha
Tara: Guys gue sampek nggak bisa berkata-kata
Saga: Karena udah pengen banget?
Tia: Royy! Sini lo keluar. Cepet bawa Tara ke KUA
Tara: DIAM!
Tara: Gue belum selesai ngetik!
Roy: HEH! KALIAN NGAPAIN BIKIN GRUP INI?
Yongki: BANTUIN ELO LAH! ROYYAN GEBLEK
Roy: BANGSUL NGATAIN GUE! AWAS LO
Saga: GANTENG DOANG...
Tia: BERANINYA CUMA POSTING FOTO TANGAN
Mas Bayu: KAMPUNGAN!
Monik: Bisa gak hurufnya dikecilin? Gue bacanya jadi teriak-teriak dalam hati
Roy: Gue beneran nggak ngerti maksud kalian
Tara: Udah lah males gue!
Tara melempar ponselnya ke meja sampai menimbulkan bunyi keras. Ia sebal pada Roy yang semakin membuatnya bingung. Sepertinya Roy mengunggah foto tanpa ada maksud tertentu, tapi secara tidak langsung ia sudah membuat semua orang berharap lebih. Termasuk Tara, ia sebenarnya juga berharap ini semua adalah cara Roy untuk menyampaikan perasaannya. Tapi jika melihat reaksi Roy di grup tadi, Tara tahu harapannya hanyalah sebuah hal yang semu.
"Gue pulang duluan." Tara mengemasi barangnya secara kilat dan pamit pada karyawannya dengan wajah keruh.
Nisa hanya bisa mengangguk tanpa berani menyahut. Hanum dan Dimas saling berpandangan karena heran dengan perubahan emosi Tara yang semula baik-baik saja kini berubah muram.
Tara tidak langsung pulang ke rumah. Ia mampir ke lapangan umum yang ada di dekat kompleks perumahannya. Ia mencoba menghibur diri ditemani siraman cahaya matahari sore yang hangat. Keseruan bocah-bocah laki-laki SD yang sedang menerbangkan layangan juga menjadi pelipur laranya. Tara jadi teringat masa kecil di mana ia belum pusing memikirkan kehidupan.
Ponsel Tara berbunyi, menandakan ada sebuah pesan masuk. Tara pastikan akan langsung mematikan telepon genggamnya jika pesan itu datang dari grup tadi lagi. Ternyata yang datang adalah chat WA dari Tante Zamila, mamanya Mela.
Tante Zamila: Ra, udah ada yang ngajak serius kenapa kamu tolak? Belum mau hidup bahagia ya?
Mata Tara memanas saat membaca deretan kalimat itu. Tantenya ini kadang memang suka bersikap cuek pada sekitar, tapi sekalinya ikut campur ia akan langsung semenjengkelkan ini. Tante Zamila pasti baru saja mendengar cerita dari Mama perihal putusnya hubungan dengan Nao kemarin.
Tara: Memangnya untuk bisa bahagia harus dengan menikah dulu? Meski masih sendiri, syukur aku sangat bahagia bisa menjalani hidup sampai detik ini.
Setelah pesan balasannya terkirim, Tara mematikan ponselnya. Tara tidak takut bila ia dianggap kurang ajar karena berani menentang omongan orang tua. Untuk saat ini, sekali saja, Tara ingin bersikap masa bodoh pada hal-hal yang tidak sejalan dengan hatinya.
"Tara!"
Perempuan itu hafal siapa pemilik suara yang barusan memanggilnya. Tapi Tara sengaja tidak menoleh. Ia tetap asyik memperhatikan layangan yang bergerak bebas di udara, membungbung semakin tinggi seperti tidak punya beban.
"Gue cari ke kafe dan ke rumah ternyata lo ada di sini."
Tara tetap tidak mengindahkan kehadiran Roy.
"Ra, gue udah tau kenapa tadi temen kantor heboh di grup," kata Roy setelah ia duduk di samping Tara. "Gue lagi belajar bikin story, tapi foto yang ke-upload nggak sengaja kepencet yang itu. Waktu mau hapus, gue harus segera meeting sama klien jadinya kelupaan sampek sore."
Tara hanya menghela napas. Harapannya musnah Ternyata benar, Roy tidak ada maksud tersembunyi selain tidak sengaja. Mungkin ini hukumannya karena sudah menolak orang tulus seperti Nao.
"Maaf kalau bikin lo nggak nyaman. Gue nggak tau, ternyata lo kurang suka kalau foto intim kita berdua diumbar. Seharusnya tadi gue lebih hati-hati milih fotonya. Mungkin kalau yang gue jadiin story adalah foto selfie kita, lo nggak akan bete kayak gini," ujar Roy setelah beberapa saat terdiam.
Tara menoleh pada Roy. Ia senang laki-laki itu tanpa bertele-tele langsung tahu jika dirinya sedang kesal. Tapi Tara juga sedikit kaget dengan pilihan kata yang laki-laki itu gunakan. "Intim apaan sih?"
"Ya itu, foto gandengan kita," sahut Roy.
"Astaga." Tara memijat pangkal hidungnya. "Jadi maksud lo update Insta Story itu apa? Lo cuma sekadar belajar fitur Instagram atau ada maksud lain?"
Roy menarik tangan Tara untuk digenggam. "Ra, umur gue udah nggak muda lagi. Jadi untuk urusan kayak gini, gue nggak mungkin main-main. Apa yang gue tunjukkan ke orang lain, pasti itu adalah hal yang sifatnya sangat berarti bagi gue. Contohnya isi Instagram gue emang cuma tiga foto, tapi semua itu diambil karena momennya berkesan. Tepatnya orang yang ada bersama gue di saat itu yang membuat momennya jadi berharga."
"Jadi gue berharga buat lo?" Tara memberanikan diri menatap mata Roy.
"Iya."
"Berani buktiin omongan lo di depan orang tua gue? Kalau cuma nganggap gue berharga di mulut doang mending lo jujur dari sekarang. Jangan ngasih harapan lebih." Tara melepas tangannya dari Roy.
"Oke, gue berani."
Tara malah melengos ke arah lain. Ia tidak percaya pada kata-kata Roy. Sampai kapan ia dikelilingi hal ketidakpastian ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro