Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 18

Tara membaluri area tengkuknya dengan minyak angin aromaterapi. Hari ini ia pergi ke kafe hanya sampai sore karena kepalanya pusing. Maka mulai sehabis magrib tadi sampai sekarang sudah pukul tujuh malam, ia hanya berbaring di sofa sambil menonton televisi. Tara sedang di rumah sendiri karena orang tuanya masih pergi ke luar membeli sesuatu untuk makan malam. Sedangkan Tari katanya akan lembur.

Tiba-tiba bel berbunyi. Tara segera menuju ke ruang tamu untuk membukakan pintu dengan hati bertanya-tanya. Sebelum ia benar-benar mempersilakan tamu yang datang itu masuk, Tara mengintip dari celah kain penutup jendela. Ia langsung menghela napas lega saat tahu orang yang berkunjung ke rumahnya adalah Roy.

"Takut gue orang jahat? Diintipin dulu," kata Roy begitu Tara muncul.

Tara meringis malu karena Roy ternyata memergokinya. "Jaga-jaga aja. Namanya juga lagi di rumah sendiri," sanggah Tara. Sebenarnya ia takut yang datang adalah Nao.

Roy menggaruk bagian belakang kepalanya. Lalu ia berjalan mundur dan berkata, "Bentar ya. Tunggu. Gue mau pulang terus nanti ke sini lagi." Roy lalu berbalik dan kembali ke rumah Kakek Hasan dengan berlari cukup cepat.

Tara tidak mengerti apa maksud Roy. Ia hanya bisa tercengang di teras rumahnya. Namun ia kemudian tertawa karena senang bisa melihat tingkah absurd Roy lagi yang beberapa hari ini absen dari penglihatannya.

Sembari merapatkan kardigan lengan panjangnya, Tara akhirnya memutuskan untuk menunggu Roy di kursi santai yang ada di teras. Rasa pegal di pundak dan pening di kepala yang semula mengganggunya, kini perlahan terasa ringan. Mungkin efek obat yang tadi sore ia minum sudah mulai bereaksi. Ditambah kehadiran Roy membawa hiburan tersendiri bagi Tara.

Tidak ingkar janji, beberapa menit kemudian Roy datang kembali. Tapi kini laki-laki itu membawa Arin ikut serta.

"Tante Taya!" Arin turun dari gendongan Roy dan beranjak menghampiri Tara.

Tara tersenyum lebar menyambut Arin. Lalu pandangannya beralih pada Roy untuk bertanya melalui sorot mata tentang maksud ini semua.

"Elo kan lagi di rumah sendiri. Nggak nyaman aja kalau ngobrol berdua. Entar kalau ada yang ngira kita lagi ngapa-ngapain kan bahaya. Makanya gue ngajak Arin biar jadi orang ketiga tapi bukan setan." Roy lagi-lagi menggaruk lehernya dengan salah tingkah.

Tara ikut salah tingkah saat tahu arah pembicaraan Roy. Maka dengan kikuk ia akhirnya mempersilakan Roy duduk di kursi lain yang tersedia. Tara kemudian juga memangku Arin seolah menjadikan anak itu sebagai tameng di depan badannya.

"Tante, kemalin Mas Ayoy kelja jauh. Aku kangen banget. Tante Taya kangen nggak?" celoteh Arin yang membuat Tara tertegun.

Roy berusaha menahan senyumnya. Padahal tadi ia hanya iseng mengajari Arin agar bertanya pada Tara, perempuan itu rindu padanya atau tidak setelah tiga hari kemarin mereka tidak bertemu. Ternyata Arin benar-benar menuruti arahannya. Roy sangat puas, Arin adalah cerminan sepupu cilik yang membanggakan.

"Arin kangen Mas Ayoy pasti karena pengin dibelikan es krim kayak biasanya kan?" Tara mengalihkan perhatian Arin pada pertanyaan lain.

Roy tersenyum masam karena Tara pintar mengelak. Sedangkan Arin langsung mengangguk semangat karena teringat es krim favoritnya. Tara sendiri langsung menjerit kegirangan dalam hati karena usahanya berhasil.

"Tapi aku masih belum boleh makan es klim. Soalnya lagi batuk," seloroh Arin sembari mengusap-usap tenggorokannya. "Mas Ayoy tadi malam bikin nastal buat aku. Katanya kalau makan nastal boleh."

Tara menatap Roy dengan alis terangkat antusias. "Rasanya enak apa nggak, Rin?" tanyanya pada Arin.

"Enak, tapi gosong dikit. Eh, gosong banyak deh," jelas Arin.

Roy yang mendengar penilaian Arin pun terbahak. Kemarin sore setibanya dari perjalanan luar kota, Roy memang memutuskan untuk membuat nastar karena sedang bosan. Percobaan membuat nastar juga sebagai pengalih perhatian pada kejadian yang beberapa hari lalu sempat menyeretnya dalam masalah seorang artis yang tidak lain adalah Kharisma, mantan kekasihnya.

"Jadi enak apa nggak nih nastar buatan Mas?" Roy bertanya.

Arin memgerucutkan bibirnya lalu menggeleng. "Lebih enak punya Bude Ida."

Giliran Tara yang tergelak saat Arin memberi nilai buruk pada hasil jerih parah Roy.

"Gue buat nastar biar bisa dikasih ke elo, Ra. Tapi karena gagal, gue tunda dulu. Nanti kalau udah hasilnya enak kayak punya Mama, baru gue bagiin."

"Kenapa harus dibagi ke gue?" Tara mengernyitkan dahi.

"Gue kan udah pernah bilang mau ngasih lo hadiah karena lo nganterin gue pulang waktu sakit," jawab Roy. Laki-laki itu tidak percaya karena Tara melupakan kata-katanya.

Ingatan Tara kembali pada saat bertemu Roy ketika ia kebingungan mencari Zipi. Tara kira hari itu Roy hanya berbasa-basi. Maka Tara sama sekali tidak serius mendengarkan.

Tidak lama kemudian datang sebuah mobil yang sudah Tara hafal siapa pemiliknya. Tara seketika menjadi malu sendiri karena ia ketahuan ngobrol dengan Roy di malam hari saat rumah tidak ada orang.

"Oh, ditemenin sama Roy?" tanya Tari setelah ia keluar dari mobil Ben dan berjalan menuju teras. Ben yang mengekor di belakang tunangannya hanya tersenyum.

Bukan hanya Tara yang tiba-tiba merasa malu, Roy juga mendadak mati gaya karena bertemu lagi dengan Ben. Apalagi Tari menyebutnya dengan nama asli. Padahal saat kenalan dengan Ben, Roy mengaku bernama Ayoy. Tapi saat melihat reaksi Ben yang biasa saja saat mendengar nama aslinya, Roy sedikit lega karena bisa dipastikan Tari tidak pernah bercerita tentangnya.

"Katanya lo lembur?" Tara balik bertanya. Sembunyi di balik pertanyaan pengalih adalah jalan keluar Tara untuk menghidari sesi interogasi.

"Lo berharap gue lembur sampek jam berapa, Ra? Ini udah jam delapan, Bu! Kayaknya lo nggak suka deh kalau gue ternyata lemburnya nggak sampek malam-malam amat," kata Tari yang terdengar seperti ledekan di telinga Tara. Pasti Tari mengira Tara ingin berdua saja dengan Roy tanpa kehadiran orang lain.

"Apaan sih!" Tara mendelik kesal. "Udah sana masuk."

"Cie, nggak mau diganggu nih." Tari tertawa karena berhasil menggoda Tara.

"Mentari, saudariku yang tercinta. Jangan bikin emosi ya," ujar Tara dengan geregetan.

Roy memperhatikan interaksi saudara kembar itu. Ia tiba-tiba merasa bahwa Tari sepertinya tahu kalau dulu Tara pernah suka padanya karena sedari tadi Tari terlihat selalu tersenyum penuh arti saat berbicara dengan Tara.

"Rin, kenalan sama Om Ben, yuk. Kamu belum kenalan kan?" Tari beralih pada Arin yang masih diam memperhatikan orang-orang dewasa di sekitarnya. Meski ia sulit membangun komunikasi dengan anak kecil, tapi demi membuat Tara dan Roy agar bisa berduaan ia rela melakukan apa pun.

"Om Ben mau pesan pizza nih. Yuk telepon abang pizza-nya bareng-bareng," ucap Ben. Dia seoalah bisa membaca pikiran Tari sehingga langsung ikut membujuk Arin.

Arin dengan malu-malu mulai turun dari pangkuan Tara. Ia menerima uluran tangan Tari dan dalam sekejap gadis kecil itu ikut masuk ke dalam rumah. Arin memang paling lemah jika dipancing dengan makanan.

Roy sebenarnya diam-diam berterimakasih pada Tari karena mengajak Arin pergi. Sejujurnya ia menemui Tara karena ingin membahas kejadian yang menghebohkan kemarin. Kalau masih ada Arin, pasti akan sulit bicara leluasa karena hal-hal sensitif tidak baik jika didengar anak di bawah umur.

"Ra, nggak ada yang ganggu lo kan? Wartawan nggak ada yang datang ke kafe? Media sosial lo aman?" Roy langsung memborong pertanyaan untuk Tara.

Tara langsung paham maksud pertanyaan Roy. "Aman kok. Soalnya nggak nunggu lama-lama Kharisma langsung klarifikasi dan bilang siapa aja yang ganggu lo bisa kena pasal pencemaran nama baik. Gue salut sih, Kharisma ngelindungin lo. Jadi orang-orang yang masih berhubungan sama lo juga ikut terjaga privasinya."

"Semoga ini terakhir kalinya gue berurusan sama dia." Raut wajah Roy sangat serius saat mengatakan itu.

Tara belum tahu dan sepertinya memang tidak akan mengetahui sebab yang membuat Roy terlihat sangat benci pada Kharisma. Saat ini ia hanya bisa menyimak dan menjadi pendengar yang baik.

"Maaf udah bikin lo kena juga karena ada foto lo di Instagram gue," kata Roy lagi.

"Nggak masalah. Soalnya akun gue privasi nggak kayak punya lo," sindir Tara.

Roy menatap Tara dengan raut wajah memelas. "Iya. Maaf, Nyai. Gue emang teledor banget. Gue diomelin Monik juga gara-gara itu."

"Semoga bisa jadi pelajaran aja deh buat ke depannya," pungkas Tara.

Roy lalu merogoh ponsel yang ada di saku celananya. Ragu-ragu ia menyerahkan benda pipih itu pada Tara. "Gue nggak tau cara ngubah akun jadi privasi. Lo atur gih. Tolong."

Tara langsung tertawa. Ia ingat tuduhan Monik tempo hari. Ternyata Roy memang betulan tidak bisa caranya. Monik kalau tahu pasti juga akan terpingkal seperti dirinya. Bukan untuk meledek Roy, tapi mereka hanya senang karena tebakan asal yang diucapkan ternyata menjadi kenyataan.

"Pegel tangan gue. Lo jangan ketawa terus dong." Roy masih mengacungkan ponselnya. "Gue jarang main Instagram, jadi bingung sama fiturnya. Bisa follow orang sama upload foto aja gue udah bersyukur."

Tara akhirnya menerima ponsel yang Roy berikan. Sepertinya Roy memang tidak bohong. Saat beberapa hari lalu Tara stalking Instagram laki-laki itu, isinya memang hanya ada tiga foto. Pertama foto saat Roy naik gunung, lalu foto bersama rekan kerja di kantor, dan terakhir foto bersamanya di resepsi pernikahan Tia. Bagian bio Instagram Roy yang kosong seakan juga menjadi bukti kuat bahwa laki-laki itu memang tidak pernah mengutak-atik akun Instagramnya.

"Oke deh, gue atur." Tara mengetuk layar dua kali. Namun, masih terkunci karena harus memasukkan kombinasi kata sandi. "Sandinya." Tara mengembalikan ponsel agar Roy mengetik pasword sendiri.

"496RT1. Huruf besar semua."

Tara melongo ketika Roy dengan mudahnya menyebutkan kata sandi ponsel yang biasanya sangat dijaga kerahasiaannya oleh orang-orang.

"Lo tulis aja sendiri, Ra. Sandinya yang barusan gue sebut."

Tara kembali meraih ponsel Roy. Kalau begini caranya perasaan Tara semakin melambung karena Roy sudah menjadikannya sebagai orang yang bisa dipercaya. Tapi Tara lekas menepis rasa terlalu percaya diri itu. Bisa jadi setelah ini Roy langsung mengganti lagi kata sandinya.

"Udah." Tara mengangsurkan kembali ponsel hitam itu pada Roy.

Roy menerima dengan senyum ceria. "Terima kasih, Guru."

Tara terkekeh geli. "Ada lagi yang mau dipelajari?"

Roy tampak berpikir. Tapi kemudian ia berujar cepat, "Belajar cara mencintaimu boleh nggak?"

Kali ini Tara tidak terbawa perasaan. Ia justru mendelik kesal karena kata-kata Roy sangat menggelitik di telinganya.

Roy yang mendapat pelototan tajam tidak marah. Ia malah tertawa cukup keras. "Gue juga jijik sama diri sendiri. Bisa-bisanya ngomong kayak gitu."

"Ra, ada telepon dari Nao." Tari tiba-tiba muncul dari dalam membawa ponsel Tara yang terus berdering.

Tara menerimanya namun tidak segera menjawab panggilan itu. Tari memilih tidak mau ikut campur, ia pun segera kembali ke dalam rumah. Sedangkan Roy hanya diam dan memperhatikan Tara yang masih menekuri gawainya yang terus berbunyi. Roy menerka-nerka dalam hati siapa kira-kira yang menelepon hingga membuat Tara dilanda kebingungan seperti itu.

Akhirnya dering ponsel berhenti karena tidak segera diangkat. Selanjutnya pesan singkat Tara terima dari Nao sebagai ganti panggilan telepon yang tidak terjawab.

Nao: Terima kasih sudah pernah hadir meski cuma sebentar. Cukup sampai di sini. Semoga kamu selalu bahagia.

Tara kaget saat membaca pesan Nao. Isinya jelas menunjukkan bahwa pria itu mundur dan menyerah pada usahanya. Kenapa tiba-tiba Nao berhenti dengan sendirinya? Padahal rencana untuk memutuskan pendekatan ini baru saja Tara bahas kemarin malam bersama orang tuanya. Dari mana Nao tahu rencana ini hingga memilih untuk mengakhiri semua ini lebih dulu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro