Bab 17
"Lo ngapain ke sini? Kafe udah tutup," kata Tara berusaha tetap sabar meski sebenarnya ia mendadak kesal.
"Aku mau jemput kamu."
Semua karyawan Tara yang mendengar ucapan itu sontak berpandangan satu sama lain dan saling melempar senyum penuh arti. Tara yang melihatnya menjadi jengah sendiri.
"Tapi gue bawa motor." Tara menolak sembari mengedikkan kepala ke arah tempat parkir, agar laki-laki di depannya ini melihat motornya berdiri di sana.
"Iya aku tahu. Tadi aku ke rumah kamu, ternyata kamu belum pulang. Jadi aku ke sini naik taksi, mobilku aku tinggal di rumah kamu dulu," jawab laki-laki itu.
Tara mencengkeram jaketnya dengan erat untuk melampiaskan emosinya. "Lo tuh kurang kerjaan banget sih!"
"Kamu lupa kalau malam ini kita ada janji dinner? Makanya aku tadi ke rumah kamu."
Tara menelan ludahnya dengan susah payah ketika mendengar penjelasan barusan. Ia benar-benar lupa kalau jam tujuh tadi mestinya ia pergi untuk memenuhi ajakan makan malam yang kemarin sudah ia setujui. "Kafe tadi rame banget makanya gue lupa. Lo juga nggak telepon atau WA buat ingetin gue," kata Tara beralasan.
Laki-laki itu tersenyum tipis. Bukannya marah, ia malah makin dibuat gemas dengan sikap Tara. Meski pihak perempuan yang salah, tapi ujung-ujungnya mereka tetap mencari kekeliruan dari laki-laki. "Iya, maaf aku juga sibuk sama kerjaan jadi nggak sempet telepon. Tapi nggak apa-apa, jadinya tadi aku ngobrol-ngobrol sama orang tua kamu."
Helaan napas lelah keluar dari mulut Tara. "Terus sekarang gimana?"
"Kita pulang bareng. Naik motor kamu."
Tara hendak protes lagi, namun urung karena ingat bahwa masih ada karyawannya yang masih belum pulang. Pasti mereka daritadi sungkan jika ingin pamit dan menginterupsi percakapannya dengan anak teman Mama ini.
"Kalian boleh pulang duluan," kata Tara pada Dimas dan lainnya dengan intonasi lebih bersahabat.
Dimas yang masih asyik menonton interaksi Tara dan seorang laki-laki yang akhir-akhir ini sering ke kafe pun tergagap. Nisa segera menarik tali tas ransel Dimas agar temannya tidak terus-terusan bengong. Hanum pun mengambil alih atensi karena dua teman kerjanya malah bertingkah norak.
"Kalau gitu kita pamit, Mbak. Mari, Mas Nao, kita duluan," Hanum mendorong-dorong teman-temannya agar segera pergi.
Noval atau yang akrab disapa Nao itu tersenyum hangat pada karyawan-karyawan Tara. "Hati-hati," ujarnya.
Tara mau tidak mau segera memakai jaketnya. Ia lalu menyerahkan kunci motor pada Nao. "Ya udah nih. Ayo pulang."
Nao tersenyum senang. Ia lalu memakai helm yang tadi ia pinjam dari Papa Tara.
Sepanjang perjalanan Tara dan Nao hanya diam. Tara memang malas untuk membuka percakapan, sedangkan Nao bingung harus mengawali obrolan dari mana. Jujur sebenarnya ia masih tidak sepenuhnya mengerti dan memahami kepribadian Tara. Perempuan yang dikenalkan padanya ini sangat sulit didekati. Tara selalu bersikap dingin dan cuek meski Nao berusaha membangun ikatan.
Di belakang Nao, Tara duduk dengan tegap. Tangannya terlipat rapi di depan dada. Terlihat jelas bahwa ia berusaha menjaga jarak. Tara menerima upaya pendekatan Nao ini semata-mata hanya karena ingin menghargai usaha mamanya saja. Untuk lanjut ke tahap serius hati Tara sama sekali belum terbuka. Saat bertemu Nao perasaan Tara pasti langsung kesal.
Bukan marah kepada Nao, namun Tara lebih kecewa pada diri sendiri yang tidak bisa menerima kehadiran lelaki itu. Maka ia selalu terlihat bersikap ketus saat di hadapan Nao.
"Kamu ngantuk, Ra?" Suara Nao memecah sunyi jalanan yang mulai lengang.
"Enggak."
"Kamu tiap hari pulang sendiri nggak takut?"
Dari belakang, Tara menatap punggung Nao dengan cemberut. Ia heran, meski direspons dengan cuek tapi laki-laki di hadapannya itu tidak pernah menyerah. "Enggak," jawab Tara singkat.
"Kamu tuh sama banget kayak Adis, dia juga kalau keluar rumah malem-malem tetep santai aja. Tapi Mama pasti ngomel." Nao tertawa kecil di akhir kalimatnya.
Dahi Tara mengernyit. "Adis siapa?"
"Adik aku, Ra."
Tara menepuk keningnya. Ketahuan sekali kalau ia tidak menyimpan dengan baik informasi yang pernah Nao ceritakan sebelumnya. "Oh iya, maaf lupa."
Nao sedikit menolehkan kepalanya ke belakang, lalu berkata, "Adis aktif di channel Youtube-nya. Dia suka ngasih tutorial make up. Kapan-kapan kamu mau nggak jadi bintang tamu? Di make over gitu sama Adis."
"Gimana ya?" Tara menggantungkan jawabannya.
Nao menghela napas karena ia tahu Tara sebenarnya tidak mau tapi bingung mengatakannya. "Kamu nggak suka pakek make up ya? Sehari-hari kayaknya tampil natural terus."
"Emang kenapa kalau nggak pakek riasan? Muka gue kucel banget?" Tara menyahut jengkel.
"Enggak, kamu jangan salah paham," sanggah Nao.
Tara sudah telanjur terprovokasi. Masalah wajah memang selalu sensitif baginya. Pernah pengalaman berjuang menyembuhkan jerawat, akhirnya menjadikan Tara selalu memperlakukan kulit terutama bagian wajah dengan hati-hati. Bukannya tidak bisa mengaplikasikan bedak dan lainnya, Tara hanya sudah terbiasa tidak memakai rangkaian alat kecantikan sejak saat jerawatnya masih banyak yang meradang. Ia hanya akan memakai make up jika akan menghadiri acara formal tertentu. Sehari-hari ia akan memakai lipstik saja agar wajahnya tidak terlalu pucat. Kebiasaan itu terbawa hingga sekarang.
"Ra, kamu marah?"
Tara mendecakkan lidah. Perempuan kalau ditanya marah pasti jawabannya 'tidak' entah itu betulan atau bohong. Jadi buat apa Nao bertanya?
"Ra?" Nao kembali menolehkan kepalanya.
"Lihat jalan yang bener. Gue ngantuk. Lo diam aja deh," tandas Tara. Ia lalu menutup kaca helm sebagai tanda tidak ingin diajak bicara lagi.
Nao menurut dan kembali fokus pada jalan yang ia lalui. Bibirnya tersenyum miris karena merasa payah karena tidak bisa menjalankan pendekatan pada seorang perempuan dengan lancar. Tapi ia setidaknya masih bersyukur karena bisa menjemput Tara dan menaiki motor bersama.
Tara bersorak dalam hati ketika motor yang ia naiki sudah masuk wilayah tempat tinggalnya. Saat tiba nanti, Tara ingin cepat menyuruh Nao pulang agar ia terbebas dan langsung bisa istirahat. Seiring laju motor semakin dekat dengan rumahnya, Tara melihat ada seseorang yang berdiri di depan pintu gerbang. Tara menyipitkan mata seolah dengan begitu ia bisa mengetahui siapa orang itu.
"Roy!" sapa Tara saat ia sudah sampai.
Nao langsung memperhatikan sosok Roy yang sepertinya kenal akrab dengan Tara. Apalagi suara Tara yang ceria saat menyebut nama orang lain membuat Nao sempat berkecil hati.
Sedangkan Roy kini juga sedang memandang bergantian Tara dan seseorang yang tidak ia kenal. Baru ditinggal tiga hari kerja ke luar kota, Tara sudah mendapat teman laki-laki baru.
"Udah malem, Ra. Cepet masuk sana, terus tidur. Jangan mau diganggu siapa-siapa." Roy mengatakan dengan penuh penekanan untuk memberi Nao kode agar cepat pulang.
"Iya, habis ini juga mau langsung istirahat kok. By the way, lo dari mana?" Tara menatap Roy penasaran. Karena laki-laki ini berdiri di depan rumahnya seperti satpam yang sedang berjaga. Tentu saja Tara ingin tahu apa yang sedang Roy lakukan.
"Jalan-jalan aja. Gue nggak lagi nungguin lo pulang kok," jawab Roy. Setelah itu ia menghela napas dengan samar. Roy merasa bodoh karena semakin membuat alasan, kebohongannya pasti semakin kentara.
Tara hanya berdiri mematung dengan wajah bingung. Ia heran karena tadi tidak bertanya apakah Roy menunggunya atau tidak, tapi Roy malah menjelaskan hal itu. "Ya udah, kalau gitu gue mau masuk." Tara membuka pintu gerbang dan mempersilakan Nao memasukkan motor.
Roy terlihat tidak rela saat Tara meninggalkannya masuk. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Lagi pula Tara tampak asyik melanjutkan obrolan di halaman rumah bersama laki-laki yang tidak ia kenal itu. Maka dengan langkah perlahan Roy memutuskan pulang ke rumah kakeknya. Sia-sia sudah ia menunggu lama hampir setengah jam tadi.
Padahal yang sebenarnya terjadi adalah Tara sedang menyuruh Nao pulang karena hari sudah larut. Tara melarang Nao berpamitan pada orang tuanya karena mereka pasti sudah tidur. Itu hanya alasan Tara saja agar Nao cepat pergi.
"Ya udah aku pulang, salam buat Om sama Tante." Nao masuk ke dalam mobilnya.
Tara mengikuti dari belakang sampai mobil Nao bergerak meninggalkan rumahnya. Setelah itu Tara lekas mengunci gerbang dan memasukkan motornya ke dalam garasi. Melangkah ringan, Tara masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang lebih lega.
"Ra, kamu pulang ditemenin Nao? Nao sekarang mana?" tanya Mama saat Tara melewati ruang keluarga. Ternyata benar orang tuanya masih belum tidur.
"Iya. Dia udah pulang," jawab Tara malas-malasan.
"Sini kamu duduk dulu." Suara Papa Tara gantian mendominasi.
Tara menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga untuk menyamarkan reaksi wajahnya yang berubah mendung. Tara tahu pasti kedua orang tuanya akan membahas kelanjutan hubungannya dengan Nao.
"Mama sama Papa perhatiin semenjak kenal sama Nao kamu kok sering murung? Dideketin cowok kenapa malah sedih?" cecar Mama Tara setelah anaknya itu duduk.
Tara hanya menunduk dan memainkan ritsleting jaketnya yang tidak tertutup.
"Kamu pikir kenapa Nao mau melanjutkan pendekatan ini setelah pertemuan pertama?" tanya Mama lagi.
"Nggak tau." Tara menjawab acuh tak acuh.
"Kok nggak tau? Karena Nao itu mau serius sama kamu, Ra. Nao langsung tertarik sama kamu sejak pertemuan pertama kalian." Mama gemas pada Tara yang terlihat tidak peka pada perasaan orang lain.
"Penilaian kamu sama Nao sejauh ini gimana? Cerita sama kami. Kamu tuh jangan terlalu tertutup sama orang tua sendiri. Dari dulu Papa sama Mama nggak pernah tau kamu lagi suka sama siapa, lagi deket sama siapa, atau nge-fans sama siapa pun kami nggak tau. Kamu selalu menyimpan rahasia sendiri." Papa merangkul pundak Tara dan mengusapnya untuk memberi ketenangan.
Dalam diamnya Tara mengakui apa yang papanya bilang. Ia memang tidak bisa seperti Tari yang sedikit-sedikit cerita tentang kisah asmaranya pada Mama dan Papa.
"Kamu keberatan dengan pendekatan ini?" tanya Papa mencoba memahami yang Tara rasakan.
Saat ini Tara sangat bingung. Ia memang keberatan. Tapi ia tidak sanggup menolak karena takut dianggap perempuan sombong yang sukanya pilih-pilih pasangan. Namun jika tidak menjawab jujur dan tetap menerima kehadiran Nao, itu sama saja membuat batinnya tersiksa.
"Bicara sama Papa, Ra. Biar Papa bisa memutuskan bagaimana nanti kelanjutannya. Kalau kamu memang keberatan, jujur aja. Jadi Papa bisa ngomong ke Nao. Kamu nggak usah takut," kata Papa.
Tara mendongak menatap papanya dengan pandangan yang memburam. Berkedip sekali saja pasti buliran air matanya yang sudah menggenang di pelupuk mata akan langsung meleleh.
"Tapi tolong kalau di depan Nao sikap kamu yang baik ya? Jadi kalau nanti memang nggak berjodoh, di luar sana Nao nggak akan menyebarkan cerita yang buruk tentang kamu. Meski Papa yakin Nao itu anak baik, tapi kalau perasaanya tersakiti bisa jadi dia akan menyebarkan aib kamu." Papa mengusap rambut Tara.
Seketika Tara merasa tertampar dengan kata-kata papanya. Ia merasa bersalah karena selama ini sikapnya pada Nao kurang terpuji.
"Ya ampun, Pa. Anak kita ternyata tetep aja kayak bayi. Masa udah gede gini nangis?" Mama mengusap wajah Tara lalu terkekeh pelan.
Tara menghindari usapan tangan Mama yang kedua kalinya. Ia mengelap sendiri sisa air mata yang membuat wajahnya sembap. Kemudian Tara juga mengusap hidungnya yang berair menggunakan lengan jaketnya.
"Lihat tuh, masih aja ngelap ingus sembarangan. Kayak jaman masih SMP. Udah tau flu berat tapi kamu nekat main layangan," kelakar Mama.
Tara cemberut sedangkan Papa tertawa karena teringat kelakuan anaknya yang barbar. "Sebenarnya kamu sama Mela itu satu frekuensi. Cuma kamu pas udah gede lebih bisa ngendalikan diri."
Tara mengangguk setuju. Semenjak memasuki SMA dan wajahnya berjerawat ia memang mulai menarik diri dari pergaulan. Dari situ Tara bisa belajar memilah di mana ia harus bertingkah aktif dan di mana ia harus mundur di barisan belakang untuk diam.
"Jadi gimana tentang Nao?" Mama mengalihkan pembicaraan ke masalah awal lagi.
Tara menarik dan mengembuskan napasnya. Ia meyakinkan diri untuk berani mengatakan apa yang kiranya akan menjadi jalan terbaik dalam hidupnya. "Tolong Papa ngomong ke Nao untuk berhenti sebelum perasaanya makin berharap sama aku."
Papa mengangguk mantap. Bagaimana pun juga ia tidak bisa memaksa Tara. Masa depan anaknya tidak bisa ia atur seenaknya sendiri. Mama juga menerima keputusan Tara meski kelihatan jelas bahwa ia kecewa. Mama sudah sangat klik dengan Nao. Kalau seandainya Tara setuju untuk terus lanjut, Mama pasti akan merasa sangat bahagia bisa punya menantu seperti Nao.
"Maafin aku ya." Tara mencium pipi Mama dan Papa bergantian. Belum pernah ia merasa lega sekaligus merasa bersalah seperti saat ini. Namun, ini yang terbaik baginya. Tara harus berani mengatakan 'tidak' bila itu yang bisa membuatnya merasa tenteram.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro