Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15

Roy melempar asal kunci motornya ke atas meja kerja. Lalu tanpa mengganti baju yang tadi dipakai melayat, ia langsung merebahkan diri di tempat tidur. Kepalanya mendadak terasa pening. Badannya yang tadi pagi sudah lumayan lebih baik dari semalam, sekarang juga terasa lemas lagi dan menggigil.

Saat matanya semakin memberat dan hampir terlelap, tiba-tiba ponsel di saku celananya berbunyi. Roy terpaksa mengambil benda pipih di sakunya dan melihat siapa yang menelepon. Di layar yang menyala itu ternyata tertera nama Kharisma. Roy segera menghela napas berat setelah mengetahuinya. Datangnya telepon dari orang yang sangat ingin ia hindari makin membuat rasa sakitnya bertambah.

Roy sengaja menggeser tanda merah di layar ponselnya untuk menolak panggilan dari Kharisma. Dering telepon pun berhenti dan membuat Roy bernapas lega. Ia kemudian meletakkan ponsel pintarnya di samping bantal. Setelah itu Roy meringkuk sembari merapatkan selimut untuk membungkus tubuhnya yang kedinginan meski cuaca di luar sebenarnya sedang terik.

Namun lagi-lagi suara dari ponsel mengganggu istirahatnya. Roy mengerahkan sisa tenaganya untuk melihat siapa lagi yang menghubungi. Saat tahu nama Kharisma untuk kedua kalinya terpampang di layar, laki-laki itu pun mengumpat dengan kesal. Tanpa berpikir panjang, Roy menolak panggilan itu. Masih dengan emosi, jari Roy kemudian bergerak untuk mematikan ponsel. Namun, jarinya kalah cepat dengan sebuah pesan yang masuk sesaat sebelum tombol untuk mematikan daya ditekan.

Roy ogah-ogahan membuka pesan dari Kharisma itu. Isinya ternyata hanya sebuah link yang sepertinya memuat suatu artikel. Perasaan Roy mendadak tidak enak. Ia khawatir berita tentang Kharisma yang kepergok pergi berdua dengannya kembali terangkat dan makin meluas.

Tanpa menunggu lama lagi Roy membuka tautan yang Kharisma kirim tersebut. Dalam sekejap kecepatan internet di ponsel Roy berhasil menampilkan artikel yang judulnya terlalu sensaional agar menjaring orang banyak untuk membaca isi kontennya.

Datang Ke Pemakaman Ayah Kharisma, Inilah Sosok Mantan Terindah.

Kepala Roy seketika berdenyut nyeri saat membaca artikelnya. Di dalam bacaan itu juga ada foto melayatnya tadi disandingkan dengan foto saat ia datang ke konser perdana Alto Band tujuh tahun lalu. Roy tidak habis pikir bagaimana bisa awak media berhasil menemukan foto lamanya tersebut. Foto lampau itu semakin menjadi perbincangan hangat karena saat tertangkap kamera, Roy kebetulan sedang memeluk Kharisma setelah konser selesai.

Di bawah artikel ini juga ada berita-berita terkait tentang Kharisma lainnya.

Ungkap Sudah Tidak Tinggal Serumah, Edwin Berniat Ceraikan Kharisma?

Lagu Baru Ciptaan Kharisma Berjudul Janji Untuk Kembali, Kode Untuk Sang Mantan?

Ditinggal Suami Dalam Keadaan Berduka, Kharisma: "Nggak apa-apa, masih banyak orang yang sayang sama saya."

Roy mencengkeram ponselnya dengan erat. Ia merutuki diri sendiri yang telah nekat pergi melayat tadi pagi. Kepeduliannya pada keluarga Kharisma membuat ia ikut terseret dalam berita-berita miring tersebut.

Kharisma: Aku minta maaf atas kejadian ini. Untungnya media belum tau nama kamu.

Kharisma: Pihak agensiku masih berusaha untuk meredam gosip yang beredar.

Kharisma: Untuk jaga-jaga, PRIVASI semua sosial media kamu. Kalau ada nomor asing telepon, jangan diterima. Lebih baik lagi kalau kamu ganti nomor.

Kharisma: Saat keluar rumah, sebisa mungkin wajah kamu jangan terlalu mencolok. Pakai masker atau topi.

Kharisma: Maaf sekali lagi. Aku akan berusaha biar berita ini reda. Kamu cuma harus tenang dan nunggu hasilnya. Percayakan semua sama aku.

Roy tidak menggubris pesan beruntun yang Kharisma kirim padanya. Pikirannya sudah terlalu lelah untuk mengurus artikel yang beredar. Jika benar rumah tangga Kharisma sedang bermasalah, Roy tidak mau tahu. Yang terpenting ia sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Sekarang ia sedang sial saja karena muncul di saat yang tidak tepat.

Ponsel berdering untuk ketiga kalinya, namun pegangan Roy pada benda itu justru makin melonggar. Untuk melihat siapa penelepon saja Roy sudah tidak sanggup. Maka ketika bunyi ponsel bertambah nyaring, suaranya malah kian seperti dengungan yang sangat mengusik di telinga Roy. Jari-jari laki-laki itu pun akhirnya sempurna melepas ponsel seiring matanya yang semakin terasa lengket. Suhu badan yang bertambah tinggi seakan ikut mendukung agar ia terlelap agar melupakan semua kejadian ini untuk sejenak.

*****

Tara menatap layar ponsel dengan panik saat jempolnya baru saja tidak sengaja menelepon nomor Whatsapp Roy. Tapi karena sudah terlanjur, Tara akhirnya menunggu sampai teleponnya diterima. Namun, meski beberapa detik telah berlalu, suara Roy yang ia harap terdengar menyahut tidak kunjung terdengar. Panggilannya justru terputus karena Roy tidak kunjung mengangkat telepon.

Tara meletakkan ponsel di meja kasir dengan lesu. Ia merasa tidak bersemangat bukan hanya karena Roy tidak menerima telepon, tapi ia juga memikirkan artikel yang sedang hit baru-baru ini. Rumor tentang Kharisma kembali beredar dan lagi-lagi media melibatkan Roy yang tidak tahu apa-apa. Meski para wartawan belum mengetahui identitas Roy, tapi Tara khawatir karena berbeda dengan potret sebelumnya, kali ini foto yang tersebar menampakkan wajah Roy dengan jelas. Hanya masalah waktu, pasti tidak lama lagi data diri Roy terungkap.

"Mbak, kenapa sih kayaknya gelisah gitu?" Hanum menghampiri dan berdiri di depan meja kasir.

Tara menggeleng pelan. Ia tahu Hanum belum membaca berita tentang Kharisma yang kontroversial karena sedari tadi gadis itu sibuk bekerja. "Nggak apa-apa, Num. Cuma lagi nunggu pulsa yang gue beli tadi kenapa belum masuk juga," jawab Tara berasalan.

"Oh, mungkin lagi ada gangguan Mbak," sahut Hanum yang percaya-percaya saja dengan alasan Tara.

Tara mengangguk dan tersenyum kikuk pada Hanum. Lalu senyumnya memudar saat melihat Mama dan Tari datang ke kafenya. Hanum yang ikut melihat siapa yang tiba ke kafe siang ini pun langsung kembali menyibukkan diri karena ingin memberi ruang pada Tara agar bisa mengobrol dengan keluarganya.

"Tara!" seru Mama dengan riang saat sudah ada di hadapan anaknya.

Seakan punya radar yang kuat, Tara seketika mencium hal-hal aneh yang kemungkinan akan terjadi setelah ini. Apalagi saat memergoki Tari sedang tersenyum penuh arti ke arahnya, Tara makin yakin Mama dan kembarannya ini datang karena ingin merencanakan sesuatu.

"Dari mana, Ma? Jalan-jalan sama Tari? Eh, bukannya Tari tadi katanya mau sepedaan sama Mela?" Tara menatap heran kedua tamunya.

"Emang mau jalan-jalan. Mampir ke sini dulu," sahut Mama masih dengan wajah semringah.

"Iya, habis sepedaan gue mau nemenin Mama." Tari ikut menimpali.

"Ayo duduk di situ dulu, ngobrol bertiga." Mama berjalan mendahului menuju set tempat duduk yang terletak di pojok ruangan.

Tari dengan bibir tersenyum lebar lekas menarik Tara agar cepat menyusul ibu mereka. Akhirnya Tara mengekori mereka dan duduk dengan perasaan ganjil.

"Ra, jadi gini...."

Tara menghela napas saat mendengar kata pengantar mamanya. Benar-benar ada yang tidak beres.

"Ada anak teman Mama yang pengin kenalan. Hari ini katanya mau main ke sini buat ketemu sama kamu," jelas Mama.

Tara menatap Mamanya dengan pandangan protes. Namun, dari mulutnya tidak bisa keluar satu patah kata pun. Ia merasa seolah Mama telah berbuat seenaknya tanpa sepengetahuannya.

"Kok baru ngasih tau sekarang? Pastinya Mama udah ngerencanain ini dari lama, kan? Seenggaknya satu minggu sebelum pertemuan Mama cerita ke aku. Kenapa harus mendadak kayak gini?" tanya Tara menggebu-gebu.

Tari menegur Tara karena sudah berani bicara paada Mama dengan nada menuntut penjelasan yang kurang sopan. Tapi Tara sudah telanjur kaget hingga ia meluapkan emosinya. Ini tidak adil baginya. Seharusnya dari jauh hari Mama sudah memberitahunya.

"Mama bingung mau ngomong ke kamu gimana, Ra. Karena anak teman Mama ini serius ingin kenal. Kalau memang cocok, dia nggak mau nunggu lama lagi. Dia mencari perempuan bukan untuk dijadikan pacar, tapi langsung diajak ke hubungan yang lebih serius," ujar Mama dengan raut wajah kalut. Mama tidak tahu jika Tara akan kesal karena ia merahasiakan hal ini.

Tara masih bergeming. Ia menggigit bagian dalam bibirnya untuk menahan desakan air mata yang tiba-tiba ingin keluar. Perasaannya campur aduk antara ingin marah dan merasa bersalah karena sudah bicara kasar pada wanita yang telah melahirkannya.

"Namanya orang tua punya anak gadis yang sudah dewasa, kalau ada laki-laki yang berniat serius pasti bawaannya langsung bahagia. Mama sama Papa sengaja nggak cerita biar kamu nggak kepikiran dan merasa terpaksa. Mama minta maaf kalau hal ini malah menyakiti perasaan kamu." Mama mengusap rambut Tara dengan lembut.

Buliran air mata tidak bisa Tara cegah lebih lama. Pipinya basah tanpa mampu ia sembunyikan. Tara juga bingung kenapa ia sangat melankolis begini. Yang pasti Tara tiba-tiba takut membuat orang tuanya malu. Bagaimana nanti jika laki-laki yang ingin menemuinya sudah berekspektasi tinggi terhadapnya, sedangkan Tara merasa dirinya tidak punya kelebihan apa-apa.

"Apa kamu udah punya pacar? Jadi kamu menolak pertemuan ini?" tanya Mama sambil mengusap air mata Tara.

Tara menggeleng lemah. Tentu bukan itu alasannya merasa sedih begini. Tara hanya tidak percaya diri jika bertemu dengan anak teman Mama nanti.

"Apa lo lagi nunggu seseorang?" Tari menyelami mata Tara dan mencari jawaban di sana. "Ada orang lain yang lo harap datang? Seseorang yang lo suka?"

Tara terperangah saat mendengar pertanyaan sang kakak. Meski tidak menyebut nama, tapi Tara tahu Tari sedang membahas siapa. Saat pertanyaan Tari meluncur, tanpa bisa dihalau di hati Tara terlintas sosok seorang laki-laki yang ia rindukan meski tadi pagi ia sudah bertemu dengannya.

Tara menggeleng untuk menepis tebakan Tari. Tapi hal itu bertentangan dengan perasaannya yang justru berkata jujur bahwa ia memang masih menyisakan ruang untuk Arroyan di lubuk hati yang dalam.

Tari lekas memeluk Tara yang kian tergugu. Tanpa kata ia juga tahu apa yang sebenarnya sedang kembarannya rasakan. "Nggak apa-apa untuk jatuh cinta lagi pada orang yang sama," bisik Tari.

Tara mengangguk dan membalas pelukan Tari tidak kalah erat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro