Bab 13
Tara duduk dengan gelisah. Sesekali ia menengok ke dalam kafe, melihat Dimas dan Hanum yang sudah selesai beres-beres. Jam di pergelangan Tara pas menunjukkan pukul sepuluh malam. Tara lega para karyawannya bisa pulang tepat waktu. Tapi laki-laki di depannya ini membuat Tara kembali dilanda kebingungan. Tara menyugar rambutnya lalu melipat tangannya di atas meja. Perempuan itu menegakkan badan dan memberanikan diri menatap Roy yang masih setia menekuk wajahnya.
"Nyatanya gue dibutuhin lagi disaat dia terpuruk. Bodohnya gue masih mau bantu." Roy tiba-tiba bersuara. Bibirnya tersenyum getir. Matanya menengadah ke atas, sangat jelas sedang menahan buliran bening agar tidak jatuh di pipinya.
Pandangan Tara tetap lurus menatap Roy. Terlebih lagi Tara kaget karena ini pertama kalinya ia melihat Roy sedih dan hampir menangis. Meski ia sama sekali tidak mengerti kalimat yang baru saja meluncur dari mulut Roy tertuju pada siapa, tapi Tara cukup tahu bahwa itu adalah ungkapan dari seseorang yang sedang sakit hati.
"Udah malam, Roy. Lo butuh istirahat. Ayo pulang. Di mana motor lo?" tanya Tara. Lebih baik ia menyuruh laki-laki itu untuk segera kembali ke rumah daripada dia terus-terusan melamun tidak jelas di kafenya.
"Kalau belum ada orang lain, gue masih bisa maklum kenapa gue tiba-tiba dibutuhin lagi. Tapi posisinya sekarang udah ada seseorang yang mestinya bisa memenuhi semua keinginan dia. Apa nyari gue untuk sekalian pamer?" Roy kembali meracau.
"Mbak, kita mau pamit pulang duluan," seloroh Hanum yang baru keluar.
Tara segera berdiri menghampiri Hanum. Ia menyerahkan kunci cadangan kafe. "Gue besok datang agak siang. Lo buka sendiri ya, Num. Selama gue belum datang, kasirnya biar dipegang Dimas," kata Tara memberi pengarahan.
"Siap, Mbak."
Tara kembali duduk menemani Roy setelah semua karyawannya pulang.
"Roy, gue nggak tau lo lagi punya masalah sama siapa. Bukannya gue nggak mau dengar curhatan lo, tapi kayaknya lo masih butuh waktu sendiri. Jadi saran gue mending sekarang kita pulang. Besok mumpung weekend, lo bisa refreshing biar pikiran lo nggak penat lagi." Tara bergerak untuk mengajak Roy agar segera berdiri.
Roy bangkit dari duduknya tanpa melawan. Namun sejurus kemudian ia mencengkeram kedua lengan Tara dengan erat. Sorot matanya berkilat tajam. Seluruh emosi yang sedang ia rasakan seolah terkumpul di manik hitamnya. Tara bisa melihat puncak luapan rasa dendam yang Roy tahan selama ini. "Kenyataan kalau dia masih butuh gue meski udah ada yang lain bikin gue makin benci sama dia!"
Meski amarah laki-laki di depannya ini bukan ditujukan untuknya, tapi mendengar Roy berkata dengan kasar tetap membuat nyali Tara menciut. Tara lalu berusaha melepaskan diri dari cekalan tangan Roy.
"Ya ampun, badan lo kok panas?" Tara terkejut saat telapak tangannya menyentuh jari-jari milik Roy.
Roy hanya menanggapi dengan gumaman yang tidak jelas. Tara mendesis kesal pada dirinya sendiri karena bukannya cepat berbuat sesuatu tapi ia malah keburu panik.
Tara menoleh ke area parkir. Di sana tetap tidak terlihat kendaraan milik Roy. "Motor lo di mana sih? Pulangnya lo gimana?" tanya Tara bingung. Ia tidak bisa berpikir dengan tenang.
"Gue nggak bawa motor," jawab Roy dengan suara lemah.
Tara menghela napas berat. Kemudian dengan gegas Tara masuk ke dalam kafe untuk mengambil barang-barangnya. Ia keluar lagi tidak lama kemudian sembari menjinjing tas dan jaket. Setelah mengunci pintu kafe dengan gerakan kilat, Tara segera menghampiri Roy. Ia terpaksa membawa laki-laki itu pulang dengan motornya.
"Biar gue aja yang bawa," kata Roy saat melihat Tara sudah siap di atas motor.
"Lo lagi sakit gitu masa mau bawa motor? Udah sini naik." Tara menepuk jok belakang motor yang kosong.
Roy masih terlihat ragu.
"Cepet Roy!' seru Tara sambil menguap sehingga suaranya tidak begitu jelas.
Akhirnya Roy menurut. Tara pun melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Rambutnya yang tidak diikat sedikit berkibar dan mengenai wajah Roy di belakangnya.
"Makasih, Ra," gumam Roy.
Tara hanya melirik laki-laki yang ia bawa dari kaca spion. Rasanya aneh juga ketika pembonceng lebih tinggi darinya. Selain itu Tara juga was-was karena Roy tidak memakai helm. Tapi ia bersyukur karena selama perjalanan Roy tidak menyusahkan. Laki-laki itu duduk dengan tenang di belakangnya.
"Ra, dingin banget."
Tara sedikit terlonjak ketika Roy yang dari tadi diam tiba-tiba bersuara. "Ya, maaf. Jaketnya gue pakek sendiri. Lagian kalau gue pinjemin ke elo juga nggak akan muat, kan?" sahut Tara meski sedikit merasa tidak tega karena membiarkan seseorang yang sedang sakit kedinginan.
"Kepala gue rasanya berat." Roy menjatuhkan keningnya di pundak kanan Tara.
Tara yang awalnya menjalankan motor dengan santai pun seketika menjadi tegang karena jaraknya dengan Roy makin dekat. Apalagi kedua tangan laki-laki itu kini juga berada di sisi pinggangnya. Tara merasa perutnya tergelitik. Sebenarnya Roy benar-benar merasa pusing atau memanfaatkan kesempatan?
Untungnya tinggal sedikit lagi mereka akan sampai tujuan. Tara makin menambah kecepatan motor saat memasuki pertigaan terakhir menuju kawasan rumahnya dan rumah Kakek Roy.
"Udah sampek. Turun cepetan. Masih kuat nggak?" Tara sedikit menoleh ke belakang.
Roy memijat keningnya sebelum turun dari motor. Saat kakinya telah menapak tanah, dengan mata sayunya ia menatap Tara yang masih bergeming. "Makasih udah bantuin gue. Maaf kalau hari ini gue banyak bacot yang nggak jelas."
"Gue udah biasa lihat kelakuan lo yang berubah-ubah. Udah nggak heran lagi," tanggap Tara membuat Roy tertawa pelan.
"Jangan ketawa mulu. Habis ini langsung minum obat ya? Lo udah makan apa belum? Gue pesenin bubur mau? Eh, tapi lo punya persediaan obat apa nggak? Seharusnya tadi mampir apotek dulu. Gue lupa, malah langsung bablas pulang aja," kata Tara. Kecepatan bicaranya nyaris seperti penyanyi rap.
Roy menepuk-nepuk kepala Tara yang terbungkus helm. "Kakek selalu sedia obat-obatan kok. Masalah makanan gue bisa nyiapin sendiri. Pelan-pelan gue masih kuat. Makasih ya udah khawatir."
Tara tertegun untuk beberapa saat. Ia menyadari jika sudah terlalu banyak memberi Roy perhatian. "Udah sana cepet masuk. Gue mau pulang."
"See you tomorrow." Roy melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Ia tidak perlu menunggu dibukakan pintu karena mempunyai kunci duplikatnya.
Tara baru menjalankan motor ke pekarangan rumahnya sendiri setelah memastikan Roy benar-benar masuk. Setelah memasukkan motor di garasi, Tara segera membuka pintu samping rumahnya yang ternyata belum dikunci. Di dalam rumah, Tara menemukan kembarannya yang tampak sibuk di depan laptop.
"Tumben lembur? Besok kan libur." Tara berdiri di samping Tari. Ia mengamati hal yang sedang dikerjakan oleh kakaknya itu.
"Mumpung lagi rajin." Tari menjawab masih dengan fokus pada pekerjaannya. "Lo juga tumben pulangnya rada telat."
Tara memeriksa jam di pergelangan tangannya. Benar saja, sekarang sudah pukul sebelas malam lebih beberapa menit. "Tadi sengaja naik motornya pelan-pelan. Pengin menikmati suasana malam," jawab Tara mengarang alasan.
"Lo kenapa nggak mau beli mobil aja? Lo pulangnya kan sering malem, Ra. Naik mobil lebih aman. Kalau menurut gue sih." Tari menengok pada Tara yang kini duduk di sampingnya.
Tara melepas jaket lalu sembari memijat area pundaknya, ia menimpali, "Gue mau nabung dulu biar bisa beli bangunan sendiri buat kafe. Lagian naik motor seru kok."
"Iya, tapi lo bisa pakek mobil gue kalau lagi butuh. Lagian gue sekarang kalau keluar seringnya dianter sama Mas Ben," kata Tari.
"Duh, iya, yang punya sopir pribadi." Tara mencubit pipi Tari dengan gemas.
Tari menepis tangan Tara. "Heh!" gerutunya.
"Istirahat yuk. Kerjaan lo lanjutin besok lagi." Tara menarik lengan Tari. Setelah tadi menyaksikan Roy sakit, ia menjadi khawatir berlebihan jika ada orang lain yang masih bekerja melebihi batas waktu. "Nanti lo sakit kalau terlalu capek," lanjut Tara.
"Tumben banget sih perhatian." Tari merenggangkan badannya lalu menutup laptop. Ia menuruti kata Tara karena matanya juga mulai terasa berat. "Tapi bentar deh, gue mau lihat apa yang lagi trending di Twitter." Tari meraih ponselnya dan mulai berselancar di dunia maya.
Tara mendekat pada Tari untuk ikut melihat apa yang kembarannya baca. Tara tidak heran lagi jika Tari masih sanggup menyempatkan diri untuk mengikuti topik yang sedang ramai dibahas hari ini. Karena Tari adalah orang yang memang suka mengikuti hal yang sedang ngetren.
"Ayahnya Kharisma meninggal," ujar Tari. Ia lalu menunjukkan sebuah cuitan dari akun resmi Alto Band yang muncul di timeline Twitter-nya pada Tara.
Tara segera membaca ungguhan yang menuliskan ucapan bela sungkawa tersebut. Menurut keterangan yang tertera, ayah sang vokalis meninggal pukul sepuluh malam di sebuah rumah sakit. "Berarti masih baru aja meninggalnya," kata Tara.
Tari mengangguk dan mengambil alih ponselnya lagi. Ia mulai membaca komentar-komentar yang ada di postingan itu. "Tapi kok netizen malah ada yang ngehujat sih? Katanya Kharisma waktu ayahnya meninggal malah lagi jalan sama laki-laki yang bukan suaminya."
Tara mengernyit. Ia kembali melongok di hadapan ponsel Tari. "Mungkin cuma gosip. Kalau nggak ada foto berarti hoaks."
Tari dengan lincah menggulir layar ponsel sampai menemukan sebuah foto yang menjadi buah bibir orang-orang. "Nih." Tari lalu menyerahkan ponselnya pada Tara.
Tara mengamati foto tersebut. Entah siapa yang memotret dan pertama kali menyebar gambar ini di internet. Di sana terpampang Kharisma dan seorang laki-laki yang baru saja turun dari mobil. Sayangnya wajah laki-laki di dalam foto itu tidak terlihat karena ia membelakangi kamera. Jika netizen bertanya-tanya siapa laki-laki yang pergi bersama Kharisma itu, lain halnya dengan Tara. Ia langsung mengenali siapa sosok tersebut.
Rentetan cerita dari Yongki tadi siang seketika kembali terputar di ingatannya. Semuanya menjadi jelas dan saling berhubungan apalagi didukung dengan munculnya foto ini. Tara yakin laki-laki yang bersama Kharisma di foto itu tidak lain adalah Roy. Kemungkinan besar yang menyebabkan Roy hari ini patah hati juga Kharisma.
"Muka lo kenapa syok gitu? Artis yang dihujat, elo yang panik," celetuk Tari.
Tara mengembalikan ponsel Tari tanpa banyak komentar. Pikirannya mendadak bercabang pada beberapa hal, termasuk hubungan apa yang terjalin di antara Roy dan Kharisma. Sebenarnya itu bukan urusannya, tapi Tara juga tidak bisa mengalahkan perasaannya yang tidak bisa dikontrol. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Roy masih sangat membuat Tara penasaran.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro