Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10

"Makasih, ya, Tara, kamu mau bekerjasama dengan Tante."

Tara mengangguk dan tersenyum. Ia dan Tante Ida baru saja mendiskusikan masalah pembagian hasil penjualan nastar. Akhirnya Tara menerima Tante Ida sebagai mitra kerjanya. Karena selain pengunjung kafenya menyambut baik, Tara juga sudah mencoba memasarkan nastar buatan Tante Ida kepada teman-teman kerja papanya, dan respon yang diberikan juga sangat melegakan. Mereka bahkan langsung memesan beberapa stoples untuk persediaan camilan di rumah.

"Sama-sama, Tante. Saya cuma—"

"Maaf, Ra." Tante Ida menyela.

Tara seketika mengatupkan bibirnya dan menatap wanita di hadapannya itu dengan sorot mata penuh tanya.

"Kalau ngobrol sama Tante santai aja ya. Jangan pakek 'saya' gitu dong," usul Tante Ida.

"Terus gimana Tante?" Tara bertanya dengan linglung.

Tante Ida tersenyum gemas. "Sebut aja diri kamu 'aku'."

Tara menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan. Ia lalu menatap lawan bicaranya dan bersiap melaksanakan perintah. "A-aku cuma sedikit membantu mewujudkan keinginan Tante. Soalnya kata Roy, Tante sering bosan kalau di rumah sendirian. Lagian, nastar buatan Tante juga enak. Langsung banyak yang suka.

"Nah, gitu. Kedengarannya kan lebih akrab." Tante Ida mengelus tangan Tara yang ada di atas meja.

Tara tidak pandai berbasa-basi dengan orang tua. Maka, lagi-lagi ia hanya mengulas sebuah senyum untuk menanggapi kata-kata Tante Ida. "Jadi, untuk kemasannya kita sepakat pakai stoples mika bundar yang bisa memuat nastar 600 gram, ya, Tante?" tanya Tara. Daripada ia bingung, lebih baik mengalihkan obrolan kembali pada pekerjaan.

Tante Ida untungnya langsung fokus dan segera menjawab, "Iya. Sepakat."

Tara menutup laptop dan merenggangkan tangannya."Baik. Besok kita lanjutkan diskusinya sekalian tanda tangan surat perjanjian kerja," tandasnya.

Setelahnya Tara mempersilakan Tante Ida untuk menyantap hidangan yang ia sediakan. Sembari makan, mereka melanjutkan obrolan mengenai hal-hal ringan. Keduanya terus larut dalam percakapan sampai tidak menyadari Roy yang baru pulang dari kantor mampir ke kafe.

"Loh, Ma? Udah lama?" Roy menghampiri mamanya.

Tara buru-buru mengecek keadaan sekitar. Jangan sampai Dimas atau Hanum mendengar Roy memanggil Tante Ida dengan sebutan Mama. Tara tidak mau semua pegawai di kafenya yang sudah percaya jika Tante Ida adalah teman arisan mamanya mendengar percakapan Roy sore ini.

"Iya, ini tapi udah siap-siap mau pulang." Tante Ida lekas berkemas.

Tara yang melihatnya tentu langsung merasa aneh. Sebelum Roy datang Tante Ida sama sekali belum ada niatan untuk menyudahi pertemuan. "Kok buru-buru, Tante?" tanya Tara.

"Papanya Roy sebentar lagi pasti juga pulang kerja. Sekarang kamu gantian, ya, ngobrolnya sama Roy aja. Terima kasih untuk hari ini." Tante Ida berdiri lalu menepuk-nepuk pundak Tara. Sebelum keluar, ia masih sempat memberi kode lewat tatapan mata pada Roy agar anaknya itu menggunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya. Tentu kesempatan pendekatan dengan Tara maksudnya.

Roy hanya menggelengkan kepala saat melihat tingkah mamanya. Padahal ia sudah berpesan agar mamanya itu tidak memaksakan idenya. Tapi sang mama tetap bersikeras ingin melihat Roy dan Tara bersatu.

"Hati-hati, Ma." Roy berpesan. Setelah itu ia menduduki bangku bekas mamanya tadi dan memperhatikan Tara di depannya yang tetap diam. "Tadi bahas nastar?"

"Iya," jawab Tara singkat.

"Selain bahas nastar, ada lagi yang dibicarain?" Roy memasang ekspresi setenang semilir angin di pagi hari meski hatinya sekarang sedang cemas. Ia khawatir mamanya tadi menggiring Tara untuk membahas "perjodohan" mereka. "Bukan mau kepo sih, soalnya Mama kalau ngobrol kadang suka lupa waktu. Takutnya lo nggak terbiasa diajak ngomong terus-terusan," tambah Roy untuk beralasan.

"Oh, nggak masalah kok. Tadi kita bahas-bahas kucing juga. Gue nggak nyangka ternyata nyokap lo dulunya punya banyak kucing," ucap Tara semangat.

Roy diam-diam mengembuskan napas lega. Ia juga senang karena sesuai dengan jawabannya, Tara sekarang memang terlihat tidak keberatan dengan kebiasaan mamanya. "Iya. Dulu sebelum nikah, emang punya banyak. Terus setelah jadi istri Papa, Mama ngasih kucing-kucingnya ke orang biar diadopsi," jelas Roy.

"Pasti berat banget pisah sama kucing kesayangan." Tara membayangkan jika dirinya berada di posisi Mama Roy.

Roy membenarkan. "Kata Mama, dulu dia nangis waktu kucingnya diambil sama pengadopsi. Sebenarnya Papa nggak ngelarang Mama pelihara kucing, cuma Mama udah buat keputusan. Lagian awal nikah dulu tinggalnya masih sama orang tua Papa. Mama sungkan kalau mau boyong semua kucingnya."

"Kok gue nggak mikir sih," celetuk Tara tiba-tiba.

Alis Roy terangkat. Ia belum paham maksud Tara. "Nggak mikirin apa?"

"Kalau gue udah nikah nanti, mungkin aja gue juga akan tinggal bareng mertua. Terus kucing gue gimana? Apa ngikut pilihan nyokap lo aja, ya? Dikasih ke orang." Tara panik memikirkan nasib masa depan kucingnya.

Mimik resah di wajah Tara membuat Roy tertegun beberapa saat. Perempuan di depannya ini kadang terlihat sangat dewasa, tapi jika menyangkut soal kucing ia akan menjadi menggemaskan seperti anak kecil. "Semoga aja mertua lo pecinta binatang juga. Atau, syukur-syukur suami lo nanti udah punya rumah sendiri," kata Roy.

Senyum Tara merekah. Tentu saja ia berharap suaminya kelak adalah laki-laki yang sudah mapan. Setiap perempuan pasti mempunyai keinginan seperti itu. "Semoga aja ya," sahut Tara dengan wajah berseri-seri.

Roy diam-diam berdoa dalam hati agar keinginan Tara terwujud. Ia hanya ingin Tara bahagia selayaknya seseorang yang pastinya akan mendoakan yang terbaik untuk temannya.

"Mau pesan apa?" tanya Tara.

Roy tersadar dari diamnya. "Kalau udah ada jiwa pedagang di dalam diri emang gitu ya. Nggak usah nunggu lama, langsung nawarin jualannya," kata Roy bercanda.

Derai tawa Tara merebak ke segala penjuru kafe. "Ya iya dong! Gue dapet duitnya kan emang dari jualan."

"Gue sebenarnya salut sama lo, Ra. Lo punya kafe sendiri, dan dari sini lo bisa buka lapangan kerja buat orang lain," ujar Roy tampak tulus.

Tara memghela napas. Ingatannya seketika kembali pada saat-saat awal ia memulai usahanya. "Tempat ini masih nyewa. Bukan punya gue sendiri," kata Tara merendah.

"Apapun itu, yang penting lo punya keberanian untuk buka usaha sendiri." Roy mengacungkan jempol.

"Awalnya nekat aja. Soalnya, hampir satu tahun lulus kuliah gue belum juga dapat kerja. Salah gue sendiri sih, tiap ngelamar kerja gue nggak percaya diri sama penampilan. Jadinya malah gugup, dan nggak lolos wawancara," jelas Tara mengenang masa lalu.

Roy tampak tertarik dengan cerita Tara. "Kenapa nggak percaya diri?" tanyanya. Tapi Roy tersadar karena ia terkesan terlalu ingin tahu. "Eh, kalau nggak mau cerita nggak apa-apa kok," katanya menambahkan.

"Nggak masalah. Jadi gini, lo tau kan, dulu waktu masih sekolah gue jerawatan. Pertengahan kuliah udah mulai sembuh, dan pas lulus kuliah tinggal bekas-bekasnya aja di wajah gue. Buat gue itu mempengaruhi mental banget. Di saat datang wawancara kerja, terus liat saingan kita wajahnya pada mulus dan cantik, kepercayaan diri yang gue bawa dari rumah tiba-tiba hilang gitu aja. Dulu gue emang sering minder kayak gitu." Tara menyandarkan punggungnya di kursi, lalu tersenyum tipis saat mengingat kelakuannya dulu.

Untuk beberapa saat, Roy tidak bisa berkata-kata. Tara yang ia lihat selalu melayani pengunjung kafe dengan percaya diri, ternyata dulu pernah kesulitan dalam bersosialisasi. "Tapi sekarang lo berhasil jadi pribadi yang lebih baik," ucap Roy.

Tara mengangguk. Rona wajahnya kembali memancarkan semangat untuk maju. "Ya, sampai sekarang pun gue masih belajar untuk terus mencintai diri sendiri."

"Makanya daripada lo terus minder, jadi lo mutusin buka usaha sendiri?" tebak Roy.

"Iya. Kalau gue yang jadi bos, kan nggak perlu malu." Tara tertawa. "Demi kafe ini, dulu gue nekat pinjam modal. Pinjam ke Papa sih. Soalnya mau pinjam di koperasi atau bank tapi gue belum punya pendapatan tetap."

Roy mengangguk paham. Kemudian ia kembali mendengarkan cerita Tara.

"Meskipun awalnya pendapatan kafe masih sedikit, tapi gue seneng aja ngejalaninnya. Gue tiap hari semangat, pelan-pelan bisa ngilangin sifat minder karena gue di sini jadi pemimpin. Mau nggak mau gue harus maju di depan, ngasih contoh buat yang lain. Ternyata kegiatan positif itu juga ngurangin tingkat stres gue. Makanya jerawat gue bisa sembuh. Karena selain pengaruh scincare, menjaga emosi kita untuk tetap stabil itu juga obat untuk penyembuhan jerawat. Jadi kalau ada orang  jerawatan, jangan ditanyain macem-macem ya? Itu bisa nambah beban pikiran mereka."

Roy buru-buru menyilangkan tangannya. "Gue nggak pernah ganggu acne fighter kok."

"Iya, iya, gue tau," sahut Tara di sela tawa kecilnya. Ia merasa terhibur saat melihat Roy panik karena merasa dicurigai.

"Makasih ya. Lo udah ngasih gue kepercayaan buat dengerin cerita lo," kata Roy. Matanya mengunci pandangan Tara dari sekitar.

Tara tertegun. Ia baru menyadari bahwa hari ini ia begitu terbuka pada Roy. Benar kata laki-laki itu. Meski baru akrab, tapi ia sudah memberinya kepercayaan sebagai pendengar kilas balik masa lalunya. "Lagian cerita gue nggak ada spesial-spesialnya. Malah kebanyakan curhat," kilah Tara.

"Tapi dipilih jadi pendengar bikin gue merasa jadi orang spesial," pungkas Roy. Perkataannya langsung keluar begitu saja tanpa dipikir terlebih dahulu.

Tara yang mendengar hal itu hanya mampu diam. Ia bingung bagaimana harus menjelaskan pada Roy. Ia bercerita tadi benar-benar tidak ada maksud lain. Tara hanya ingin membagikan kisah perjuangan mendirikan kafe ini. Lagipula pembicaraan tentang kafe Roy sendiri yang mengawalinya. Sekarang laki-laki itu justru salah mengartikan sikap Tara.

"Eh, sampek lupa jadinya lo belum pesen apa-apa." Tara bersuara dengan canggung.

Roy berdeham lalu memperbaiki posisi duduknya. "Sebenarnya gue ke sini karena mau ngajak lo pergi bareng ke resepsinya Tia malam ini."

Tara mengalihkan pandangannya. Ia lalu menepuk keningnya karena lupa kalau hari ini ia harus datang ke pernikahan Tia. "Bentar ya, gue telepon Mela dulu. Semoga aja dia bisa bantu jaga kasir selama gue pergi." Tara mulai membuka ponsel dan mencari kontak Mela.

Roy tidak mau mengganggu. Ia menunggu Tara selesai bicara dengan Mela sembari membuka media sosial di ponselnya. Saat Tara menyudahi panggilan telepon, Roy lekas mendongak dan bertanya lewat tatapan mata.

Tara yang mengerti maksud Roy pun langsung menyahut, "Untungnya Mela mau bantu, meski gue diomelin karena ngomongnya mendadak." Tara menyengir, menunjukkan deretan giginya.

Tiba-tiba Roy ingin mengacak-acak rambut Tara karena ia gemas pada perempuan itu. Bisa-bisanya ia melupakan acara pernikahan pelanggan kafe setianya. Tapi saat melihat Tara berdiri dan mulai bersiap pulang, Roy mengurungkan niat untuk menyentuh puncak kepala Tara. Ia seakan langsung disadarkan oleh kenyataan. Meski Tara menerimanya menjadi teman, bukan berarti ia bisa melakukan kontak fisik dengan seenaknya.

"Nisa cuti sampai kapan?" tanya Roy agar pikirannya kembali fokus. Lagipula ini sudah satu minggu sejak Nisa kecelakaan dan anak itu belum terlihat batang hidungnya di kafe Tara.

"Gue bilang ke dia harus cuti sampek bener-bener sembuh. Luka-lukanya sih udah kering, tapi pergelangan tangannya masih sakit kalau dibuat gerak. Mending nunggu sembuh total daripada maksa kerja tapi berisiko," jelas Tara.

Roy membenarkan. Ia kemudian ingat beberapa hari yang lalu saat mengobrol dengan Dimas. Dimas memberi tahu bahwa tulang di pergelangan tangan Nisa memang mengalami dislokasi (kondisi tulang keluar atau bergeser dari posisi normalnya dari sendi).

"Gue mau bilang ke Dimas dulu, sementara Mela belum datang, kasir biar dijaga sama dia. Lo tunggu di luar aja nggak apa-apa." Tara memberi Roy penawaran.

Setelah berpikir sejenak, Roy akhirnya berdiri dan memutuskan menunggu di luar. Lagipula Tara hari ini memang membawa motor sendiri. Jadi mereka akan pulang bersama tapi menaiki kendaraan masing-masing.

"Ra, tapi gue minta maaf nih. Nanti kalau pergi kondangannya lo dibonceng pakek motor gue nggak apa-apa? Gue belum punya mobil," kata Roy sebelum keluar.

Tara tidak percaya Roy malah mempermasalahkan transportasi yang akan mereka gunakan nanti. "Ya nggak apa-apa, lah! Santai aja. Lagian gue punya teman pergi ke kondangan aja udah seneng banget. Seenggaknya di sana nanti gue nggak bingung-bingung amat."

"Cuma teman ya, Ra?" tanya Roy tiba-tiba dengan raut muka sulit dijelaskan.

Tara memiringkan kepala. Matanya juga menyipit karena bingung dengan pertanyaan Roy. "Ya ... kita kan emang teman. Iya, kan?" timpal Tara ragu-ragu.

Roy hanya menarik bibirnya hingga membentuk segaris tipis. Tara yang tidak mau makin pusing dengan sikap Roy pun segera pergi untuk menemui Dimas. Sejujurnya Tara belum terbiasa dengan sikap Roy yang berubah-ubah. Kadang cuek dan bicara seperlunya, kadang bersikap manis, dan tiba-tiba bisa bersikap random seperti barusan.

Dasar cowok aneh. Untung udah jadi mantan gebetan, batin Tara.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro