Chapter 1
Langit menggelegar, memancarkan kilat yang memancing adrenalin dua petarung. Tahta menjadi taruhan, mereka saling mengadu kemampuan satu sama lain.
Kelincahan, ketangkasan, strategi, mereka keluarkan untuk saling menjatuhkan. Tatapan tajam mereka tampakkan sebagai bukti keseriusan hingga salah satu diantara mereka memenangkan pertarungan.
Akan tetapi, takdir berkata lain. Tahta agung jatuh pada seseorang yang berhasil dikalahkan dan karena itu, sang pemenang merasa usahanya telah dikhianati lalu memutuskan untuk angkat kaki dari tempat pertarungan.
Sang pemenang benar-benar sakit hati. Ia terus mengasah kemampuannya hingga mendapatkan gelar 'Cyan Finch' dari kawan maupun lawan. Dia benar-benar lincah dan pergerakannya pun tidak mudah dibaca oleh siapapun sehingga para assasin terbaik pun mampu ia kalahkan dengan mudah.
Saat melancarkan aksinya untuk membantu warga, Cyan Finch menemukan seorang anak perempuan berusia tiga belas tahun tengah berlatih ilmu sihir bersama ibunya. Sebenarnya, Cyan Finch tidak begitu tertarik dengan dunia sihir, karena sedari dulu dia telah terlahir sebagai assasin. Bahkan Cyan Finch sendiri juga tidak begitu paham mengapa ia mengamati anak perempuan itu setiap sore.
Lambat laun, Cyan Finch menyadari jika kemampuan anak perempuan yang ia perhatikan semakin lihai. Dapat Cyan Finch lihat, anak perempuan telah berhasil mengenai pasukan yang terbuat dari boneka dengan sihirnya. Sungguh berbakat, karena menjadi seorang mage sedikit lebih sulit dibandingkan assasin.
Akan tetapi disaat Cyan Finch kembali, ia sama sekali tidak menemukan anak perempuan itu. Jangankan anak perempuan, desa yang ia singgahi pun tampak sudah tak berwujud seperti desa pada umumnya. Hanya ada kayu yang telah habis dilalap api serta beberapa manusia biasa yang tampak telah dihabisi setelah melakukan perlawanan.
"Ling!"
Cyan Finch adalah gelar yang diberikan untuk Ling, salah satu murid terbaik dari Naga Hitam Agung. Seorang assassin yang memiliki kelincahan, ketangkasan, dan strategi penyerangan sangat cepat hingga tidak ada satupun yang terhindar dari pedangnya.
Dengan langkah tegas, Ling mendekati Wanwan yang juga salah satu murid dari Naga Hitam Agung. Tatapan tajamnya melihat seorang anak perempuan yang selama ini ia perhatikan tengah menutup mata, meringkuk seperti telah kelelahan mengeluarkan tenaganya.
Tanpa bicara, Ling menggendongnya perlahan lalu membawanya kembali ke kediamannya. Sebelumnya, Wanwan ingin agar anak perempuan itu tinggal bersamanya. Bagaimanapun, Wanwan juga seorang perempuan sehingga ia lebih paham mengurus anak perempuan. Namun Ling tidak membiarkan itu terjadi, sehingga Wanwan mengalah.
Satu jam sudah Ling mengamati anak perempuan yang tertidur lelap di kasurnya. Ling yang dibantu oleh Wanwan juga sudah memeriksa anak perempuan itu dan hasilnya memang tidak ada yang terluka. Dan menurut pengalaman Ling selama bertarung, anak perempuan dihadapannya hanya kelelahan, itu saja.
Dua jam kemudian anak perempuan itu tak kunjung sadar. Ling masih menunggu dengan sabar sembari mendapatkan informasi pasti mengenai kehancuran desa yang biasa ia sambangi. Karena menurut beberapa rumor yang beredar, desa tersebut hancur karena telah melanggar adat istiadat leluhur. Namun ada juga yang mengatakan bahwa kutukan yang dulu pernah diucapkan oleh seorang petarung telah menjadi kenyataan. Tentunya Ling tidak langsung mempercayainya. Sebagai seorang assasin, Ling membutuhkan informasi lebih. Tapi untuk apa?
Tiga jam telah berlalu dan Ling masih belum lelah menunggu. Mungkin karena Ling sudah biasa terlatih untuk bersabar dalam memburu mangsa dan saat itulah gadis kecil bangun dari tidurnya, menampakkan iris merah darah yang terpantul dari cahaya lampu tempel.
Saat melihat Ling, ekspresinya sudah tidak asing. Ya, gadis kecil langsung mundur hingga tubuhnya menatap tembok. Dari caranya pun Ling telah menyadari jika ada trauma dari gadis kecil tersebut.
"Tidak perlu takut. Aku hanya membunuh siapapun yang ingin aku bunuh," ucap Ling.
Gadis kecil semakin takut pada sosok Ling. Ia menyembunyikan wajahnya dibalik selimut yang Ling berikan saat gadis kecil masih menyembunyikan manik merah darahnya.
"K-kau siapa, T-Tuan?" ucap gadis kecil tanpa menunjukkan wajahnya.
"Aku juga tidak tahu siapa diriku," balas Ling.
Setelah mendengar jawaban Ling, secara perlahan gadis kecil mengintip dari balik selimutnya. Ia masih takut menatap Ling secara langsung.
"Cyan Finch," ucap gadis kecil dengan nada pelan.
Karena terbiasa mendengar suara, sekecil apapun suaranya dapat Ling dengar. "Kau benar. Tapi tepatnya, Ling. Kau bisa memanggilku Ling," tukas Ling.
"Tuan Ling?" ucap gadis kecil yang berusaha berani.
"Ling saja sudah cukup," ucap Ling.
Kruuuk!
Pipi gadis kecil memerah, menahan malu karena cacing dalam perutnya meronta disaat yang tidak tepat. Ling menutup matanya sejenak lalu kembali kehadapan gadis kecil dengan sepiring makanan.
Tentu saja gadis kecil menerimanya dengan senang hati. Setelah mengucapkan terimakasih pada Ling, ia segera makan dengan lahap tanpa ada yang bersisa.
"Namamu?" tanya Ling setelah gadis kecil usai menyantap makanan yang ia berikan.
"Neko," jawabnya tanpa ragu.
"Sekarang, maukah kau menceritakan apa yang terjadi pada desamu, Neko?" tanya Ling.
Neko menunduk, tampak belum siap menceritakan mengenai desanya. Jikapun ia bercerita, ia hanya ingin menangis atas kehilangan orang-orang yang ia cintai.
Ling menghela nafas. "Aku tidak memaksa untuk bercerita. Tapi lebih baik jika diucapkan daripada disimpan menjadi dendam," ucap Ling sebelum keluar dari kamarnya dan membiarkan gadis kecil merenung atau menghilangkan rasa takutnya.
Keesokan harinya, Wanwan tetap bertingkah seperti biasanya. Ia menghujani Ling dengan ribuan perkataan, namun kali ini Wanwan cenderung fokus pada anak kecil yang mereka temui sebelumnya. Dan seperti yang sudah-sudah, Ling hanya menjawabnya dengan singkat dan mengatakan bahwa anak kecil itu masih butuh waktu agar bisa dilatih.
Wanwan bingung akan pernyataan Ling. Sejenak, ia berpikir jika Ling akan melatih anak kecil itu. Namun ia juga berpikir jika tidak mungkin Ling melatih seorang anak kecil yang ia rasa tidak memiliki bakat dalam dunia pedang ataupun benda tajam lainnya.
'Ling benar-benar aneh,' pikir Wanwan.
"Meski demikian, anak kecil itu harus dilatih untuk memaksimalkan kemampuannya untuk bisa bertahan hidup sendiri. Karena dunia terlalu kejam untuk siapapun yang tidak memiliki kemampuan," ucap Ling.
Wanwan menjadi antusias mendengarnya. Namun, ia merasa ada yang kurang.
"Ling, ayo tersenyum!" ucap Wanwan. Akan tetapi, Ling tetap memasang wajah serius.
"Oh, ayolah. Pasti bagus," bujuk Wanwan namun Ling tetap memasang ekspresi sama.
"Ling, aku mohon!" pinta Wanwan.
Akan tetapi, semua ucapan Wanwan untuk meminta Ling tersenyum selalu nihil. Ling tampak tidak ingin tersenyum ataupun tertawa. Bahkan Wanwan sendiri juga tidak ingat kapan terakhir kali Ling tersenyum. Atau mungkin Ling hampir tidak pernah tersenyum? Entahlah, Ling selalu misterius.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro