Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Prologue

.

"Jangan berhenti, bodoh! Apa kau sudah lelah hidup, hah?!"

Pemuda dengan helaian rambut pirang tengah mengenakan hoodie abu-abu berteriak, mengomeli diriku yang serasa seolah telah pasrah akan keadaan. Berbagai zombie yang banyak itu mulai mencoba mendominasi mini market. Aku menghela napas kasar, mencoba bangkit dengan badan yang tertatih-tatih. Lantas, aku menerima bantuan tak langsung dari lelaki berambut putih.

"Apa kau terluka?"

Aku menggeleng, memberi tanda jika tidak terluka sama sekali.

Tidak sopan jika menolak kebaikan dalam keadaan seperti ini. Mau tak mau, aku mengikuti mereka, berlari hingga sampai ke bagian sekolah tak terpakai. Mereka bersama kawanannya yang berada di sekolah dengan sigap menyerang lalu menutup pagar.

Napasku terengah-engah, merasa lega ketika para gerombolan zombie itu telah mereda. Aku melirik ke arah orang-orang di hadapanku. Ingin rasanya menangis saat mendapati masih ada manusia yang masih hidup di tengah tersiksanya keadaan dunia ini. Irisku melirik ke arah pemuda yang terlihat muda dan teman-temannya seraya mengucapkan, "Terima kasih, kalian telah menyelamatkanku."

Aku dan para lelaki itu sempat mengobrol, menanyakan nama terutama yang pirang. Ia lucu sekali untuk dijahili. Hingga, suara seorang gadis datang membuyarkan percakapan kami.

"Sudah? Kalau begitu, kau segera pergi dari tempat ini," hardik seorang gadis pirang dengan iris merah menyala. Ia menyipit, melemparkan tatapan tak suka dengan sangat jelas. Aku mengerjap, paham jika ia merasa was-was. Tetapi, apa perlu, ia memperlakukanku seperti itu?

"[Name]? Ah, apa itu kau, [Name]?"

Suara familiar seorang gadis terdengar di telingaku. Pipi tembem, helaian rambut berwarna cokelat, iris besar dan bulat, serta senyuman yang menggemaskan dan terasa ramah. Sudut bibirku melengkung, membentuk senyuman lantas berseru, "Judy? Benar-benar kau, Judy!"

Kami berdua berpelukan, antusias. Hanya saja, suasana penuh melegakan itu diinterupsi oleh sosok yang sempat menolongku tadi. Eugene, namanya. Ia bergumam pelan sembari memutar kedua irisnya malas, "Apa-apaan ini? Adegan drama?"

"Hei, Scarlet, kau tidak boleh berlaku kasar pada temanku!"

"Oh, kalau begitu, apa kau juga ingin keluar dari tempat ini bersamanya? Heh, membiarkan yang lain berbicara untukmu, ya?"

Judy terdiam akan sarkasan dari Scarlet yang tengah berkacak pinggang. Tentu saja, aku tidak ingin merepotkan sahabatku. Sangat tidak lucu menyeretnya dalam keadaan seperti ini setelah sekian lama bertemu. Lantas, aku mengangkat suara.

Meskipun, aku tak tahu mengapa sosok di hadapanku ini sebegitu tidak sukanya pada kedatanganku. "Tunggu, aku bisa jelaskan kalau aku tidak terinfeksi," sahutku. Jari-jemariku menggenggam erat hoodie usang yang kukenakan. Memberikan tatapan penuh serius pada mereka semua.

"Ide yang bagus. Bagaimana kalau aku yang memberikan penilaian terhadapnya? Dengan begitu, kita semua harus setuju atau tidak bergantung pada jawabannya."

Sebuah suara bariton penuh ramah, namun tegas ikut menyela di antara keheningan. Sosok lelaki yang tegar, rahangnya tegas, hidung tinggi mancung, wajah putih, helaian rambut dan iris cokelat, serta kacamata dengan lensa bulat datang. Tak lupa, terdapat pria atletik berambut hitam dengan mata yang terlihat sayup sembari membawa tongkat baseball.

Tatapan kami bertemu. Ia mengulas senyum, membuatku kebingungan akan tingkah lembutnya. Ternyata, masih ada orang sepertinya di lingkungan seperti ini. Ia pun memberikan beberapa pertanyaan.

"Gejalanya akan muncul setelah sejam. Lihat, selama sejam ini, aku tidak memiliki tanda-tanda sama sekali!"

"Oh, dan aku juga menemukan makanan," lanjutku seraya mengeluarkan isi tasku. Menunjukkan beragam makanan yang telah kudapatkan saat ini.

Keputusan berakhir dengan diriku yang diizinkan tinggal di sini. Judy berseru senang, kembali memeluk diriku sedangkan aku menerima pelukannya. Aku melirik ke arah Lawrence, sosok berkacamata yang telah membantuku tadi. Walaupun aku tahu ia berada di posisi netral, tetapi aku tidak bisa menahan perasaan terimakasihku padanya.

Ia terkekeh pelan, menyadari tingkahku. Lalu, ia mengulurkan tangan dan berujar, "Salam kenal, [Name]. Tadi itu sikap yang sangat berani sekali."

.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro