Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Page 3

.

Speaker sekolah berbunyi dengan keras, memutar Fur Elise, membuat para zombie berbondong-bondong berlari dan mendobrak markas kami. Kami semua berlari, Eugene mencoba menarik tanganku sedangkan Zion berusaha mati-matian untuk menahan berbagai monster tersebut. Namun nihil, aku tak lagi mendapati sosok punggungnya di koridor.

Kenapa tiba-tiba menyala seperti ini?

"Zion!" teriakku, memanggilnya dengan suara terisak. Tangan pemuda pirang di sampingku terasa bergetar, ia berhenti sejenak. Eugene membalikkan badan, lalu memasang ekspresi marah dan membentakku dengan keras.

"Pergi cepat dari sini, [Name]!"

Aku menggeleng kuat, tidak mau, menahan tangannya untuk tidak meninggalkanku. Tetapi, ia mendorongku, membuatku mau tak mau harus segera berlari dan pergi darinya. Di saat aku melangkah dengan cepat di koridor, seseorang menarikku ke dalam dekapannya.

Terkejut akan kehadiran sosok berambut cokelat dengan kacamata bulat khasnya, siapa lagi kalau bukan Lawrence? Meskipun aku ingin memanggilnya, bibirku sudah tak mampu untuk membuka, hanya mengikuti kemana tuntunan pemuda itu menuju ke bawah anak tangga.

Ruang basement.

Perasaan cemas memenuhi relung dadaku, bila Lawrence akan menggunakan keberadaan tempat ini, aku harus mengajak yang lain juga. Belum sempat aku berbalik, Lawrence telah masuk bersama dalam ruangan tersebut, hanya berdua denganku. Aku mengangkat suara, "Tunggu, Lawrence, jangan ditutup dulu. Yang lainnya masih ada di atas!"

"Sudah terlambat, [Name]. Mereka semua sudah tiada, kau harus merelakannya," tuturnya dengan santai.

Aku bersandar pada dinding ruangan dengan lemah, tidak terima bagaimana ia bisa menyerah pada teman-temannya seperti itu. Suara Sue entah mengapa memenuhi kepalaku, kata per kata mengenai 'Berhati-hatilah, [Name]. Lawrence melakukan ini semua untukmu.' mengalir dan masuk seperti memori yang baru saja terjadi dini hari. Nada kalimatku kian melemah, "Lawrence, kumohon ... mereka masih ada di luar."

Pemuda baik hati yang kukenal itu telah hilang, hanya menyisakan iris cokelat terangnya yang menyala. Ia mengulas seringai kecil, mendekatkan diri padaku yang sudah merasa tidak berdaya akan kondisi sekarang. Apa ia lah dalang dari balik tragedi bel sekolah ini?

Aku tidak bisa membayangkannya, tak ingin kalau dugaanku benar.  Lantas, aku kembali berujar dengan tatapan memelas, "Katakan, kalau ini semua bohong."

Wajahnya mendekat, ekspresinya terlihat bahagia dan antusias. Runtuh sudah semua harapanku. Mengapa kau melakukan hal seperti ini, Lawrence?

"Dua tahun yang lalu, aku bertemu dengan seorang gadis. Ia berbaik hati, meminjamkanku payung pada sosok yang tak punya harapan sepertiku. Apa kau tak mengingat sama sekali mengenai memori pertemuan kita? Hei ... [Name]," Bibir itu mendekat ke telingaku, berbisik pelan seraya mencengkram bahuku. Lalu, menahan kedua tanganku dan melanjutkan, "aku melakukan semua ini untuk bisa bersamamu. Tak bisakah perhatianmu hanya tertuju padaku seorang?"

Aku ingin membalasnya, namun bila kubalas, apakah akan menghidupkan mereka semua yang telah berkorban? Aku pun tak ingin sendirian. Jelas sudah, sosok misterius yang mengincarku, insiden basement yang penuh akan stok makanan, selebaran pertolongan yang tak kunjung sampai, hingga merasa disudutkan sebagai pelaku dari teman-teman yang menghilang dan meninggal satu per satu.

"Kau akan baik-baik saja, aku berjanji. Aku selalu mengatakan hal itu padamu, bukan?"

Semua ini adalah hasil usaha Lawrence yang kesepian, baik di dunia sebelumnya atau sekarang.

"Katakan kalau kau mencintaiku dan ucapkan selamat tinggal pada dunia penuh kepalsuan itu. Kita akan membangun istana di tempat ini, hanya kau dan aku, [Name]."

***

Irisku membelalak, terbangun dengan keringat dingin yang bercucuran. Napasku terengah-engah, mendapati seorang gadis yang memperhatikanku khawatir dari balik iris ungunya. Sontak saja, aku memeluknya dengan erat. Ia terkejut, namun mulai mengelus-elus punggung lembut, tak bertanya apa pun sampai aku merasa tenang.

Suaraku yang sebelumnya serak, segera berganti menjadi riang, "Judy, mulai hari ini, aku akan bersamamu. Aku sangat menyayangimu!"

"Haha, ada apa denganmu hari ini? Tapi, baiklah, jika sahabatku berkata seperti itu! Aku juga menyayangimu!"

Kami berdua berpelukan, layaknya sepasang surat dan perangko yang tak terpisahkan. Tekadku bulat, mimpi yang terasa nyata itu mungkin saja adalah sebuah pertanda selama beberapa hari aku berada disini. Aku mencengkram erat celana training-ku, tak akan kubiarkan siapa pun mati lagi, terutama yang kusayangi.

Saat keluar dari ruangan, seorang pemuda berambut merah dan pirang memberikan tatapan penuh keheranan. Langkahku terhenti sejenak sembari memeluk lengan Judy, perasaan lega ini tak boleh terlihat dengan jelas. Lantas, Zion mengangkat suara, menyuarakan pikirannya sedari tadi, "Hei, ada apa denganmu?"

Belum sempat menjawab, Lawrence telah menampakkan wajahnya, ikut terheran-heran. Pelukanku mengerat, namun aku masih peduli padanya setelah semua mimpi yang terasa nyata itu. Jika memang benar, maka kejadian tersebut akan terjadi dalam beberapa hari ini.

"Tidak, bukan apa-apa. Hanya saja, aku dan Judy adalah sahabat sehidup semati! Bahkan kau tak bisa memisahkan kami, Zion," tuturku, menjulurkan lidah.

Zion jengah, memasang ekspresi jijik.

Kekehan pelan Lawrence berikan, melihat tingkah kekanakanku. Meskipun ia terlihat tidak bisa memahaminya, tetapi aku tahu dari balik iris cokelatnya tersebut. Tatapannya mulai terlihat aneh, mungkin firasat mengenai benarnya mimpi itu tak bisa kusangkal lagi. Setidaknya, aku tak boleh membiarkan Judy atau Lawrence sendirian.

Pemuda berkacamata itu pun lantas mengulas senyum ramah, mengurungkan niat untuk mendekatiku dan berujar, "Kalau begitu, mari sarapan semuanya. [Name] belum makan, 'kan?"

"Ah, iya. Terimakasih, Lawrence!"

Rona merah samar singgah di pipi putihnya, namun berlalu dengan cepat ketika aku kembali melanjutkan kalimatku. Begitu pula ulasan senyum manis yang luntur dari wajahnya, "Aku akan pergi bersama dengan Judy ke sana. Jangan khawatir."

"Begitu, ya. Baiklah," balasnya seraya meninggalkan koridor dengan dingin. Eugene mengerjap, mendengkus pelan dan mengalihkan pandangannya terhadapku setelah memperhatikan pemuda yang memegang posisi sebagai ketua itu dalam diam. Helaan napas panjang terdengar darinya.

"Ada yang aneh dengan Lawrence jika sudah menyangkut mengenai dirimu, atau hanya perasaanku saja?"

"Hah, aneh?" Zion menyahut, tetapi tak ditanggapi oleh kami berdua.

Dahi Eugene mengerut, menyiratkan ketidaksukaan uang jelas. Aku mengendikkan bahu, berpura-pura acuh. Mendapat respon yang tidak sesuai harapannya, Eugene hanya memutar kedua irisnya dan kembali memakai masker hitamnya. Ia pun beranjak pergi, diikuti oleh Zion, meninggalkan diriku dan Judy berdua.

Aku memeluk riang Judy, senang karena mereka semua masih hidup, bahkan bertingkah seperti biasa. Kami berdua lalu pergi ke kelas lain, tempat pertemuan dan makan biasanya diadakan. Aku tersedak dengan saliva sendiri ketika bertabrakan pada seorang pemuda berambut hitam dan putih.

"[Name]?" panggil Harry, panik, "astaga, maafkan aku."

Ethan terdiam, ingin membantu menepuk punggungku, entah kemana perginya seluruh rasa kantuk yang ia rasakan sebelumnya. Namun, Lawrence dengan sigap menginterupsi dan mengambil posisi tersebut. Sorot kekhawatiran terlihat jelas dari tatapan lembutnya. Karena masih tersedak, Harry pun bergegas mengambil air minum. Tanpa basa-basi, aku menerima kebaikan dari pemuda berambut putih itu dan merasa lega.

"Ahaha, terimakasih, Harry dan Ethan."

Harry menyunggingkan senyum, menyipitkan mata dan mengembuskan napas lega, "Bukan masalah besar."

"Hm," gumam Ethan, pelan.

Kegiatan makan antara aku dan Judy pun kembali dilanjutkan, menikmati detik per detik bersama orang-orang yang kusayangi, tanpa menyadari sebuah tatapan dingin mengarah di balik punggungku. Entah tujuannya baik atau tidak, tak ada yang tahu niat tersebut.

.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro