Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Page 2

.

Dari awal aku sudah mengerti kalau Scarlet tidak menyukai kedatanganku. Hanya saja, aku tidak tahu apa alasannya. Di saat aku ingin berteman baik dengan gadis itu karena perawakannya yang nampak cantik, berbanding terbalik dengan sifatnya. Aku menghela napas di bawah langit gelap namun berbintang, merindukan kehadiran adikku. Apakah ia baik-baik saja di dunia yang telah tercemari ini?

Sekali lagi, dan lagi-lagi, aku hanya bisa berharap. Menggantungkan untaian benang tersebut agar dapat selalu hidup dan bertahan.

Tepat beberapa menit berlalu, menghabiskan waktu untuk menunggu kehadiran Lawrence, sosoknya telah melangkah menuju tempatku. Senyumku mengembang, senang bertemu dengannya dalam patroli malam ini, "Jadi, ketua, tempat mana kah yang akan kita jaga saat ini?"

"Haha, menggemaskan sekali, [Name]. Hm, benar juga, mungkin ada satu ruangan yang ingin kuperiksa bersamamu. Jika kau penasaran, tempatnya adalah ruang Kepala Sekolah."

"Oh, mungkin di sana akan ada beberapa barang berguna untuk kondisi bertahan hidup kita, ya! Baiklah, ketua, mari pimpin jalannya!" tuturku seraya meledeknya ringan, membuatnya hanya mampu mengulas senyum tipis. Ia mengulurkan tangan, aku mengerjap mendapati ajakan hangatnya di malam yang dingin ini. Merasa canggung sekaligus kebingungan, pertanyaan pun lolos dari bibirku, memanggil namanya dengan pelan, "Lawrence?"

Senyum itu terasa hangat, namun juga dingin. Tak kumengerti, hanya saja itu yang kurasakan dari baliknya apabila menolak uluran tangan nan ramah tersebut. Ia tak menjawab, masih setia dengan ekspresinya, menunggu persetujuan dariku. Sadar akan suasana yang kikuk, ia pun memecah keheningan, "Maaf, apa aku terlalu sok dekat denganmu?"

"Uh, tidak. Bukan begitu, kok! Cuman ... ini pertama kalinya aku menggenggam tangan lekaki selain adikku," jawabku seraya tertawa hambar.

Aku menunduk, kembali teringat akan sosok lelaki yang hanya berbeda dua tahun dariku itu. Bibirku membuka dan berujar, "Hanya ... sedikit rindu saja."

Sekilas, iris cokelat itu terlihat menyala. Entah mengapa, badanku terasa membeku, tetapi mungkin saja itu hanyalah khayalan. Sebuah imajinasi akibat terlalu lelah dengan situasi ini. Meskipun begitu, aku tidak boleh lengah. Sembari menggenggam tangannya yang hangat, langkah kaki kami berbunyi dengan pelan di koridor, tak ada yang mengetahui isi hati kami masing-masing.

Hingga, kami sampai di ruang tujuan, membukanya dengan mudah. Lantas, fokusku terpaku akan berbagai piala di ruangan itu. Suara pemuda yang berseru pelan itu menginterupsi fokusku, "Ah, ada makanan di sini."

Lawrence mendapati pasokan makanan di dalam brankas. Dahiku mengernyit, kebingungan akan simpanan yang cukup unik itu. Menyimpan makanan dalam brankas? Sungguh hal yang aneh, tetapi tidak jika melihat keadaan sekarang ini.

Lamunanku pun buyar tatkala pemuda berambut cokelat itu melangkah dan duduk di kursi Kepala Sekolah dengan santainya. Menautkan jari-jemarinya sendiri dan memangku dagunya, diterangi sinar rembulan. Hening melanda, iris cokelat tersebut nampak mengkilat sejenak dibarengi bersama ulasan senyum yang mampu membuat bulu kuduk merinding melihatnya. Aku menahan napas untuk sejenak, meremas celana training-ku guna berusaha menenangkan diri.

"Menurutmu dunia saat ini membutuhkan apa, [Name]?" tanyanya, tanpa aba-aba. Seringai itu terlihat dingin, disinari oleh cahaya bulan yang nampak redup.

Jujur, jika ditanya seperti itu, aku tidak tahu. Apa yang benar dan apa yang salah ketika dunia ini mulai berubah seperti akhir zaman. Hanya saja, aku tak ingin berhenti berharap, dimana dunia kembali damai seperti sedia kala. Tawa kecil lolos dari bibirku, meskipun damai yang hanya berkedok sebagai topeng belaka, tetapi tidak terang-terangan bertahan hidup dan berhadapan langsung dengan mati seperti sekarang ini.

Hidup ini sangatlah susah, namun kita tetap harus menjalaninya.

"Sekolah ini adalah tempat teraman, dunia luar sudah tercemari dan itu tidak cocok untukmu, asal kau tahu."

Bagai mampu untuk membaca pikiranku, aku menatap balik padanya yang tengah menjeda sejenak kalimatnya. Lalu, kembali melanjutkan, "Tak akan ada bahaya yang mendekat selama kau berada di sisiku, aku bisa jamin itu. Dunia ini semakin hari terasa semakin bodoh saja."

"Haha, apa Lawrence berusaha untuk menghiburku karena aku terlihat seperti tengah mengalami homesick?"

Seringai itu mereda, menjadi ulasan senyum tipis. Iris cokelat itu menatap lekat padaku, entah mengapa aku merasa lega karena ada seseorang yang mengkhawatirkanku sekaligus cemas. Tanganku gemetar, keringat dingin, mungkin akibat terlalu banyak berpikir.

Irisku berfokus pada wajahnya yang tampan, terutama pada netra cokelat di balik kacamata tersebut. Aku mendekat padanya, membuat ia mengerjap, "Memang benar kalau sekolah ini terasa aman dan itu semua berkatmu, Lawrence, terima kasih. Tapiー"

Tenggorokanku rasanya tercekat, merasa aneh.

"ーkalau terus-terusan berada di sini, kita tidak akan tahu kapan persediaan makanan dan air akan habis. Atau mungkin saja, di luar sana ada para survivor yang lain. Kuharap, suatu saat, kita bisa menikmati dunia yang damai kembali," lanjutku seraya merekah senyum tipis.

Kali ini, aku yang mengulurkan tangan padanya, memecah suasana tegang, berharap agar ia menggapainya segera. Lantas, aku mengajaknya dengan tawa ringan, "Bagaimana kalau kita kembali bercerita dan melihat bintang? Aku ingin tahu lebih banyak tentang Lawrence. Yah, itu pun bila kau berkenan memberitahuku."

Aura menguar yang aku rasakan darinya mulai kembali menghangat, perlahan meninggalkan sensasi dingin tadi. Syukurlah, ia telah kembali menjadi dirinya saat ini. Kami pun keluar dari ruangan, melangkah ke koridor dan memutuskan untuk melihat bintang sembari mengobrol.

Saat itu, aku mulai tahu banyak tentangnya. Mulai dari dirinya yang dulu adalah Ketua OSIS dan bahkan kesukaannya mengenai memasak.

"Suatu saat, aku ingin mencicipi masakanmu, Lawrence," tuturku lembut.

Sekilas, rona merah menjalar melalui pipinya. Lalu, ia kembali berantusias dalam menceritakan dirinya dan bertanya mengenai diriku. Setidaknya, kami perlahan belajar untuk mengenal satu sama lain. Iris cokelat yang berbinar itu adalah salah satu pengalaman yang tak bisa kulupakan dalam masa seperti ini.

Mata penuh harapan, sama sepertiku. Aku menyukai sosoknya yang memiliki kesamaan denganku. Jangan menyerah, Lawrence. Aku ingin kau selalu berjuang, wahai penyelamatku.

.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro