Epilogue
.
"Lawrence ke mana, Eugene?" tanyaku pada seorang pemuda pirang dengan piano usang di hadapannya. Bukan rahasia lagi bagi dia dan diriku, jika ia menaruh perhatian pada musik. Cokelat panas kuberikan padanya, memberi sinyal agar ia segera mengistirahatkan diri. Eugene mendengkus pelan, memutar irisnya dan menatap ke arah jendela.
Dari balik kaca itu, nampak seorang pemuda berambut cokelat bersama Ethan dan Zion. Perawakan pemuda itu telah terlihat sedikit dewasa dari sebelumnya. Mereka bertiga tengah membangun ladang, tentunya dengan arahan dari Lawrence. Eugene pun bertanya dengan mudahnya, tanpa aba-aba seraya menyeruput cokelat panasnya, "Kau yakin menerima Lawrence ke dalam kehidupan romansamu? Meskipun, kau tahu kalau kami semua menyukaimu."
Minuman yang kucicipi segera terhenti karena tersedak sejenak. Dahiku mengerut, membalas enggan, "Jujur, candaan seperti itu tidak lucu. Aku bahkan tidak tahu kalau kau menyukaiku sampai kau sendiri yang menyatakannya waktu itu."
Eugene mengendikkan bahu, acuh. Lantas, ia membalikkan badan ketika menyadari Lawrence yang telah mendekati ruangan musik. Sebenarnya, musik dilarang karena zombie sensitif akan suara. Tetapi, safe zone mulai meluas dan ruangan ini cukup kedap suara. Terima kasih atas bantuan dari Zion dan Ethan. Bila berkaitan dengan kerjaan fisik, serahkan saja kepada mereka berdua.
Lawrence mengetuk kaca jendela yang tak dapat terbuka itu seraya memasang senyum manis, membuatku terkekeh pelan melihat sapaannya.
"Dasar bucin," ketus Eugene. Sementara, aku melambaikan tangan pada pemuda yang memberikanku sarkasan tersebut, sebagai tanda berpamitan padanya.
Kakiku pun melangkah keluar dari ruangan, berjalan menuju ladang dan bertemu dengan Lawrence. Ia melirikku dari balik kacamatanya, "Apa yang kau bicarakan dengan Eugene?"
"Kami membicarakan tentangmu. Mengejutkan, bukan?"
Aku mendekatkan diri, tertawa geli mendengarnya cemburu seperti itu. Ia perlahan-lahan mulai berubah, tidak menggunakan kekesaran atau kematian sebagai jalan rencananya lagi. Lawrence masih memasang senyum, namun aku hafal jika itu adalak ekspresi palsu. Ia menjawab, "Tidak sama sekali. Aku sudah bisa menebak kalau ia menanyakan mengapa kau memilihku, pastinya."
Seperti biasa, ia sangatlah pintar. Sudah menerka-nerka beberapa langkah ke depan. Senyum tipis aku ulas, lalu aku memberinya pelukan kecil, membuat ia membulatkan iris dan mengerjapkan mata. Bila aku berinisiatif, ia selalu terkejut layaknya seorang pemuda yang masih baru mengenal cinta. Untuk ukuran sosok 'mantan yandere' sepertinya, hal ini sangatlah menggemaskan.
"Apa aku perlu alasan untuk mencintaimu?"
Irisku menatap lekat padanya. Membuat wajah Lawrence memerah sekilas, beberapa detik kemudian ia memalingkan wajah. Meskipun sering tersenyum manis dan percaya diri padaku, apa-apaan ini? Haha.
"Baiklah, tapi jangan bersama pria lain berduaan saja. Aku takut kau kenapa-kenapa."
"Hei, dia itu temanmu sendiri! Kau harus lebih percaya padanya!"
Lawrence mengacak helaian rambutku, lalu berjalan pergi meninggalkanku. Dengkusan kasar kuembuskan, menggelengkan kepala pelan, lalu memutuskan untuk kembali bekerja membantu Judy dan yang lain.
.
.
.
[ END ]
Omake:
"Eugene gila, berani sekali! Kau tidak lihat kayu tebal yang Lawrence pegang tadi patah?! Beraninya kau berduaan dengan [Name]!" Zion mengomel, tangannya mengepal pada besi yang tengah dikerjakannya lalu bergumam, "ck, Lawrence beruntung sekali. Dipilih langsung olehnya."
Ethan mengangguk, menyahut pelan, setuju pada perkataan Zion. Pemuda putih yang tak berada di tempat kejadian, Harry, hanya mampu tertawa canggung saat mendapati teman-temannya ribut seperti biasa. Ia pun menyukai gadis yang menjadi topik pembicaraan, tetapi mereka berempat sudah sepakat untuk tidak merusak kebahagiaannya.
Eugene menutup telinganya, ikut kesal, "Ya mana kutahu nyawa kalian di sana sedang dalam bahaya. Sudah ah, aku mau makan dulu. Dan oh, aku sudah membeberkan kalau kalian menyukainya, juga. Walaupun, ia tidak percaya."
"EUGENE!"
"BERISIK!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro