Tujuh
C
H
A
P
T
E
R
7
~~~
Saat malam pesta sekolah dimulai, suasana begitu meriah. Lampu-lampu gantung yang berkelap-kelip menghiasi aula, dan musik ceria mengalun dari pengeras suara. Para siswa terlihat bersenang-senang, ada yang berkumpul di sekitar panggung kecil, ada yang mengobrol di dekat stand, dan sebagian lagi sibuk berfoto bersama.
Dika, meskipun hadir di tengah pesta, terlihat sedikit gelisah. Ia berdiri di sudut aula, memperhatikan sekeliling dengan pandangan waspada. Beberapa kali ia merasa ada bayangan seseorang di ujung matanya, tetapi setiap kali ia menoleh, bayangan itu menghilang seperti angin.
Hal ini membuat pikirannya kembali pada pertemuannya dengan ayah Bima di persimpangan siang tadi. Tatapan pria itu begitu tajam, seakan-akan pria itu mengetahui sesuatu tentang dirinya yang bahkan ia sendiri tidak tahu.
Rezvan, yang berdiri di dekatnya sambil membawa dua gelas minuman, menghampiri Dika. "Dik, kamu kenapa sih? Dari tadi melamun terus." tanya Rezvan sambil menyodorkan salah satu gelas.
Dika mengambil gelas itu dan menghela napas panjang. "Nggak tahu, Rez. Aku cuma... merasa ada yang aneh. Sejak tadi siang, aku merasa seperti... diawasi."
Rezvan menatap Dika dengan raut prihatin, lalu menepuk bahunya. "Dik, kamu itu terlalu banyak pikiran. Mungkin kamu cuma kelelahan, sudahlah, jangan terlalu dipikirin. Ini pesta, kita harus senang-senang." ucapnya sambil tersenyum.
Dika mencoba tersenyum kecil. "Mungkin kamu benar. Aku cuma terlalu khawatir."
"Bagus. Sekarang ayo ikut aku ke tengah, kita lihat yang lain. Kayaknya Rey lagi heboh sama teman-temannya di sana." ujar Rezvan sambil menarik lengan Dika.
Mereka berdua berjalan menuju kerumunan di tengah aula, mencoba menikmati suasana pesta. Di sana, Rey terlihat sedang berbincang dengan teman-teman ekskulnya, sesekali tertawa lepas. Melihat itu, Dika sedikit merasa lebih santai, senyum mulai muncul di wajahnya.
Malam semakin larut, dan pesta mulai mendekati akhir. Namun, bagi Dika, perasaan diawasi itu tidak pernah benar-benar hilang.
~~~
Setelah pesta malam selesai, rumah keluarga Bratajaya kembali dipenuhi suasana hangat seperti biasa. Nara sedang menyiapkan teh hangat di ruang tengah, sementara Abrisam duduk di sofa sambil membaca pesan-pesan dari koleganya.
Alby sibuk dengan ponselnya, tertawa kecil melihat video lucu yang dikirimkan temannya. Sedangkan Rian duduk di kursi dekat jendela, menikmati suasana malam yang tenang, meskipun pikirannya tampak jauh.
Namun, perhatian mereka semua teralihkan pada Dika yang duduk di sudut ruangan. Biasanya, Dika selalu ikut bercanda atau bercerita tentang acara yang baru saja mereka hadiri, tetapi malam itu ia terlihat lebih banyak diam. Sesekali ia melamun sambil menatap cangkir teh yang belum disentuhnya.
"Dik, kamu kenapa sih? Kok dari tadi diem aja?" tanya Nara sambil meletakkan teh di meja. Suaranya lembut, penuh perhatian.
Dika mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil, meskipun senyumnya terlihat dipaksakan. "Aku nggak apa-apa, Mah. Capek aja habis acara tadi."
Abrisam, yang mendengar itu, menutup ponselnya dan memandang Dika dengan cermat. "Capek, ya? Tapi biasanya kamu tetap cerita panjang lebar meskipun capek. Ada yang ganggu pikiran kamu?"
Dika menggeleng cepat. "Nggak kok, Kak Sam. Semua baik-baik aja." jawabnya sambil mencoba mengalihkan pandangan.
Namun, Rezvan yang duduk di sebelah Dika tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk bicara. "Sebenarnya... pas pesta tadi, Dika kelihatan agak gelisah. Dia bilang merasa diawasi. Bahkan sempat bilang ada bayangan-bayangan di sudut aula. Aku pikir itu cuma perasaan dia aja karena efek kelelahan, tapi kelihatannya lebih dari itu."
Ruangan seketika hening. Semua orang, termasuk Alby yang biasanya lebih santai, menoleh ke arah Dika dengan ekspresi serius.
Rian, yang selama ini cenderung cuek, mendadak menegakkan tubuhnya dan memandang Dika tajam. "Apa maksudnya, Dika? Siapa yang kamu lihat? Ceritain semuanya." ujarnya dengan nada tegas.
Dika terlihat semakin gelisah, tangan kecilnya menggenggam cangkir teh erat-erat. "Nggak ada apa-apa, Kak Rian. Aku cuma... mungkin terlalu capek, makanya perasaanku jadi aneh. Nggak usah khawatir."
Namun, Rian tidak puas dengan jawaban itu. "Dik, jangan anggap ini enteng. Kalau kamu merasa ada yang aneh, kita harus tahu. Siapa tahu ada orang yang berniat buruk. Kamu tadi ketemu siapa di acara?"
Mata Dika berkedip cepat, jelas ia sedang mencari alasan untuk tidak menjelaskan lebih jauh. "Aku... cuma ketemu ayahnya Bima tadi siang. Tapi dia baik kok, nggak ada yang aneh." katanya, mencoba terdengar santai.
Abrisam dan Nara saling bertukar pandang, sementara Alby memiringkan kepalanya, jelas penasaran. Rezvan, yang tahu Dika lebih baik daripada siapa pun, menghela napas dan menepuk pundaknya pelan.
"Dik, aku tahu kamu nggak mau bikin kami khawatir, tapi kalau ada apa-apa, bilang aja. Kita ini keluarga."
Namun, Dika tetap bersikeras. "Serius, Rez. Aku nggak apa-apa. Ayahnya Bima cuma ngobrol biasa. Nggak ada yang perlu dibahas."
Nara akhirnya ikut bicara, suaranya penuh perhatian tapi tegas. "Dika, kamu tahu kan, kalau ada apa-apa, kita semua di sini buat kamu. Jangan simpan sendiri."
Dika hanya mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi jelas dari sikapnya, ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Rian menghela napas panjang, lalu berdiri dari kursinya. "Baik. Kalau kamu nggak mau cerita sekarang, nggak apa-apa. Tapi kita nggak akan anggap ini selesai. Kalau aku tahu ada orang yang ngusik kamu, Dika, jangan salahin aku kalau aku bertindak lebih jauh." katanya dengan nada serius sebelum meninggalkan ruangan.
Keheningan kembali menyelimuti ruang keluarga. Abrisam menatap Dika dengan lembut, lalu berkata, "Kita nggak akan maksa, Dik. Tapi hati-hati, ya. Kalau ada yang aneh, kamu harus bilang."
Dika hanya mengangguk lagi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Setelah beberapa saat, Rezvan menemani Dika ke kamarnya. Di dalam hati, Dika tahu keluarganya curiga, dan ia merasa bersalah karena tidak mengatakan semuanya. Namun, ia sendiri juga tidak yakin bagaimana harus menjelaskan rasa aneh yang ia rasakan terhadap ayah Bima.
Di ruangan lain, Rian berdiri di dekat jendela, menatap keluar ke dalam kegelapan malam. Firasatnya mengatakan ada yang salah, dan ia berniat mencari tahu lebih jauh tentang pria yang Dika temui.
Di luar, angin malam berhembus pelan, membawa ketegangan yang belum selesai. Keluarga Bratajaya mungkin tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi, tetapi mereka mulai bersiap untuk apa pun yang mungkin akan datang.
~~~
Malam itu, Dika berusaha memejamkan mata, tetapi pikirannya terus melayang-layang pada pertemuannya dengan ayah Bima dan tatapan tajam pria itu yang sulit ia lupakan. Ia merasa tubuhnya lelah, tetapi pikirannya tetap terjaga, dipenuhi kegelisahan yang tidak dapat ia jelaskan. Ketika akhirnya ia berhasil tertidur, mimpi aneh mulai menghampirinya.
Di dalam mimpinya, Dika berdiri di tengah sebuah taman yang asing, namun terasa sangat akrab. Angin berhembus pelan, membawa suara langkah kaki yang mendekat dari belakang. Ketika ia berbalik, ia melihat sosok pria tinggi dengan wajah yang ia kenali-ayahnya.
"Ayah?" panggil Dika dengan suara pelan, setengah tidak percaya.
Pria itu tersenyum tipis, tetapi ada kesedihan di matanya. Ia mendekat, menatap Dika dengan lembut namun serius. "Dika, waktumu sudah dekat. Mereka akan mencarimu." ucap ayahnya dengan nada misterius.
Dika mengerutkan kening, bingung. "Mencariku? Siapa, Yah? Maksud Ayah apa?"
Ayahnya tidak menjawab langsung. Sebaliknya, ia menatap jauh ke arah langit yang tiba-tiba gelap. Suaranya terdengar lebih pelan tetapi penuh arti. "Tidak semua kebenaran harus kamu temukan, Nak. Beberapa jawaban hanya akan membawa luka yang lebih dalam."
Dika merasa semakin bingung. "Ayah, apa maksudnya? Tolong jelaskan!"
Namun, sebelum ayahnya sempat menjawab, mimpi itu tiba-tiba berubah. Taman yang sebelumnya tenang dan damai kini berganti menjadi sebuah ruangan gelap yang penuh dengan bau anyir darah.
Dika berdiri di tengah ruangan itu, dan pandangannya langsung tertuju pada sosok tubuh yang tergeletak di lantai-ayahnya sendiri.
"Ayah!" jerit Dika, tetapi suaranya seolah tertelan oleh keheningan. Ia berlutut, mencoba mendekati tubuh ayahnya yang terbaring tak bernyawa. Darah mengalir dari dadanya, membasahi lantai di bawahnya. Mata ayahnya terbuka, tetapi tatapannya kosong.
Dika menangis, tidak mampu berkata apa-apa. Namun, tiba-tiba suara berat yang familiar terdengar dari kegelapan. "Kebenaran itu menyakitkan, Nak. Apakah kamu siap untuk mengetahuinya?"
Dika menoleh, tetapi tidak ada siapa-siapa. Hanya ada kegelapan yang semakin mendekat, menelan seluruh ruangan. Ia mencoba berteriak, tetapi suara itu terhenti ketika mimpi itu lenyap.
Dika terbangun dengan tiba-tiba, napasnya terengah-engah seperti baru saja tenggelam di air. Tubuhnya basah oleh keringat dingin yang membanjiri seluruh dirinya. Jantungnya berdegup kencang, dan rasa mual menyerangnya dengan hebat.
Ia memegang dadanya yang terasa sesak, mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi gagal. Kepalanya terasa berputar, membuatnya hampir tidak bisa duduk dengan stabil.
Rasa mual tiba-tiba menyerang perutnya. Ia mencoba memusatkan pikiran untuk meredakan gejala itu, tetapi tubuhnya yang lemah tidak memberi kesempatan. Perlahan, Dika merangkak keluar dari selimutnya, menurunkan kakinya ke lantai.
Tubuhnya bergetar hebat, kakinya terasa lemas seakan tak mampu menopang beratnya sendiri. Ia meraih nakas di samping tempat tidur sebagai penyangga, tetapi tangan yang gemetar membuat genggamannya tak stabil.
KRAK!
Gelas berisi air yang ada di atas nakas terjatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Suara keras itu menggema di keheningan malam, dan Dika hanya mampu menatap pecahan kaca yang berserakan di sekitarnya dengan pandangan kabur. Kepalanya terasa berat, pandangannya berkunang-kunang, dan keringat dingin terus mengucur dari pelipisnya.
Dengan sisa tenaga, Dika mencoba berdiri, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Lututnya bergetar hebat sebelum akhirnya ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lantai.
Punggungnya bersandar pada tempat tidur, napasnya tersengal-sengal dengan mata yang setengah tertutup. Jantungnya berdetak kencang, seperti berusaha melarikan diri dari dadanya.
Rasa mual semakin kuat, dan ia menekan perutnya dengan tangan gemetar. "Tolong..." gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Keringat dingin membanjiri tubuhnya, membuatnya menggigil meski ruangan terasa hangat. Suara gelas yang pecah dan napasnya yang berat menjadi satu-satunya suara di kamar itu, hingga akhirnya langkah kaki cepat terdengar dari luar.
Abrisam, yang mendengar suara kaca pecah, langsung berlari menuju kamar Dika. Dengan cepat ia membuka pintu, dan pandangannya langsung tertuju pada Dika yang tergeletak di lantai, bersandar lemah pada tempat tidur dengan wajah pucat pasi.
"Dika!" seru Abrisam panik. Ia segera berlutut di samping Dika, memegang wajah adiknya yang basah oleh keringat. "Dika, Apa yang terjadi? Jawab Kakak!" tanyanya cemas sambil memeriksa tubuh Dika.
Dika hanya menggeleng pelan, bibirnya bergerak tetapi tidak ada kata yang keluar. Air mata mengalir dari sudut matanya, dan tubuhnya bergetar hebat.
Abrisam menyentuh dahi Dika, dan rasa dingin segera menjalar ke tangannya. "Tubuh kamu dingin banget." gumamnya, semakin panik.
"Dika, coba tarik napas, ya. Tenang, Kakak di sini." ucapnya sambil mencoba menenangkan, tetapi kondisi Dika semakin memburuk. Napasnya semakin berat, dan kelopak matanya mulai menutup.
"Dika! Bertahan, Dik! Jangan tidur dulu, ya. Ayo, liat Kakak!" seru Abrisam sambil mengguncang bahunya dengan lembut.
Namun, tubuh Dika akhirnya melemas sepenuhnya. Matanya menutup, dan napasnya terdengar sangat lemah. Abrisam segera meraba leher adiknya, memeriksa denyut nadinya yang terasa lambat dan tidak stabil.
"Dika! Jangan lakukan ini, Dika!" ucapnya dengan suara bergetar.
Tanpa berpikir panjang, Abrisam segera menggendong tubuh lemah Dika ke luar kamar. Suaranya yang panik memecah keheningan malam. "Mamah! Rian! Alby!" serunya.
Nara, yang mendengar suara itu, langsung keluar dari kamarnya dengan wajah panik. Melihat Abrisam menggendong Dika yang tak sadarkan diri, matanya membelalak, jelas menunjukkan keterkejutan.
"Ya Tuhan, Abrisam, apa yang terjadi pada Dika?" tanyanya sambil menahan isakan.
"Aku nggak punya waktu untuk jelasin, mah! Aku harus bawa Dika ke rumah sakit sekarang!" jawab Abrisam tegas.
Rian dan Alby segera bangkit dari kamar masing-masing. Rian dengan cepat membuka pintu depan, sementara Alby membantu membawa barang-barang yang mungkin diperlukan. "Ayo, Kak! Bawa dia ke mobil!" seru Rian.
Abrisam berlari ke mobil, dengan hati-hati meletakkan Dika di kursi belakang. Nara duduk di sebelahnya, terus memegang tangan Dika yang terasa dingin sambil menangis. "Dika, bertahan ya, Nak. Kamu harus kuat." bisiknya penuh doa.
Abrisam menyetir dengan kecepatan penuh, fokus sepenuhnya untuk membawa adiknya ke rumah sakit. Wajahnya penuh kecemasan, tetapi ia berusaha tetap tenang.
"Aku nggak akan biarkan kamu kenapa-kenapa, Dik. Kamu dengar Kakak, kan?" gumamnya pelan, meskipun ia tahu Dika mungkin tidak bisa mendengar.
Di perjalanan, Rian menepuk bahu Abrisam dari kursi depan. "Kita nggak tahu apa yang terjadi, tapi apa pun itu, Dika harus baik-baik saja. Dia nggak bisa terus-terusan seperti ini. ucapnya dengan nada serius.
Abrisam hanya mengangguk, tidak mampu berkata apa-apa. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran tentang kondisi Dika. Bayangan tubuh lemah adiknya yang bersimbah keringat dingin terus menghantuinya.
Sesampainya di rumah sakit, Dika segera dibawa masuk ke ruang IGD. Abrisam menyerahkan Dika kepada tim medis, meskipun hatinya terasa berat meninggalkan adiknya di tangan orang lain. "Tolong, pastikan dia baik-baik saja." pintanya dengan suara pelan namun penuh emosi.
Di luar ruang IGD, keluarga Bratajaya berkumpul dengan wajah penuh kekhawatiran. Nara menangis dalam pelukan Rian, sementara Alby memutuskan untuk pulang dan mengabari adik-adiknya yang lain.
Abrisam berdiri di dekat pintu, menatap ke arah ruang IGD dengan perasaan cemas yang sulit ia sembunyikan.
Dalam hati mereka, semuanya tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan Dika, sesuatu yang lebih besar dari apa yang mereka pahami. Namun, untuk saat ini, mereka hanya bisa berharap dan berdoa agar Dika baik-baik saja.
.
.
.
.
.
.
To
Be
Continued
Jangan lupa vote + komen biar aku makin semangat nulisnya
sampai jumpa di chapter berikutnya
>_<
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro