Enam
C
H
A
P
T
E
R
6
~~~
Keesokan harinya, suasana sekolah begitu meriah. Bendera dan dekorasi warna-warni menghiasi seluruh area, menambah semarak acara ulang tahun sekolah. Para siswa sibuk menjaga stand kelas masing-masing, menjual beragam makanan, aksesoris, hingga permainan kecil yang menarik perhatian pengunjung.
Sekolah sengaja dibuka untuk umum hari ini, sehingga suasana terasa lebih ramai dari biasanya. Banyak orang tua siswa yang datang, termasuk anak-anak dari sekolah lain yang ingin menyaksikan pertunjukan seni dan lomba-lomba yang digelar.
Di salah satu sudut sekolah, stand yang dikelola oleh Dika dan Rezvan bersama kelas mereka tampak cukup ramai. Mereka menjual makanan ringan dan minuman segar. Rez yang energik sibuk melayani pembeli, sementara Dika duduk di belakang meja kasir, memastikan semuanya berjalan lancar. Wajah Dika terlihat lebih segar dibandingkan kemarin, meskipun masih ada sedikit pucat di pipinya.
"Rez, ini uang kembalian buat pembeli tadi." kata Dika sambil menyerahkan beberapa lembar uang.
"Thanks, Dik. Kamu jangan terlalu capek ya. Kalau mau istirahat dulu, bilang aja." balas Rez sambil tersenyum, lalu melayani pembeli berikutnya.
Tak jauh dari sana, Dirga, Alby, dan Nara terlihat berjalan masuk ke area sekolah. Nara tampak anggun dengan dress sederhana namun elegan, sementara Dirga dan Alby mengenakan pakaian kasual yang tetap stylish. Mereka segera menuju ke area utama, di mana panggung besar telah dipasang untuk pertunjukan seni.
"Mana Kak Sam dan Kak Rian?" tanya Dirga sambil memeriksa pesan di ponselnya.
"Mereka bilang akan nyusul, mungkin nanti pas acara utama dimulai." jawab Alby sambil mengangkat bahu. "Kak Sam masih di rumah sakit, katanya ada pasien darurat. Kalau Kak Rian? Ya, kamu tahu dia, kemungkinan besar masih sibuk dengan studionya."
Nara tersenyum lembut. "Ya sudah, nanti kita tunggu mereka di area pertunjukan. Mamah juga penasaran mau lihat anak-anak manis Mamah tampil."
Ketiganya berjalan-jalan sebentar, menikmati suasana. Dirga sesekali berhenti di stand yang menarik perhatiannya, terutama yang menjual makanan. "Wah, ada takoyaki, Mah. Aku beli dulu, ya." katanya dengan antusias, membuat Alby tertawa kecil.
Sementara itu, di area panggung, para siswa dari ekskul seni musik sedang sibuk mempersiapkan alat-alat mereka untuk pertunjukan nanti. Rezvan, yang merupakan vokalis utama, sibuk memeriksa mikrofon dan berbicara dengan anggota tim lainnya. Dika, meskipun masih terlihat sedikit lelah, tetap berusaha membantu mengatur alat musik.
"Rez, semuanya udah siap, kan? Jangan sampai ada masalah pas tampil nanti." kata Dika sambil memeriksa daftar lagu.
"Tenang aja, Dik. Aku udah cek semuanya tadi pagi. Kamu santai aja, fokus sama kondisi kamu." jawab Rez sambil menepuk bahu Dika.
Dika mengangguk pelan. "Iya, aku tahu. Jangan khawatir, aku udah baik-baik aja kok."
Ketika waktu menunjukkan pukul dua siang, pengunjung semakin ramai berkumpul di depan panggung utama. Para penampil dari ekskul seni musik sudah bersiap di belakang panggung, termasuk Bima, yang hari ini menjadi vokalis tambahan untuk menggantikan Axel. Bima tampak percaya diri meskipun ini adalah acara besar pertamanya.
Di tengah keramaian, Nara, Dirga, dan Alby telah mengambil tempat duduk di barisan depan. Nara melambaikan tangan ke arah Dika dan Rezvan yang sedang berjalan menuju belakang panggung. "Dika! Rez! semangat ya! Kami semua di sini untuk mendukung kalian!" serunya.
Rezvan tersenyum dan melambaikan tangan kembali. "Iya, Mah. Makasih!"
Dirga berseru, "Jangan lupa nyanyi yang keren, Rez! Aku udah siap rekam pakai HP nih."
Acara dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah, diikuti oleh beberapa penampilan tari tradisional dan modern dari ekskul tari. Suasana semakin memanas ketika ekskul seni musik dipanggil untuk tampil. Rezvan melangkah maju ke panggung dengan percaya diri, diikuti oleh Bima dan para pemain musik lainnya.
"Ladies and gentlemen, mari kita sambut penampilan spesial dari ekskul seni musik!" suara MC menggema di seluruh aula, diikuti oleh sorak-sorai penonton.
Rez mengambil mikrofon, tersenyum lebar ke arah penonton. "Selamat siang semuanya! Kami dari ekskul seni musik akan mempersembahkan beberapa lagu untuk kalian. Jadi, duduk santai, nikmati, dan mari kita bersenang-senang!"
Lagu pertama dimulai dengan alunan gitar lembut yang dimainkan oleh Dika, membuka suasana dengan nada-nada menenangkan. Suara Rez yang lembut namun kuat mengalun merdu, berpadu dengan suara Bima yang lebih rendah dan serak.
Chemistry mereka yang memukau berhasil memikat hati para penonton. Bahkan Nara terlihat meneteskan air mata kecil, bangga melihat anak-anaknya tampil di atas panggung.
Di tengah aula yang penuh dengan riuh tepuk tangan dan sorakan penonton, pria bercoat hitam itu berdiri dengan tenang di sudut, seolah tidak terpengaruh oleh suasana ramai. Senyumnya samar, hampir tidak terlihat, tapi matanya tetap tajam mengamati setiap gerakan di atas panggung.
"Bagus sekali." gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar di antara keramaian. "Anak itu memang berbakat... seperti yang aku duga."
Pengawal setianya yang berdiri di dekatnya segera mendekat, membungkuk sedikit, dan berkata dengan sopan, "Tuan, mari kita duduk. Tempat sudah disiapkan."
Pria itu mengangguk singkat, membiarkan pengawalnya menuntunnya ke tempat duduk yang telah dipilih. Jaraknya cukup jauh dari tempat Nara, Dirga, dan Alby berada, tetapi cukup strategis untuk mengamati seluruh panggung tanpa gangguan.
Namun, saat mereka hendak berjalan menuju bangku, tiba-tiba seorang siswa berlari tergesa-gesa dari arah belakang.
Siswa itu mengenakan pakaian taekwondo lengkap, dengan sabuk yang diikat rapi di pinggangnya. Tangan siswa itu penuh dengan beberapa papan kayu yang akan digunakan untuk atraksi. Ia tampak terlalu fokus pada tujuan hingga tak menyadari keberadaan pria itu.
Bruk!
Siswa itu tak sengaja menabrak pria bercoat hitam tersebut. Papan-papan kayu yang dibawanya jatuh berhamburan ke lantai, diikuti sabuk yang terlepas dari genggamannya. Rey, siswa itu, langsung tersentak dan menatap pria yang ditabraknya dengan rasa bersalah.
Pengawal pria itu melangkah maju dengan ekspresi tajam, jelas tidak senang dengan kelalaian Rey. "Hei, apa kau tidak lihat sedang berjalan di mana?!" bentaknya dengan suara tegas.
Namun, sebelum pengawal itu sempat melanjutkan omelannya, pria bercoat hitam itu mengangkat tangannya, memberi isyarat agar pengawalnya diam. Pengawal itu segera mundur, meskipun tatapan tajamnya tetap terarah pada Rey.
Rey yang menyadari kesalahannya segera membungkukkan badan dalam-dalam. "Maaf, saya tidak sengaja. Saya terlalu buru-buru." ucapnya, suaranya terdengar sedikit panik.
Pria itu membenarkan kacamata hitamnya yang sempat tersenggol akibat tabrakan. Lalu, ia menunduk sedikit, memungut salah satu papan yang terjatuh, dan menyerahkannya kepada Rey dengan senyum tipis. Tangannya yang lain bertumpu pada pundak Rey, memberi sentuhan ringan namun terasa aneh.
"Tidak apa-apa." ucap pria itu dengan suara berat yang dalam. Nada bicaranya terdengar tenang, tetapi ada sesuatu yang membuat Rey merinding.
Rey mengangkat kepalanya perlahan, ingin melihat wajah pria yang suaranya baru saja membuatnya merasa tidak nyaman. Tapi kacamata hitam dan ekspresi samar pria itu membuatnya sulit membaca maksud di balik senyuman tersebut.
Rey hanya bisa terdiam sejenak. Jantungnya berdegup lebih cepat, bukan karena rasa bersalah, melainkan karena firasat aneh yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya. Suara pria itu, meskipun ramah di permukaan, memiliki nada yang membuat Rey merasa seperti sedang dihakimi.
Pria itu kembali menepuk pundak Rey dengan pelan. "Kamu pasti mau tampil, ya? Jangan sampai terlambat." katanya, masih dengan senyum yang sama.
Rey mengangguk kaku. "I-iya, terima kasih." ucapnya pelan, lalu buru-buru memungut sisa papan dan sabuknya sebelum pergi.
Pengawal pria itu mengangkat alis, sedikit bingung melihat sikap tuannya yang tiba-tiba menjadi ramah. "Tuan, anda tidak apa-apa? Apakah anda mengenal anak itu?"
Pria itu menoleh sedikit ke arah pengawalnya, senyum samar di bibirnya masih terukir. "Aku tidak apa-apa, anak itu... menarik, sepertinya aku tau dia siapa." jawabnya
Pengawal itu hanya menatap tuannya dengan bingung, tetapi memilih tidak bertanya lebih lanjut. Pria bercoat hitam itu kembali berjalan menuju bangkunya, sementara Rey terus berlari menuju belakang panggung, mencoba mengabaikan rasa aneh yang terus menghantuinya sejak mendengar suara pria itu.
~~~
Suasana panggung semakin semarak saat penampilan ekskul seni musik berjalan. Rezvan dan Bima memukau penonton dengan duet mereka, membuat tepuk tangan meriah menggema di seluruh aula. Dika memainkan gitar dengan apik, menjaga harmoni yang sempurna dalam setiap lagu. Di tengah penampilan tersebut, Abrisam dan Rian akhirnya tiba, menyusul keluarga Bratajaya yang sudah lebih dulu duduk di barisan penonton.
Abrisam, yang masih mengenakan jas kerja, langsung menuju tempat duduk di dekat Nara, Alby, dan Dirga. "Maaf, telat. Tadi ada pasien darurat." ucapnya sambil melepas jasnya dan duduk.
Rian, yang mengenakan jaket kulit, hanya mengangguk singkat. "Aku tadi di studio. Untung masih sempat." katanya santai.
"Pas banget kalian datang." ujar Alby sambil menunjuk ke arah panggung. "Lihat, itu Dika sama Rez. Mereka lagi tampil."
Abrisam dan Rian mengarahkan pandangan ke panggung, melihat dua adik mereka yang sedang tampil dengan percaya diri. Sesekali Abrisam tersenyum bangga, sementara Rian hanya mengangguk pelan, meskipun ada sedikit kekaguman di matanya.
Setelah penampilan Rez dan Bima selesai, giliran Rey tampil dengan atraksi Taekwondo yang memukau.
Sorak sorai kembali terdengar saat Rey memamerkan gerakan-gerakan khas, termasuk memecahkan papan dengan tendangan berputar. Meskipun sebelumnya sempat merasa kesal, Rey berhasil mengalihkan fokusnya ke penampilan dan memberikan yang terbaik.
Setelah semua penampilan selesai, para tamu mulai meninggalkan aula, sementara siswa dan panitia sibuk membersihkan area. Rezvan dan Dika mendekati tempat duduk keluarga mereka, membawa Bima untuk diperkenalkan.
"Mah, Kakak." panggil Dika sambil tersenyum. "Kenalin, ini Bima. Dia baru masuk ekskul seni musik tapi berhasil tampil keren menggantikan salah satu vokalis kami yang sakit, Bima benar-benar membantu banget di acara ini."
Bima, meskipun terlihat sedikit canggung, membungkukkan badan sopan. "Salam kenal, semuanya. Terima kasih sudah menonton kami tadi."
Nara tersenyum lembut. "Wah, terima kasih juga sudah membantu Dika dan Rez. Penampilan kalian tadi sangat bagus."
Dirga menyeringai sambil menunjuk Bima. "Suara kamu keren banget. Kalau nggak tahu, aku pasti pikir kamu penyanyi profesional."
Bima tersenyum kecil. "Ah, terima kasih, Kak. Saya masih belajar."
Sementara itu, Rian mengamati Bima dengan mata tajam, seolah mencoba menilai sesuatu. "Kamu kelihatan cukup percaya diri di panggung. Bagus, pertahankan." ucapnya singkat.
Setelah perkenalan selesai, Rezvan dan Dika mengajak Bima untuk berkeliling melihat stand-stand yang masih buka. Karena acara utama selesai, suasana sekolah mulai lebih sepi, hanya beberapa siswa yang sibuk bersiap untuk pesta malam nanti.
"Yuk, keliling. Stand kelas lain masih ada yang jual makanan enak." ujar Rezvan dengan semangat.
Saat mereka berjalan, suasana terasa santai dan menyenangkan. Bima terlihat menikmati suasana, meskipun kadang ia tampak terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Namun, suasana itu berubah saat Rey tiba-tiba muncul dengan wajah masamnya. "Kak Rez, Kak Dika!" panggil Rey sambil menatap Bima dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Rezvan langsung menyadari suasana hati Rey dan dengan sigap menarik adiknya itu ke samping. "Rey, ada apa lagi, sih? Kalau cuma mau cemberut, mending ikut aku aja. Kita beli minuman, yuk." ujarnya sambil menggiring Rey pergi sebelum suasana berubah tegang.
"Eh, tunggu! Aku mau ikut-" protes Rey, tapi Rezvan sudah menyeretnya menjauh, meninggalkan Dika dan Bima berdua.
Dika menghela napas kecil, lalu menoleh ke Bima. "Kayaknya tinggal kita berdua. Ayo, kita lanjut keliling. Aku tahu ada stand yang jual takoyaki enak." ujarnya sambil tersenyum.
Bima hanya mengangguk pelan, ekspresinya terlihat sedikit lelah. Namun, ada sesuatu dalam sorot matanya yang tampak tidak biasa-seperti sedang gelisah atau memikirkan sesuatu.
Dika tidak terlalu memperhatikan, menganggap mungkin Bima hanya lelah setelah hari yang panjang.
~~~
Saat Dika dan Bima berjalan menyusuri lorong menuju area stand yang lebih sepi, langkah mereka terhenti di sebuah persimpangan kecil yang cukup sepi. Di sana, seorang pria dengan coat hitam berdiri sambil mengamati sekeliling. Pria itu tampak seperti sedang menunggu seseorang, tetapi ketika melihat kehadiran mereka, pandangannya langsung tertuju pada Bima.
Bima, yang awalnya tampak santai, tiba-tiba menunjukkan ekspresi terkejut yang hanya berlangsung sesaat. Ia dengan cepat menormalkan wajahnya, meskipun Dika, yang berdiri di sampingnya, sempat melihat kegelisahan singkat itu.
"Ah, Bima." ucap pria itu dengan suara berat namun halus, matanya menatap tajam ke arah mereka. "Kebetulan sekali kita bertemu."
Bima menelan ludah, lalu tersenyum tipis. "Ayah... Apa yang Ayah lakukan di sini?" tanyanya, suaranya terdengar canggung.
Dika, yang berdiri di samping Bima, langsung mengerti bahwa pria itu adalah ayah Bima. Ia buru-buru menundukkan kepala untuk memberi salam.
"Selamat sore, Pak. Salam kenal, saya Randika Bratajaya. Kakak kelas sekaligus teman satu ekskul Bima." katanya sopan.
Pria itu tersenyum tipis, tetapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Dika merasa sedikit tidak nyaman. "Ah, Randika." ulang pria itu pelan, seolah menikmati menyebut nama itu.
"Teman Bima, ya? Senang sekali bertemu denganmu."
Dika mengangkat kepalanya perlahan, tetapi tatapan pria itu membuatnya merasa aneh. Mata pria itu terlalu tajam, terlalu penuh perhatian, seakan sedang mempelajari setiap gerakan dan ekspresinya.
"Iya, Pak. Kami sedang melihat-lihat stand setelah selesai tampil di acara tadi." ucap Dika, mencoba tetap sopan.
Pria itu tertawa kecil, meskipun terdengar hambar. "Bima, kamu punya teman tapi tak cerita pada Ayah?" katanya, masih dengan pandangan yang terfokus pada Dika.
"Randika... Nama yang bagus."
Dika tersenyum canggung, tidak tahu harus menjawab apa. "Terimakasih, Pak."
Bima, yang sejak awal terlihat tegang, mulai menyadari bahwa pria itu semakin menunjukkan ketertarikannya pada Dika. Ia tahu benar bagaimana tatapan pria itu berubah menjadi lebih intens, sebuah tanda yang membuat hatinya berdegup lebih kencang. Ia tidak bisa membiarkan hal ini berlanjut.
"Eh, Kak Dika." potong Bima cepat sambil menarik lengan Dika. "Kita masih harus ke stand yang lain, kan? Maaf, Ayah, kami harus pergi. Sampai nanti Ayah." katanya, mencoba terdengar santai meskipun jelas terburu-buru.
Pria itu memiringkan kepalanya sedikit, senyumnya memudar menjadi garis tipis yang sulit ditebak. "Tentu, tentu. Jangan biarkan Ayah menghalangi. Sampai bertemu lagi nanti... Randika." katanya dengan nada yang lebih rendah namun terasa menusuk.
Dika mengangguk sopan. "Iya, Pak. Terima kasih. Kami permisi." ucapnya sebelum mengikuti Bima yang dengan cepat menariknya menjauh.
Saat mereka berjalan cepat meninggalkan area itu, Dika tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Bima, itu tadi ayahmu, kan? Kenapa kamu terlihat gugup? Dia baik, kok, tapi... apa dia memang sedingin itu ya?" katanya sambil melirik Bima.
Bima menunduk sedikit, wajahnya sulit dibaca. "Dia memang seperti itu, Kak. Aku cuma... nggak nyaman kalau Ayah terlalu banyak bicara dengan orang lain."
Dika mengerutkan kening. "Mungkin ini perasaanku saja, tapi Ayahmu kelihatan seperti sudah mengenalku. Padahal ini pertama kali aku bertemu dengannya."
Bima tidak menjawab, hanya mempercepat langkahnya. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu benar apa yang pria itu pikirkan.
Di belakang mereka, pria bercoat hitam itu masih berdiri di tempat yang sama, memandangi punggung kedua remaja itu yang semakin menjauh. Sebuah senyum samar kembali menghiasi wajahnya, tetapi kali ini ada sesuatu yang lebih dingin di dalam senyum itu.
"Randika Bratajaya..." gumamnya pelan, suara itu nyaris seperti bisikan. "Kita akan bertemu lagi, Nak. Dan kali ini, tidak akan ada yang bisa menarikmu pergi."
Pengawal yang berdiri di dekatnya menatap tuannya dengan bingung. "Apa kita harus melanjutkan, Tuan?" tanyanya pelan.
Pria itu menggeleng pelan, masih dengan senyumnya yang penuh arti. "Tidak perlu. Cukup untuk pengenalan saja."
Ia berbalik perlahan, meninggalkan lorong dengan langkah mantap. Suasana tegang yang ia tinggalkan tetap terasa di udara, menjadi pertanda bahwa pertemuan itu baru awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
.
.
.
.
.
.
To
Be
Continued
Jangan lupa vote + komen biar aku makin semangat nulisnya :)
Sampai jumpa di chapter selanjutnya
>_<
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro