Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BWIL - 6. Maunya Kabur

‍‍‍‍‍‍“Dunia tak lain hanya sekadar tipuan.”

— BWIL —

‍‍‍‍‍‍‍‍‍Dara mendengus kasar sesaat setelah mesin mobil dimatikan. Brandon menatap dengan dahi mengernyit seraya melepas seat belt. Gadis itu terang-terangan menekuk wajah, sementara jarinya sibuk menekan-nekan layar ponsel.

“Mau ke rumah sakit aja riweh, segala pake ke indomaret. Doyan banget belanja, kaya tante-tante.”

Memejamkan mata, tangan Brandon yang sempat berhenti di udara kembali membenahi rambut. Ia lalu menjawab, “Saya biasa jenguk anak kecil sakit bawa makanan. Lagian Celya juga keponakan saya.”

Melalui ujung mata, Brandon tahu Dara sedang menggerakan bibir meniru kalimatnya tanpa suara. Ia lantas mengatupkan bibir rapat, menghela napas panjang. Rasanya seperti menikahi anak lima tahun alih-alih 20 tahun.

“Kamu tunggu di sini saja, saya cuma mampir sebentar.”

“Yaudah sana.”

Dara yang masih sibuk dengan smartphone kembali bergumam, “Lagian siapa juga yang mau jalan berduaan sama om-om tua.”

Meski jemari Brandon sibuk mengetikkan balasan pesan, ia sempat terkekeh kecil karena kalimat kurang ajar Dara. Apa tadi, om-om tua. Begini rupanya mulut gadis yang membuat Satya tergila-gila. Terlalu nyablak, ngelawan terus.

Di dalam mini market, Brandon melangkah melewati beberapa rak barang sesekali menoleh ke belakang. Memastikan Dara tetap pada posisinya. Di pojok sana, pemuda berhoodie hitam lengkap dengan masker menatap lurus, menunggu kedatangan pria yang baru saja turun dari mobil sedan birunya.

“Dia gak bakal nyusul?” sapa pemuda itu seketika.

“Gak. Ada masalah apa?”

“Gue gak suka ya, Bang. Lo rangkul-rangkul Dara kaya di kampus kemaren.”

Brandon memalingkan wajah, menyeringai tipis. Siapa juga yang doyan bocah kecil, manja, gak ada manis-manisnya kaya dia.

“Bukannya bagus, kamu jadi gak punya saingan lagi di kampus. Gak akan ada yang berani deketin Dara. Semuanya tau kalo dia udah punya suami.”

Pemuda itu mendekat, menepuk bahu, dan menedekatkan wajahnya pada telinga Brabdon. “Bagaimana pun lo gak boleh terlalu serius kaya kemaren. Istri lo berserta segelnya cuma punye gue.”

Brandon menoleh, menepuk balik bahu pemuda di sampingnya. “Mobilnya gak dikunci, kamu bisa ngobrol sama dia kalo mau.”

Disaat yang bersamaan, pemuda berhoodie tersebut menunjukkan layar ponselnya. Panggilan masuk dari Dara. “Gue gak bisa. Yang ada gue bakal batal berangkat ke Amrik, malah bawa lari Dara.”

Sontak Brandon tertawa pelan. Bucin sekali bocah seumur jagung ini. Tanpa pamit apa pun, Brandon melangkah mundur, berbalik menjauh.

“Bang! Janji lo bakal jagain Dara buat Satya. Awas, jangan sampe lo naksir dia.”

Brandon hanya mengacungkan ibu jari kanannya tanpa repot-repot berbalik badan. Ia refleks mengusap leher belakang. Gadis ingusan tanpa tata krama itu, rupanya menjelma jadi bidadari di mata Satya. Sialan. Mengapa pula dirinya terjebak dalam kisah cinta bodoh dua remaja ingusan itu.

Ketika Brandon masuk ke mobil, Dara langsung mencak-mencak tak jelas karena kantong belanjaan ia  taruh di atas pangkuan gadis itu. Brandon kembali hanya menyeringai.

“Pake seat beltnya,” titahnya seraya beegegas memutar mobil.

“Ngapa sih kagak diangkat-angkat.” Dara menyimpan ponsel di atas dashboard. Sambil sesekali merutuk, ia mengintip isi kantong kresek.

“Biskuit, coklat, jus jambu, milk choco banana. Permen. Kripik?” Brandon tak bergeming, maka Dara menjulurkan tangannya.

“Kamu gak liat ssya lagi nyetir!” Lelaki tersebut sontak saja menepis kasar tangan Dara yanb dengan santainya melambaikan makanan ringan tepat di depan wajah Brandon.

“Sans aja kali, gak usah ngegas. Lagian mana ada orang sakit dibawain chiki. Gak nalar emang.”

“Celya sakit DBD, bukan radang tenggorkan.”

“Ya tapikan ...” Dara terus saja menggerutu panjang lebar. Dara kembali mengagetkan Brandon saat satu cup es krim menempel di pipi kirinya.

“Kamu gak bisa ya duduk diem, saya lagi nyetir.”

“Ya tau, mata gue gak juling sampe gak bisa liat lo lagi ngapain. Tinggal jawab aja pertanyaannya apa susahnya, sih.”

“Tanya apa?”

“Tuh, sebenernya yang minus siapa, sih. Budek kali ya, udah ditanya bolak-balik padahal.”

Tak sekalipun menoleh atau menyahut. Brandon diam seolah keberadaan Dara tak benar-benar ada. Masa bodolah, ia tak menyangka akan semenyusahkan ini mendengarkan ocehan Dara yang tak ada habisnya.

“Mau bunuh celya ya, udah tau dia minun obat, masa dikasih es krim.”

“Ya saya tau, itu emang saya beliin buat kamu. Kamu aja dari tadi ngomong gak berhenti-berhenti.”

***

Ruang rawat Celya begitu ramainya saat sepasang suami-istri itu bertandang. Dara, tentu saja dia yang paling banyak bicara di sana. Sementara Maya hanya bisa diam menonton, begitu pula dengan Brandon yang memerhatikan.

“Kak Maya, maafin Dara ya datengnya siang banget. Jadi bikin Kak Maya gak mandi pagi, deh.”

Perempuan dengan dua anak itu tersenyum, “Gapapa, Dar.”

“Eh, aku tinggal dulu ya, Kak. Mau cari makan, laper banget nih. Nanti, aku yang jagain Celya sampe maghrib. Kak Maya masak aja buat makan malemnya Bang Marchel.”

Sepeninggalnya Dara. Suasan dalam ruangan hening. Tak lama setelahnya, “Cely sayang, Mama pulang dulu, ya. Nanti dijagain sama Tante Dara.”

Perempuan itu bergegas keluar. Brandon tentu saja tak tinggal diam, dia bahkan menahan Maya di lorong rumah sakit. Persis di depan ruang rawat Celya.

“Aku antar pulang.”

Maya menarik tangan. “Gak usah,” ucapnya tanpa berbalik badan.

Dengan langkah lebar Brandon mengejar Maya, berdiri menghadang jalan kakak iparnya. “Aku antar pulang.”

“Aku bisa pulang sendiri.”

“Aku gak mau kamu kenapa-napa!” Brandon meremas kedua sisi lengan Maya. Wanita itu tentu saja menepis tangan adik iparnya, mundur selangkah.

“Jangan lancang, ya. Aku kakak ipar kamu sekarang.”

Brandon menampilkan seringai tipisnya. Maya kembali angkat suara, “Aku gak tau apa niat kamu ngelakuin semua ini. Tapi, tolong hargai sedikit kepercayaan suami aku, sahabat kamu.”

Baik Naya atau Brandon sama-sama terpaku pada posisinya. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dua pasang manik berbeda saling terkunci satu sama lain. Ada perasaan takut beserta rasa bersalah. Ada pula yang penuh dengan kerinduan juga dendam.

Tiba-tiba sebuah suara menginterupsi keduanya. “Kok mama masih di sini? Mama gak jadi pulang?”

“Jadi, sayang. Cely emangnya mau apa?”

Dari arah yang berlawanan, Di ujung lorong sana Marchel tersenyum, mengangkat tangannya menyapa. Brandon cuma tersenyum, lalu kembali menikmati interaksi hangat keluarga kecil Marchel. Istri dan anak yang seharusnya jadi milik dia, bukan Marchel.

***

Sesampainya di depan gerbang rumah Marchel, baik Brandon atau pun Dara sama-sama tak percaya dengan sesosok berjaket yang berdiri bersama motornya di sana.

“Siapa?”

“Itu Rian. Ngapain ya dia ke sini.”

“Rian sepupu kamu?”

Dara menggeleng. “Temen kampus. Bukain kuncinya. Gue keluar dulu, ya,” pamitnya saat seseorang di luar nengetuk jendela kaca sisi kursi Dara.

“Jangan!”

Dara memandang heran pada Brandon. Sesekali ia menengok ke arah jendela. Suara nyaring klakson mobilnya semakin membuat Dar kebingungan.

“Sial! Ke mana satpamnya.”

“Om kenapa, sih?”

Brandon tak menjwab, malah kembali menekan klaksonnya panjang. “Jangan gaduh dong om, lagi maghrib nih, loh. Pak Karto lagi sholat kayanya.”

“Jaga gerbang aja gak becus! Lelet kerjanya.”

“Yaudah sih, gue yang bukain gerbangnya. Gitu aja ribet banget.”

Tak ada respon dari Brandon. Dara sedikit berdiri, mencoba meraihtombol kunci pintu. “Bukaaa!”

Mendorong Dara kembali pada kursinya. Brandon membentak, “APA-APAAN KAMU!”

“Diem aja bisa kan. Gak usah ngoceh mulu,” imbuh Brandon seraya menginjak gas pelan. Memarkirkan mobil di pelataran.

Sementara Brandon melangkah menuju pintu utama, Dara malah berlari ke gerbang luar. “Bawa gue kabur Riaaan.”

Brandon sontak saja berbalik, mengambil seribu langkah, mengejar langkah kecil Dara. Di balik badan pemuda itu, Dara terus mengoceh tak jelas. “Mana Satya, Yan? Ayo bawa gue ke dia. Cepetan yan, cepet!”

Dengan napas tersengal, Brandon berusaha menarik Dara. “Ayo Dara, masuk!”

Dara menolak, anak ingusan di hadapannya juga berusaha menepis tangan Brandon. Sepertinya memang berniat ingin mengajak Dara main keluar. 

“Sekali kamu bawa istri saya kabur. Akibatnya gak akan baik buat kamu.”

“Eng. Enggak om. Saya cuma mau ketemu Dara, ngobrol aja.”

“Liat,” Brandon berusaha melepas tangan Dara yang melingkari perut pemuda itu. “Dara lagi gak bisa diajak ngobrol. Mending kamu pulang aja.”

Perlahan dan pasti, remaja di depannya melepaskan lingkaran tangan Dara. Mundur perlahan dan meninggalkan pelataran bersama motornya.

“Yan! Lo kok ninggalin gue sih, Yaaan!”

“Masuk Dara.”

“Bacot!”  Gadis itu berlari lalu berteriak, “Mau maen keluar aja susah banget anj*ng!”

To be continue ....

Next part -» “Memangnya kamu mau saya gimana selama bulan madu?”

Dara versi malu-malu: 🤗
//plakk

22 April 2021
22.47 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro