2A. Ayal
Riandry memijit kepalanya yang pusing. Sudah dua hari sejak kejadian makan malam laknat itu dan sejak saat itu, denyut di kepalanya mulai sering muncul. Hari ini, denyut yang tak nyaman itu telah berubah jadi sedikit lebih menyakitkan.
Dia tidak bisa tidur. Bukan karena kata-kata bosnya yang penuh penghinaan, melainkan perkara uang semilyar yang jelas-jelas dia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Uang yang akan dengan sangat mudah jadi miliknya jika dia mau jadi istri Rama.
Tapi memilih untuk menikahi Rama juga ada konsekuensinya. Tak hanya tentang dirinya harus mematikan indera pendengarannya karena mulut pedas bapaknya, dirinya belum rela melepas pekerjaannya sebagai sekretaris di perusahaan ini.
Dengan uang satu milyar itu, apa mungkin Rama akan mau mengganti gajinya tiap bulan setelah dirinya jadi istri? Konsep istri masih terasa tidak nyata bagi Riandry. Melayani kebutuhan suami, mendidik anak-anak, dan mengurus rumah. Kemudian sebuah bayangan tentang dirinya harus merengek manja pada Rama untuk mendapatkan uang bulanan langsung membuatnya merinding.
"I can't!" seru Riandry. Kembali memijit kepalanya yang berdenyut menyiksa.
"Nggak bisa kenapa?" tanya seseorang sambil duduk di hadapannya. Si social butterfly yang tengah populer akhir-akhir ini menyeringai, seakan tengah bahagia akan sesuatu.
"Kenapa Pak Dirga bisa ada di sini?" tanya Riandy yang sore ini tengah duduk di taman menikmati jam istirahatnya yang datang lebih telat karena dirinya harus membersamai Rama rapat panjang dengan para manajer di divisinya.
"Ada urusan dengan personalia dan nggak sengaja lihat kamu ke taman. Abs, I mean, Pak Rama sedang di mana?"
"Di ruangannya."
"Nggak makan siang?"
Riandry melihat jam tangannya. "Tadi minta tolong ke OB buat antar makan siangnya ke ruangan."
"Jadi, kenapa kamu kelihatan stres sekarang ini?"
Alih-alih menjawab tanya Dirga, Riandry malah mengembus napas panjang. Tidak tahu harus memulai ceritanya dari mana. Dia tidak mampu mengatakan bahwa teman baik pria di hadapnya itu telah mengajaknya menikah.
"Oke kalau kamu nggak tahu apa penyebab stres kamu. Sekarang saya mau tanya, just for a confirmation, apa Rama sudah make some move ke kamu?"
sepasang mata Riandry membelalak. Tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan ini. Dari mana Dirga tahu kalau dirinya telah dilamar bosnya sendiri. "Bapak denger ini dari mana?"
"Abs, maksud saya Pak Rama. Dia tanya kapan hari tentang kamu yang ingin menjual jiwa raga kamu demi duit semilyar."
"Dua hari lalu tepatnya, dia lamar saya di restoran yang saya pilih sendiri."
Alis Dirga naik, seolah-olah dia kelihatan kaget. "Dia ngajak kamu nikah?"
Riandry mengerutkan dahinya. Bukankah sejak tadi Dirga tahu bahwa dirinya telah dilamar bosnya? "Bapak nggak tahu kalau temen baik Pak Dirga ngajakin saya nikah?
Pria itu menggeleng. Entah kenapa, Riandry seolah melihat ujung bibir Dirga berkedut. Seakan tengah menahan tawa. "Saya tadi cuman ingin mengonfirmasi apa teman saya membuat pergerakan ke kamu. Soalnya kapan hari dia tanya tentang kamu yang pengen menjual jiwa raga kamu dengan duit semilyar."
"Wah," Riandry menatap langit yang siang ini sekelabu kemarin, bukan karena mendung melainkan karena udaranya tercemar polusi. "Saya bahkan cuman mikir bos saya ingin nikahin saya. Realita hidup saya benar-benar ngegampar saya dengan kerasnya." Dia kemudian tertawa-tawa.
Karena menangis pun tak ada gunanya. Riandry benar-benar sadar bahwa dirinya adalah generasi roti lapis sejati. Bagaimana tidak, dalam dua hari terakhir ini, yang dia pikirkan hanya tentang uang semilyar yang akan dia dapatkan dan tentang bagaimana nasib pendapatannya setelah menikah.
Tidak terlintas satu pemikiran pun tentang kenapa bosnya ingin menikahi dirinya. Tidak ada satupun pertanyaan tentang sejak kapan Rama melihatnya sebagai calon pasangan yang tepat untuk pria itu. Bahkan Riandry tak bertanya pada Rama malam itu, tentang sejak kapan pria itu mulai melihatnya sebagai wanita.
"Kenapa?" tanya Dirga yang nampak kebingungan. Memecah pikiran Riandry yang kemana-mana. "Kamu kayaknya nggak cuma stres, Ndry. Tapi depresi. Tuh, sampai ketawa sendiri."
Tawa Riandry usai. Dia menggeleng berulang. "Belum depresi kok, Pak Dirga. Saya cuman ngetawain diri saya sendiri yang mata duitan. Nggak tertolong deh kayaknya."
"Kenapa bisa nyimpulin kayak gitu?"
"Pas Pak Rama ngajakin saya nikah, saya bahkan nggak tanya, apa dia suka saya. Apa dia ada masalah sampai harus nikahin saya. Saya bahkan nggak bertanya kenapa dia bawa duit semilyar dihadapan saya. Begitu mata saya lihat tumpukan duit yang bisa dengan mudah jadi milik saya, saya lupa semuanya. Dan saya barusan saja nyadar, ternyata saya secinta itu pada duit."
"This is so entertaining," gumam Dirga.
"Maksud bapak?"
"Kalian berdua," jawab Dirga. Dia kemudian mengambil napas panjang lalu kembali bersuara. "Boleh kasih saran?"
Riandry menggeleng berulang, menolak. Entah kenapa merasa saran pria di hadapannya akan membawanya pada kesesatan.
"Nikahin saja dia. Ajuin beberapa syarat."
"Syarat?"
Dirga mengangguk. "Misalnya, dalam pernikahan kalian tidak boleh ada sentuhan fisik atas izin kamu."
"Duit semilyar itu kata bapak buat beli jiwa raga saya. Jadi setelah saya terima duitnya, dia bisa berbuat sesuka hatinya, Pak Dirga."
"Teman saya memang suka ngehina orang tanpa pandang bulu, but he's still human, Ndry. Dia nggak bakal seenaknya nyentuh kamu tanpa consent. Sepanjang ingatan saya berteman dengan dia puluhan tahun, kesukaannya di berbagai gaya saja. Hanya sepasang heteroseksual, nggak ada pihak ketiga, keempat, dan seterusnya," terang Dirga. Sekali lagi Riandry bisa melihat ujung bibir lawan bicaranya berkedut. Entah apa artinya itu?
"Meski saya dapat semilyar, duit itu juga bakal langsung habis buat sekolah pilot Rafid, Pak Dirga. Terus, apa kabar gaji yang saya dapat setiap bulannya? Saya belum siap keluar dari pekerjaan saya yang sekarang."
"Nggak usah keluar. Kenapa harus keluar?"
Alis Riandry kembali berkerut. Karena dia ingat dengan jelas bahwa ada klausa yang mengatakan bahwa suami istri tidak boleh bekerja dalam satu perusahaan. "Pak Dirga belum baca peraturan perusahaan kita? Suami istri nggak boleh bekerja di dalam perusahaan kita."
"Kamu tahu nggak penyebab kenapa perusahaan membuat aturan bahwa suami istri tidak boleh bekerja di sini? Untuk menghindari konflik personal. Kalaupun kamu dan Abs menikah, um, Rama maksud saya, memang bakalan muncul konflik personal? You don't even love him anyway."
Nggak akan ada cemburu atau membawa pertengkaran di rumah ke tempat kerja. Sembunyikan saja pernikahan kalian. Rama pun pasti akan setuju. Satu-satunya manusia yang bisa handle mulut setan Rama kayaknya cuman kamu. I heard, he never insulting your job."
Memang tidak pernah. Tiga tahun bekerja dibawah pimpinan Rama, Riandry tidak pernah mendapat komentar buruk tentang pekerjaannya. Di awal karirnya, sebelum bergabung dengan perusahaan ini, dia jatuh bangun membangun kemampuan kerjanya. Awalnya karena dia ingin bisa pulang tepat waktu jadi dirinya meningkatkan kualitas kerjanya. Cepat, tanggap, cekatan menghadapi situasi tak terduga. "Pak Rama hanya insulting urusan personal saya. Bahkan saat dia ngajak nikah, dia bilang dia memberi saya kesempatan untuk mendapatkan suami seperti dia. Saya salut dengan kepercayaan dirinya."
Dirga tergelak-gelak. Dia kembali bicara setelah tawanya usai. Memberi berbagai input menggoda pada Riandry. Seakan berusaha sekuat tenaga agar Riandry goyah dan mau menikahi temannya. "Nikahi saja dia. Meskipun nyokapnya cukup problematik dan sulit dihadapi, Rama sudah tinggal sendiri. Asetnya banyak, Ndry. Mengingat dia yang nggak hobi traveling, nggak suka main perempuan, nggak suka mabuk, nggak demen sama rokok. Dia juga nggak menghidupi keluarganya. You can doll him up. Kamu bahkan juga bisa make seluruh duitnya. Maksud saya, daripada kamu ketemu sama laki-laki mokondo atau semacam pria-pria hidung belang yang pengen punya simpanan. Bukankah Rama way better? Rama juga not bad buat diajak ke acara kondangan keluarga besar. Kekurangan dia cuman satu, he just bad at choosing his words. He doesn't badmouth people behind their backs. He prefers to insult them directly to their faces."
Riandry terkekeh-kekeh. Merasa omongan Dirga tentang kemampuan bosnya dalam menyinggung orang lain memang benar adanya. Dia tidak segan mencela siapa pun ketika pekerjaan orang lain tidak sesuai standar dirinya. Dia lebih suka mencela, menghina, menyinggung, apapun panggilannya, orang daripada memendam perasaan dan uring-uringan seharian.
"Apanya yang lucu?"
"Kata-kata Pak Dirga tentang bos saya. Dia memang lebih suka nyela orang dihadapan muka mereka. Setelah itu, dia bakal jalanin sisa harinya dengan perasaan bahagia seolah nggak pernah nyakitin perasaan orang lain."
Dirga menggeleng sekali, "Dia hanya buruk dalam pemilihan kosakata, Ndry. Yah bagaimanapun, semuanya terserah kamu," terang Dirga sambil beranjak dari bangku taman, "tapi Abs ..., Rama, punya waktu terbatas juga. Ingat, ada Anya yang siap merampas tempat duduk kamu. Anya has been determined to become his bride for a long time. Kamu tentu tahu bagaimana jalan ceritanya. Jangan lupa juga, mamanya yang punya cita-cita membuat pria itu segera menikah. Kamu tahulah perempuan seperti apa yang akan dikenalkan pada Abs. Kalau nggak selebritis ya model."
Dirga melangkah meninggalkan taman dengan senyum mengembang sempurna, seolah dirinya telah menyelesaikan tugas dengan baik.
Sedangkan Riandry, bukannya makin tercerahkan, malah makin pusing. Kekalutannya dipecah oleh bunyi pelan ponselnya. Sebuah pesan muncul di sana. Dari Dirga.
Pak Dirga : Jangan lupa, Rama bakalan kasih kamu duit semilyar. Sementara perempuan lainnya,
Pak Dirga : sent meme i volunteer.
"Apa gue terima aja?" gumam Riandry menatap layar ponselnya. Jari-jarinya berada di pucuk bibir. Bergerak mencubit di sana. Bahasa tubuh yang selalu dia lakukan ketika bimbang.
==
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro