Tiga Belas
1 Minggu Kemudian....
Setelah kejadian di rumahnya, Syaqira menjadi agak canggung jika bertemu dengan Dane. Ia tak habis pikir bagaimana mungkin adiknya itu mempunyai sifat sangat bar bar seperti itu.
Syaqira melangkahkan kaki ke lantai 39, ruangan Dane. Ia berniat untuk menyerahkan makan siang yang sudah menjadi kebiasaannya selama ini.
Syaqira menekan tombol di pintu Dane seperti biasa. Walaupun Dane adalah temannya, ia masih mempunyai etika di kantor. Setalah ada perintah untuk masuk, Syaqira segera melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam.
"Siang Khana." Sapa Syaqira. Ia kini sangat terbiasa memanggilnya Khana, bahkan jika ada orang lain kadang ia keceplosan. Seminggu ini banyak yang telah mereka lalui bersama walaupun dalam situasi yang agak canggung. Namun dengan semua yang telah mereka lalui, Syaqira sadar bahwa mereka hanyalah teman.
"Siang Kia, silahkan duduk," ujar Dane.
Syaqira pun segera membuka makanan yang ia bawa, dan mereka pun langsung makan dalam diam tanpa ada percakapan apapun. Perlu diketahui bahwa selama seminggu ini mereka selalu makan bersama dan Dane selalu membuat alasan agar sekretarisnya itu bisa keluar dari kantornya selama jam makan siang.
"Emm, Kia ada yang mau aku katakan," ucap Dane ketika selesai makan.
"Iya Khana ada apa?" tanya Syaqira.
"Begini, mulai besok kamu gak usah bawain saya teh di pagi hari, ataupun makan siang, hukuman kamu telah selesai," ucap Dane.
Begitu mencelos hati Syaqira mendengar dari mulut Dane bahwa selama ini ia masih menganggap semua yang mereka lalui adalah hukuman.
"I ... iya Khana, tapi kita masih bisa berteman kan?" tanya Syaqira. Jujur saja ia tak ingin kehilangan Dane.
"Tentu, hanya saja sekarang kita harus lebih membatasi diri," ucap Dane membuat Syaqira tercenung untuk sesaat.
"Te-tentu saja Khana, aku tahu kok batasan antara kita," ujar Syaqira sambil tersenyum paksa.
Tiba-tiba saja pintu dibuka, "Siang Dane, ehh ... ada calon mantu, emmm maksudnya Syaqira"
"Selamat siang Bu," jawab Syaqira. Yang datang adalah Ny. Adiba ibunya Dane.
"Ibu tidak menyangka lho, bisa bertemu kamu lagi disini," ujar Ny. Adiba dan kemudian ia duduk di sofa.
"Emm ... iya Bu, saya permisi dulu hendak ke Mushalla." Pamit Syaqira.
"Silahkan Sya. Seharusnya kamu lho yang jadi mantu Ibu. Udah cantik, sopan, rajin shalat lagi, tapi ya kan jodoh ada yang ngatur ya ..."
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan ibunya Khana, andai saja Khana lebih peka dengan ku, mungkin saja harapan ibunya akan tercapai. Satu minggu ini telah banyak berubah, terutama perasaanku pada Khana. Awalnya aku berpikir bahwa ini hanya perasaan seorang teman saja, tapi ternyata itu merupakan sebuah perasaan antara wanita kepada pria. Benar kata orang bahwa mustahil antara perempuan dan laki-laki yang berteman tidak akan ada yang baper salah satunya.
Aku melangkahkan kaki keluar dan dari pintu yang belum tertutup sempurna, samar-samar aku mendengar perkataan ibunya Khana.
"Pertunanganmu akan segera diatur, sebenarnya Ibu kurang setuju, tapi mau apa lagi ayah mu menginginkan pertunangan ini. Menurutnya ini akan bagus untuk masa depan perusahaan. Kamu tahu kan anaknya pak Satrio? nah itulah yang akan menjadi calon istrimu ....."
Aku segera bergegas pergi dan tidak mendengar kelanjutan ucapan Ibunya Khana. Dada ku terasa sesak, dan tak terasa air mata ku meleleh. Aku menyesal menaruh harapan pada Khana, namun aku tak pernah menyesal pernah mencintainya. Dan sekarang aku tak bisa mengelak lagi bahwa aku telah jatuh pada pesona seorang Dane Khana Balla.
***
Malam ini aku berbaring di kasur sambil menatap langit-langit kamar. Aku terus mencerna setiap kejadian yang tadi aku alami.
Flashback
Selesai kerja aku segera menuju lobby dan menunggu Livia yang sedang menyelesaikan sedikit lagi pekerjaanya. Bukan maksud apa-apa aku menunggu di lobby, hanya saja suasana di sini lebih enak dari pada di ruang kerja.
"Mau pulang bareng denganku?" Tiba-tiba Khana muncul dan langsung berbicara padaku.
Sambil celingak-celinguk aku menjawab, "Tidak usah, aku pulang dengan Livia."
"Apa kau marah padaku, mengapa kau seakan menghindariku?" tanyanya sambil duduk di sampingku.
"Tidak, untuk alasan apa aku marah dan menghindari mu?" ucapku mengelak. Aku tidak marah, hanya entahlah aku sendiri pun tak tahu apa yang ku rasakan.
"Untuk alasan pertunangan."
Deg! Jantungku seakan berhenti berdetak. Apakah dia tahu aku sempat mendengar obrolan dia dengan ibunya?
"Untuk apa aku marah. Oh ya Pak itu Livia. Saya permisi," ucapku sesopan mungkin dan berlalu pergi.
Flashback Off
Aku mengambil ponsel dan mengirim pesan.
To : Khana
Terima kasih telah hadir dan mau berteman denganku Khana, selamat atas kau yang akan segera bertunangan. Aku hanya ingin kau tahu bahwa sejak saat ini kau tak usah menemuiku atau menghubungiku, ah mungkin aku geer ya. Hanya saja aku tak mau ada kesalahpahaman dari calon istrimu :D. sekarang hukumanku telah selesai, jadi tidak ada hubungan apapun antara kita, anggap saja aku teman lama mu Khana.
Aku mengambil napas dalam-dalam mencoba untuk mengeluarkan rasa sakitku lewat napas ini. Mungkin dengan tidak sering bertemu atau berkomunikasi dengannya dapat membuatku segera melupakannya. Dering Handphone ku berbunyi.
From : Khana
Kau dramatis sekali Kia, baiklah kalau itu maumu. Terima kasih kembali Kia sayang :* :D
Aku tersenyum miris melihat balasannya, aku menguatkan diriku sendiri bahwa ini keputusan yang terbaik. Tiba-tiba Handphone ku berbunyi. Aku pikir dari Khana tapi ternyata,
Ummi Calling
"Assalamualaikum Ummi." Salamku begitu terhubung.
"Waalaikumsalam Sya, kabarmu gimana?" tanya ummi.
"Alhamdulillah baik Mi," jawabku.
"Semenjak adik mu ke Jakarta Ummi belum sempat hubungi kamu, maaf ya. Maklum lah Sya lagi sibuk-sibuknya, bentar lagi kan Pemilu." ucap ummi.
"Tidak apa-apa Mi, maaf Syaqira juga jarang hubungi Ummi," ujarku.
"Ah ya, Ummi mendengar cerita dari adik mu juga photo kamu dan calon mantu Ummi," ucap ummi yang dari nadanya aku tebak beliau sangat antusias. Aku berpikir sepertinya ini waktu yang tepat untuk memberitahukan kebenarannya.
"Ummi, sebenarnya aku sama Khana itu ..."
"Gak perlu malu-malu Sya. Bahkan Ummi sudah banyak bercerita dengan ibu-ibu PKK, istri-istri pejabat rekan ayah kamu, bahkan dengan tetangga. Abi kamu juga sama Sya, abi juga menceritakan tentang kamu yang sudah punya pasangan dan akan segera menikah dengan rekan-rekannya." Ucapan ummi membuat ku kehilangan kata-kata barang sejenak.
"Ummi ini salah paham, mana mungkin seperti itu. Aku dan Khana tidak ada hubungan apapun!" jawabku dengan sedikit penekanan.
"Kamu yang bener Sya, masa sih? Terus gimana ini, Ummi udah cerita sama semua orang tentang calon mantu Ummi yang CEO perusahaan besar?"
Aku menghela napas, begini repotnya punya ibu yang gaulnya sama ibu-ibu sosialita yang selalu pamer. Apalagi pamer jabatan, beuh paling utama itu.
"Ummi gak mau tahu dan gak mau nanggung malu. Pokonya Dane harus jadi mantu Ummi."
Tut ... Tut ... Tut...
Ummi menutup telponya sepihak,bagaimana ini? Tak baik untuk abi jika semua orang tahu bahwa ini hanya kesalahpahaman. Abi pasti malu dan akan banyak orang yang mencemoohnya.
Argghhhh ... Tuhan tenggelamkan saja aku!!!
Hallo semua, kasih votmennya dongg..
Happy Reading Ok :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro