Delapan Belas
Pagi ini Syaqira bersiap akan pergi ke kampung halamannya. Sebenarnya ia merasa malas untuk pergi. Ia sudah membayangkan bagaimana keponya nanti para tetangganya.
Syaqira berpikir bahwa ia akan tinggal di Bandung dan mempersiapkan pernikahannya. Tapi ternyata ummi dan ibunya Dane telah menyerahkan semuanya pada salah satu wedding organizer.
Mobil pun melaju dengan tenang dan dari tadi Syaqira terus memandang ponselnya, berharap ada pesan dari Dane.
"Terus aja pandangin ponselnya nya, Dane lagi kerja Sya," goda ummi nya dari jok depan.
"Apaan sih Ummi," ucap Syaqira sambil memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil.
Ponsel Syaqira berbunyi, dan ia langsung melihatnya.
From : Livia
Lo kemana? Kata bu Calysta lo mau berobat ya?
Syaqira menghembuskan napasnya kasar. Ia bingung, apakah harus jujur pada sahabatnya itu, atau harus berbohong seperti yang ia lakukan pada bu Calysta.
"Kenapa Sya?" tanya Ummi.
"Livia Mi. Aku bingung apakah harus jujur atau nggak masalah pernikahan ini," jawab Syaqira.
"Oh iya hampir saja Ummi lupa. Kenapa kamu belum kasih tahu Sya?" Ummi nya malah bertanya dan itu membuat Syaqira terjebak oleh perkataannya sendiri.
"Emm ... Syaqira belum ada waktu untuk ngobrol dengan Livia Mi," bohong Syaqira.
"Ya udah sekarang aja kamu kasih tahu." perintah Ummi nya.
To : Livia
Enggak, gue mau mudik nyiapin pernikahan gue.
From : Livia
What?? Nikah?? Sama siapa? Lo dijodohin ya?
Syaqira yang melihat balasan dari Livia hanya geleng-geleng kepala.
To : Livia
Otak lo udah banyak terkontaminasi sama novel-novel perjodohan. Gue mau nikah sama DANE KHANA BALLA.
From : Livia
Yaampun gue ngiri.. btw di mana pernikahannya? Lo utang cerita sama gue!!!!
To : Livia
Nanti aja gue ceritanya. Lo datang aja hari minggu ke bandung. Nanti lokasinya gue kabarin lagi. Jangan kasih tahu bu Calysta ya. J
From : Livia
Oke sip. Gue kerja dulu biar gak dipecat sama calon suami lo :p
Syaqira pun menyimpan kembali ponselnya ke tas. Ia bingung sekarang dengan hatinya. Di satu sisi ia bahagia karena artinya ia akan selalu bersama dengan orang yang ia cintai, walaupun ia tak tahu itu akan sampai kapan. Namun, di sisi yang lain ia merasa ragu dengan pernikahannya ini.
***
Aku telah tiba di tasik. Perjalanan dari Jakarta ke Tasikmalaya hampir memakan waktu 7 jam. Aku segera merebahkan diriku di karsur yang amat aku rindukan. Baru saja aku hendak memejamkan mataku tiba-tiba handphone ku berbunyi.
Khana Calling..
"Assalamualaikum Khana."Salamku
"Waalaikumsalam Kia. Kamu udah sampai?"tanya Khana
"Alhamdulillah sudah," jawabku.
"Sedang apa? Mikirin aku ya?"tanya dia jahil
"Geer banget sih! Aku mau tidur dan kamu gangguin tahu," jawabku, walaupun memang aku sedang memikirkan nya.
"Heemm ... bentar lagi Ashar mendingan kamu mandi. Bau kamu tercium sampai sini."
"Itu artinya kamu kangen aku ya?" usilku.
"Anda yang geer nona Syaqira. Oh ya, aku tadi pagi nggak hubungin kamu. Soalnya tadi ada rapat dengan klien," ucapnya.
"Ok. No problem." kataku.
"Kamu gak marah Kia?" tanya Khana. Ini orang kenapa jadi gini sih?
"Buat apa aku marah? Emang perlu gitu aku dihubungi sama kamu?" tanyaku dengan suara yang dibuat sesantai mungkin.
"Ya ... kita coba aja bersikap sebagai pasangan normal Kia."
"Emang kamu gak normal gitu? Ya ampunn.. aku mau nikah sama orang yang gak normal?" tanyaku dengan nada dibuat histeris.
"Lebay! Bukan gitu maksud aku ..."
"Khana, aku mandi dulu ya Assalamualaikum."
"Kia..."
Aku memutuskan sambungan telponnya langsung. Saat ini Aku bingung, ada apa dengan Khana yang tiba-tiba bersikap seolah-olah ia menginginkan pernikahan ini. Apa katanya tadi, pasangan normal? Semoga saja.
***
Hari sudah malam, dan aku masih belum tidur. Sebenarnya aku khawatir dengan Khana. Apakah ia sudah bisa tidur atau belum? Sebenarnya kebiasaan kami sekarang adalah kami selalu telponan sebelum tidur. Aku gak tahu ternyata selama ini Khana mempunyai kebiasaan sulit tidur jika sendiri. Jadi aku selalu mengobrolkan segala hal sampai ia tidur dan aku akan menutup telponnya.
Aku melirik telpon 22.45 WIB
Khana sama sekali tidak menghubungiku sejak tadi sore. Aku pun memberanikan diri untuk menelponnya terlebih dahulu.
"Hallo Kia," ucapnya terdengar antusias.
"Assalamualaikum Khana," salamku.
"Eh, Waalaikumsalam Kia. Kau tahu dari tadi aku sulit sekali tidur." Cerocosnya.
"Lalu, mengapa kau tak menghubungiku?" tanyaku dengan bingung.
"Emm ... aku pikir kau marah karena tadi."
"Marah karena apa?" tanyaku lagi.
"Permintaanku yang tadi Kia."
"Ohh ... Mungkin kita bisa mencobanya Khana. Aku dan kau sudah sama-sama dewasa," ucapku
"Baiklah Kia. Ngomong-ngomong, kamu khawatir ya sama aku. Jadi kamu menelpon ku?"
"Enggak," singkatku.
"Tapi nada bicaramu mengatakan iya."
"Kau mau aku tutup telponnya sebelum kau tidur?" ancamku.
"Kau memang calon istri yang sungguh tega," ujarnya dengan nada dramatis
"Khana cepatlah tidur," titahku yang mulai kesal.
"Aku tidak bisa tidur jika ada orang yang memaksa. Kenapa kau ingin aku cepat tidur? Kau mau bertemu mantannmu di sana?" Pertanyaannya membuatku mengerutkan kening bingung.
"Apaan sih? Pulsa ku habis untuk menelponmu,"
"Baiklah nanti aku kirimkan. Atau kau mau aku beli sekalian dengan perusahaannya?"
"Sombong," ucapku.
"Itulah calon suamimu."
"Ya, dan aku tak percaya itu. Seorang Syaqira yang begitu baik hati, tidak sombong dan rajin menabung harus menikah dengan orang aneh seperti Dane."
"...."
"Hallo? Khana? Kau masih di sana?" tanyaku karena tak ada respon dari Khana.
"...."
Aku melihat ke Ponselku. Masih terhubung. Mungkin Khana sudah tidur. Tapi mengapa cepat sekali? Biasanya ia menyuruhku untuk menceritakan pengalamanku hari ini dulu.
Sudahlah aku juga sudah mengantuk. Aku pun mematikan teponnya.
---
"Ya, dan aku tak percaya itu. Seorang Syaqira yang begitu baik hati, tidak sombong dan rajin menabung harus menikah dengan orang aneh seperti Dane."
Aku terdiam mendengar ucapannya. Ucapan yang sangat aku kenal beberapa tahun silam.
"Hallo? Khana? Kau masih di sana?" Kia memanggilku dari sebrang sana. Dan aku hanya terdiam masih mencerna semua ucapannya barusan. Tak lama kemudian telpon ditutup. Aku tahu mungkin Kia mengira aku sudah tertidur.
Flashback
"Teressa kemarilah sebentar" teriakku sambil melambaikan tangan pada Teressa yang saat itu tengah melihat-lihat perhiasan di salah satu mall. Sedangkan aku menunggunya di tempat makan yang kebetulan berada di depan toko perhiasan itu.
"Jangan berteriak Dane. Ada apa? Kau tahu aku bisa kehilangan perhiasan itu karena dibeli orang lain," ujarnya sambil mengerucutkan bibirnya dan duduk di depanku.
"Jangankan perhiasan itu. Tokonya saja bisa aku beli," ucapku sambil terkekeh.
"Memang kau orang yang sangat sombong sekali Dane," ucapnya sambil mendelik ke arahku.
"Kau baru tahu aku sombong?" ujarku yang gemas dengan ekspresinya.
"Heemm ... dan aku tak percaya seorang Teressa Anaya Balla yang begitu baik hati, tidak sombong dan rajin menabung harus mempunyai kekasih seseorang yang aneh seperti Dane."
"Kau bilang apa? Teressa Anaya Balla? Sejak kapan nama belakangmu berubah?" tanyaku
"Kau mau namaku berubah jadi apa lalu hah? Kau mau aku menikah dengan orang lain saja? Baiklah jika itu keinginanmu?" jawabnya enteng sambil berlalu.
"Hei dengarkan aku. Kau bukankah akan membeli perhiasan itu?" tanyaku sambil memegang tangannya.
"Tidak jadi. Kita pulang saja," ucapnya datar.
Aku hanya bisa mengusap wajahku kasar. Dan menuruti keinginannya. Teressa memang seperti ini, suasana hatinya mudah sekali berubah.
Flashback Off
Aku menatap nyalang ke langit-langit kamar tidurku. Bayangan masa lalu selalu saja bermunculan ketika aku bersama Kia. Sifatnya dan Teressa hampir sama. Sama-sama keras kepala. Namun bedanya, Teressa akan langsung marah jika aku berbuat salah, dan Kia dia selalu bisa menutupi kemarahannya itu.
Aku melirik ke jam dinding di kamarku 23.15. Sepertinya aku harus begadang hari ini.
hallo, aku balik lagi di minggu pagi ini :D
detik-detik menuju kematian ni.. ups*
detik-detik menuju pernikahan maksudnya..
jangan lupa kasih komentarnya juga vote nya ya ..
Hatur nuhun :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro