Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Target adalah target. Bukan mainan

Saat Barra keluar kamar karena mencium aroma kopi, sosok yang membuatnya kesal sepanjang malam sudah ada di sana. Kali ini tampilannya jelas berbeda. Walau kembali menggelung rambutnya tinggi-tinggi, pakaian yanag Regi kenakan sudah rapi. Tidak lagi menggunakan kaus kebesaran dan celana pendek.

"Morning, Pak," sapa Regi dengan senyum semanis madu. Sengaja. Maudy pernah bilang, salah satu keunggulan Regi adalah senyumnya yang menawan. Deretan giginya yang rapi serta ada gingsul sedikit yang menyembul di bagian kanan, menambah kata menawan dalam senyum yang ia punya itu.

Regi percaya apa yang dibilang Maudy. Sahabat lengketnya itu tidak akan berbohong. Ya, kan? Makanya kenapa, ia menunjukkan senyum itu pada Barra. Niatnya baik. Membujuk sang bos baru agar tidak lagi cemburut atau marah-marah. Oh, satu lagi. Regi semalam melihat dengan baik tutorial membuat kopi yang baik dan katanya enak. Regi turuti saja, lah. Ia juga bikin sontekan step by step membuat kopi.

Semoga Mahadiraja Barra suka.

"Bikin apa kamu?" tanya Barra setelah duduk di kursi kebesarannya. Aroma manis vanilla menyapa penciumannya. Regi ganti parfum? "Biasanya pakai Paris, kamu ganti parfum?"

Gerak Regi yang sedang mengoles roti gandum untuk Barra, terhenti. Ia tak sangka kalau parfum vanilla yang dikenakannya, bisa dikenali dengan mudah oleh Barra. "Enggak suka, ya, Pak?"

"Enggak cocok sama kamu." Barra bicara jujur. Ini terlalu manis untuk takaran perempuan setengah bar-bar macam Regi. Barra serius. Menurut penilaiannya, parfum sebelumnya lebih enak digunakan dan cocok bagi kepribadian Regi yang kadang asal-asalan itu. "Kenapa kamu melihat saya seperti itu?" Barra mengerutkan kening kebingungan ketika mata mereka mengudara.

Di sana, Regi manyun. "Ini parfum kesukaan saya padahal. Kata pacar saya, manis seperti saya."

Barra tersedak ludahnya sendiri. "Pacar kamu bohong berarti." Ia pun menyambar cangkir kopi yang dibuatkan Regi tadi. "Ini enggak kamu campur sianida, kan?"

"Bukan sianida lagi, Pak. Baygon!"

Barra ngakak. Hiburannya benar-benar hidup. Regi dan segala ucapannya yang spontan. Dan jangan lupa, ekspresi wajahnya yang selalu menghibur Barra. Saat lidahnya disapa kopi buatan Regi, Barra nampak menimang sejenak. Matanya diedarkan ke sekeliling ruangan, indera pengecapnya ia gunakan dengan sangat baik sekadar mencicipi kopi itu.

"That's good. Saya suka," puji Barra tulus. "Ini bukan kopi sachet-an, kan?"

Tadinya Regi sudah ingin terbang ke surga karena mendapat pujian Barra, tapi sayapnya patah. Belum sampai dua meter ia terbang, sayap itu Barra patahkan hingga remuk. Regi susah payah, lho, mencatat resep, uji coba sejak pagi juga, belum lagi beberapa kali kena senggol panci panas. Dan mendapat pujian seperti itu? Luar biasa memang Barra Herdiyanto membuat mood Regi amblas.

"Lho, saya salah bicara?" tanya Barra bingung. Ketika mendapati gadis itu malah manyun. Duduk saja seperti orang terpaksa, bunyi decit kaki kursi yang beradu lantai marmer begitu berisik. Barra makin bingung jadinya.

"Bapak mau sarapan apa?" Regi dengan ketusnya melirik ke arah Barra yang nampak bingung melihat ke arahnya.

"Ya kamu siapkan apa untuk saya? Kali ini saya ikut kamu aja, lah." Barra mengedikkan bahu. "Selama itu roti gandum. Asal topping-nya jangan terlalu manis. Saya enggak suka. Nanti cepat diabetes."

"Aamiinn," celetuk Regi.

"Oh, kamu doakan saya cepat mati, ya?"

Regi hanya memutar bola matanya jengah.

"Ini lapis madu." Regi memang sudah menyiapkan sarapan roti lapis tersebut. Setelah memastikan garpu tersedia di piring, ia pun mengangsurnya pada Barra. Ia pun sarapan yang sama dengan sang bos menyebalkannya itu.

"Kamu pulang kerja biasanya jam berapa?"

Regi menghentikan kunyahannya, nampak berpikir. "Sekitar jam enam dari kantor, sih, kalau lagi banyak kerjaan."

Barra hanya mengangguk seolah paham. "Jam kantornya?"

"Jam lima. Kenapa memangnya, Pak?"

Barra menghela napas. "Masa kamu enggak bisa mikir juga, Regi. Astaga."

Regi mengerjap. "Memang ada apa, sih?"

"Makan malam saya, Regi."

Pikir Regi, dirinya masih sempat, kok, untuk tiba di apartemen Barra sebelum jam makan malam bos barunya itu. Lalu apa yang salah sebenarnya, sih? Regi bingung. Barra ini terlalu banyak aturan dan ini itu. hidupnya belibet sekali mirip benang kusut. Menurut Regi seperti itu.

"Saya itu maunya makan malam dimasak dulu. Saya lebih suka makanan fresh. Sebelum saya ditabrak kamu, saya pulang kerja selalu on time jam lima. Sampai di sini jam enam. Sebelum jam tujuh saya sudah harus makan malam Regi. Itu masalahnya."

"Iya, saya tau. Saya kan pulang jam enam dari kantor. Masalahnya di mana?" Regi masih belum bisa menghubungkan di mana letak bedanya.

"Kamu enggak menyiapkan saya makan malam? Kamu yang harus masak, bukan saya."

Regi manyun lagi. "Iya, saya juga tau itu."

"Pulangnya lebih awal, jam lima dari kantor. Memang kamu ini jam kantornya dari jam berapa ke jam berapa, sih? Masa iya, pulang kantor saja selalu telat. Memang kamu ngapain aja selama lebih dari delapan jam di kantor."

Bibir Regi makin maju. Kesal.

"Enggak usah manyun gitu. Saya enggak suka pagi saya dirusak sama wajah jelek kamu."

"Kerjaan saya juga banyak, Pak."

"Diperingkas, lah. Masa iya enggak bisa. Kerja tuh yang cerdas. Jangan Cuma buang waktu."

Regi makin manyun saja, lah.

"Sudah, sana. Kerja." Barra mengibaskan tangan. "Oh, kasih makan Love dulu."

Regi langsung melotot ngeri. "Enggak mau!!!"

"Kasih makan aja. Love masih di kamar saya. Heran, anak saya lucu banget begitu kamu takut. Harusnya kamu ngaca, Regi, kamu sama Love itu cantikkan Love."

Barra dan Love. Seharusnya dipasangkan dalam satu jenis makhluk. Sama-sama kucing. Bukan kucing dengan majikannya. Kalau bisa Regi memohon, agar Barra jangan diciptakan sebagai manusia. Tapi tidak mungkin. Buktinya, manusia aneh bin ajaib bernama Barra ada di depannya.

"Cepat. Nanti kamu telat." Barra mengibaskan tangannya. Setelah sebelumnya ia menyelesaikan piring sarapannya juga cangkir kopi yang Regi buat. Ini semakin membuat Regi cemberut dan juga kesal.

"Ingat, segera pulang ke sini setelah selesai kerja. Jangan macam-macam kamu. Apalagi nongkrong-nongkrong sama teman kamu."

Tuhan, kirimkan Thanos saat ini juga. Hilangkan Barra dengan segera!

***

"Regi, ini sudah hampir tiga minggu berselang tapi jualan kamu masih belum sampai target." Ini Herman, bos di kantor Regi yang bicara. Mereka kini ada di ruang Herman karena menurut pria ini, karyawan cemerlangnya agak menurun prestasinya. Dirinya cukup terkejut mendapati laporan yang masuk mengenai target dari seorang Bhregitta Ifandari.

Biasanya gadis berambut cokelat itu selalu paling unggul dibanding sales lain. Apalagi ia sendiri punya target pribadi, dan Herman tau itu. Sebagai seorang atasan, penting baginya untuk mengetahui apa tujuan untuk mencapai suatu target. Karena ketika tujuan itu jelas dan memang harus dicapai, maka dalam diri seorang marketing seperti Regi akan mencapai tujuan itu dengan gigih. Tak hanya Regi, bahkan Maudy yang masih turun naik dalam hal target pun Herman tau untuk apa semua nominal digit nol yang masuk dalam rekening tabungan dua gadis bawahannya itu.

Herman menempatkan diri bukan sekadar atasan saja, namun sebagai penyemangat seluruh tim yang ia punya. Jika semuanya bersemangat mencapai target, bukankah target yang ia punya pun tercapai? Makanya sebisa mungkin ia memosisikan diri sebagai atasan yang tidak terlalu menekan tapi bisa membuat mereka menyadari arti pentingnya menggapai target.

Regi menunduk semakin dalam. Ujung high heels-nya dijadikan tumpuan pandangannya. Ia benar-benar menyesali kenapa bisa tak konsentrasi selama diadakan event akbar itu. Ia menghitung, sudah berapa daftar customer yang menjadi kliennya. Biasanya para calon customer Regi selalu berakhir dengan terjadinya transaksi down payment. Akhir-akhir ini, karena Regi sendiri sibuk mengurus Barra, semua target customer-nya jadi lari. Bukan lari, sih, mungkin kalau Regi berusaha lebih keras mereka akan membulatkan tekad untuk membeli mobil yang Regi tawarkan.

"Maaf, Pak." Hanya itu yang bisa Regi katakan sekarang. Tak mungkin ia menyalahi target yang Herman beri padanya. Toh, Herman sudah menyediakan media promosi dengan booth, diskon, juga beberapa aksesoris untuk pembelian tipe tertentu. Juga pemilihan kantor pembiayaan yang bisa dipercayan para customer-nya. Dan Regi menyia-nyiakan hal itu.

"Maaf, sih, enggak mengembalikan hari, Regi." Herman tersenyum kecil. "Kamu ada apa memangnya? Saya melihat kamu jarang fokusnya. Seperti bukan Regi yang saya kenal."

Regi makin menunduk. Mungkin kalau lehernya sepanjang jerapah, sudah pasti menyentuh ujung sepatunya. "Iya, kemarin ada sedikit masalah. Tapi sudah bisa dikendalikan kok, Pak."

"Pacar kamu?" tebak Herman. Lalu mendapati Regi yang menggeleng gegas, membuatnya berpikir. "Orang tua kamu?"

"Enggak, Pak. Bukan."

"Kalau Regi enggak mau cerita, saya enggak memaksa. Yang terpenting tolong diingat, Regi punya target sendiri, kan? Jangan sampai targetnya enggak tercapai. Bonus kamu nanti enggak turun, lho."

"Iya, Pak."

"Atau targetnya terlalu berat?" pancing Herman lagi.

"Enggak, kok, Pak. Regi emang lagi enggak fokus. Tapi mulai hari ini Regi janji, bakalan lebih fokus. Toh, ini sudah menjadi kewajiban Regi bekerja. Harusnya Regi lebih teliti dan juga kerja keras seperti biasanya." Regi memberanikan diri menatap bosnya di kantor.

Pria paruh baya itu tersenyum puas. Jangan dipikir kalau seorang bos seperti Herman itu identik dengan perut buncit dan badan yang gembal. Jangan. Seorang Herman Sanjaya bertubuh tegap dan terlihat gagah walau sudah menginjak usia lima puluhan tahun. Katanya, di sela briefing yang sering Regi hadiri setiap awal bulan, selain target yang membuat tubuhnya seperti ini, ia juga mesti melirik pada penampilannya.

Entah korelasinya apa, tapi yang jelas, ketika melihat seorang Herman dengan pakaiannya parlente dan cukup fashionable, ini pun bisa membuat customer makin percaya pada anak buahnya. Regi sudah membuktikan hal itu berkali-kali. Dan kali ini, Regi seperti benar-benar kecolongan.

Dari dua puluh unit yang harus dijual Regi, ia baru menjual tujuh. Sementara akhir bulan sudah dekat pun pameran sebulan lagi selesai. Kalau hitungan kasar Regi bisa masuk dengan jatah kerja lembur juga selalu stand by di pameran, target bulan ini yang tidak tercapai bisa ia alihkan di bulan berikutnya.

Tapi permasalahannya, Barra Herdiyanto sudah me-warning-nya mengenai jam kerja. Regi pusing mendadak pada akhirnya.

Sudah hampir jam empat sore sejak ia berkutat pada berkas-berkas yang akan dikirim pada kantor pembiayaan mobil, ia pun juga harus membangun komunikasi yang terputus dengan para calon customer-nya dulu.

Semoga saja Barra tidak memarahinya lagi ketika nanti tiba di apartemen dalam kondisi telat, bukan seperti yang seharusnya ia janjikan tadi pagi.


**** 

Regi jantungan tuhhh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro