Routine Activities?
"Lho, Bapak mau ke mana?" tanya Regi heran ketika mendapati Barra yang keluar dari kamarnya, sudah rapi mengenakan kemeja serta celana kain. Ini sudah seminggu berlalu sejak kedatangan orang tua Barra di sana.
Rambut pria itu tersisir rapi. Memang, Barra itu identik dengan kerapihan diri, hanya saja sekarang, lebih rapi ketimbang hari sebelumnya. Pemilihan kemeja kerjanya terlihat elegan juga berkelas. Cocok sekali dengan pembawaan Barra yang tenang. Mungkin bagi orang yang pertama kali melihat Barra akna menilai, pria itu adalah sosok sempurna. Namun bagi Regi tidak. Barra adalah ciptaan maha bawel dalam versi lelaki.
Bahkan Regi saja belum mandi. Ia memilih menyiapkan sarapan untuk Barra dulu baru memikirkan mandi.
"Kerja, lah."
Regi melongo. "Memang Bapak sudah full sehatnya?" Ia pun berjalan mendekat. Ingin memastikan penglihatannya kalau Barra benar-benar sudah sehat. Ia pun menelisik lebih dalam pada sosok Barra tanpa berpikir, pria itu salah tingkah dibuatnya.
"Tapi yakin?" tanya Regi masih sangsi.
"Saya yang tau diri saya sendiri."
Regi mengangguk saja. Kalau pria itu sendiri yang bilang, ya sudah, tak ada yang bisa menahannya, kan? Jadi Regi memilih menyiapkan sarapan saja.
"Saya pulang jam lima dari kantor. Kita bareng saja. Kamu daerah Fatmawati, kan?"
Regi terkesiap. "Saya bawa mobil, kan."
Barra berdecak. "Tinggal ikuti saja apa mau saya. Susah banget. Lagian hemat bensin kan jadinya. Itu juga enggak gratis asal kamu tau."
Pagi-pagi, hanya Barra seorang yang mampu membuat mood Regi gonjang-ganjing.
"Kamu yang isi bensin mobil saya. Saya yang nyetir. Adil, kan?" Barra berjalan sembari menyingkirkan Regi yang menghalangi jalan. Dari sudut matanya, ia bisa melihat kalau gadis yang masih mengenakan piyama keropi mengerucutkan bibir. Jalan ke arah dapur saja menghentakkan kaki. Tanda tak terima atas ucapannya barusan.
Barra mau tertawa tapi urung dilakukan. Ia lebih memilih mengambil sepatu dan memastikan kilap kulitnya tak ada debu.
"Sarapan apa hari ini?" tanya Barra yang sudah mengenakan sepatunya. Kali ini ia benar-benar sudah siap. Tinggal dasi yang masih menggantung di lehernya. Pikirnya, nanti saja dipakai ketika semuanya sudah siap berangkat.
"Nasi goreng. Tapi cabai dan bawangnya saya iris, Pak. Seperti yang Bapak suka." Regi menyajikan nasi goreng ditabur suwiran ayam dan bawang goreng. Tak lupa irisan mentimun juga tomat. Barra ini penggemar tomat nomor satu. Jadi setiap hidangan yang ada, selalu ada tomat sebagai pelengkap. Satu lagi, kerupuk udang.
"Kamu enggak sarapan?" Barra mengekori gerak Regi yang menuju kamarnya.
"Nanti. Mandi dulu. Bapak duluan saja."
Barra cuma geleng-geleng. Kebiasaan mandi selalu membuat Barra gemas. Maunya Barra, gadis itu mandi dulu sembari menyiapkan sarapan. Toh, sarapannya tidak merepotkan banget hingga berkeringat seperti masak untuk makan siang atau malam. Tapi Regi tidak mau. Ia memilih mandi setelah menyiapkan semua sarapannya. Yang bisa Barra lakukan sekarang adalah menunggu gadis itu siap.
Sebenarnya Barra kurang menyukai kopi. Minum tapi tidak terlalu sering. Standart kalau dibilang penggemar kopi, hanya saja, sejak kali pertama menikmati kopi buatan Regi, Barra jatuh cinta. Rasanya pas. Manisnya juga sesuai dengan selera Barra. Pekatnya aroma kopi juga panas yang digunakan Regi ketika meyeduh bubuk hitam itu, semuanya pas. Makanya kenapa, setiap hari Barra pasti menghabiskan cangkir kopi buatan Regi.
Pun pagi ini. ia menyesap sedikit cairan hitam itu. Merasakan pahit dan manis yang menyapa ujung lidahnya. Sembari membunuh waktu, Barra menghabiskan dengan membuka layar kerjanya di tablet. Ia sepertinya harus memberi Bobby banyak bonus. Tanpa Bobby di sisinya, mungkin pekerjaan yang ia punya semuanya bertumpuk jadi satu.
Ketika gadis itu keluar kamar, aroma vanila langsung membuat Barra menoleh. Wajah Regi sudah dipulas make up tipis. Walau belum mengenakan seragam kerjanya, namun mengenakan kemeja flanel kebesaran dipadu kaus putih di dalamnya. Celana jeans sebatas betis sebagai bawahannya pun sneakers putih andalannya. Rambut cokelat yang dimiliki sang gadis, dikuncir tinggi-tinggi.
"Kamu mau ngemall atau kerja?"
Regi mengerutkan kening. "Kerja, lah. Nanti kan di kantor ganti seragam."
Barra menggeleng heran. "Kenapa enggak dari sekarang aja pakai seragamnya?"
Bibir Regi manyun. "Hari ini pakai rok. Saya lagi PMS. Agak enggak nyaman pakai rok. Makanya nanti saja." Saat Regi sudah duduk di hadapan Barra, ia bingung kenapa bosnya tidak segera makan sarapannya. Apa tidak enak, ya?
"Pak, kok enggak dimakan?" tanya Regi agak sedih. Biasanya, Barra pasti memakan apa yang ia sajikan, kok. Walau nantinya ada banyak keluhan tapi Barra tidak pernah menyisakan satu potong roti atau apa pun yang tersaji untuk memenuhi tempat sampah. Semuanya habis dilahapnya.
"Tunggu kamu siapkan untuk saya," jawab Barra kalem. Matanya masih memandangi layar tablet.
"Pardon?"
"Jangan sok pakai bahasa lain. Kalau saya balas menggunakan bahasa yang sama kamu belum tentu bisa imbangi." Kini mata Barra tepat menatap Regi yang gelagapan karena kata-katanya barusan. "Kenapa malah bengong? Siapkan saya sarapan."
"Ini, kan, ada di depan Bapak. Bapak bisa ambil sesuai porsi yang Bapak inginkan." Regi menatap horor pria yang malah mencebikkan bibir tanda tak terima.
"Saya mau kamu ambilkan dan sajikan di piring saya."
Rahang Regi hampir jatuh.
"Seperti kata ibu saya, layani saya. Belajar, jadi calon istri."
"WHAT?!"
"Calon suaminya bukan saya, kok. Enggak perlu shock gitu. Saya juga enggak mau punya calon istri macam kamu yang bar-bar."
Sumpah demi neptunus yang jauh dari bumi. Bosnya kesambet setan apa hingga seperti ini, sih?!
"Cepat. Waktu berjalan. Nanti saya telat."
Regi enggak bisa membantah lagi, kan?
Setelah menyelesaikan semua sarapannya, pun Regi yang mencuci semua perlengkapan masak. Sementara Barra menyiapkan keperluan Love selama berada di apartemen. Mungkin mulai besok Love harus tinggal di penitipan ketika mereka semua bekerja.
"Pak, ayo." Regi segera mengambil tas tenteng juga tote bagnya. Barra masih duduk di kursi makan.
"Sini kamu."
Regi mendekat tanpa curiga. "Kenapa?"
"Pakaikan saya dasi."
Regi melongo.
"Jangan bengong." Barra memberi dasi yang sedari tadi tersampir di lehernya. "Cepat. Jangan buang waktu."
"Tapi... tapi... saya enggak bisa, Pak."
Barra menghela napas. "Payah." Ia pun berjalan dengan langkah lebar. Meninggalkan Regi yang menatapnya dengan penuh bingung.
"Emang enggak bisa. Kan, enggak boleh bohong." Regi menyuarakan pendapatnya ketika mereka di lift.
Barra diam saja.
"Saya mesti belajar, Pak?" tanya Regi dengan suara sangat pelan. Regi, sih, berharap Barra tidak mendengarnya. Tapi itu mustahil. Mereka hanya berdua di lift itu.
"Harus. Dan jadikan itu rutinitas. Siapkan saya sarapan dan makan malam. Bantu saya masak. pakaikan dasi setiap pagi."
Kapan siksaan ini akan berakhir? Tanya Regi dalam hati.
***
"Lo enggak bawa mobil?" tanya Maudy bingung. Siang ini mereka ada janji bertemu klien dengan arah yang sama. Kebetulan yang luar biasa, Maudy pun tak membawa mobil kesayangannya itu.
"Tadi bareng Barra ke kantor."
"Lah, bos iblis lo udah bisa kerja?"
Regi tertawa. "Dapat aja istilah celaan buat Barra."
"Banyak, sih, julukan buat dia. Tapi yang paling pas ya itu, Bos Iblis."
"Gue manggil dia Paduka Barra."
Kini giliran Maudy yang tergelak. "Jadi gimana ini?"
"Taksi online ya elah. Jangan miskin banget, lah." Regi ingat dengan kata-kata miskin yang baru saja ia gunakan. "Tapi, sih, gue hari ini jadi miskin mendadak." Bahu Regi terkulai lemas.
"Kenapa?" Maudy merangkul Regi semena-mena.
"Duit makan gue habis buat beli bensin mobil Barra."
Untuk kedua kalinya, Maudy ngakak.
"Jadi... hari ini gue nebeng hidup sama lo, ya."
"Sahabat gue yang namanya T-Rex bisa miskin juga."
Regi mengerucutkan bibir.
Tak ingin buang waktu, Maudy segera order taksi. Sepanjang jalan mereka isi dengan obrolan random seputar target, Barra dan juga kedatangan orang tua sang Paduka minggu lalu. Maudy lebih banyak merespons dengan tawa. Karena baginya, Regi ini benar-benar polos mendekati bodoh dan tolol menghadapi Barra.
Akan tetapi, ia tak bisa memungkiri kalau adanya Barra dalam hidup Regi membuat sahabatnya itu lupa. Kalau ia punya Dion yang berengsek. Galau dan dilema yang Regi rasakan karena perlakuan Dion padanya, sepertinya hilang ditelan kesibukannya mengurus pria menjengkelkan itu.
Obrolan mereka terinterupsi dengan dering ponsel Regi. Kening gadis itu berkerut.
"Wa'alaikum salam, Dek." Ada khawatir yang tiba-tiba mendera ketika mendengar suara adiknya di ujung sana.
Lama Regi mendengarkan apa yang adiknya ucap. Mencerna. Tanpa sadar air matanya menetes.
"Rex. T-rex. Lo kenapa?"
Bukannya menjawab, Regi malah semakin menangis dibuatnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro