Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Resep Ampuh buat Barra

"Semuanya sudah, Rex?" tanya Maudy memastikan. Setelah menghabiskan waktu dengan makan junk food yang memang Maudy sukai, regi memintanya ke toko buku. Katanya ada yang mau dibeli. Maudy wajar curiga, kan?

Ilmu marketing model bagaimana lagi yang akan Regi pelajari? Semua kata-kata manis Regi bagai sihir untuk kalangan calon customer yang mendekat ke arahnya. Pantang bagi Regi untuk menyerah sekadar bilang, "Lihat price list dulu, ya, Mbak." Kata-kata itu akan Regi ubah menjadi, "Saya DP sekarang, deh. Sayang promonya."

Ajaibnya bibir Regi seperti itu. Saat pak Herman, bos di kantor mereka mengadakan promosi sebagai senior sales, nama Regi disodorkan paling awal karena kinerjanya. Makanya Maudy bingung ketika dirinya mengajak ke toko buku, katanya ada yang mau dibeli.

Dipikir gadis berambut hitam sepunggung itu, Regi mau menambah ilmu. Ilmu dicari bukan sekadar dari bangku kuliah saja, kan? Pengalaman juga seminar yang sering dihadiri pun menambah wawasan dengan membaca buku, termasuk salah satunya.

Ketika Regi memilih tiga hingga empat buku resep, tawa Maudy tersembur sudah. "Lo kesambet setan apaan, sih? Sumpah, lo aneh banget."

"Gue curhat sedari tadi lo anggap apa, sih?"

Maudy masih tak habis pikir. Iya, dirinya tahu permasalahan apa yang Regi hadapi. Tapi ia tak menyangka, sahabat lengketnya itu membeli buku resep. Padahal zaman canggih seperti ini? Astaga! Regi dan segala perilakunya.

"Kepiawaian lo hilang tertelan bumi atau bagaimana, sih, sampai benar-benar bisa diperbudak Barra?"

Regi mendesah frustrasi. "Lo enggak tahu, sih, Barra tuh bagaimana." Ia segera menyelesaikan transaksinya, lalu melanjutkan bicara. "Barra itu titisan iblis dan setan. Campurannya tapi pakai tepung kualitas super premium. Terus diadoni penuh lembut juga kasar."

"Lo pikir Barra donat?" Maudy tertawa.

Tidak dengan Regi. Bibirnya masih mengerucut sepanjang yang ia bisa. Padahal hari ini tubuhnya serasa lepas semua tulang dan engsel yang ia punya. Tapi ia harus ke toko buku karena kewajibannya. Iya, perjanjian laknat itu mengharuskan Regi memasak dan mengurus Barra. Lengkap dengan apartemen yang cukup luas itu. Mengurus Barra menyebalkan mungkin Regi masih bisa memaklumi karena dipikir, ia pun memiliki andil paling besar kenapa pria pesolek itu tak bisa banyak beraktivitas.

Tapi kalau masak?

Poin itu benar-benar Regi lewatkan sepertinya. Memang, belajar via Youtabe atau pencarian laman resep yang tersedia lebih gampang, namun ia tak mau mengambil risiko ponselnya tercebur panci atau masuk dalam minyak panas. Regi memang seceroboh itu. Ketimbang merelakan dan merogoh kantungnya lebih dalam untuk membeli ponsel baru, ia memilih mencari buku resep saja. Mulai dari masalah yang simpel, hingga yang kadar sulitnya bagi Regi tak sanggup ia gapai.

"Dia ngeselin banget, ya, Rex?" Ini bukan jenis pertanyaan sebenarnya. Maudy hanya menunjukkan simpatinya pada sahabat lengketnya itu. usapan lembut diberikan di punggung sang sahabat yang wajahnya kini berubah sendu lagi.

"Banget. Ada enggak, ya, toko yang jual item sabar? Gue mau gesek kartu sampai jebol buat beli."

"Sampai kapan lo diperbudak?"

Regi memang tidak menceritakan detail isi perjanjian pada Maudy. Kata VERY CONFIDENTIAL sudah membuat dirinya kisut mendadak apalagi terdaftar sah di mata hukum kalau perjanjian itu berlaku. Yang artinya, kalau Regi melanggar bisa-bisa ia terlibat dengan kepolisian kembali. Ia tak mau hal itu terjadi dalam hidupnya.

Cukup dengan menabrak seorang Barra yang berakhir sangat-sangat-sangat apes baginya. Tak mau lagi ia tambah masalah dengan membocorkan isi perjanjian.

"Sampai dia sembuh," tutur Regi.

"Nasib lo, Rex, buruk banget."

Regi tertawa sumbang. Sialan memang Maudy Senandika jika sudah berkata. Tapi segala yang diucapkan bibir tipis itu memang ada benarnya. Entah kapan ia bisa terbebas dari cengkeraman Barra. Yang baru saja dimulai, yang baru saja pria itu keluarkan sedikit demi sedikit taringnya, ditambah nyonya menyeramkan macam Rere. Regi mengusap dadanya pelan.

"Lo mau belajar masaknya di kos?" tanya Maudy tiba-tiba. Ini membuat langkah Regi berhenti yang akhirnya diikuti sahabatnya.

"Gue belajar di apartemen Barra. Dia yang mantau."

Maudy tertawa lepas entah untuk ke sekian kalinya di hari ini.

"Gila, ah, tuh orang. Gue jadi penasaran semenyebalkan apa bos baru lo."

Regi mencebikkan bibir. "Bos gue cuma Pak Herman."

"Serius, Rex. Next, lo kenalin gue, ya." Maudy masih mengumbar tawa. "Kali saja bakat gue nyinyir makin terasah kalau di dekat Barra. Barra siapa, sih, namanya?"

"Gue males ngadepin perang dunia ke empat, Dy. Gue yakin, bukan sekadar nyinyir bin sindir, tapi jambak-jambakan lo berdua." Regi saja sudah bergidik ngeri. Kenapa juga Maudy malah ingin berkenalan dengan Barra.

Kalau saja bisa diputar waktu, Regi sama sekali tidak mau berhubungan dan kenal dengan seorang Barra Herdiyanto itu.

"Wah, bagus dong. Teman gelud." Maudy justru bersemangat. "Biar gue bisa membalas semua kekesalan lo sama dia. Lo, kan, cupu kalau mau balas dendam."

Regi makin manyun namun tak membantah.

"Eh, gue punya saran untuk lo, Rex." Maudy menjentikkan jemarinya seperti Thanos. "Lo masak ini..." Gadis berambut hitam itu langsung menarik sahabatnya agar mendekat.

Tadinya Regi mendelik kesal karena tingkah Maudy yang sembarangan. Namun saat Maudy setengah berbisik melancarkan ide yang ada di kepalanya, mau tak mau, Regi ngakak.

"Gila itu, sih."

Regi menatap setengah tak percaya pada Maudy yang kini memainkan alisnya. Senyum licik pun tercetak di sana.

"Bisa-bisa. Bagus ide lo."

***

Regi kesiangan!!!

Tanpa mandi; hanya berganti pakaian, sikat gigi, lalu penuh buru-buru menjejal semua barang bawaan yang dianggap perlu dan yang terlintas dalam benaknya saja yang ia bawa dengan segera. Jam setengah enam lewat sepuluh menit dirinya segera tancap gas menuju apartemen Barra.

Hari ini, perdana untuk hari penyiksaan seorang Bhregitta Iffandari.

Sepanjang jalan ia merutuk dan mengumpat karena keterlambatannya. Semalam, begitu tiba di kos, ia tak bisa langsung tidur. Padahal tubuhnya meminta dengan sangat untuk istirahat namun kepalanya mendadak ingin membaca buku resep. Membayangkan cara memasaknya juga melihat step by step yang ada di beberapa channel yang segera ia subscribe sebagai langganan.

Ia mendesah lega begitu memarkir dengan sempurna Bobo di parkiran basement District 9. Bergegas ia menggendong ransel yang entah apa saja isinya, nanti akan ia bongkar ketika tiba di unit Barra. Kunci akses sudah ia kantungi lengkap dengan catatan di notes ponsel mengenai password apartemen bos sialannya itu.

Begitu tiba di unit yang nantinya akan sering ia kunjungi, Regi segera memasukkan kunci pada slot namun ternyata tidak terkunci. Regi meringis. Dalam hati sudah berdoa, semoga pagi di hari Sabtu ini masih bersahabat dengannya.

"Morning, Regi."

Regi menelan ludah gugup. "Maaf, Pak."

"Balas dong sapaan saya."

Regi maju perlahan dengan langkah demikian hati-hati. Dirinya dapat melihat Barra sudah duduk di meja makan lengkap dengan dua porsi sarapan. Tangannya lentur sekali mengoles margarin pada roti gandum yang berada dalam genggamannya. Berbeda dengan tangan itu, sorot mata Barra jelas tak selentur itu. Tajam, siap marah, dan meledak kapan saja.

"Saya semalam beli buku resep, Pak. Terus malamnya belajar lihat Youtabe. Makanya kesiangan." Regi mencoba jujur. Regi masih ingat sebuah nasehat di salah satu brifing pagi bersama seorang Hermansyah Diantoro, big boss-nya di kantor. "Lebih baik mengatakan kejujuran walau itu berat, ketimbang bohong karena ingin mencapai target. Nantinya kamu sendiri yang kewalahan karena sudah bohong di awal."

Walau korelasinya sangat jauh berbeda, setidaknya, pembahasan jujur itu poin utamanya.

"Benarkah?" Barra nampak belum ingin menurunkan intensitas kemarahannya di pagi hari. Sebenarnya ia tak marah, hanya saja, memasang wajah seperti ini dan membuat Regi seolah ditimpa rasa bersalah terus menerus ternyata mengasyikkan.

Membuat sarapan simpel seperti ini dirinya masih bisa melakukan walau terbatas geraknya. Lalu matanya memindai gadis itu dengan segera. Rasanya Barra ingin tertawa saat ini juga. Rambutnya awut-awutan, wajahnya pun Barra yakin tidak terpulas make up sama sekali, belum lagi baju yang dikenakan. Entah sang gadis sadar atau tidak.

"Kamu belum mandi?"

Regi menunduk malu. Menjatuhkan tas ranselnya dengan segera. "Mana sempat. Takut Paduka raja marah."

Untuk sekian hari tanpa tawa yang Barra jalani karena sudut bibirnya yang terluka, hari ini, di Sabtu pagi yang akan dimulai dengan penuh seru sepertinya, Barra tertawa lepas.

"Sadar enggak kamu? Pakai kaus keropi tapi celana tidurnya Frozen. Cacat fashion-nya jangan terlalu banget, lah."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro