Kangen bilang, Bos!
Barra menggeram kesal. Tiga kali teleponnya tidak direspons Regi. Gadis itu bodoh atau bagaimana, sih? Harusnya dia segera angkat karena Barra mau bicara penting. Malah diabaikan seperti ini. Memangnya Barra orang yang pantas mendapat perlakuan seperti ini? Barra mendengkus kesal setelahnya.
Love yang mengetahui tuannya marah-marah, hanya kembali bergelung manja. Mengeong tanpa peduli Barra sudah mengepulkan asap di kepalanya. Mendapati kucing kesayangannya manja seperti itu, Barra pun mengangkatnya. Menatap Love dengan pandangan sendu.
"Ibu tiri kamu cuekin Papa. Kesal, ya?
Love mengeong lagi.
Barra mencebik. "Lapar?" Dalam satu kali gendongan, Love sudah ada dalam pelukan Barra. Pria yang santai mengenakan kaus oblong dan celana pendek itu segera menuju lemari penyimpanan makanan kesukaan Love. Setelah memastikan Love makan dengan lahap, Barra kembali ke ruang tamu. Duduk, menekuri ponselnya yang tidak ada notif selain berita yang enggan sekali ia baca.
Sesekali ia utak atik ponselnya, mencari berita yang tak tentu arahnya. Barra lama-lama makin kesal. Ia pun beranjak ke kulkas. Mengambil salah satu sheet mask yang ia punya. Ketimbang energinya terkuras karena Regi, lebih baik ia pergunakan sembari maskeran. Dalam hatinya ia masih punya secuil harap, siapa tau, Regi menghubunginya.
Sejuk. Dingin. Wangi. Dan juga lembut. Itu yang Barra rasakan ketika sheet mask menempel di wajahnya. Aroma blueberry yang lembut dan suasana yang tenang malah membuatnya memejamkan mata. Ia tertidur tanpa sadar dengan wajah mengenakan sheet mask. Bahkan Barra tidak sadar kalau Love sudah bergelung mesra di atas kepalanya. Sembari menjilati tangannya dengan santai. Tak peduli kalau-kalau rambut Barra nanti terkena serpih dry food yang barusan ia kunyah.
Ponsel Barra bunyi demikian nyaring, membuat si empunya terlonjak kaget. Pun Love. Ia sampai terjungkal saking mendadaknya Barra bangun. Merasa bersalah, Love langsung diangkat dan diusap dengan permintaan maaf. Juga kecup-kecup kecil agar Love tidak marah pada Barra. Sementara ponselnya masih meraung minta perhatian juga. "Ini siapa, sih, telepon enggak ada sopan santunnya?
"Hallo," sapa Barra ketus.
"Bapak tadi telepon saya ada apa?"
Barra memejamkan mata. Kesalnya semakin jadi. Jangankan turun kadar ketusnya, marah yang menguasai Barra makin jadi. "Kamu dari tadi saya telepon ke mana, Regi?!"
"Saya... saya... ketiduran tadi, Pak. Capek banget."
"Saya, kan, sudah bilang. Pakai travel aja, enggak usah nyetir sendiri. Nanti kalau kamu nyetir enggak beres lagi gimana? Kamu mau bikin celaka orang lagi, hah?"
"Bapak doanya jelek banget, sih? Saya itu emang lelah banget, Pak. Wajar kalau ketiduran. Lagian, ada apa mesti telepon saya dan marah-marah?" tanya Regi di ujung sana dengan nada tidak terima. Barra masa bodo! Baginya, mendengar suara Regi marah-marah lebih baik ketimbang ia yang diabaikan sejak tadi.
"Kamu pulang kapan?"
Barra mendengar kalau Regi menggeram mungkin kesal. "Saya sudah beri tahu Bapak sebelum berangkat tadi. Bapak lupa?"
"Tinggal jawab aja, susah banget."
Mungkin kalau Regi ada di depan Barra saat ini, pria itu yakin gadis berambut cokelat itu sudah mendelik tajam juga bibirnya manyun lima centi.
"Besok siang saya pulang."
"Oh, oke."
"Itu saja?!"
"Iya. Saya enggak butuh info apa-apa lagi dari kamu."
Belum juga Barra bilang hal lain, Regi sudah terlebih dahulu menutup teleponnya sepihak. Barra melongo menatap layar ponselnya yang sudah kembali ke menu awal. Merasa heran, memangnya dia punya salah apa? Wajar, kan, kalau ia bertanya pada Regi? Kenapa pula gadis itu harus marah? Aneh!
"Love, ibu tiri kamu kenapa marah-marah sama Papa?" Yang ditanya hanya mengeong sebentar lalu kembali bergelung manja di atas bantal sofa. Tak peduli kalau majikannya kesal karena tingkah Regi.
Barra menghela napas pelan. Sheet mask yang ia kenakan sudah kering. Waktunya untuk melepaskan juga kembali tidur. Saat melirik jam di dinding, ia pikir sudah menjelang pukul sebelas malam. Nyatanya? Baru pukul tujuh malam. Pun perutnya tiba-tiba minta diisi. Kulit wajahnya sudah ternutrisi dengan baik sekarang. Tinggal dirinya secara keseluruhan. Mendadak Barra ingin sekali makan disiapkan Regi.
Seperti beberapa hari belakangan ini.
Tunggu. Ini Barra kenapa malah teringat terus dengan Regi, ya? Bahkan aroma vanila yang sering Regi pakai juga tercium. Astaga! Sepertinya Barra harus memeriksakan diri kenapa kepalanya hanya terisi Regi terus. Seharusnya, Barra itu kesal dan jengkel pada gadis berambut cokelat itu. Seenaknya saja bikin dia merasa seperti orang yang kehilangan sosoknya tiba-tiba.
Tidak. Barra tidak seperti itu.
***
"Kak," panggil Disti pelan. Gadis itu berjalan mendekat ke arah kakaknya tampak geram setelah menaruh ponselnya di meja ruang tamu. Bahkan dadanya naik turun dengan menderu seperti menahan kesal yang sangat. "Kakak kenapa?"
Regi menoleh, lalu senyum riang ia hadirkan. Regi bukan orang yang senang menampilkan wajah marah atau kesal di depan dua orang yang paling ia cintai di dunia. Ambu dan Disti. Sebisa mungkin ia akan tersenyum walau badai bernama kesal dan marah berkecamuk besar di hatinya.
"Enggak kenapa-napa, kok."
Disti hanya menanggapi dengan senyum kecil. Disti tau kakaknya menyembunyikan sesuatu. Ia mendengar semua percakapan tadi. Apa atasan kakaknya bekerja memberi tekanan yang begitu besar sehingga sang kakak sampai marah seperti itu? Jika iya, Disti merasa kasihan. Kakaknya pasti sudah berjuang di tempat kerja, kenapa juga harus kena marah?
Kalau sudah seperti ini, rasanya Disti ingin sekali membiarkan angan untuk berkuliah pergi jauh. Ia tak ingin menjadi beban kakaknya terlalu lama. Biaya kuliah itu, Disti tau, sangat besar. Masa iya, ia harus bertumpu lagi dengan sang kakak? Sementara hatinya mana tega dan rasanya Disti juga ingin marah pada atasan sang kakak. Bertanya, memangnya apa kesalahan Kak Regi hingga dimarahi seperti itu?
Disti geram dan kesal sekarang.
"Gimana persiapan ujian masuk universitas anti?" tanya Regi tiba-tiba.
Disti gelagapan namun segera ia tutup dengan senyum kecil. Lagi-lagi. "Yah, sejauh ini baik-baik aja, Kak. Setiap materi aku selalu coba ulang di rumah dan banyak praktik juga."
Tangan mungil Regi terulur mengusap sayang puncak kepala sang adik. "Kakak bangga sama kamu."
Akan tetapi, senyum Disti lenyap. Matanya memilih menatap ujung kakinya. Ini membuat Regi heran juga bingung. "Kenapa?"
"Aku enggak kuliah dulu, deh. Aku cari kerja aja, Kak. Bantu Kakak dan Ambu. Nanti kalau uangnya udah kekumpul banyak, baru aku kuliah."
Regi langsung melotot garang. "Enggak ada kayak gitu, Dis. Kamu harus kuliah. Masalah biaya itu urusan Kakak. Kak Regi Cuma minta kamu sekolah yang bikin Ambu dan Kakak enggak kecewa. Itu aja. Masalah berprestasi atau enggak, Kakak paham itu pasti ada di benak kamu untuk mencapai apa keinginan kamu, kan?"
Disit cemberut. Ia mana tega kalau harus semuanya dilimpahkan pada kakaknya. Sudah cukup dirinya sekolah berbiaya dari sang kakak. Masa iya dirinya tak bisa bantu sama sekali ketimbang uang semester atau apa. Tak jarang, Kak Regi sering mengirimkannya uang jajan lebih. Padahal masalah uang jajan, Disti terbiasa mencari sendiri.
"Tapi, Kak... kalau Disti bantu-bantu, boleh?" Selama ini Disti memang dilarang untuk terlibat masalah keuangan keluarga. Cukup pembicaraan ini menjadi rahasia antara Regi dan Ambu. Namun Disti peka akan masalah ini.
Lalu Disti mendengar helaan napas panjang dari sang kakak. Disti yakin, sih, jawabannya akan selalu sama setiap kali Disti mengemukakan keinginannya ini.
"Tugas kamu selama pakai emblem pelajar, ya, belajar. Kakak enggak ingin fokus kamu terbelah karena uang. Mungkin kalau kamu sudah cukup mengerti apa itu uang, bukan sekadar jajan, ya, baru Kakak beri izin."
Disti sudah bisa menebak Kak Regi akan berkata demikian. Sudah bosan rasanya namun ia tak mau menyerah. Apalagi setelah mendengar permbicaran tadi. Makin besarlah rasa ingin membantu dalam diri Disti.
Apa sebaiknya nanti ketika kuliah, dia bekerja sambilan tanpa perlu izin, ya?
"Kakak ke kamar dulu." Regi bangkit. Disambarnya ponsel yang tadi ia letakkan sedikit kasar pada meja, lalu dengan sedikit menghentak ia melangkah. Meninggalkan Disti yang menatapnya dengan pandangan heran. Tapi Disti tidak berani bertanya, karena tau, mungkin hati kakaknya tidak dalam keadaaan enak alias good mood.
Ketimbang memikirkan sang kakak yang nantinya akan kembali ceria, Disti lebih memilih merancang bagaimana caranya untuk menghasilkan uang. Untuk meringankan beban Kak Regi pun Ambu. Tak mungkin selamanya sang kakak akan membiayai dirinya. Dia juga harus berjuang, kan? Dia toh punya banyak kepintaran juga sering membantu Ambu di dapur. Urusan bikin kue, penganan ringan, bahkan lauk pauk yang susah menurut sang kakak untuk dieksekusi, Disti bisa. Itu bisa dijadikan lahan bisnis, kan?
Ia akan memutar strategi. Nanti. Sekarang, ia harus belajar terlebih dahulu. Buat Ambu dan sang kakak bangga. Itu saja. Disti tidak ingin membuat mereka berdua kecewa. Baginya, sang kakak adalah panutan dan Ambu, adalah wanita tanpa batas sayang yang akan selalu ada di hatinya.
Sementara itu, Regi masuk ke kamarnya dengan hati masih diliput marah. Ia kesal luar biasa pada Barra yang seolah, selalu saja membuatnya jengkel. Maunya apa, sih, orang itu? memangnya salah kalau ia tertidur karena lelah? Lagian, kalau naik travel dia sendiri yang akan repot. Hal seperti itu saja, Regi dimarahi? Tidak adakah topik lain yang lebih seru ketimbang urusannya naik travel? Pun pertanyaan kapan pulang. Padahal dirinya sudah bilang ketika pamit kemarin. Memangnya Barra mendadak menjadi pikun? Kan, tidak!!!
Saat merebahkan diri di kasur empuknya, Regi mulai mengatur deru napasnya. Ia mencoba mengalihkan apa-apa yang menganggu pikirannya, terutama pada sosok Barra Herdiyanto, pada hal-hal menyenangkan lainnya. Dan, berhasil. Setidaknya menurut Regi seperti itu.
Suara ketuk pintu memecah konsentrasi Regi yang ingin mengenyahkan nada bicara Barra tadi. Ia mengerjap pelan dan berkata, "Masuk aja. Enggak Regi kunci."
Sosok sang adik muncul di balik pintu. "Kak, dipanggil Ambu."
Regi bangkit dengan segera. Pun Disti yang mengekori langkah sang kakak.
"Ambu panggil Regi? Ada apa? Ada yang sakit? Kita ke rumah sakit aja, ya." Regi langsung duduk di samping ibunya dan mengusap telapak tangan sang ibu penuh khawatir.
"Mau ngobrol sama Kakak, kok. Kan, Ambu tadi bilang udah enggak apa-apa. Pemulihan aja nanti, sih, yang agak lama."
Regi manyun. Bicara dengan ibunya dalam hal pengobatan rasanya sulit sekali.
"Kak, bulan depan Rena mau tunangan. Kamu jangan enggak hadir, ya. Biar gimana juga dia, kan, sepupu kamu."
Gadis berambut cokelat itu tidak tahu harus merespons apa.
****
Promo PDF semua story aku berakhir di tanggal 31 Agustus, ya.
Semoga nanti bisa buat diskon lagi. Yang sudah beli, terima kasihhh. selamat membaca sampai tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro