Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Drama Again?


"Lho, saya pikir Bapak sudah berangkat." Regi cukup terkejut mendapati Barra masih duduk di sofa ruang tengah. Walau TV layar datar besar itu tidak ada aktifitas apa-apa, namun tetap saja Regi heran.

"Kamu enggak lihat saya belum pakai dasi?"

Hubungannya sama Regi apa? Tidak ada sama sekali, kan? Regi memilih menuju rak sepatu. Mengambil wedges cokelat yang tidak terlalu tinggi. Hari ini ia akan seharian di kantor. Mengurus beberapa berkas customer-nya yang masih belum lengkap dan siang hari, ia memberi jadwwal untuk dirinya sendiri akan mengunjungi kantor pembiayaan. Bertanya masalah kontrak customernya yang lain.

"Regi, kamu mau ke mana?"

Saat gadis itu menoleh, Barra sudah menampilkan wajah garang. Regi bingung, sebenarnya pagi ini Regi salah apa? Pancake madu dan kopi sudah ia buatkan dan Barra menikmati dengan sangat. Bahkan sudah sedikit memberi pujian akan rasa pancake-nya yang tertakar pas. Kalau kopi, dari awal Barra memang menyukai takaran yang Regi punya untuk membuatnya.

"Mau berangkat, Pak."

Terdengar decak kesal dari Barra. Lalu pria itu melangkah mendekat. "Pakaikan saya dasi. Enak saja main kabur."

Regi melongo.

"Cepat, Regi. Saya ada meeting pagi."

Ini kepala Barra sepertinya terantuk batu cukup keras.

"Tapi... tapi... "

Barra bukannya semakin menjauh, malah makin mendekat ke arah Regi yang sudah menciut. "Tapi apa? Cepat! Kalau saya bisa pergunakan tangan untuk membuat simpul dasi juga akan saya gunakan."

Regi merasa aneh dengan kata-kata barusan. Tangan Barra memang sampai segitunya tidak bisa digunakan? Serius? Kok, Regi tidak percaya, ya. Tapi tetap saja, Regi menerima uluran dasi itu. Dasi berwarna hijau tua yang tampak senada dengan kemeja pilihan Barra memang mencerminkan dirinya sekali.

Dari jarak demikian dekat ini, aroma parfum Barra benar-benar membuat Regi terbuai. Beruntung Regi punya pengalaman berada di dekat pria, coba kalau tidak, mungkin ia sudah melempar dirinya dalam pelukan Barra. Tunggu. Tidak akan terjadi!!! Bagi Regi, Barra hanya sekadar tampan. Tapi kalau kelakuan, minusnya hingga menyentuh angka sejuta. Tidak mau!!! Regi tidak akan mau menjatuhkan dirinya dalam peluk Barra walaupun dada bidang itu sangat menggoda.

Terutama parfumnya.

"Kamu tinggi juga, ya." Barra sesekali menundukkan pandangan. Yang mata matanya tepat mengarah pada ujung kepala Regi yang berdiri santai di depannya. Mengalungkan dasi dan membuat simpul dengan teliti. Membuka kerah kemeja yang tadinya rapi, pun mengancinginya lagi serta menepuk pelan bagian itu tanda sudah selesai pekerjaannya.

"Iya. Kata Ambu dulu, saya kebanyakan makan rebung."

Barra terkekeh. "Ini yakin sudah rapi? Saya mau meeting. Saya enggak mau jadi bahan olokan kalau dasi saya enggak rapi."

Regi memutar bola matanya malas. "Sudah. Rapi banget malah."

Lalu netra mereka saling mengudara. Tinggi Regi persis di bawah dagu Barra. Regi tak susah payah untuk sekadar mendongak atau butuh bantuan berupa kursi kecil agar bisa memasangkan Barra dasi. Sama sekali tidak butuh. Namun Regi tak pernah siap ketika mereka sama-sama tidak saling melepaskan pandangan.

"Saya pamit, Pak. Bapak juga, kan." Buru-buru Regi menggunting tatapan mereka. Ini tidak baik sama sekali.

"Kamu enggak lupa satu hal?"

Regi yang masih belum mengerti arah bicara Barra, hanya mengerjap pelan lalu menggeleng. Otaknya memutar kembali apa-apa saja yang mungkin ia lupa. Semuanya sudah. Pintu, jendela, ruang laundry, keran air, bahkan kompor semuanya dalam keadaan mati dan terkunci. Love juga sudah disediakan makanannya hingga sore nanti. Air minum nya juga. Oh, bahkan Regi mau bersusah payah membuatkan Love susu khusus. Lalu apa lagi yang kurang?

Sebuah kecup kecil pada pipi Regi yang Barra beri, membuatnya bagai disengat aliran listrik jutaan volt!!! Juga kata-kata Barra yang walau diucapkan sambil lalu dan suaranya demikian kecil, masih terpatri dalam benak Regi.

"Semangat kerjanya."

Regi bahkan menyangga tubuhnya di dekat rak sepatu agar tidak rubuh.

"Buruan. Kunci pintunya. Nanti kamu terlambat juga."

***

Perjalanan dari apartemen Barra ke kantornya, tidak terlalu memakan waktu. Entah kenapa. Biasanya jalan Jakarta pagi hari itu sama sekali tidak pernah mengenal kata kompromi. Tapi Regi cukup beruntung dan bersyukur, setidaknya ia tak terlambat. Maudy berkirim pesan tadi pagi, hari ini mereka briefing. Lagi.

Briefing pagi adalah agenda rutin. Regi juga sudah menyiapkan amunisi agar tak lagi dikeramasi Pak Herman terkait target. Beberapa calon customer-nya yang mundur, setelah di-follow up lagi, akhirnya terjerat jebakan Regi. Maksudnya Regi bukan dalam arti jahat. Regi hanya pintar memainkan kata-kata agar semuanya bisa disepakati dengan kata deal. Itu saja. Selebihnya, Regi termasuk salah satu staff yang jujur dan jarang sekali customer-nya bermasalah.

"Pagi semuanya," sapa Regi sedikit heboh ketika naik ke lantai tiga. Lantai tempat di mana Regi bekerja. Pun tak lupa ia goyang-goyangkan oleh-oleh yang sengaja ia bawa dari Bandung.

"Wih, oleh-oleh." Suara Mbak Iva mendominasi. "Pak Firman, ini Regi bawa oleh-oleh. Disiapkan."

Regi tertawa karena ulah Mba Iva. Apa dirinya tersinggung? Sama sekali tidak. Mbak Iva sering membawa buah tangan tiap kali keluar kota. Atau malah kalau bertemu jajanan unik di pinggir jalan. Dan selalu, semua staff di lantai tiga kebagian. Makanya, Regi selalu membawa brownies lebih agar semuanya kebagian.

"Siap, Mbak." Pak Firman muncul. Segera Regi beri brownies bawaannya agar bisa OB itu siapkan di piring. Juga menyiapkan teh hangat seperti biasanya.

"Dydy..." seru Regi dengan suara manjanya. Langkahnya lebar ke arah Maudy yang tampak enggan menatap Regi. Sahabatnya itu memilih sibuk dengan maskara yang sedang ia mainkan di mata. "Ih... gue kangen." Tanpa aba-aba, Regi langsung memeluk tubuh Maudy dengan erat.

Beruntung maskara itu tidak sedang digunakan. Kalau tidak, Maudy yakin ia sudah terkena insiden colokan sikat maskara di mata. Maudy menggeram kesal setelahnya. "Bangsat! Gue enggak bisa napas!"

"Ih... Dydy enggak kangen gue, ya?" Regi pura-pura merajuk. Matanya dibuat sendu. Mengerjap heboh dengan gaya seolah dirinya korban.

"Tai! T-rex lepas! Gue bisa mati!" teriak Maudy tidak terima.

Lalu mereka tertawa bersama. Seperti biasanya. Seolah, memang makian dan caci hanya sebatas di bibir.

"Gimana Ambu?" tanya Maudy kembali melanjutkan kegiatannya memulas wajah.

"Alhamdulillah udah lebih baik. Tapi gitu, enggak mau ke rumah sakit. Sebel gue," keluh Regi sembari meletakkan tas tentengnya.

"Yah, gitu tuh orang tua. Kita mah heboh biar beliau dapat penanganan terbaik. Malah terus-terusan ditolak."

Regi mengamini ucapan Maudy.

"Lo udah sarapan?" tanya Maudy lebih lanjut.

"Udah."

Maudy menoleh ke arah Regi. "Tumben."

Regi nyengir. "Sarapan bareng Barra. Dia udah mulai kerja."

"Bos lo enggak kesurupan lagi?"

Regi hanya menanggapi dengan senyum kecil. Tapi isi kepalanya mengingat dengan jelas tindakan Barra tadi. Itu... bisa dibilang kesurupan tidak, sih?

"Gue temani lo nyari sarapan, deh. sebelum mulai briefing."

Maudy tampak berpikir. "Oke, lah. Di belakang aja. Cuma pengin lontong sayur, kok."

Setelahnya, mereka bekerja sesuai porsi. Maudy ada kunjungan ke booth pameran di SCBD sementara Regi memilih sesuai dengan jadwalnya. Briefing kali ini, Regi bebas dikeramasi. Setidaknya, ia sudah berusaha semaksimal mungkin agar targetnya terpenuhi. Walau ia tau, masih jauh dari apa yang sering ia capai. Tak apa. Bulan depan, akan Regi balas kekalahan dalam hal target karena toh... pundi-pundi uangnya ia punya tujuan tersendiri.

Tak lupa ia mengabari Barra kalau kemungkinan besar ia pulang sedikit terlambat. Tapi ia sangat mengusahakan agar segera tiba di apartemen. Menyiapkan persiapan makan malam, walau Regi belum langsung yang terjun memasak. Tapi paling tidak, Regi sudah banyak bisa membantu Barra.

Barra. H :

Oke. Jangan lama.

Segera pulang.

Regi menatap balasan dari Barra dengan kening berkerut. Dia merasa seperti diawasi berlebih oleh Barra. Namun ia tak tanggapi. Ia memilih membicarakan masalah kontrak para customer-nya. Juga beberapa orang yang mau melunasi ciciln karena mau ambil unit lgi pada Regi.

Ketika dirinya kembali ke kantor, sekadar menaruh pekerjaannya, ia dikejutkn oleh kedatangan seseorang.

Dion Adi Putra.

"Hai, Sayang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro