Barra dan segala keajaibannya
Hampir dua jam lamanya Regi merapikan isi kulkas yang diprotes habis-habisan oleh Barra. Terutama pemilihan dan penempatan sayur. Dirinya mana tau hal itu. Masak saja lebih sering gosong di bawah. Belum lagi perkara lainnya semisal ketumbar dengan lada. Oh, jangan lupa perkara jahe dan lengkuas. Dan para kawan-kawannya yang lain. Regi mana paham. Mengerti saja adanya di angka nol. Regi dan dapur, kombinasi unik untuk membuatnya semakin tidak waras.
Ia lebih menyukai berbenah rumah ketimbang berurusan dengan dapur. Serius. Dalam 25 tahun hidupnya, Regi lebih memilih merapikan isi rumah; membersihkan semua debu yang ada di pajangan meja, mengganti seprei, mengganti sarung bantal sofa, belum lagi gorden besar yang dimiliki ibunya di rumah masa kecilnya, pun menyapu serta mengepel. Oh, jangan lupa membersihkan kaca hingga kinclong. Itu Regi suka dan ahli.
Ketimbang masak dan berurusan dengan bumbu? Ia menyerah. Kalah dan mundur teratur. Mungkin karena itu juga sepanjang hidupnya Regi jarang sekali menjajal area dapur untuk digagahi. Dicoba untuk sesekali waktu bermain maksudnya.
Hari ini Regi dapat pelajaran maha berharga dari seorang Barra. Merapikan kulkas. Bagian dari dapur apartemen Barra yang tertata apik juga rapi. Benar-benar jempolan menurut Regi suasana di sini. Berkelas pun wangi. Regi bisa menduga dari mana berasalnya tingkat cerewet Barra juga bagaimana pria itu terhadap penampilan. Buktinya, apartemen yang ia tinggali memang sedikit mencerminkan dirinya.
Yah, biarpun lebih sering Barra mendumel karena Regi yang selalu salah mengorganisir sayur, sih. Gadis itu pun baru tahu sebangsa sawi, bayam juga kangkung bisa awet agak lama karena dibungkus plastik yang sudah dilubangi. Itu pun Regi harus mencuci bersih pun memastikan semua kering pada sayuran tersebut. Ia pun harus memilah mana yang masih bagus, mana yang memang bagian tersebut harus dibuang.
Regi manyun mengerjakan hal itu sebenarnya. Bagi Regi itu merepotkan. Tapi maha benar Paduka Barra tidak memperbolehkan Regi mengeluh. Bahkan si pria yang kini tampak tenang duduk di sofa kebesarannya, dengan seenaknya berkata, "Yang seperti ini saya kamu enggak tau?! Astaga! Jujur sama saya, kamu jomlo atau punya pacar?
Sama sekali tidak ada korelasinya, kan?
"Saya harap kamu jomlo! kalau kamu punya pacar, saya enggak tau gimana pacar kamu menghadapi tingkah perempuannya yang seperti ini."
"Maksudnya seperti ini apa, ya, Pak?" Regi mengerjap heboh. Dia tau sedang dalam mode disindir, dinyinyir gitu. Karena ketidak-becusannya dalam urusan dapur.
"Ya ini, sepele. Milah sayur aja enggak becus. Itu jamurnya pakai kertas. Saya suka tumis jamur, jangan sembarangan memperlakukan mereka."
"Ya kalau saya enggak bisa milah sayur bukan berarti saya enggak bisa apa-apa, kan?" Regi protes. Tidak terima dikatakan seperti itu oleh Barra.
Barra malas menanggapi, ia lebih memilih memperhatikan Regi yang kini beralih ke buah untuk disortir. "Buah taruhnya di sebelah sini. Kiri khusus sayur, kanan khusus buah. Jangan dicampur. Kamu keluarkan dulu yang lama dari kontainernya. Buang yang sudah enggak layak makan. Cuci dulu tempatnya. Dilap kering."
"Bapak sendiri aja deh yang ngerjain." Regi hilang sabarnya. Sedari Barra duduk di sana, pria itu terus saja mengoceh. Ini dan itu salah di matanya.
"Biasanya juga saya yang ngerjain. Lihat, apa yang sudah kamu perbuat ke saya? Asal kamu tau, ya, Regi. Saya ngerjain ini enggak lama. Kamu sudah diberitahu masih juga lama."
Regi manyun kuadrat.
"Enggak usah manyun gitu. Ini ilmu. Saya enggak minat cium bibir orang yang selalu manyun gitu."
Regi mendelik marah ke arah Barra yang masih setia duduk di sana. Menatapnya tak kalah garang terhadap gadis berambut cokelat itu. "Apa?" tantangnya.
"Bibir saya biarpun manyun gini tetap seksi!"
"Sudah, segera selesaikan pekerjaan kamu. Saya lapar, mau makan."
Rasanya Regi ingin sekali meremas Barra hingga bagian terkecil, lalu melemparnya tepat ke tong sampah. Membungkusnya dengan segera dan memasukkan plastik sampah berisi Barra Herdiyanto ke janitor. Tapi itu semua cuma angan yang tidak akan pernah terwujud.
Tak ada yang bisa Regi lakukan kecuali segera menyelesaikan pekerjaannya ini, kan? Beruntung, buah yang ada di kantung belanja tak sebanyak sayuran tadi. Lalu ia juga segera mengeluarkan aneka bawang-bawangan dan meletakkannya di tray khusus yang tak jauh dari rak dapur. Segala macam bumbu juga sudah disusun Regi sedemikian rupa. Setidaknya hari ini Regi dapat pelajaran berharga, membereskan dapur.
"Bapak mau makan apa, saya pesankan, ya." Berawal dari kecerewetan Barra mengenai higienis, akhirnya itu menular pada Regi walau aslinya itu benar-benar merepotkan. Setiap habis memegang sesuatu, Regi harus mencuci tangannya dengan segera atau minimal menggunakan hand sanitizier. Pun kali ini, Regi segera mencuci tangan setelah memastikan area dapurnya bersih. Bahkan Regi sudah menyapu dan sempat sedikit membasahi kain pel agar tidak ada noda debu di sana.
Regi dalam hal bebenah, boleh diacungi jempol. Dapur? Jangan harap.
"Pesan? Ya kamu masak, lah." Barra langsung menyoroti Regi dengan pandangan heran dan bingung. "Percuma Mama beli bahan makanan kalau masih harus beli."
Rahang Regi jatuh saat itu juga. "Tapi... tapi...."
"Tapi apa? Itu, kan, tertuang di perjanjian. Harus kamu patuhi, lah."
Ini, sih, sama saja menyetorkan nyawa Regi pada dapur!
***
"Lo kenapa, Rex?" tanya Maudy heran. Bagaimana tidak, ditelepon buru-buru minta dijemput di lobby apartemen, malah disambut dengan bibir yang maju entah berapa puluh centi. Manyun dan tertekuk seolah baru saja diceramahi Pak Herman. Sang bos.
"Makan burger, yuk. Laper."
Maudy semakin bingung tapi tak membantah. Ia justru mengikuti langkah Regi yang luar biasa berjalan cukup cepat, seperti setengah berlari. "Rex, sabar!"
Sebenarnya Regi malu kalau sampai melihatnya sudah berkaca-kaca. Kejadian di apartemen yang belum genap satu jam berlalu sejak ia menggunakan dapur Barra, masih sangat jelas diingat.
Regi mana bisa masak walau sekadar goreng ayam. Oh atau sekadar tumis sawi dengan saus tiram dan potongan tomat seperti yang Barra minta. Ia kebingungan bagaimana cara memasaknya. Alhasil, walau dengan bantuan cookpad, hasilnya tepat mengerikan. Barra bahkan berjengit ngeri menatap ayam goreng yang gosong separuh dan rasanya benar-benar aneh. Pun tumis sawi. Rasanya Regi mau nangis saja!
"Jadi, kamu benar-benar enggak bisa masak?"
Regi menggeleng sembari menunduk. Tak berani menatap Barra saking malunya. Ia sendiri bodohnya double kuadrat, kenapa tidak membaca jelas poin-poin yang ada di perjanjian. Hanya membaca sekilas dan sok memahami. Regi dan otaknya!
Lalu terdengar hela napas panjang dari Barra, Regi yakin, Barra pasti ingin sekali marah padanya. Kali ini, ia terima. Dapur Barra berantakan luar biasa. Minyak di mana-mana, potongan sawi juga entah apa segala macam bumbu terciprat di setiap sudut. Mata Regi sudah basah.
"Ya, sudah. Kita pesan makan."
Regi perlahan mengangkat pandangannya. Di dekatnya duduk Barra yang sibuk dengan ponselnya sembari mencebik.
"Saya pesan soto daging. Kamu juga soto daging?"
Regi mengangguk saja.
"Ini enggak gratis, ya."
"Iya, nanti saya yang bayar juga enggak apa." Regi mendumel di balik pandangan matanya yang sudah ke arah marmer di bawah kakinya. Bisa-bisanya Barra berkata seperti itu.
"Uang saya banyak kalau kamu mau tau. Buktinya, saya enggak minta kamu tanggung jawab masalah uang."
Makin manyun, lah, Regi.
"Di sini, kamu belajar masak. Hidangkan makan untuk saya yang layak. Belajar tuh banyak caranya. Nonton Youtube, search di Google, atau apa lah terserah. Masa iya kamu enggak bisa masak dan enggak mau belajar juga."
"Tapi..."
"Enggak ada tapi. Kamu mau belajar apa bayar satu miliar?" Barra mendelik tajam ke arah Regi tanpa belas kasih.
"Belajar, Pak," cicit Regi pelan.
"Good. Sekarang bereskan semuanya. Jangan sampai saya tergelincir gara-gara minyak."
Gelembung ingatan itu pecah ketika Maudy menjentikkan jemarinya persis di depan hidung mancung Regi. Mereka sudah duduk di mobil Maudy yang terparkir di area basement.
"Lo bengong sambil nangis. Kenapa, sih? Ada apa? Lo bikin gue khawatir tauk!"
Bukannya menjawab, Regi malah merangsek memeluk sahabatnya dan menangis.
***
Regi ini agak mellow kalau dibentak. Barra juga kebangetan sih. Ngalah-ngalahin ibu tiri bawelnya.
Sampai sekarang aku masih belum bisa cari cast yang sesuai sama Barra, lho, saking dia ini benar-benar menguji sabar. Hahhahahha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro