Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ambu dan Disti


"Naik travel saja." Barra bicara sekali lagi, walau sepertinya hanya dianggap angin lalu oleh gadis yang sudah bengkak matanya itu. Mendapati telepon dari Regi setelah makan siang karena gadis itu pulang cepat dan harus ke Bandung saat itu juga, membuat Barra meninggalkan meeting pembahasan proyek di Malang. Bobby sempat terkejut, namun ketika tahu Barra ada urusan dengan Regi, Bobby hanya cengar cengir.

"Lama, Pak, jam berangkatnya. Saya mau segera." Regi menjejal satu sweater kuning kesayangannya. Lalu memastikan tidak ada barang yang tertinggal lagi. Ia segera menarik salah satu koleksi sneakers yang dibawanya, mengenakan dengan buru-buru, lalu pamit. "Saya berangkat dulu, ya, Pak. Maaf enggak bisa siapkan makan malam hari ini. Tapi jusnya tadi sempat saya buatkan, sih. Makanan Love juga sudah saya beli. Takutnya Bapak lupa karena kemarin saya lihat tinggal sedikit." Regi nampak berkeliaran memandang sekitar unit Barra. "Oh, pakaian Bapak belum saya susun. Nanti setelah pulang dari Bandung, saya susun. Kalau Bapak yang susun sering berantakan."

Barra mengerjap pelan. Bukan karena semua petuah Regi yang panjang dan terkesan ia seperti meninggalkan seseorang untuk waktu yang lama. Hanya saja.

"Saya antar saja." Ini entah kenapa bibir Barra mengatakan hal yang menurutnya lucu.

Regi menggeleng gegas. "Enggak usah. Saya bisa ke Bandung sendiri, kok."

"Tapi,"

"Bapak tenang aja. Saya konsent, kok. Kali ini, saya akan lebih hati-hati berkendara."

Tak ada yang bisa Barra lakukan lagi untuk mencegah keberangkatan Regi. Barra tak masalah kalau Regi harus pulang sejenak ke rumah orang tuanya. Di telepon, Regi sudah menjelaskan kenapa ia meminta izin pulang dengan segera ke kampung halamannya. Bandung. Ibunya jatuh di kamar mandi.

Sebenarnya banyak yang ingin Barra tanyakan mengenai gadis itu. Hatinya tergelitik untuk mengetahui lebih banyak hal mengenai sisi lain sang gadis. Tapi semuanya ia telan bulat-bulat. Otaknya bilang, untuk apa dan gunanya apa bagi hidup Barra mengetahui Regi lebih banyak.

Sebelum punggung kecil itu hilang tertelan pintu apartemen, Barra hanya bila berkata, "Hati-hati. Segera kabari saya kalau sudah tiba di rumah."

Gadis itu hanya membalas dengan anggukan. Lalu tak lama, sosok itu menghilang dari pandangan Barra. Meninggalkan Barra yang mengedikkan bahu, lalu memilih duduk di sofa. Love yang mengetahui majikannya datang, langsung bergelung manja. Mengeong lebih lama dan meminta agar kepalanya mendapat usapan lembut. Ketika mendapati hal itu dari Barra, kucing persia kesayangan Barra langsung naik ke pangkuan sang majikan.

"Ibu tiri kamu pulang sebentar. Jangan kangen, ya."

Lama Barra duduk di sofa sembari merasakan bulu halus milik Love. Ponselnya sering berdering namun ia abaikan. Menurutnya, telepon itu berdering hanya panggilan dari Bobby. Untuk apa ia angkat, ia sudah memberi banyak arahan kok tadi sebelum meeting. Masa iya harus Barra ulang segala petunjuknya.

Ketika Barra membuka kulkas, jus kesukaannya memang sudah ada di sana. Makan siang memang belum tersaji tapi Barra tak masalah. Ia bisa order atau keluar makan siang walau telat. Barra lebih memilih menghabiskan jus yang sudah dibuat Regi.

Love mengikutinya, lalu bergelung di kakinya seperti mencari perhatian.

"Love kenapa? Lapar?"

Mata Love yang berwarna biru hanya membulat. Barra pikir, kucingnya memang lapar. Ia pun membuka kaleng makan Love dan memberikannya di tempat makan khususnya.

"Jangan kangen ibu tiri, ya."

***

Regi tiba di rumahnya yang sederhana tiga setengah jam setelah bertolak dari apartemen Barra. Tanpa menunggu dibukakan pintu gerbang, ia melesat masuk dan membiarkan mobilnya masih terparkir di sisi rumahnya yang lain.

"Assalamu'alaikum, Ambu, Disti."

Seorang gadis remaja yang masih mengenakan seragam putih abu-abu menyambutnya. Matanya sedikit sembab dan wajahnya agak memerah.

"Kakak," panggilnya yang langsung memeluk Regi. Dengan penuh sayang, Regi membalas peluk dan mengusap puncak kepala sang adik.

"Gimana Ambu?"

"Sekarang, sih, udah tidur. Aku khawatir banget, Kak."

Regi berusaha tidka menangis. Sepanjang jalan ia sudah menangis karena jelas, ia sangat takut akan keadaan ibunya. Disti telepon sembari menangis saja sudah membuat jantung Regi rasanya lepas dari cangkang. Setelah memastikan ibunya mendapat pertolongan yang Disti ceritakan, kalau tetangga depan rumahnya lah yang sigap memberi pertolongan, Regi sedikit lega.

"Tapi kata dokter apa?"

Disti menggeleng. "Ambu enggak mau ke dokter. Katanya Cuma keseleo doang. Tapi Ambu meringis terus gitu, Kak."

Regi memejamkan mata. Ibunya memang keras kepala kalau berhubungan dengan dokter juga rumah sakit. "Kamu ganti baju dulu, gih. Nanti kalau Ambu sudah bangun, kita ke dokter."

Disti mengangguk patuh.

"Kamu sudah makan?"

"Disti enggak lapar, Kak."

Regi tersenyum kecil. "Makan. Kalau kamu ikutan sakit, Kakak yang sedih."

"Memang Kakak sudah makan?"

Regi nyengir.

"Disti buatkan makan, ya. Makan bareng."

Yang Regi lakukan mengangguk dengan gembira. Masakan Disti memang enak dan Regi rasa, kepiawaian Regi di dapur kalah sangat jauh dari Disti. Mungkin karena gadis itu terbiasa bercengkerama dengan alat dan kebutuhan dapur, sekaligus membantu ibunya yang berjualan kue di pasar. Itu lah mengapa, Regi tak terbiasa ada di dapur. Tugas Regi memastikan kalau rumah yang mereka tinggali dalam keadaan bersih dan rapi. Urusan dapur, adalah tugas Disti dan ibunya.

Regi memilih duduk berselonjoran di karpet yang ada di ruang keluarga. Perjalanan ke rumhanya cukup menghabiskan tenaga Regi. Ditambah ia memang belum makan apa-apa kecuali nasi gorengnya tadi pagi. Bicara tentang nasi goreng, ia ingat pesan Barra padanya tadi.

Regi Cute :

Pak, saya sudah sampai dengan selamat di rumah Ambu. Hanya laporan.

Lalu Regi mengambil salah satu bantal yang ada di sofa, merebahkan dirinya di sana. Semilir angir yang ia terima dari jendela juga pintu yang sedikit terbuka, membuainya hingga lelap. Ia tak menyadari kalau Barra entah sudah berapa kali melakukan panggilan telepon.

Barra H :

Hape kamu dibuang?!

Disti yang sudah siap dengan masakannya, bingung ketika menghampiri sang kakak yang justru tertidur di sana. Gurat wajah cantik kakaknya terlihat lelah sekali. Disti jadi merasa bersalah. Hanya pada sang kakak dirinya bertumpu. Memang ibunya masih bisa mencari sekadar uang untuk makan, tapi segala kebutuhan yang Disti dan rumah ini perlukan, semua Regi yang biayai.

Bagi Disti, Regi tidak hanya sekadar kakak perempuan kebanggaannya. Ia lebih dari itu. Sosok Regi yang periang, cantik, juga menyayangi mereka berdua, sangat-sangat penting artinya untuk Disti. Ia berikrar dalam hatinya ketika duduk di kelas sebelas dua tahun lalu, akan ia persembahkan nilai bagus dan perilaku yang baik sebagai perempuan untuk membuat kakaknya bangga. Pun Ambu serta almarhum ayahnya. Agar kelak, Disti juga mampu membuat Ambunya bangga atas pencapaiannya.

Setiap kali Ambu bercerita tentang kakaknya, Disti tak pernah iri. Justru ditempa dalam hatinya, sosok Regi adalah panutan. Apa yang Regi lakukan dan korbankan untuk keluarga kecilnya ini, bagi Disti hal keren.

Ponsel yang ada di samping Regi bergetar dan menampilkan ID caller yang membuat kening Disti berkerut. Bos Bangciat? Disti tak ingin mengganggu tidur kakaknya. Walau sudah dua kali ID itu membuat getar di ponsel kakaknya.

Entah sudah berapa lama Regi tertidur, harusnya jangan tertidur. Ia lapar. Menunggu Disti selesai masak justru tertidur seperti ini. mungkin lelahnya sangat menuntut dirinya agar mengistirahatkan sejenak tubuh kecil yang ia miliki. Regi memang kecil, tapi tinggi mirip bambu.

"Dis," panggil Regi sembari menuju kamar adiknya. Ia pun berniat ke kamar Ambu siapa tahu ibunya sudah bangun. Saat melihat di ujung pintu kamar ibunya yang terbuka, Regi melihat Disti dengan telaten menyuapi ibunya. Walau sesekali ibunya mengelak, tapi Disti dengan sabar meminta ibunya agar mau disuapi.

"Ya, Allah. Regi," panggil Nuri, ambu Regi dan Disti. "Ambu kangen, Nak."

Tadinya Regi tak ingin menangis lagi. Tapi melihat kaki ibunya sedikit bengkak, air matanya tumpah. Mana pernah Regi tega melihat dan menyaksikan ibunya kesakitan. Regi membayangkan tadi saat ibunya tergelincir di kamar mandi karena ingin mengambil sesuatu di atas, malah berakhir terjatuh seperti itu.

"Regi juga, Ambu. Mohon ampun baru bisa pulang." Regi merangsek dalam pelukan ibunya. Pun Disti.

"Dua anak kebanggaan Ambu."

Mereka bertiga menangis karena rindu. Biasanya Regi memang pulang dua minggu sekali, atau paling lama sebulan sekali. Tapi kali ini, sudah hampir dua bulan Regi tak berkunjung. Ia tak mungkin bercerita apa yang tengah dihadapi. Apa lagi selain Barra dan segala perintahnya.

"Nanti ke dokter, ya, Ambu. Periksa." Regi bersandar sedikit pada sisi kanan ibunya. Membiarkan sang ibu mengusap lengannya penuh sayang.

"Enggak usah." Nuri tersenyum kecil. "Ambu sudah diurut Bu Iyem. Sudah mendingan banget, kok."

Regi cemberut.

"Kak, nginep kan, ya?" tanya Disti tiba-tiba.

Gadis berambut cokelat itu mengangguk antusias. "Tapi besok siang pulang, sih. Cuma izin cuti hari ini dan besok."

Walau sedih karena kakaknya tak bisa lama tinggal, tapi Disti tetap harus tersenyum kan?

"Besok bisa antar aku sekolah dong?"

Regi mengusap puncak kepala adiknya penuh sayang. "Iya dong. Bisa."

Disti memekik girang. Sangat jarang terjadi bagi sang kakak mengantarkannya sekolah. Disti bukan anak manja, hanya ingin sesekali ketika sang kakak ada di rumahnya, ia memiliki quality time berdua.

"Oiya, Kak. Dari tadi ponsel Kak Regi bergetar terus. Ada yang telepon."

Regi mengerutkan kening.

"Namanya Bos Bangciat. Siapa tuh, Kak?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro