Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[7] LUCK NUT!

Barra melirik gadis berambut cokelat bergelombang itu dengan sinis. Gadis itu memang datang walau lewat jam makan malamnya. Itu mengakibatkan obat dan vitamin yang harus diminumnya pun sedikit terlambat. Beruntung, Egil, dokter rekannya yang merawat Barra memaklumi.

"Lo enggak ditungguin Tante Rere?" tanya Egil saat tadi mengunjunginya.

Barra hanya menoleh sekilas. "Malas. Pusing gue dekat Mama."

Egil tertawa. "Tante Rere sayang banget sama lo, ya."

"Urus kerjaan lo aja sana!" usir Barra galak.

"Ini makanan mau lo makan atau dibuang?"

Barra manyun. "Makan."

"Butuh gue suapi?"

"Najis!!!"

Egil lagi-lagi tertawa. "Asli, yang nabrak lo apes banget sumpah. Tapi, sih, cantik. Gue kenalan, ya?"

"Pergi sana lo!"

Dan suara tawa Egil yang belum puas menertawakan Barra terus bergaung hingga gadis itu datang. Wajahnya terlihat lelah namun Barra abai. Pria itu marah dan kesal bersamaan. Lukanya memang sakit tapi bukan berarti perutnya tidak butuh makan. Lihat saja, Regi!

"Maaf, tadi macet banget arah ke sini." Regi benar-benar merasa bersalah. Ia meletakkan dua bungkus, tadinya ia hanya ingin membeli satu porsi namun ia ingat, makanan rumah sakit pasti tidak terlalu enak. Kalau pria bernama Barra itu tidak mau, nanti Regi habiskan. Energinya terbuang banyak hari ini.

"Alasan."

"Enggak, Pak." Regi berjalan ke arah wastafel; mencuci tangannya, membasuh mukanya sedikit, menguncir rambutnya dan kembali mencuci tangan agar tidak ada sisa kotoran setelah memegang rambut dan wajahnya. "Saya suapi sekarang?" tanya Regi sembari menghela napas.

"Kamu bawa apa?"

Senyum Regi terbit. "Sate padang. Bapak mau? Kebetulan saya bawa dua porsi."

"Pasti belinya yang di pinggir jalan, ya? Enggak higienis banget, sih, jadi perempuan. Enggak. Enggak mau. Makasih. Saya lebih baik makan makanan rumah sakit. Cepat, saya mau minum obat. Biar cepat selesai urusannya di sini."

Regi memanyunkan bibir. Dia, kan, hanya sekadar menawari. Kalau enggak mau pun tak masalah. Toh, dalam benaknya dia memang tak terlalu ikhlas berbagi. Apalagi setelah tahu akan direspons seperti ini. Memangnya salah kalau beli makan di pinggir jalan? Buktinya Regi dan perutnya sama sekali tidak bermasalah. Mungkin orang ini saja yang perutnya dilapis emas. Jadi kena sesuatu hal yang kotor sedikit, jadi tidak berkilau lagi.

Tak ingin berlama-lama, Regi langsung menyiapkan semua perlengkapan makan seorang Barra. Sampai detik ini, hanya nama dan kelakuannya yang ajaib yang Regi ketahui. Perempuan itu pun malas banyak bertanya dengan lelaki model seperti Barra ini. Selain hobi sekali bersikap sinis, sekali-kalinya dalam hidup Regi, ia dibentak. Itu yang menyebabkan dirinya menangis di pagi hari Senin tiga hari lalu.

Selama ini, ia memang besar bertiga bersama ibu dan adiknya, Disti. Dibesarkan oleh seorang wanita berhati lembut dan halus, membuat Regi tumbuh menjadi gadis yang periang dan juga ceria. Dalam hidupnya, walau bibirnya sering melafal kata kasar di depan Maudyꟷiya, hanya di depan Maudy dirinya berani membuat kata makian. Selebihnya, kata-katanya sopan dan cenderung terarah.

Saat Barra menggunakan nada tinggi, Regi terbawa perasaan. Alias baper. Bagaimana tidak; jam tidur kurang, ditekan oleh ocehan ibu korban yang seolah Regi adalah terdakwa dengan hukuman paling berat, belum lagi ia harus memikirkan masalah biaya. Oh, satu lagi jangan lupa. Seberat apa pun permasalahan pribadi, target penjualan tetap harus dikejar. Itu semua membuat satu titik badai demikian besar dalam benak Regi.

Dalam satu sentak, semuanya ambyar tepat mengenai ulu hatinya. Bentakan Barra.

Regi menangis bukan karena cengeng, itu sudah tabiatnya memang. Ia hanya tak menduga kalau Barra bisa membentaknya seperti itu. Maudy hanya mengatakan, kalau sekali lagi Barra-Barra itu berani menggunakan nada tinggi, Regi harusnya membuat kaki yang patah itu semakin sakit. Biar kapok. Jadi Barra akan segan untuk melakukan hal itu kepadanya.

Cukup bagus memang sarannya. Tapi itu sama saja seperti Regi mengantar nyawa tanpa perlu aba-aba.

"Tangan kamu sudah cuci tangan, kan?"

Regi mengangguk sebagai jawaban.

"Sendok dan garpunya lap tisu antiseptik dulu. Sudah dari tadi di tray."

Anggukan lagi yang Regi beri.

"Jangan terlalu dekat sama saya. Kamu bikin luka saya makin parah kalau refleks bergerak."

Sendok yang tadinya berisi nasi siap dibasahi kuah sup daging, Regi letakkan kembali. "Pak, kerja sama bisa?"

"Loh, saya kan benar. Kenapa? Marah? Ingat, status kamu itu saya perbudak. Saya juga enggak mau seperti ini."

Regi menggeram tertahan. Sialan memang Barra ini! Bisa enggak, ya, gue bawa pria menyebalkan nomor satu di dunia ke antariksa? Terus gue tinggal di sana?! Entah di Mars, Pluto atau sekalian deh, kesedot black hole. Lebih baik kayaknya, kan?

"Cepat. Saya lapar."

Regi dengan secuil sabar yang masih tersisa, menyuapi pria itu dengan perlahan. Untungnya pria ini sepertinya memang kelaparan. Makanan khas rumah sakit ini, tandas hanya menyisakan beberapa potong wortel yang sepertinya tak ia sukai. Selebihnya? Habis. Hebat, kan?

Regi jadi berpikir, dalam keadaan lapar saja seorang Barra bisa on fire kalau marah dan membuat kesal. Bagaimana dalam keadaan kenyang, ya? Bisa-bisa Regi selalu ada di titik nol kesabarannya. Sepertinya ia harus membeli banyak stok sabar mengingat kemungkinan besar Regi berurusan dengan Barra akan memakan waktu lama.

"Besok pagi, sekretaris saya membawa draft perjanjian."

Hah?

"Kamu harus bertanggung jawab atas apa yang menimpa saya, kan?"

"Iya, saya enggak akan lari, kok." Regi mengerucutkan bibir. "Enggak ibunya, enggak anaknya, sama. Memang gue mau ke mana, sih?" gumamnya pelan.

"Ngomong apa tadi kamu?"

Regi nyengir. "Enggak, Pak. Enggak ada apa-apa."

"Tangan dan kaki saya memang masih terluka. Beruntung, kepala saya enggak parah lukanya. Saya masih bisa dengan jelas mendengar apa yang kamu omongin tadi." Barra sedikit menegakkan duduk. Mendekat ke arah perempuan yang tampak ketakutan itu. "Ingat, tanggung jawab kamu atas saya besar. Jangan sampai saya geret kamu ke pengadilan."

Sesuai tebakan Barra, mata Regi berkaca-kaca. "Iya, Pak."

Mudah bukan?

***

Mana ada tidurnya Regi pulas akhir-akhir ini. Hanya beberapa jam saja! Perpaduan epik untuk membuat Regi didera pening. Kepalanya seperti dipalu, berkali-kali. Tapi dia bisa apa saat melihat notes yang sengaja ia tempel di cermin besarnya.

Bangun pagi. Katanya biar rezeki enggak dipatuk ayam tapi sayangnya rezeki lo sudah habis dimakan biaya rumah sakit.

Ia menyeret semua langkahnya menuju kamar mandi. Harus bersiap dengan segera menuju tempat di mana terakhir kali ia datangi. Barra bilang, ia tak mau lagi menerima alasan telat untuk sarapan. Regi dibebaskan untuk tak menjalankan kewajibannya menyuapi Barra hanya ketika makan siang. Selebihnya, itu keharusan bagi Regi untuk menjalani. Regi apes banget diperbudak dengan cara seperti ini tapi ia tak bisa kabur ke mana-mana, kan?

Ia sendiri menggadang-gadang dirinya dengan berani kalau akan bertanggung jawab. Yang paling sialnya lagi, sang ibu korban yang akhirnya Regi tau namanya yaitu Bu Rere, mendukung penuh apa yang dilakukan sang putra terhadapnya.

Ibu eksentrik itu justru membuat Regi makin tersudut. "Seharusnya, anak ganteng saya itu bisa bekerja di kantor ngurus ini itu. Bukan terbaring di sini, Regi. Ingat, tanggung jawab kamu yang saya minta."

Malam itu, Regi menjelma seperti kurcaci. Kerdil sekali.

Ketimbang dirinya memikirkan kejadian semalam, ia lebih baik bergegas. Menit terus berjalan, kan? Dirinya tidak mau mendapat semburan pagi yang akan membuat mood-nya amblas. Biasanya kalau seorang Bhregitta Ifandari mood-nya dalam keadaan tidak bagus, ia tak segan menggelontorkan uangnya dalam bentuk yang ia suka. Baju, celana, rok mini, high heels, makan di resto mewah, atau ke Sky Bar menenangkan diri. Tapi kali ini, ia harus berpikir jutaan kali. Bisa-bisa ia tak sanggup melunasi biaya rumah sakit si Barra-Barra itu.

Regi baru sadar, kalau berkendara di hari yang belum muncul sinar matahari, jalanan justru lebih lancar. Tak sampai empat puluh lima menit Regi berkendara, Bobo sudah memasuki area parkir rumah sakit. Diembuskan napas panjang karena Regi yakin, entah dari mana keyakinan itu muncul, hari ini akan menjadi hari yang panjang.

Gadis itu mengenakan kamisol warna Army ditutup kardigan Tosca panjang hingga lutut, dipadukan dengan celana jeans ketat berwarna hitam. Rambutnya ia gelung tinggi dan dibentuk sanggul pada puncaknya, membiarkan sedikit anak rambutnya mencuat sana sini. Make up-nya sudah terpulas namun tipis. Sengaja ia mengenakan pakaian ini agar nanti bisa cepat berganti seragam kerjanya. Pun sneakers putih sebagai pemanis ia kenakan pagi ini.

Sebelum Regi benar-benar memasuki area rumah sakit, ia mengirim pesan pada Maudy. Hari ini ia pasti datang telat ke kantor, akan lebih bagus kalau Regi langsung menuju stand di pameran yang sedang berlangsung selama dua bulan ini. Regi meminta agar Maudy menyampaikan izinnya terlebih dahulu pada atasannya, Pak Herman.

Begitu ia tiba di depan pintu ruang rawat Barra, Regi masih bisa mendengar kasak-kusuk di sana. Terutama suara Tante Rere. Ah, regi mendadak didera pusing yang lebih banyak ketimbang tadi pagi. Namun ia tak bisa mundur, kan?

"Pagi," sapa Regi berusaha ramah.

Semua orang yang ada di sana menoleh ke arah gadis yang baru saja memasuki ruangan. Seorang Rere Herdiyanto langsung memindai dengan saksama penampilan dari gadis yang menyebabkan anaknya seperti ini. Lalu mendengkus tak suka. Terlalu biasa, pikirnya begitu.

"Hallo, Regi, kan, ya?" sapa seseorang yang mengenakan jas putih.

Regi meringis. Ia mengenali orang tersebut. Dia adalah dokter yang menangani Barra selama di ruang tindakan. "Hai, Dok. Iya, saya Regi."

"Gitu dong, datang pagi. Jadi saya enggak menunggu terlalu lama."

Regi menelan ludah. Mesti banget, ya, bilang gitu?

"Ma, aku mau ada urusan sama Regi. Gil, lo temani Mama sarapan sana. Jam kerja lo sudah bebas, kan?"

Egil tertawa. "Masih pagi ya Tuhan. Bisa enggak ngegas gitu, kan?"

Barra mana mau peduli.

Sementara Rere sudah merengut tak terima dengan sikap Barra sejak kedatangan gadis berkulit putih itu. Padahal ia baru tiba setengah jam lalu, belum banyak bertanya mengenai perkembangan kesembuhannya. Sudah harus terusir karena gadis ini? Menyebalkan!

Setelah memastikan kedua orang itu keluar dari ruangan, Barra menunjuk pada laci nakas.

"Ada apa di sana, Pak?" tanya Regi hati-hati.

"Ambil berkas di sana. Baru tadi diantar sekretaris saya."

Regi lagi-lagi menelan ludah. Perasaannya tak enak.

"Itu surat perjanjian tanggung jawab di antara kamu dan saya."

Rahang Regi terbuka lebar. "Maksudnya, Pak?"

"Saya enggak mau kamu ingkar dengan kata-kata kamu. Saya sudah enggak berurusan dengan polisi, hanya dengan kamu. Jangan sampai saya libatkan polisi kembali, lho."

Mata Regi segera memindai satu per satu hal yang tertuang di sana. Matanya membulat perlahan setelah semuanya terbaca. Ini gila!!!

Saat mata mereka mengudara, satu hal yang pasti Regi rasakan. Ia dijebak dalam lingkaran setan bernama, Barra Herdiyanto. 


****

Gimana kisahnya Regi-Barra? Seru? Iya lahhhh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro