Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[6] NAMANYA, BARRA BANGSAT!

"Lo kenapa lesu gitu?" tanya Maudy tanpa basa basi begitu mendapati sahabatnya masuk ke ruang kerja. Tampang Regi tidak ada manis dan jahil sama sekali seperti biasanya. Kantung mata yang masih menghitam, makin memperparah keadaan. Juga dirinya yang tidak mau beranjak sama sekali dari duduk. Kepalanya ia taruh di meja, lalu memejamkan mata.

Maudy, kan, curiga! Siapa tahu sahabatnya itu kesambet hantu rumah sakit. Terus jadi waras dan tidak lagi usil. Tapi tidak seperti ini juga, sih. Seolah gairah hidup Regi amblas dimakan usia. Tunggu! Regi dan Maudy seusia, tidak akan mungkin Regi mendadak tua!

"Rasanya mau mati aja," keluh Regi yang masih memejamkan mata. Mengambil bantal yang biasanya untuk sanggah leher, lalu menyembunyikan wajahnya di sana.

"Kenapa, sih?" Maudy penasaran. "Korban lo gimana?"

"Ih, anjir banget, sih. Kok, korban gue? Kayak lagu aja. Korbanmu." Regi mendongak, cemberut dengan perkataan Maudy barusan.

"Ya lagian, lo aneh banget. Biasanya dihantam badai puting beliung aja masih berkokok. Ini, kayak ayam Tiren."

Regi buang muka. Kembali pada posisinya semula. Enggan menanggapi Maudy yang asal bicara.

"Non Regi sayang, yang mirip T-Rex abad ke dua puluh. Non, ada apa?" Maudy memelankan suara. Membelai lembut rambut panjang Regi penuh sayang biarpun bibirnya seenak jidat berucap.

"Dia minta tanggung jawab," keluh Regi frustrasi.

"Lah, lo salah. Bego lo enggak hilang juga, ya?" Maudy mau tertawa tapi mendengar suara nelangsa Regi, akhirnya Maudy urungkan niatnya. Ia lebih baik membelai rambut Regi saja. Siapa tau, si empunya rambut sadar, kalau sebagian tangannya agak kotor sehabis sarapan setangkup roti tanpa lapis pembungkus. Lalu memarahinya. Itu lebih baik Maudy rasa ketimbang hatinya ikut galau melihat sahabatnya tidak berdaya seperti ini.

"Bukan itu. Itu jelas gue ngerti. Tanggung jawab hal lain."

Maudy kontan melongo. "Apa, sih, maksud lo? Yang jelas, jangan kayak orang kumur-kumur."

Regi mengangkat pandangan, matanya berkaca-kaca, lalu tiba-tiba memeluk Maudy yang kaget luar biasa. Di bahu Maudy, Regi terisak. Kencang. Hingga bahunya bergetar hebat.

"Lah, dia nangis. Diputusin cowok enggak nangis, dimintain pertanggungjawaban lo nangis. Maha benar hati T-Rex yang hobi dibolak-balik."

"Bangsat lo memang," maki Regi di sela tangisnya yang belum mau berhenti. "Gue di ujung tanduk, tauk!"

"Makanya cerita, T-Rex!"

Lalu meluncur lah cerita mengenai asal muasal kenapa seorang Bhregitta Ifandari tertekuk lesu pun menangis di pagi hari yang cerah ini. Padahal baik Regi maupun Maudy jelas tau, ini adalah permulaan hari di mana mereka harus mengejar banyak target penjualan. Mereka tidak mau sampai digit-digit nol yang selalu setia mengisi rekening mereka, amblas dimakan urusan pribadi. Selayaknya sekarang, Regi dengan urusan korbannya, Maudy yang kebingungan dengan urusan membantu sahabatnya tanpa tau harus melakukan apa.

Selain berkali-kali mengatai Regi tentu saja.

"What the hell?!" Maudy melotot marah. "Lo serius?"

Bukannya menjawab, Regi makin jadi dalam tangisnya. Pagi ini sudah ada beberapa karyawan yang mulai berdatangan. Sontak mereka cukup terkejut dengan pemandangan Duo lengket ini.

"Eh, Regi sama Maudy kenapa?" tanya Mbak Iva, staf Finance, yang berjalan mendekat. "Kehabisan diskon sepatu, ya?"

Maudy nyengir. "Iya, Mbak. Si Regi sampai rebutan sama Mbak-Mbak hebring kemarin. Eh, enggak dapat malah benjol kena wagon display."

Tak butuh waktu lama bagi Maudy untuk mengaduh kesakitan. Rambutnya yang hitam tertarik sedikit oleh tangan Regi yang semena-mena. "ANJIR! T-REX! SAKIT!"

Duo lengket dengan segerbong makian yang biasa berkumandang. Belum sampai dua detik, mereka tertawa bersama. Regi segera mengambil tisu yang ada di dekatnya, menyusut cairan yang keluar dari ujung hidungnya cukup keras. Membuat bunyi bersit yang mengganggu Maudy namun Regi cuek.

***

[Regi cute]:

Saya ke rumah sakit habis bertemu klien, ya. Saya ada banyak janji. Kemarin dibatalkan semua karena mengurus Bapak. Maaf, ya.

Ini sudah berlalu tiga hari sejak tragedi yang membuat pria itu masih setia berbaring di ranjang rumah sakit. Sebenarnya ia sudah rindu pada kamar apartemennya, tapi bisa apa kalau ia belum diperbolehkan pulang. Tunggu. Sebenarnya ia tinggal menyembuhkan kakinya saja, sih. Tapi, Rere Herdiyanto Yang Agung, tidak akan membebaskannya begitu saja. Ibunya adalah orang terdepan yang akan melarang dirinya untuk segera pulang sebelum semua yang terjadi padanya dicek ulang oleh dokter.

Barra baru membuka pesannya setelah Bobby mengambil semua berkas yang butuh approval darinya. Berhubung tangan kanannya cedera, ia membutuhkan stempel yang hanya dipergunakan khusus dalam kondisi darurat. Kalau membutuhkan tanda tangan basah, ia lebih memilih meminta approval pada bos tertinggi. Ayahnya.

"Ini sudah semua?" tanya Barra memastikan. Berkas yang dibawa Bobby lumayan banyak. Kebanyakan diisi mengenai proposal pengajuan kerja sama dengan leasing dan mengenai suku bunga. Pun benefit lainnya. Barra harus berkonsentrasi sebenarnya, namun di rumah sakit mana bisa otaknya bekerja. Ia sendiri benci rumah sakit. Mungkin bau dan suasananya. Yang jelas, Barra benci.

"Sudah, Bos." Bobby hanya melirik sekilas ke arah Barra, karena tangan juga matanya masih sibuk memindai siapa tau ada yang tertinggal untuk dibubuh approval. "Gue lagi double checking, bentar."

Barra mengangguk. Lantas tangannya mengambil cermin yang ada di nakas. Memindai wajahnya di sana. Sudah tak semenyeramkan saat pertama kali ibunya menyodorkan benda segi empat itu. Barra dan wajah adalah perpaduan sempurna untuk menjual banyak hal. Terutama dari segi perempuan. Ia tak ingin, hanya karena bumper sialan itu, pasarannya turun drastis.

Pria itu pun sempat memikirkan operasi plastik jikalau luka di wajahnya cukup mengganggu.

"Draft perjanjian yang gue minta sudah dibuat?"

Bobby menimang sebentar lalu mengangguk ragu. "Lo yakin? Lo enggak takut nanti malah dituntut atau apa?'

Mata Barra yang setajam elang, ia buat sekecil mungkin. Pertanda dirinya tidak suka dengan apa yang baru saja Bobby katakan. "Kalau nanti berbalik ke gue, gue tau siapa yang mesti gue salahkan."

Bobby menelan ludah buru-buru. Ia lupa dengan siapa dirinya berhubungan. Barra Herdiyanto. Putra mahkota kerajaan Herdiyanto yang berjaya. Apa yang ia sabda adalah perintah yang harus dikerjakan. Buru-buru ia mengeluarkan draft yang dimaksud dari bagian map khusus.

Barra membacanya dengan saksama. Pada bagian tertentu, ia meminta Bobby untuk segera merevisi. Dirinya membutuhkan surat itu segera.

"Ini aja yang mesti direvisi?"

Barra mengangguk. "Bikin dua rangkap, ya. Bermeterai. Sehabis gue tanda tangan, lo kasih Temmy. Biar dia urus."

Bobby hanya bisa pasrah mengangguk. "Semua pekerjaan gue sudah selesai. Lo masih butuh gue atau enggak? Kalau enggak gue langsung balik ke kantor. Besok pagi gue ke sini dulu kasih surat perjanjiannya."

"Good." Barra kembali merebahkan diri. Mencari posisi yang cukup nyaman dalam rebahnya. Ketika mengambil ponsel dan mulai mengetik, Barra mengumpat kencang. "Berengsek!"

"Kenapa?" Bobby segera mendekat ke arahnya.

"Gue mau ngetik balasan pesan aja enggak bisa!"

Bobby ngakak. "Sini, gue ketikin."

"Lihat aja tuh perempuan! Kalau ingat bikin gue kesel!" Mata Barra berkilat marah. Geraham kesal sudah tak lagi bisa ditahan.

"Lo enggak lihat ekspresi khawatirnya, sih." Bobby mulai mengambil alih ponsel yang ada di tangan kiri sang bos. "Lo mesti belajar pelan-pelan. Semoga aja hasilnya enggak parah banget jadi proses sembuhnya cepat."

Barra melengos.

"Gue ketik apaan?"

"Bilang; jangan lama kamu di luar. Saya mau makan. Itu tanggung jawab kamu!"

Gelak Bobby makin kencang. "Sinting, lo!"

***

Regi baru saja memarkirkan mobil di salah satu warung makan sate padang kesukaannya, ponselnya berdering tanda sebuah pesan masuk. Ia mendesah berat, padahal perutnya lapar sekali. Mau tak mau, suka tak suka, ia harus kembali melangkah masuk ke dalam mobil. Namun sebelumnya, ia memesan satu porsi sate padang.

Dingin, dingin dah! Kesel gue!




****

Sabar ya Regi. Barra emang gitu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro