49. A Heavy Truth
Setelah kebakaran, tak banyak barang-barang yang bisa diselamatkan.
Api perusak yang paling kejam, memakan segala hal yang menghalangi jalannya, menghancurkan, memusnahkan. Sungguh luar biasa apa yang bisa dilakukan oleh sebuah setrika yang lupa dimatikan. Nyaris tak ada yang tersisa saat Jaehyun datang sendirian ke sana untuk mencari kepingan kehidupan keluarganya yang berhasil bertahan, lalu pulang ke rumah orang tuanya.
Ibunya menyarankan, jual tanahnya, beli rumah baru.
Seolah pindah dari suatu rumah yang kau tempati selama 7 tahun adalah hal yang mudah. Padahal disanalah semuanya bermula一tempat Rose sedikit demi sedikit menerimanya. Jaehyun melamar Rose di atas tempat tidur yang sama dengan yang mereka pakai selama ini. Tempat Lily duduk mengucapkan kata pertamanya, belajar berjalan satu-dua langkah hingga jatuh di pangkuan orang tuanya yang bertepuk tangan memberi semangat.
Ada terlalu banyak kenangan yang lenyap.
Jaehyun bisa saja mencetak kembali foto-foto pernikahan dan foto keluarganya saat liburan, tapi ia tahu rasanya tidak akan sama. Apa gunanya foto-foto itu kalau orang yang ada dalam foto beresiko pergi?
Di satu sisi, ia ingin meyakini bahwa 7 tahun yang mereka habiskan akan sanggup menahan Rose, tapi di sisi lain ia ragu. Bayangan Rose yang tersenyum menggandeng tangan Yuta meruntuhkan keyakinannya. Itu senyum nyata, bukan karena keharusan atau terpaksa. Jaehyun sudah lupa kapan tepatnya Rose tersenyum selebar itu ketika bersamanya. Dia tampak bahagia.
Kenapa bisa seperti itu?
Padahal menurutnya, ia adalah suami dan ayah yang baik. Ia berusaha keras membuat Rose betah dan nyaman. Jaehyun tak mengerti mengapa Yuta selalu berdiri beberapa langkah di depannya. Dulu dan sekarang, Rose menganggapnya istimewa. Kalau bersama Yuta, Rose tidak sekalipun melirik pria lain walaupun pria itu melakukan salto bolak-balik untuk mendapat perhatiannya.
Dia tidak mengerti, dan membaca jurnal Rose juga tidak membantunya.
Rose bukan tipe wanita yang suka menulis diary, tapi Jaehyun berharap menemukan sesuatu di buku ini, yang dapat memberitahunya apa yang membedakan ia dan Yuta. Apa yang membuat Rose sangat ... mencintainya.
Hasilnya sia-sia.
Buku itu benar-benar buku biasa; jurnal yang berisi hal-hal yang sekilas terkesan remeh. Daftar belanjaan, daftar peralatan dapur yang harus diganti. Nomor tetangga yang malas Rose masukkan ke ponselnya karena mereka pernah membicarakannya saat mereka kira ia tidak mendengar. Janji bertemu yang ia pertimbangkan dan akhirnya ia coret karena malas datang.
Tidak ada nama Yuta, fotonya, atau catatan tentang betapa ia merindukan pria itu. Rose bilang, ia sudah membuang barang-barang peninggalan Yuta, tapi ia bohong karena cincin kupu-kupu itu ternyata masih ada. Rose menyimpannya di suatu tempat.
Dan tentu, di hatinya.
Jaehyun tidak tahu harus sedih atau senang. Benar-benar tidak ada apa-apa di sini, walaupun terdapat sekumpulan judul film dan buku yang membingungkannya.
Film :
The Time Machine
Timeline
The Time Traveler's Wife
Sweet 20
Buku :
City of Heroes
Time Riders
About Time
Once A Witch
Banyak sekali kata "time" yang membuat Jaehyun penasaran. Semua itu pasti penting karena Rose sampai meluangkan waktu mencatatnya. Jadi ia mengambil ponsel, mengetikkan satu persatu judul dan mengintip sinopsisnya.
10 menit kemudian, barulah ia paham; semua itu adalah film dan buku yang menceritakan perjalanan ke masa lalu.
Rose terlalu mencintai masa lalu. Dia belum menerima kehidupannya yang sekarang. Menganggap ini hanya mimpi buruk dan menunggu Yuta membangunkannya.
Kini, dia pun kembali. Dia sempat pergi, tapi jelas tak lupa jalan kembali.
Hari ketiga tanpa Rose, Lily tidak rewel lagi.
Tapi masalah lain muncul; dia tidak mau makan. Lily tidak suka sayur. Seringnya, Rose harus berlagak marah atau memaksanya dengan cara-cara yang beragam agar ia mau menelan makanan itu. Jaehyun tidak tahu harus bagaimana membujuknya karena saat ia berkata, "Ini sehat, Sayang", Lily membantah, "Eunhee tidak makan sayur tapi dia sehat!".
Dia mewarisi kemampuan bicara Rose.
Jaehyun yang tidak punya tenaga untuk berdebat memilih mengeluarkan ponselnya, dan dengan nada bersekongkol berbisik, "Kalau kau makan sayur, kau boleh main game selama 1 jam. Oke?"
Mata Lily langsung berbinar. Rose sangat ketat soal aturan ponsel. Ia tidak pernah mengizinkan Lily bermain ponsel lebih dari 1 jam. Tidak baik untuk pertumbuhan anak katanya. "2 jam saja, ya? Papa, 2 jam, ya? Aku mau main cooking mama. Boleh kan, boleh? Aku bosan di sini terus!"
Jaehyun tertawa, heran darimana putrinya belajar merayu. Ia jadi tidak tega menolak. Tatapan imut itu selalu bisa meluluhkannya. "1 jam lebih 5 menit. Ini, makan dulu."
Lily cemberut. Kedua pipinya menggembung sebal. Namun diambilnya juga ponsel Jaehyun, yang sebagian besar berisi game anak-anak. Ia mengunduhnya di waktu luang, untuk hiburan saat Lily tidak bisa bermain di luar karena hujan atau sudah malam.
Anak itu, sesuai perintah, makan dengan tenang. Sesekali mengutak-atik ponsel sementara Jaehyun melahap makanannya sendiri. Suara-suara dari game menemani keduanya yang biasanya makan bertiga. Rasanya sepi, tidak lengkap. Rose telah menjadi bagian terbesar dalam hidup mereka, sehingga ketika ia tidak ada, Jaehyun merasa kurang.
Setidaknya ada Lily. Itu lebih baik daripada sendiri. Ia mencoba tersenyum, menelan makanan yang ia beli di restoran dekat rumah sakit yang ditunjuk Cherry.
"Halo? Mama?"
Jaehyun menoleh, bingung kenapa Lily tiba-tiba menyebut mamanya dan meletakkan ponsel di samping telinga. Wajahnya penuh harap.
"Mama?"
"Lily, kau menelpon siapa?"
Kemudian suara itu, suara yang tidak Jaehyun sangka, muncul dari lubang suara ponsel, jernih dan lembut, terdengar hati-hati dan sama bingungnya dengan Jaehyun. "Dochira wa dare desuka?"
Kaget bercampur marah, Jaehyun merebut ponselnya. Ia mengabaikan protes Lily, melangkah ke luar ruangan dan berjalan menjauh. "Kenapa ponsel Rose ada padamu?"
Akhirnya mendapati suara yang akrab baginya, Yuta tertawa. Kata-katanya menyatu dengan alunan lagu berbahasa Jepang. "Oh, kau. Yang tadi itu siapa?"
"Bukan urusanmu, jawab pertanyaanku!"
"Kenapa harus?" Yuta meledek, sengaja bicara lambat-lambat agar Jaehyun semakin marah.
Jaehyun mendadak ingin melempar ponselnya ke kepala seseorang. Atau lebih tepatnya, ke kepala Yuta. Ia lupa bila soal bicara dan membuat orang naik darah, Yuta jagonya. "Berhentilah menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Aku ingin bertemu denganmu. Kita harus bicara."
Kali ini Yuta menurutinya, tidak balik bertanya. Tapi responnya masih saja menyebalkan. "Yah, kalau aku sih tidak. Sayonara, Jaehyun."
Begitu saja, dia mengakhiri panggilan.
"Berengsek!" Jaehyun mengumpat kesal, berlari ke kamar Rose, menduga Yuta ada di sana. Dalam perjalanan, ia menelpon Alice, memohon wanita itu agar mau menjaga Lily untuk kesekian kalinya. Alice setuju, berkata sudah dalam perjalanan dan tidak bertanya macam-macam.
Tapi saat Jaehyun tiba, ia justru melihat Johnny, duduk di dekat Rose dan asyik menceritakan sesuatu padanya.
"Aku juga pernah ada di posisimu, Nona Rose. Diperebutkan banyak orang. Kurasa itu karena kita terlalu keren dan menawan. Kita terlalu atraktif. Susah ya jadi begini?" Pria itu tertawa. "Ah, maaf kau jadi mendengarkan ocehanku. Tapi Yuta tidak mau datang ke sini. Dia bilang malas bertemu keluargamu. Dia itu, memang sangat blak-blakan. Mulutnya一"
Jaehyun membuka pintu.
Johnny gelagapan, hampir menjatuhkan sekuntum bunga yang ia genggam. Mawar putih itu, untungnya, mendarat di pangkuannya saat ia berputar untuk menengok siapa yang datang. "Jaehoon?! Mengagetkan saja. Maaf aku masuk tanpa izin. Aku hanya ingin mengantar ini." Johnny mengangkat buket bunga yang ada di laci samping Rose. Mawar putih; lambang cinta sejati yang murni. "Kiriman Yuta."
"Namaku Jaehyun," ralat Jaehyun otomatis, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. "Mana dia? Yuta?"
Johnny mengedikkan bahu. Sahabat Yuta itu tampaknya tidak tertular kebiasaan bicara berbelit-belit Yuta, sehingga ia menyahut tanpa basa-basi. "Di apartemen. Yuta tidak ikut."
"Apartemen mana? Kau tahu tempatnya?"
"Moorim, di Geonam-dong," jawab Johnny, mengembalikan bunga yang ia pegang ke buketnya, dan memakai lagi jaket yang ia lampirkan di kursi. "Nomor 609. Kalau kau tersesat, carilah dari stasiun Kangguk." Ia tersenyum. Tubuh tingginya harus sedikit membungkuk saat melewati ambang pintu. "Kalian perlu bicara kan? Datangi dia. Tapi demi Tuhan, jangan menjatuhkan orang lagi. Dewasalah."
Kata-katanya seakan menampar Jaehyun.
Dewasalah. Kata sederhana yang berarti banyak hal.
Nakamoto Yuta tidak bisa ditebak.
Jaehyun tahu itu, tapi tetap saja ia terkejut mendapati Yuta dengan santai menggambar di apartemennya, lengkap bersama camilan dan sebotol alkohol. Seolah ia sedang liburan dan tidak terjadi hal buruk pada Rose.
Yuta membuka pintu dengan wajah datar, mengernyit, dan sudah akan membanting pintu kalau Jaehyun tidak sigap meletakkan kakinya sebagai penghalang.
Pria itu berdecak, mengamati Jaehyun dari atas ke bawah. "Apa maumu?"
Secara singkat, Jaehyun mengulangi perkataannya, "Kita harus bicara."
Yuta menimbang-nimbang, memilah-milah keuntungan dan kerugian jika ia membiarkan Jaehyun masuk, lalu membuka pintu lebih lebar.
Bau alkohol menusuk penciuman Jaehyun saat ia masuk ke bagian dalam apartemen, menutup pintu menggunakan kakinya. TV menyala dengan volume pelan, menayangkan acara komedi. Pensil warna bertebaran di atas meja dan sofa. Buku gambarnya tergeletak di sebelah botol minuman keras. Yuta mengambilnya sebelum Jaehyun mengintip, setelah itu duduk di sofa yang paling besar. Ia tidak mempersilahkan Jaehyun duduk dan fokus melanjutkan gambarnya.
Ia juga membiarkan Jaehyun mengambil sebuah benda persegi berwarna biru yang sangat ia kenal. "Darimana kau tahu ulang tahun Lily? Rose yang bilang?"
"Ulang tahun apa?" Yuta menuang isi botol minuman ke gelas kecil berukiran antik dan meminumnya. "Password ponsel itu adalah tanggal kami bertemu lagi."
Jadi Rose sudah menggantinya. Jaehyun terhenyak. Padahal selama 7 tahun, berulang kali berganti ponsel, Rose selalu menyetel password yang sama. Yuta benar-benar membawa perubahan. "Kapan itu terjadi?"
Melirik pun tidak, Yuta menunduk, sibuk menggerakkan pensilnya di atas buku. "22 Oktober."
"Sudah berapa kali kalian bertemu?"
Yuta meraih pensil lain; warna merah, dan menggeleng menanggapi pertanyaan keempat Jaehyun. "Giliranku. Kenapa kau tidak setuju Rosie kuliah?"
Ini dia. Pertanyaan yang pernah Rose singgung sambil menangis di rumah sakit. Pertanyaan yang membuatnya menuding Jaehyun tidak memberi cukup kebebasan dan tidak memahaminya. Rose memotong ucapannya waktu itu, tidak mau mendengar alasannya.
Jaehyun menyatukan kedua tangan, menjepit ponsel Rose yang tidak bisa ia buka lagi di antara jari-jarinya. Ia tidak pernah menceritakan ini pada siapapun, dan tidak menyangka Yuta akan jadi pendengar pertamanya. "Saat aku kuliah ... orang-orang menertawakanku ketika tahu aku punya anak di usia muda. Mereka memanggilku 'Papa' dengan gaya mengolok-olok, membuat lelucon buruk tentang Lily."
"Rasanya berat." Jaehyun menarik napas panjang. "Aku membuka tasku dan menemukan boneka kecil. Setiap kali pulang terlambat mereka bertanya apakah anakku tidak menangis mencariku. Mereka meramal aku akan jadi pengacara gagal karena Lily."
Dia tersenyum miris. Sejenak tergoda mencicipi alkohol seandainya ia tidak ingat harus mengemudi pulang. "Aku tidak bohong. Aku mengalami semua itu. Dari murid yang populer di SMA jadi korban bullying saat kuliah. Memalukan."
Yuta tidak berkomentar, tapi ia berhenti menggambar. Ia mendengarkan dengan seksama.
"Aku tidak mau Rose bernasib sama," imbuh Jaehyun. "Masalahnya tidak akan selesai hanya karena ia merahasiakannya. Pasti akan ada pria yang mendekatinya. Cewek-cewek yang mengajaknya ke mall atau ke tempat karaoke dan mau tidak mau, Rose harus jujur kalau dia punya anak dan sudah menikah. Korea itu keras. Kau tahu kan? Kau pernah mengalaminya, setidaknya di awal kepindahanmu."
Yuta mengangguk. Ekspresinya tidak berubah. Ia menampilkan poker face sehingga Jaehyun tidak bisa menebak apa yang ia rasakan. Tapi Jaehyun bersyukur ia tidak melihat sorot kasihan yang akan membuatnya merasa lebih buruk. "Kau ingin menjaganya."
Jaehyun mengiyakan. "Benar. Aku ingin menjaganya tetap aman di rumah. Jauh dari orang-orang yang pasti mengkritiknya. Aku tidak tahu Rose akan marah. Dia tertutup ... padaku."
Di luar dugaan, Yuta menanggapi dengan serius, tidak melontarkan kalimat-kalimat menyebalkan. Melihatnya duduk tenang seperti ini membangkitkan memori tentang hari-hari yang telah lama berlalu; saat ia dan Yuta masih mengenakan seragam SOPA.
Mereka一pernah一berteman. Yuta adalah orang yang mengajaknya main bola, saat senior-senior lain malas bermain dengan junior. Mereka berkenalan dengan cara itu, di tengah tetes keringat dan sinar terik matahari. Jaehyun ingat dirinya menilai Yuta senior yang baik, tidak sok berkuasa. Sama sekali tak terlintas di benaknya bahwa 7 tahun kemudian, ia akan berhadapan dengan Yuta memperebutkan seorang wanita. Rose, yang sama-sama mengambil hati mereka.
"Dia tidak bisa diperlakukan seperti itu, Jaehyun." Yuta akhirnya bersuara. Pensilnya menggelinding jatuh dan Jaehyun membantu memungutnya. "Wanita lain akan senang kalau tidak perlu bekerja dan diam di rumah sepanjang hari, tapi Rosie berbeda. Dia tidak suka dikurung. Disitulah salahmu."
Jaehyun menendang balik bola "kesalahan" yang di arahkan padanya. "Dan salahmu adalah tidak menepati janji. Kalau di urutkan, sebenarnya semua bermula darimu. Ini tidak akan terjadi kalau kau menemuinya waktu itu."
Ia kira, perkataannya akan membungkam Yuta, menskakmat pria itu hingga tak berkutik.
Salah besar.
Yuta bergerak, menghabiskan sisa minuman di gelas dan memposisikan lengan Jaehyun di samping gelas tersebut. Lantas, mencengkeramnya kuat-kuat, tak memberi Jaehyun kesempatan melepaskan diri.
"Apa yang kau lakukan?"
Tanpa aba-aba, Yuta menyentakkan tangan Jaehyun dengan keras, membuatnya menyenggol gelas hingga terlempar ke dinding. Benda yang terbuat dari kaca itu pecah, merosot dan terpuruk di lantai. Tidak lagi berguna.
"Nah." Yuta mengangkat kedua alisnya sambil menyeringai. "Kau harus menggantinya. Itu gelas mahal."
Jaehyun kontan saja protes. "Itu konyol. Kau yang mendorong tanganku. Kaulah yang harus bertanggung jawab."
"Masa?" Sahut Yuta menantang, melirik pecahan gelas yang berceceran dimana-mana. "Tapi kau tidak melakukan apapun untuk mencegahku. Kau diam saja. Sampai di sini paham, Jaehyun? Aku tahu salahku dan aku juga tahu bahwa Rosie yang memulai lebih dulu. Dia hilang kendali. Tapi kenapa kau tidak melakukan apa-apa? Kau punya 2 tangan yang bisa mendorongnya. Dimana pengendalian dirimu?"
Begitu kata murid yang berkali-kali memenangkan perlombaan debat dan melukis.
Dia membalikkan keadaan.
"Aku," Yuta menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya. "Bukan pengecut yang enggan mengakui kesalahanku. Tapi aku tidak akan menanggung bagianmu. Jangan coba-coba melimpahkan semuanya padaku."
Sekali lagi, dia mengalahkan Jaehyun.
Membuat Jaehyun tertawa, meski ia tidak tahu untuk apa tepatnya tawa itu. "Tidak ada yang bisa mengalahkanmu soal adu mulut kan? Ini keahlianmu."
"Ada, ibuku," jawab Yuta sungguh-sungguh, yang malah semakin memicu tawa Jaehyun mengeras.
Ia sampai tersedak dan menyerah pada godaan alkohol, meminum cairan itu tanpa menyentuh bibir botol. "Baiklah, sekarang giliranku. Aku ingin tahu kenapa kau kembali. Ini sudah 7 tahun. Kau belum melupakannya?"
"Tidak pernah." Yuta merebut botolnya dan menghabiskan isi botol itu dalam 1 tegukan. "Mantan pacarku yang memintaku kemari dan kebetulan saja ada tawaran pekerjaan. Kombinasi sempurna."
Jaehyun terlihat bingung. "Mantan pacarmu?"
Yuta mengibaskan tangannya, mengernyit ulang mengingat siapapun yang ia maksud mantan pacar. "Kau tidak akan paham. Ceritanya panjang. Tapi aku juga tidak bohong. Giliranku lagi, kenapa kau tidak punya asisten? Gajimu kurang banyak?"
Disinggung mengenai gajinya saat tengah menebak-nebak wanita aneh macam apa yang bisa menaklukkan Yuta, Jaehyun mendengus. Ia bersandar di sofanya, mulai rileks. "Rose tidak setuju. Katanya dia bisa mati bosan kalau tidak mengerjakan apa-apa di rumah. Aku sudah membujuknya, tapi dia tidak mau. Ya," ia menambahkan ketika melihat gelagat Yuta hendak menyanggah. "Kedengarannya tidak mungkin kan? Tapi memang begitu. Kurasa dia merasa bersalah karena aku bekerja sedangkan dia tidak. Kalau tidak percaya, tanyakan saja ketika dia bangun."
"Kau yakin dia akan bangun?"
Jaehyun terperanjat mendengarnya, kaget Yuta mengajukan pertanyaan aneh dan mengerikan itu. "Tentu saja! Jangan bicara yang tidak-tidak!"
Saat itulah Jaehyun menyadarinya; kenyataan bahwa Yuta takut. Dari luar, dia kelihatan normal, tapi setelah diperhatikan, Yuta sebenarnya lelah. Ia pasti tidak tidur semalaman. Kantung matanya tampak gelap. Pakaiannya kusut dan wajahnya kuyu. Yuta tidak baik-baik saja, dia hanya pandai menutupi dan berpura-pura.
Jaehyun jadi merasa kasihan padanya, walaupun tahu dirinya juga pantas dikasihani.
Yuta tersenyum kecil, agaknya kagum pada keyakinan Jaehyun. "Lalu apa yang akan kau lakukan nanti?"
Pertanyaan yang sulit, berujung keheningan karena Jaehyun sulit pula menjawabnya. Ia melamun memikirkannya, menggeser tampilan kunci ponsel Rose dan menggeleng melihat foto Yuta saat tidur yang oleh Rose dijadikan wallpaper. Ia tidak suka, tapi fotonya lucu.
Cincin, password, lalu wallpaper, selanjutnya apa?
Jaehyun menghela napas. "Aku yang harusnya menanyakan itu. Apa yang akan kau lakukan?"
"Membawa Rosie kabur ke Jepang."
Jaehyun mendelik padanya.
Yuta terbahak, mengacak-ngacak rambutnya dan meletakkan gambarnya di meja; gambar seorang gadis yang menari di permukaan bintang paling besar di galaksi Bima Sakti; matahari.
Merah dan oranye. Kuning dan hitam, menjadi warna-warna sang mentari, amat nyata kelihatannya, seolah gambar itu bisa menghasilkan panas. Sementara modelnya merentangkan tangan dengan bebas. Kepalanya mendongak ke atas, ia tertawa. Kakinya melompat riang. Bintang-bintang berkelip, berusaha menandingi keindahan senyumnya.
Tapi sama seperti Jaehyun, mereka kalah. Model itu terlalu mempesona. Keren dan menawan, seperti ucapan Johnny.
Model itu adalah Rose.
Gambar-gambar Yuta selalu menakjubkan. Jaehyun takkan percaya gambar-gambar itu hanya dibuat dengan pensil warna yang sama yang digunakan Lily kalau tidak melihatnya langsung. Rose cantik一sangat. Menurut Jaehyun, mustahil ada seniman yang dapat mendeskripsikan dan memasukkan kecantikannya ke sebuah kertas. Tapi Yuta bisa. Jaehyun merasa, jika ia mengamati lebih teliti, ia dapat menemukan arti terpendam gambar itu.
Sayang, Yuta membuyarkan konsentrasinya. "Rosie-lah yang berhak memutuskan, bukan aku atau kau. Tapi karena kalian punya anak..." Yuta ragu-ragu. Bibirnya sejenak terkatup rapat. "Aku tidak sejahat dugaanmu, tahu? Aku bukan orang yang kejam. Kau boleh menemuinya lebih dulu ketika dia bangun, bicaralah, minta maaf dan minta kesempatan kedua. Aku tidak akan mengganggu."
Jaehyun segera menyambar tawaran ini dengan cepat. "Kalau dia setuju?"
Setetes keringat meluncur membasahi kening Yuta. Tangannya terkepal menggenggam pensil. "Aku akan pulang dan tidak mengusik kalian lagi. Aku bersumpah."
Keterkejutan Jaehyun tidak bisa disembunyikan. Matanya menyipit, mencari tanda-tanda kebohongan, tapi yang ia lihat hanya seorang pria yang tidak main-main dengan kata-katanya. Pria sejati yang berani mempertaruhkan apa yang sangat penting baginya; cinta, karena ia tidak mau bersikap egois dan merusak hidup seorang anak. "Kau bersumpah? Atas apa?"
Tatapan Yuta menerawang, mengingat sesuatu yang detik berikutnya membuat ia tersenyum. Sesuatu yang membuat Jaehyun ingin tahu. Ia penasaran apakah itu sesuatu yang pernah Yuta dan Rose bicarakan... "Jaehyun, aku bersumpah atas nama cinta. Tapi kalau Rosie memilihku, kau juga harus berjanji menghormati keputusannya. Jangan mengungkit Lily atau menanamkan rasa bersalah. Bagaimana? Cukup adil kan?"
Keberaniannya disambut keberanian yang sama dari Jaehyun. "Ya, terima kasih."
Rose akan menentukan sisanya.
Semua pertanyaan udah dijawab ya, gak ada yang ngeganjel lagi kan?
Kayak yang pernah gua bilang, gak ada yang jahat di bored kok 😳
Kita makin deket ke ending yuhuuuu
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro