48. Aral Melintang
Sejak kecil, Nakamoto Yuta dikenal sebagai sumber masalah.
Ia tidak seperti kedua saudarinya yang manis dan tahan duduk diam selama berjam-jam. Ayahnya menyebut dia "anak terlalu aktif yang penuh inovasi dan selalu kelebihan energi", tapi ibunya punya julukan yang lebih pendek, "anak nakal". Tak terhitung berapa kali wanita itu mengejarnya bersenjatakan sapu dan berteriak, "Yuta, kesini kau, anak nakal!" sedangkan ia kabur dengan sepedanya sambil tertawa-tawa.
Penyebabnya beragam, mulai dari ulahnya yang membuat sang ibu harus hadir di sekolah, kejahilannya yang menyebabkan Haruna menangis, sampai niat mulianya memelihara kadal di kamar mandi.
Kalau sudah sangat kesal, ibunya akan menjewer telinganya saat ia pulang, atau memasak makanan yang tidak ia suka.
Namun satu kali pun, dia tidak pernah, tidak pernah, menamparnya.
Dibanding rasa sakit, keterkejutan membuat Yuta mematung. Tidak menyangka Alice Park akan menyambutnya dengan sebuah tamparan. Dulu, mereka dekat. Yuta beberapa kali membawakan Alice oleh-oleh dan snack khas Jepang dan mereka akan mengerjai Rose bersama-sama. Mereka berteman.
Sejenak, Yuta tidak dapat bicara. Ia tak tahu apakah Alice masih bisa disebut temannya atau tidak, dan apa sebenarnya yang ia lakukan hingga pantas menerima tamparan ini.
Johnny-lah yang pertama bereaksi, menarik Yuta mundur dan memelototi Alice. "Hei, apa-apaan ini? Apa masalahmu? Kau sinting, ya?"
Alice balas menatap Johnny dengan tatapan yang mengisyaratkan dia tidak penting, seakan Johnny sekedar bakteri yang meghirup terlalu banyak oksigen di bumi. Keberanian ada dalam gen wanita-wanita keluarga Park, dan Alice menunjukkannya sekarang. "Tanyakan itu pada temanmu. Apa masalahnya sampai dia membuat adikku begini?"
"Woah." Johnny menggaruk dagunya, tertawa. Menoleh sekilas ke belakang untuk mengecek apa ada pekerja rumah sakit yang memperhatikan dan akan menegurnya. "Jelas ada kesalahpahaman di sini. Bukan Yuta yang salah. Cctv一"
"Persetan dengan cctv!" Hardik Alice tajam, di tengah desakan air mata yang hendak merembes keluar. "Yuta pelakunya kan? Tak pernah ada hal baik yang terjadi kalau dia bersama Rose!"
Sekelebat bayangan muncul; ekspresi ceria Rose, cara Rose menggelayuti lengan Yuta, senyum lebarnya yang hanya ditujukan pada pria itu, langsung memicu Johnny membantah Alice. "Kau hanya tidak melihat sebahagia apa Nona Rose saat bersamanya!"
Namun dia tidak perlu lagi melakukan pembelaan. Karena setelah Yuta pulih, dia segera maju, menyuarakan pendapat dengan suaranya sendiri. Di kantor polisi, lidahnya tak berfungsi. Namun berdiri beberapa langkah di balik kamar tempat para dokter menangani Rose, ia mendapatkan lagi kemampuannya bicaranya. "Rosie akan protes mendengar leluconmu, Alice."
Kalimatnya jatuh bagai suara lonceng keras yang tak dapat diabaikan; dingin, berat, menyusup ke telinga semua orang, terutama Mama Park, yang bersedekap. Wanita yang kadang dianggap Yuta menyeramkan karena memaksa Rose menjadi apa yang ia mau dan memberinya terlalu banyak tekanan itu menatapnya, tapi dia tidak bicara apa-apa.
Menarik melihat ekspresi khawatir di wajah wanita yang Rose bilang bisa mendeteksi kebohongannya. Juga fakta kecil bahwa dia tidak melirik menantunya, fokus pada Yuta.
"Kau itu kakaknya Rosie atau Jaehyun? Kenapa aku tidak mendengarmu menuduh dia? Kenapa kau tidak ikut menamparnya?"
Layaknya tongkat estafet, giliran Jaehyun yang diam, membuang muka selangkah di belakang Alice. Lebam di pipinya tampak semakin parah seiring waktu berjalan, dan Yuta puas melihatnya sebab rahangnya pun masih sakit. Tidak setiap hari ia bergelut dengan seseorang. Kuatnya pukulan Jaehyun sejujurnya sangat mengejutkan.
"Enak sekali ya jadi dia. Selalu di bela orang-orang, tidak pernah dituduh tanpa bukti. Aku sangat iri. Tapi Alice," Yuta berbisik, tak cukup keras karena Jaehyun masih bisa mendengarnya. "Apa kau lupa siapa yang membuat Rosie hamil?"
Jaehyun yang terpancing merangsek ke arahnya, bersumpah serapah, gagal mengontrol ketenangannya di tempat yang mengutamakan itu. "Jaga ucapanmu kalau kau tidak tahu apa-apa, berengsek!"
Tawa. Yuta tidak mundur sedikitpun, semakin memprovokasi. Johnny yang menahan Jaehyun memberinya kesempatan melakukan itu. Kali ini kakak palsunya tidak memintanya diam atau pergi meski ia sudah memantik konflik. Johnny dewasa; dia tahu kapan harus ikut campur. "Hentikan. Ini rumah sakit, tenangkan dirimu!"
"Kenapa kau marah, Jaehyun? Aku benar kan? Kalian semua," dengan mata, Yuta menelusuri para penontonnya, berhenti lama di Lisa yang ia tahu memihak Jaehyun一selalu, sejak dulu. "Kalian semua mengira aku mengacaukan hidup Rosie, tapi coba tanyakan pada diri kalian kenapa dia justru menemuiku saat sedih, bukannya lari ke keluarga atau sahabatnya. Menurutmu kenapa, Alice? Kau punya tebakan, Kak?"
Yuta mengamati mereka; orang tua, kakak, suami, dan sahabat dekat Rose yang mengelilinginya selama ini. Dia merasa muak.
Mama Park menilai Rose produk gagal sebab ia tidak kuliah dan menjadi ibu rumah tangga一yang bukan kehendaknya sendiri. Ayah Rose menghindarinya, belum sepenuhnya memaafkan. Lisa mengabaikannya berhari-hari saat ia membutuhkan teman. Dan Alice, sahabat pertama Rose, memilih menganggap Rose hidup sempurna karena di atas kertas ia tak punya alasan menderita.
Mereka lupa bahwa sedari awal, Rose tidak menginginkan ini; menjadi seorang istri dan ibu. Rose terjebak, tapi tak ada yang membantunya. Mereka tidak mau ambil pusing. Mereka mengabaikannya.
Rose sendirian melawan takdirnya yang kejam.
Sendirian. Betapa mengerikannya orang-orang ini.
"Memang lebih mudah menyalahkan orang lain daripada bercermin!" Raung Yuta murka, berbalik dan berderap pergi secepat kakinya mampu melangkah. Ia tidak sudi dekat-dekat mereka lebih lama一kanibal yang memakan kewarasan Rose perlahan-lahan. Mereka monster, jenis paling buruk dari semua monster yang ada.
Rosie,
Yuta memetik sehelai daun tanaman dalam perjalanannya keluar rumah sakit, meremasnya kuat-kuat hingga daun itu hancur.
Dia tidak bercanda rupanya ketika berkata dirinya ada di neraka.
1 kaki patah. Tulang rusuk retak. Cedera wajah dan lengan kanan.
Cherry bilang, Rose beruntung.
Lukanya bisa lebih parah, Jaehyun.
Tapi saat melihatnya, Jaehyun tidak bisa memikirkan kata beruntung. Itu kata yang tidak cocok untuk seseorang yang jarang sakit tapi mendadak harus terbaring dengan alat bantu pernapasan. Penyesalan membakarnya dari dalam.
Kenapa bukan dia saja?
Jaehyun dengan hati-hati mengelus kepala Rose yang matanya terpejam. Ia kelihatan seperti tidur. Damai, tenang. Tanpa tahu berapa banyak orang yang mengkhawatirkannya.
"Rose, kenapa kau jahat sekali?"
Ia bertanya, menelusuri garis wajah Rose sampai ke ujung hidungnya. Bergeser ke pipinya yang tirus. Tidak se-chubby dulu. Wanita yang melahirkan biasanya bertambah berat badannya, tapi Rose, sebaliknya, semakin kurus. Dia tidak pernah harus diet.
Dia enggan makan. Aku tidak lapar, Jaehyun. Enggan berolahraga di luar rumah. Enggan bertemu teman一kecuali Lisa dan Cherry. Enggan berinteraksi dengan tetangga. Tidak mau ini, tidak mau itu. Kulitnya jadi pucat saking jarangnya terpapar sinar matahari. Jaehyun pikir, itu sementara. Semacam perubahan mood wanita yang baru menjadi ibu, tapi nyatanya, hal itu bertahan hingga 7 tahun.
Rose, sang social butterfly, berubah jadi wanita pemurung yang senang mengurung diri.
"Apa itu salahku, Rose?"
Rose diam. Bibirnya tidak bergerak merangkai jawaban. Dia membiarkan Jaehyun menerka-nerka, menyibak misteri dengan mengingat-ingat setiap peristiwa. Perubahan sikap Rose yang mendadak sering keluar rumah dan pulang malam. Kejadian sup rumput laut. Telepon tengah malam yang ia terima.
Sejak kapan perselingkuhan ini berlangsung?
Jaehyun memukul kepalanya. Merutuki kebodohannya. 1, 2, 3. Rose menjauh, jatuh lagi ke pelukan orang yang paling ia takuti, tapi ia tak menyadarinya sampai melihat mereka bergandengan tangan di mall, tersenyum bagai pasangan ideal.
Bodoh, bodoh, bodoh.
Jaehyun terus memukul kepalanya, kesal, marah, kecewa. Ia ingin membenci Rose karena pengkhianatannya, namun semua kebencian itu memantul, berbalik pada dirinya sendiri. Suara hatinya mengejek, kalau dia bahagia, dia tidak akan selingkuh kan? Suami macam apa kau?
Sialan.
Jaehyun mengambil sebuah gelas di atas laci dan melemparnya ke dinding. Ia menutupi wajahnya dengan 2 tangan, berusaha tenang. Sampai kemudian suara Lisa mengusiknya, memaksanya membuka mata. Gadis itu tersenyum kecil, mengamati Rose dengan mata sendu. "Kau tidak apa-apa?"
Jaehyun menenangkannya. "Jangan khawatir, Rose akan baik-baik saja."
Rupanya dia salah paham. Lisa, tidak sedang membicarakan Rose, melainkan bertanya kabarnya. "Maksudku kau, Jaehyun. Aku tidak mengkhawatirkan Rose. Aku yakin surga belum siap menerima orang menyebalkan seperti dia."
Kesedihan Jaehyun sedikit tersingkap. Menyenangkan rasanya membicarakan istrinya bersama orang yang mengenalnya dengan baik. Lebih dari itu, Lisa bagian dari masa remaja keduanya. Sahabat Rose yang dulu sering membantunya merancang kencan dan pendekatan. "Aku juga ... baik."
Bahkan di telinganya, suaranya terdengar ragu dan diselimuti dusta.
Tanpa bisa dihindari, Lisa menatapnya dengan tatapan iba. Dan sesuatu yang lain; rasa bersalah. "Maaf. Aku seharusnya tidak membohongimu. Kupikir Rose akan berhenti setelah aku memarahinya."
"Bukan salahmu. Dia keras kepala." Jaehyun memberitahu 1 fakta yang sudah jelas. Tentang Rose yang tidak sejinak tampilan luarnya. Dia adalah besi berbalut kapas. Wanita yang kelihatan lemah tapi punya tekad sekeras baja.
Rose yang ia kenal, akan menyebrangi lautan api jika itu yang ia mau, tak peduli meski orang-orang berkata apa yang dia lakukan berbahaya. Sama dengan perselingkuhan. Butuh lebih dari sekedar larangan Lisa untuk membuatnya mundur.
Lisa mengangguk muram, menepuk punggung Jaehyun pelan. "Kuharap dia hanya menurunkan sifat baiknya pada Lily. Dan omong-omong, Lily mencarimu."
"Baiklah," sahut Jaehyun lesu, pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajah. Sebenarnya, ia lelah. Ia tidak ingat kapan terakhir kali makan atau minum. Bernapas sembari melihat kondisi Rose saja sangat sulit. Lebih sulit lagi mempertahankan pernikahan yang dibangun atas dasar keterpaksaan.
"Aku pergi dulu, ya." Jaehyun pamit, dengan senyum palsu, senyum khas ayah, yang ia pasang sebelum menemui putrinya. Digenggamnya tangan Rose yang dingin, menyalurkan kehangatan. "Berjanjilah cepat bangun, Rose. Kau berhutang penjelasan一"
Ucapan Jaehyun terhenti. Sesuatu bertekstur halus dan asing yang berbeda dengan kulit Rose mengganggunya. Heran mencakup penasaran, ia membuka tautan tangan mereka.
Seekor kupu-kupu bersayap biru seolah mengerling ke arahnya.
Cincin Yuta.
Batin Jaehyun menanyakan pertanyaan kedua yang sama, sejak kapan?
Lily belum pernah berpisah dengan ibunya dalam waktu lama.
Paling-paling hanya setengah hari, kalau Rose memutuskan jalan-jalan tanpa anak. Memang benar kalau ia lebih dekat dengan Jaehyun, tapi Rose-lah yang merawatnya ketika sakit. Mengantarnya ke sekolah sampai ia tidak takut lagi. Dan membacakan dongeng bila ia kesulitan tidur.
2 hari berlalu, Lily mulai rewel.
Saat Jaehyun masuk ke kamarnya, Lily tengah menangis. Bujukan Alice tidak mampu mendiamkannya. Sang bibi kelihatan kewalahan. Kotak es krim, kue cokelat, bahkan permen-permen beraneka rasa tidak ia hiraukan. Ia menendang semuanya dengan kakinya yang sehat, menjatuhkan makanan-makanan itu ke lantai.
"Lily, hentikan. Tidak baik seperti itu."
Lily malah menangis semakin kencang. Dagunya bergetar. Dia terisak. "Mana Mama? Kenapa Mama tidak di sini?"
Alice mengangkat kedua tangannya dengan pose menyerah, diam-diam menyingkir tanpa kata.
Jaehyun duduk di samping Lily, mengangkat tubuhnya dan memangkunya. Dengan lembut ia mengecup puncak kepala sang putri, mengelus rambutnya yang hampir menyentuh pinggang. "Nanti Papa belikan boneka Elsa, ya? Juga Anna. Olaf, dan rusanya. Siapa nama rusanya? Kristoff?"
Bukan mereka. Lily menggeleng tegas. Ia tidak menginginkan makanan atau boneka. Sekali lagi, bibir mungilnya menyebut 1 kata yang mengiris hati Jaehyun, "Mama. Aku mau Mama. Kemana Mama pergi?"
Pelukan Jaehyun mengerat. Tiap tarikan napas menyakitinya. Jaehyun benci kebohongan, apapun alasannya. Tapi memeluk putrinya yang menangis, merindukan Rose yang memakai cincin dari pria lain, Jaehyun sadar bahwa kebohongan kadang menjadi solusi一walaupun bukan yang terbaik.
Gadis kecilnya masih sangat muda dan polos. Ia jiwa yang belum terpengaruh kerasnya hidup dan Jaehyun ingin menjaganya terus begitu. Ia harus dilindungi. Sebab meski terlahir karena kesalahan, kehadiran Lily adalah berkah baginya. Hadiah yang setara dengan seluruh keindahan dunia.
Lily tidak bersalah, ia tidak perlu menanggung dosa orang tuanya.
Jaehyun tersenyum, menghapus air mata dan mengelus pipi Lily. 7 tahun usianya, tapi ia selalu membuat Jaehyun kagum karena kemiripan mereka. Lily yang cantik, Lily yang manis, satu-satunya putri yang ia miliki, menjadi alasan Jaehyun bertahan hingga kini. "Sayang, Mama pergi sebentar mencari rumah baru. Dia pasti kembali."
Isakan Lily mereda. Dia percaya pada ayahnya untuk banyak hal, tidak berpikir Jaehyun akan membohonginya. "Rumah?"
Jaehyun mengangguk, tak menjelaskan secara rinci karena tidak mau menambah kebohongannya, dan karena ia tidak tahu, untuk siapa nantinya rumah yang Rose cari. Ia dan Lily. Atau ... Yuta.
Gua bikin ini sambil nahan ngantuk, saking pengennya cepet tamat
Doakan sj otakku kagak error yeorobun 🤧
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro