47. BAGIAN 2 : A Love That Lasts Forever
Selama 3 tahun bertugas sebagai polisi, Kim Doyoung sudah kenyang berhadapan dengan berbagai macam orang aneh.
Ada pembunuh berwajah malaikat yang cara bicaranya sangat berpendidikan dan sopan sampai ia terkecoh.
Ada orang kaya sombong yang mengancam dan pamer kekayaannya saat di interogasi. Hei, kalian semua tidak tahu siapa aku? Siapa orang tuaku?!
Ada pula preman berpenampilan sangar yang menangis seperti bayi saat akan dipenjara.
Banyak. Sangat bervariasi pokoknya. Seringkali, Doyoung harus beristirahat dan minum bergelas-gelas kopi supaya dirinya tidak ikut gila. Orang-orang itu tidak pernah mempermudah pekerjaan polisi. Dan mereka, 2 pria yang kontras ini, juga sama saja.
Yang pertama berpakaian bagus, cerah, dengan rambut di potong rapi. Sementara yang kedua adalah seorang pria yang mengenakan mantel gelap, dengan rambut lebih panjang yang warnanya mencolok.
Tapi mereka memiliki 2 kesamaan; sama-sama berantakan dan menolak bicara.
Oh, ini menjengkelkan.
Mereka ingin menguji kesabarannya rupanya.
Doyoung menggebrak meja. "Baiklah, baik. Kalau kalian sudah selesai melamun, bisa jawab pertanyaanku? Tolong kerja samanya, ya. Kau," ia menunjuk pria "malam" yang menunduk menatap tangannya. "Siapa namamu?"
Pria itu mengangkat kepala. Matanya terarah ke Doyoung, tapi Doyoung punya perasaan dia tak benar-benar menatapnya.
Dia diam.
Doyoung menghembuskan napas panjang, meredam keinginan untuk meraih komputer dan melemparnya pada mereka. Ia lapar, capek dan kesal, tidak bisakah mereka membantunya?
Kim Sejeong, polisi wanita yang tengah mengecek beberapa arsip kasus di kursinya, tergelak.
Doyoung memelototi gadis itu, sebelum mengalihkan perhatian ke pria satunya. Pria yang merepresentasikan siang. "Oke, giliranmu. Siapa namamu? Kalian bisa bicara kan?"
Kali ini Doyoung memperoleh kemajuan. Pria yang ini bersedia buka mulut, mengeluarkan suaranya meski pelan dan tersendat-sendat. "Jung ... Jaehyun."
Doyoung tersenyum, segera mengetikkan nama yang terdiri dari 2 kata itu ke komputer. Prosedur wajib setiap ada kasus. "Jung Jaehyun. Bagus. Nomor KTP-mu?"
"820516-2860763," jawab pria itu lancar, membuktikan dia terbiasa berurusan dengan hukum, atau setidaknya, tahu prosedur kepolisian. Orang awam biasanya akan melongo dan bertanya 'siapa yang menghafal hal-hal seperti itu?' lalu tertawa. Tapi Jaehyun tidak. Doyoung jadi penasaran apa profesinya. "Begini ... kapan aku bisa pergi? Istriku ada di rumah sakit sekarang. Aku tidak tahu bagaimana keadaannya. Aku harus ke sana. Aku harus menemaninya."
Istrinya. Doyoung berkedip, melirik si pria malam yang entah mendengarkan atau tidak. Kalau Jung Jaehyun suaminya, lantas dia siapa? Doyoung berdeham, tidak mau asal menebak walaupun semuanya jelas. 2 pria bergelut, 1 wanita menjadi korban. Para wanita sungguh berbahaya. Orang bodoh yang menyebut kaum wanita lemah hanya perlu mempelajari sejarah dan mengamati kehidupan sehari-hari untuk tahu betapa kuatnya mereka. "Secepatnya setelah kita selesai. Status kalian di sini hanya saksi, tapi aku tetap membutuhkan keterangan kalian, paham?"
Jaehyun mengangguk, memajukan kursinya. Dia mulai bercerita, "Kejadiannya di mall. Aku dan dia一"
Sebelum ia selesai, seorang pria tinggi tegap tiba-tiba masuk, menginterupsi dengan langkah-langkah kakinya yang berisik dan umpatan yang keluar dari bibirnya. "Yuta, sialan kau! Ibumu akan membunuhmu kalau tahu kau berurusan dengan polisi. Yuta," dengan keras, pria itu memukul punggung 'rekan' Jaehyun. "Kau membuat masalah apa lagi?!"
Doyoung mendongak, berdecak pada pengganggunya. Ia memang sempat melihat pria yang dipukul mengetikkan sesuatu di ponselnya saat di bawa kemari. Doyoung tebak, menghubungi pengacara, tapi si jangkung itu tidak terlihat seperti pengacara. Lebih mirip DJ yang biasa ditemui di kelab malam. "Kau pengacara?"
Pria itu menggeleng, menarik kursi di meja sebelah dan duduk. "Aku Johnny Seo, anggap saja kakaknya. Apa yang sudah dia lakukan?"
"Adikmu dan Jung Jaehyun terlibat perkelahian di sebuah mall, yang mengakibatkan seorang wanita jatuh dari lantai 3. Dia sedang dirawat di rumah sakit sekarang, belum jelas bagaimana kondisinya."
"Jatuh dari lantai 3?" Johnny terperangah, menoleh bolak-balik antara adiknya dan Jaehyun. Tangannya bergerak memijat dahinya sendiri. "Jatuh dari lantai 3. Kau serius? Benar kalau dia ini tukang cari masalah. Dia sering mengemudi seperti orang yang bercita-cita mati muda dan sebagainya. Tapi itu ... rasanya tidak mungkin."
"Terserah," tukas Doyoung pendek. Dia bergidik mengingat rekaman cctv yang ia dapatkan dari mall. Pemandangan ketika wanita itu jatuh sangat mengerikan. "Aku tidak memintamu percaya. Aku butuh keterangan. Sebutkan nama adikmu."
Menelan ludahnya dengan susah payah, Johnny membasahi bibir. Keringat muncul di dahinya. "Nakamoto Yuta."
"Nomor KTP?"
Johnny meminta Yuta berdiri, memukulnya lagi. Dompet ada di saku belakang celana, dan di sanalah KTP Yuta tersimpan. Si 'kakak' yang Doyoung duga bukan kakak kandung menyebutkan deretan angka yang ia perlukan, baru kemudian bertanya, "Maaf, pak polisi. Kalau boleh tahu ... hmm, siapa korbannya? Yuta tidak akan di tahan kan? Aku yakin dia tidak sengaja melakukannya."
Doyoung memutar bola mata, bosan dan muak mendengar kata 'tidak sengaja'. Itu adalah 2 kata favorit para pelaku, selain 'aku tidak bersalah'. Seharusnya mereka lebih kreatif. "Roseanne Park. 25 tahun."
"Roseanne Park. Rosea ... oh." Johnny seketika menutup mulutnya. Dia memahami sesuatu dan tidak senang dengan itu. Alisnya menukik turun, menandakan kesedihan. Dengan lebih lembut, ia menepuk pundak pria yang ternyata bernama Nakamoto Yuta. "Oh, Yuta. Aku menyesal. Apa yang terjadi?"
Yuta tidak merespon. Berkedip pun jarang. Doyoung khawatir padanya. Sejak tiba, dia sama sekali belum bersuara. Dia berteman dengan keheningan.
Doyoung, Jaehyun, atau Johnny tidak tahu bahwa sebenarnya hanya tubuh Yuta yang berada di kantor polisi. Benaknya terbang ke Jepang, kembali ke peristiwa yang terjadi beberapa bulan lalu. Di sebuah kafe yang tidak jauh dari rumah, bersama seorang gadis yang 2 tahun lebih muda darinya. Berambut panjang dan langkahnya seanggun penari一sesuai profesinya.
Mina.
Mina menangis一pemandangan yang langka. Yuta kaget melihatnya. Di matanya, Mina adalah wanita kuat. Dunia serta segala kebusukannya seakan tak bisa menyentuhnya. Dia tidak menangis saat minggat dari rumahnya yang bak istana demi mengejar cita-cita. Dia tidak menangis saat menonton film sedih atau saat apartemennya terbakar.
Mina luar biasa tangguh.
Namun sekarang, dia menangis. Karena dirinya.
"Yuta, aku tidak bisa hidup seperti ini. Aku tidak bisa hidup di bawah bayang-bayang seseorang. Apa gunanya kita bersama kalau kau belum melupakan Rosie-mu? Apa gunanya?"
Yuta mengigit bibir. Ia benci menjadi penyebab seorang wanita menangis. Belum lagi, ia tak menyangka Mina akan menyebut-nyebut Rose一nama yang sudah lama tidak ia dengar, tapi masih menimbulkan getaran di hatinya. "Mina, apa maksudmu? Apa ini ada hubungannya dengan aku yang tidak mau bertunangan?" Ia memberikan beberapa lembar tisu pada gadis itu. "Aku tidak mengerti."
Mina menerima tisu tersebut, menepuk-nepuk bagian bawah matanya. Pengunjung lain memperhatikannya karena ledakan emosinya, tapi ia terlalu sedih untuk peduli. "Kenapa kau tidak pernah melukisku selama ini?"
Kening Yuta berkerut. Bukannya menjawab, Mina justru balik bertanya. "Aku punya banyak gambarmu. Kenapa menanyakan itu?"
Mina menggeleng, tertawa hambar tanpa humor. "Berapa 'banyak' dalam definisimu? 5? 9? Yuta, kau cuma menggambarku saat aku memintanya. Sadarkah kau bahwa kau lebih sering berkata 'Mina, kau mirip Rosie' daripada 'Mina, ayo ikut pameranku ke Surabaya, Chicago atau Melbourne'? Kau sadar?"
"Itu tidak benar!" Yuta kontan membantah, namun mendadak terdiam. Ia merenungkan kata-kata itu. Teringat saat ia menggambar Mina yang ... baiklah, memang jarang terjadi. Itu karena menggambar manusia benar-benar sulit, lebih kompleks dibanding gambar pemandangan biasa. "Dengar, gambar tidak penting. Aku akan menggambarmu 100 kali kapanpun kau mau. Untuk apa cemburu pada gambar? Itu tidak masuk akal."
Si ballerina menatapnya tajam, menyingkirkan jari jemari Yuta yang semula menggenggam tangannya. Dia meremas tisu, membuangnya dengan kasar, meski air matanya belum mengering. "Bukan gambar. Aku cemburu pada Rosie-mu! Tadinya kupikir ini bukan masalah besar. Tapi aku tidak tahan. Kau tidak mau menurunkan lukisannya. Kau sering menggambar Rose. Kau membicarakan dia terus-terusan. Kau menganggap aku sekedar duplikatnya kan? Iya kan?"
"Tidak..." Yuta menjawab lirih, dengan suara yang semakin mengecil. Ia tidak yakin. Duduk di kafe yang akrab dengan keduanya, yang menjadi langganan kala mereka bertemu, Yuta terdiam. Lidahnya kelu. Ia tidak bisa memikirkan kalimat sanggahan, sebab kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan,
Apa itu benar?
Apa dia memperlakukan Mina seburuk itu?
Yuta tidak tahu lagi.
Yang ia tahu, mereka bahagia一setidaknya sebelum Mina menyinggung pertunangan dan menghilang berhari-hari setelah Yuta menolaknya. Orang-orang bilang, mereka pasangan sempurna. Pelukis dan ballerina. Wanita tegas dan pria yang hobi bercanda.
Tiap berkencan, Mina akan mengusulkan tempat-tempat yang unik seperti museum, aquarium yang menawarkan atraksi Putri duyung, atau mengunjungi pulau yang tidak berpenghuni. Mina tidak terduga一itu daya tariknya.
Selama hampir setahun, gadis itu mengisi hati Yuta dengan kehangatan. Walaupun harus ia akui, tidak bisa menghapus bayangan Rose. Tak ada yang bisa. Bahkan waktu tak berdaya mengikisnya.
"Yuta, kau tidak siap menjalin hubungan," imbuh Mina, mendorong poninya ke belakang. Mata cemerlangnya tampak sembab. "Tidak denganku atau dengan orang lain. Kita akhiri saja hubungan ini. Aku lelah."
Yuta mengerjap kebingungan. Kalimat-kalimat Mina sulit ia cerna. "Akhiri?"
Dalam hati, sebenarnya ia ingin protes, enggan disalahkan. Ya, Mina luar biasa, tapi bukan berarti tidak punya kekurangan. Mina sering sibuk sendiri dengan dunianya. Mina tidak menganggapnya penting. Beberapa kali, Yuta harus menunggu di kafe atau tempat lain lalu pulang seorang diri karena Mina lupa jadwal kencan mereka dan mengurus urusan lain. Apalagi dia tertutup. Hal itu menjadi rintangan terbesar. Komunikasi sangat penting dalam suatu hubungan.
Mau tidak mau, ia sering membandingkan Mina dengan Rose. Bersama Rose, rasanya sangat ... pas. Mereka saling memahami tanpa repot-repot berusaha. Rose tahu kapan ia butuh teman, atau ketika ia butuh sendirian. Rose sangat mengerti dirinya. Yuta tidak pernah menemukan kenyamanan yang sama pada orang lain, bahkan Mina.
Kini, Mina berdiri. Gadis cantik yang kebetulan anjingnya sakit saat ia memvaksin Rapunzel. Mina mencegahnya ikut berdiri, meraih tasnya yang tergeletak di atas meja. "Jangan antar aku, pergilah ke Korea, Yuta. Cari Rosie-mu, bukan penggantinya. Tidak ada 2 orang yang persis sama一walaupun anak kembar sekalipun. Mungkin kalian ditakdirkan bersatu, terlepas dari waktu dan jarak yang memisahkan kalian. Aku akan berdoa untuk kebahagiaanmu. Terima kasih dan selamat tinggal."
Kemudian, dia pergi.
Belakangan, saat Yuta bosan dengan makanan restoran dan memutuskan pulang, ibunya menanyakan Mina. Yang ia jawab jujur bahwa mereka sudah putus. Haruna tertawa mengejek. Ibunya juga begitu. Bedanya, wanita itu menambahkan, "Sebuah lubang kunci hanya bisa di buka oleh kunci yang tepat kan? Satu-satunya yang kelihatan cocok denganmu hanya si pipi tembam itu. Kira-kira apa kabar calon menantu?"
Puncaknya pada bulan Oktober. Sooyoung, tetangga lamanya menelpon. Bertanya apa ia sudah melupakannya sekaligus mengabarkan tawaran pekerjaan di galeri sang ibu.
Jadi, Yuta menemui Johnny di rumahnya, memberi kertas bertuliskan sederet nomor ibu Sooyoung. "Waktunya bekerja, bro. Hubungi nomor itu dan atur pameran di sana. Sudah waktunya aku kembali ke Korea."
Rose di bawa ke rumah sakit yang sama dengan Lily.
Johnny membantu Yuta dan Jaehyun sampai ke tempat itu karena keduanya benar-benar linglung. Jaehyun setidaknya bisa di ajak berkomunikasi, tapi Yuta bertahan diam. Dia ibarat patung, menurut saja diseret kemana-mana. Tidak ada lelucon yang biasa ia lontarkan. Tak ada suara tawanya yang menyebalkan. Bahkan saat di interogasi, Jaehyun-lah yang lebih banyak bicara. Petugas Kim Doyoung memaklumi karena tahu ia masih shock.
Menyaksikan orang yang kau cintai jatuh dari ketinggian tidak mudah diatasi.
Untungnya, saat tiba di rumah sakit, semangat Yuta perlahan bangkit. Ia mendahului Jaehyun bertanya di mana ruangan Rose dirawat, dan berlari ke lift.
Mereka naik, mendapati seorang wanita berpakaian formal duduk di depan kamar yang mereka tuju. Ekspresinya kalut. Lisa duduk di sebelahnya. Bersama ayah dan ibu Rose.
Wanita itu, yang ikat rambut panjangnya setengah terlepas, berdiri ketika melihat Yuta. Ponselnya terjatuh dari pangkuannya, tapi ia membiarkan. Ia mendekat, melewati Jaehyun begitu saja dan berdiri di depan Yuta. Yuta-lah targetnya.
"Alice," Yuta menyapa wanita itu, tapi tak memiliki cukup tenaga untuk tersenyum. "Bagaimana keadaan Rosie?"
Namun jawaban wanita yang dipanggil Alice mengejutkan semua orang. Dia mengangkat tangannya, menampar pipi kiri Yuta hingga kepalanya tersentak ke samping. "Keparat kau, Yuta."
Tau gak sih, waktu adegan jatoh itu sebenernya gua bingung antara rose atau Jaehyun. Yuta gak masuk hitungan karena dia sumber konflik, pengen di oper ke Jaehyun tapi takut lama2 ada yang ngira gua hatersnya dia 🤧 padahal kagak kok, beneran, gua suka semua member nct 😂
Ya udah Rose aja, biar yang ngehujat dia istirahat dulu 😡 Sampe sini udahan dong, jangan ngatain dia lagi 😭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro