Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. Sayonara, Yuta

8 September 2012.

Aku takkan pernah melupakannya.

Sehari sebelum audisi, aku melakukan bunuh diri. Sebenarnya, tidak benar-benar seperti itu, tapi tak ada bedanya. Hatiku terbagi 2; sebagian mati, yang lain dibawa Yuta. Mungkin itu sebabnya aku tak bisa mencintai Jaehyun. Tidak peduli berapa lama aku menikahinya.

Kami bertemu di taman Dragon Ball, jam 4 sore. Yuta yang menginginkannya, untuk menyemangatiku menjelang audisi, katanya. Tapi aku curiga itu karena dia heran kenapa aku jarang membalas pesannya akhir-akhir ini, dan enggan melakukan video call dengan alasan mengantuk. Padahal aku hanya tidak mau dia melihatku menangis, memikirkan sikap ibu yang menjauh usai aku batal melakukan aborsi.

Ibu memang masih memasak untuk kami, tapi keluargaku tidak lagi sarapan bersama. Dia menghindar berada 1 ruangan denganku. Bagi ibu, aku telah berubah menjadi orang yang tak kasat mata.

Jaehyun bilang semua akan membaik nanti, dan aku ingin mempercayainya walaupun sulit.

Aku sampai di taman tepat waktu dan segera menuju kursi favorit kami layaknya orang yang hendak ke tiang gantungan. Kukira aku masih harus menunggu, tapi rupanya dia tiba lebih dulu.

Sedang berbaring seolah berada di pantai, aku ingat betul baju apa yang dia kenakan; sepatu dan celana hitam, kaus putih yang dibalut jaket biru. Serta topi merah yang ia letakkan di atas perut.

Belum apa-apa aku sudah ingin menangis. Butuh segenap usaha agar aku bisa tersenyum. "Yuta."

"Hai, calon penyanyi!" Dia menyapa, menggeser ransel hitamnya supaya aku bisa duduk. Healing smile-nya yang khas muncul saat memperhatikanku dari atas ke bawah. "Kau cantik sekali hari ini."

Aku tersenyum. Ini berkat Lisa dan tangan ajaibnya. Dia berhasil membuatku lebih cantik dengan sentuhan make up tipis. Dia juga memilihkanku pakaian yang ia rasa cocok. Dan kebetulan, pakaian itu serasi dengan milik Yuta. Sama-sama biru.

"Apa yang kau bawa?" Yuta mengangkat sebelah alisnya, menunjuk tas di pangkuanku.

Aku mengeluarkan sebuah bungkusan yang kubeli di mall kemarin. "Hadiah." Suaraku bergetar, aku hampir mengatakan 'hadiah terakhir', jadi aku  meralatnya. "Hadiah untukmu."

"Bukankah aku yang seharusnya memberi oleh-oleh?" Dia terkekeh. Sebelum mengetahui isinya, Yuta sudah tampak kegirangan. Dia memang sempat mencurigai ada yang salah denganku, tapi hingga kini tidak tahu apa-apa. Ada banyak hal yang tidak dia ketahui. Aku ingin tetap menjaganya seperti itu.

Itulah keputusanku.

"Wahhh..." Dia tertawa, memegang pakaian anjing bermodel princess yang kujanjikan beberapa hari yang lalu. "Rapunzel pasti senang sekali! Kau membelikan 3 sekaligus. Keren! Ada bonus hoodie untukku? Astaga, Rosie. Kau tidak perlu repot-repot."

"Kau suka?" Aku senang melihatnya senang. Reaksinya menghangatkan hatiku bahkan saat di hati itu muncul retakan yang makin lama makin besar dan terasa menyakitkan.

Anggukan Yuta menjadi jawabannya. Dia buru-buru mencoba hoodie tanpa diminta, dan mengacungkan jempol ketika pakaian itu membalut pas tubuhnya. "Jelas! Aku bisa memamerkannya pada fansmu saat kau terkenal. Itu akan membuat mereka iri!"

Haha. Itu mustahil. Tidak ada penggemar, apalagi peluang untuk tenar. Jadi penyanyi sekarang hanya sekedar mimpi, aku tak punya kesempatan mewujudkannya.

"Yuta..."

"Hmmm? Ada apa? Kau gugup untuk besok?"

Kuharap ada petir yang menyambarku. Tanah terbuka yang tiba-tiba menelanku, atau tiang lampu taman yang jatuh lalu membunuhku dengan cepat. Itu akan jauh lebih baik. Aku tak sanggup untuk ini, tapi menundanya akan memperparah situasi. "Aku tidak mau lagi jadi penyanyi."

Kebohongan pertama, disambut tahap kedukaan pertama pula; denial. Menatap mata Yuta tidak memberi efek apa-apa. Dia tidak percaya. Tawanya adalah bukti penyangkalanya. "Apa sekarang ada september mop? Aku baru tahu. Kau tidak mau jadi penyanyi sama saja ada ikan yang bosan berenang. Lucu sekali."

Yah, memang lucu. Dekat dengan A, menikah dengan B. Apalagi namanya kalau bukan lelucon yang buruk? Tuhan pasti sedang bercanda. Kuharap Tuhan sedang bercanda.

Ini terlalu kejam untuk jadi kenyataan.

Hatiku menjerit. Tapi bibirku tersenyum. Belum pernah aku semuak ini berbohong. Sebagian diakibatkan karena Yuta selalu berkata jujur padaku. Lihatlah, aku membalasnya dengan apa. "Aku tidak bercanda."

"Tapi kenapa?"

Dia tertegun. Memandangku dengan tatapan tidak percaya. Bungkusan plastik yang membungkus pakaian Rapunzel bergemerisik  saat ia meremasnya. Angin berhembus pelan, membelai rambutnya yang mulai panjang. Dia terlihat begitu indah. Mutiara yang kilaunya tersembunyi dari banyak orang. Dan aku merupakan sang antagonis yang memegang palu untuk menghancurkannya. Terpaksa.

Yang tidak diketahui orang lain ialah, aku juga menghancurkan diriku sendiri dengan melakukan itu.

"Aku memutuskan kuliah di Melbourne. Mungkin tidak akan kembali ke Korea."

Kebohongan kedua.

"Mel ... bourne?" Yuta semakin bingung saja. Kasihan dia. Harus menerima segudang kebohonganku di sore yang cerah ini, ketika seharusnya kami bersenang-senang. Tertawa bergandengan tangan di taman hiburan atau pergi membeli makanan. Dia, aku menyadari, adalah korban sesungguhnya dalam kisah ini. Bukan aku atau Jaehyun. "Kenapa tiba-tiba? Apa orang tuamu memaksamu?"

Kenapa?

Aku juga tidak tahu!

Ini karena test pack sialan itu! Yang seketika menjungkirbalikkan kehidupanku. Sejak aku mendapatkannya, semuanya kacau. Aku bingung harus menata ulang dari mana.

Semuanya terasa ... salah.

"Rosie?"

"Hentikan." Aku memohon. Pada Tuhan, agar menghentikan waktu. Pada pisau tak terlihat yang menusuk hatiku. Dan Yuta, yang memanggilku dengan suara lembutnya yang merdu. Aku lelah. Sangat lelah. Aku bahkan harus menyentuh leherku untuk memastikan tidak ada tali di sana karena aku merasa luar biasa sesak.

"Hei." Yuta tertawa, mencoba mencairkan suasana. Tangannya terulur menyingkirkan rambutku dari wajah saat air mataku turun. "Nakanaide. Sudah kubilang kau jelek sekali kalau menangis. Sini, ceritakan padaku. Apa yang terjadi?"

Aku merasa hampa. Kosong. Aku tak tahu apa yang kulakukan. Memutuskan hubungan dengan Yuta? Itu gila. Sama saja dengan masuk ke peti mati lalu menutupnya rapat-rapat. Sosok diriku yang egois terus mendesak agar aku tidak melanjutkan. Dia muncul dalam bentuk suara di kepalaku, berteriak tanpa henti; katakan padanya kau bercanda. Katakan padanya. Katakan!!

Tapi yang keluar dari mulutku justru, "Yuta, ayo kita berpisah" sambil menghindari pelukannya.

Matahari tetap bersinar. Pohon dan bunga yang ada di taman tidak serta-merta layu. Bumi juga setia berputar di porosnya. Semua baik-baik saja. Normal. Tidak jauh dari sini, seorang bayi yang digendong ibunya tertawa, seakan mengejekku habis-habisan.

Sementara itu, dunia kecil Roseanne Park perlahan runtuh.

Aku pernah tergores kertas.
Jatuh melukai lututku.
Hingga menjatuhkan piring yang pecahannya menusuk kaki.

Tapi itu tidak ada apa-apanya.

Biar kuberitahu, rasa sakit itu一meski digabungkan一masih kalah dengan yang kurasakan saat ini. Tali di leherku mencekik kian erat, aku kesulitan bernapas. Aku merasa sangat sakit sampai mau mati. Ini neraka. Pasti. Aku ternyata tidak perlu mati untuk tinggal di sana.

"Sebenarnya ada apa denganmu?" Yuta mendesak. Dia frustrasi, dan itu tertuang dalam suaranya yang meninggi. "Kenapa bicara begitu?"

Aku menggeleng, memilih menunduk. Tekadku untuk terus tersenyum agar terlihat cantik di matanya tidak berhasil. Gagal total. "Maaf. Aku ingin berhenti berhubungan dan bertemu denganmu. Maaf. Kita hentikan saja. Yuta, maaf..."

Yuta diam.

Bersikap seolah tidak mengerti apa yang kuucapkan. Matanya-lah yang berbicara; menanyakan alasan yang tak bisa kuberikan. Baru kemudian disusul mulutnya, "Oke, tapi apa salahku?"

Mereka bilang, lebih baik terluka karena kejujuran daripada mengalami kebahagiaan semu di atas kebohongan. Tapi aku tidak setuju. Berkata jujur di saat seperti ini akan lebih menyakitinya.

Bahwa Rosie yang ia cintai hamil dengan orang lain?

Dia tidak boleh tahu itu.

"Aku bosan denganmu. Aku bosan dengan LDR. Lagipula kita tidak punya status apa-apa kan? Jadi sebaiknya kita akhiri. Semuanya."

Salah satu pakaian Rapunzel terjatuh dari pangkuan Yuta. Bermotif hello Kitty yang ceria, berwarna pink. Dia membungkuk, tapi tidak mengambil pakaian itu, melainkan sebuah batu berukuran sedang di dekatnya.

"Sialan, Rosie."

Dan dengan sekuat tenaga, Yuta melempar batu itu ke tempat sampah yang ada di depan kami.

"Kita sudah 3 tahun seperti ini. Kenapa mendadak membahas status? Bukan aku yang tidak menginginkannya, tapi kau yang menolak! Katamu status tidak penting. Lalu bosan? Itu bohong. Ayo coba lagi. Cari alasan lain. Aku tahu kau bisa berbohong lebih baik dari ini."

Benar. Pasti begini jadinya. Yuta yang mengenalku lebih baik dari diriku sendiri, tentu tidak akan percaya dengan mudahnya. Dia adalah tempat aku berpegangan saat kehilangan pijakan. Tempat aku mencari penghiburan sejak satu-satunya teman yang kumiliki hanya Lisa. Yuta adalah tempat aku pulang.

Apa yang harus kulakukan tanpa dia?

Aku harus apa sebelum tidur selain melakukan video call dengannya? Aku harus kemana saat butuh penghiburan? Adakah orang yang lebih lucu darinya saat diajak main tebak-tebakan?

Ini jadi semakin berat. Aku bingung harus mengakhirinya secepat mungkin atau membuat ini jadi bertele-tele, demi bisa bersamanya lebih lama.

Yang manapun, aku akan menyakitinya.

Sudah menyakitinya.

"Aku tidak bohong. Mulai sekarang jangan hubungi aku lagi, atau datang ke rumah. Kau bebas berkencan dengan siapapun. Kita ... selesai. Hubungan kita cukup sampai disini."

"Katakan dulu alasannya!"

Kami sama-sama berdiri.

Aku dan dia, yang jatuh cinta di sekolah. Aku dan dia, yang menghabiskan masa remaja kami bersama. Aku dan dia, yang telah merencanakan masa depan yang hebat. Berdua. Hanya berdua.

Yuta-ku tersayang. Segalanya bagiku. Untuk pertama kalinya, dia terlihat rapuh. "Kau tidak memberi alasan yang masuk akal selain bosan, bagaimana aku bisa menerimanya? Katakan saja apa salahku. Aku janji akan memperbaikinya. Sungguh."

"Bukan kau yang salah."

Ya Tuhan,

Sakit sekali.

"Tapi aku. Jadi tolong, kumohon, biarkan aku pergi."

"Apa maksudmu?" Yuta menekankan kedua tangannya ke kepala, mengerang kesal. Di matanya, aku melihat luka. Kemarahan. Rasa sakit一sangat banyak. "Tahukah kau bahwa aku sudah mengumpulkan brosur universitas untukmu? Aku membayangkan kau kuliah bersamaku. Di Jepang."

Yuta menggeleng berulang-ulang. "Rosie, aku tahu ini berat. Hubungan jarak jauh itu menjengkelkan, tapi kenapa kau menyerah saat ini justru hampir selesai? Aku mencintaimu. Tak pernah ada orang lain selama 3 tahun. Aishiteru." Dia menegaskan dengan suara parau. "Apapun itu, aku minta maaf. Jangan tinggalkan aku."

"Yuta, aku tidak bisa."

Aku memegang perutku saat mengatakannya, memikirkan bayiku dan kebaikan Jaehyun dan pengorbanan yang harus kulakukan untuk mereka.

Ini saatnya; ketika aku menusukkan lebih banyak pisau ke dadaku sendiri. Ketika tanganku menggantungkan tali. Ketika aku melompat ke jurang tak berdasar.

Aku merasakannya; suatu keadaan ketika secara harfiah aku hidup tapi tidak lagi bisa disebut hidup.

"Lupakan aku. Kau harus bahagia, kau mengerti?"

Aku tersenyum. Kakiku bergerak, mengambil langkah maju untuk mencuri satu ciuman terakhir yang mengiris hati. Singkat saja, lebih seperti hanya menyentuhkan bibir. Dia terasa hangat. Manis. Rumahku yang sejati.

Lalu setelah selesai, aku mundur dan berbalik.

"Sayonara, Yuta."

"Moshi-moshi? Rose? Ini Rose kan?"

"Momoka? Ya, ini aku. Ada apa menelpon?"

"Ah, akhirnya diangkat. Begini, Rose, aku mau tanya, apa terjadi sesuatu antara kau dan Yuta?"

"Kenapa?"

"Dia bersikap aneh sejak pulang dari Korea. Yuta murung terus, dia tidak semangat makan padahal biasanya nomor 1 soal itu. Aku sudah menanyakan padanya, tapi dia tidak menjawab. Lalu kemarin..."

"Katakan. Ada apa dengannya??"

"Ingat saat aku cerita Yuta memarahiku karena tidak sengaja menduduki buku sketsanya sampai kusut? Nah, kemarin, aku melihat Yuta membakar lukisannya. Semua. Bahkan ada yang di robek dengan pisau. Aku khawatir sekali. Apa kau tahu penyebab dia seperti ini? Halo? Rose, kau masih di sana? Kenapa menangis? Ro一"

Ini Yuta, waktu ada reader yang udah baca part ini tapi masih nyalahin dia, bilang gak suka sama karakternya, padahal dia yang paling ngenes :

Serius mau nanya,

GAK ADA YANG DUKUNG YUTA APA YAK?

Gak jawab = anak dpr 😡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro