Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04. Gadis Dalam Kenangan

Bukan dia.

Aku mengetahuinya sebelum berbalik. Karena aku kenal suara Yuta, aku hafal bunyi langkahnya, dan suara ini, bunyi ini, sama sekali tidak seperti dia. Bertahun-tahun perpisahan takkan mampu menghapus begitu banyak kenangan tentangnya.

Itu bukan Yuta.

Aku tak tahu harus girang atau sedih. Di sisi lain, aku belum siap bertemu dengannya, tapi bohong kalau kubilang aku tidak ingin itu terjadi. Yuta adalah keinginan dan hasrat terbesarku, yang selalu tinggal jauh dalam relung hatiku. Tersembunyi, namun tidak terlupakan.

Dan benar saja. Saat menoleh, aku mendapati seorang pria yang sangat tinggi berjalan mendekat. Tersenyum bak model pria yang digilai para remaja. Tubuh tinggi, proporsi sempurna, didukung rahang tegas dan tulang pipi menakjubkan yang membuatnya enak dipandang. Dalam balutan pakaian formal yang menonjolkan dada bidangnya, dia cocok disebut Casanova. Sang penakluk wanita bergaya santai, dengan suara lembut sehalus beledu.

"Ini lukisan yang sangat istimewa," jelas pria itu tanpa di minta, menunjuk lukisan yang ia maksud tanpa menyentuhnya. "Si bodoh一maksudku Yuta, pelukisnya, membuatnya bertahun-tahun yang lalu. Katanya hadiah untuk seseorang, tapi orang itu menghilang. Dia menyimpannya hingga kini karena masih berharap bertemu dengannya."

Moment tak terduga, orang yang tak terduga pula. Biasanya aku tidak suka bicara dengan orang yang tidak kukenal tapi kali ini berbeda. Dia mengenal Yuta dan aku mengambil kesempatan ini untuk mengorek informasi. "Hilang bagaimana?"

Pria di sebelahku mengangkat bahu. "Wah, tidak tahu juga, ya. Habis Yuta tidak pernah memberitahuku secara detail tentang gadis itu. Tapi aku suka bercerita tentang dia pada pengunjung, supaya ketika Yuta berubah pikiran dan memutuskan menjualnya, akan ada banyak peminat hahahaha."

Aku ikut tertawa, tapi diam-diam membantahnya, itu tidak mungkin terjadi. Yuta bukan tipe orang yang labil. Saat memutuskan sesuatu, dia pasti berpegang teguh pada hal itu. Dia akan terus menyimpan lukisan ini, aku yakin, hingga ia bertemu denganku.

Yuta, aku di sini sekarang, apa kau merasakannya?

Dengan setiap sel tubuhku, aku berusaha memanggilnya, tapi galeri ini masih penuh oleh orang-orang asing, tanpa 1 wajah familiar yang kucari-cari. Aku berpaling pada sang Casanova, bertanya, "Apa kau kenal pelukisnya? Secara pribadi, maksudku."

Senyum pria itu semakin lebar. Wajah tampannya berseri-seri saat ia mengulurkan tangan padaku. "Perkenalkan, aku Johnny Seo, teman sekaligus agen pemasaran Nakamoto Yuta."

Aku tersenyum sedikit一sebelum sadar ia tak bisa melihatnya karena masker一dan membalas uluran tangannya yang kuat dan mantab. "Panggil aku Rose."

"Hanya Rose?"

"Ya." Mendadak merasa tidak nyaman, aku menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Rose saja."

Johnny memiringkan kepalanya, tertawa, mengejutkan tidak cuma aku tapi juga pengunjung lain yang kebetulan berada di dekat kami. Tapi ia tak menyadarinya. Ia melanjutkan dengan mulus, "Lucu. Nona ini namanya juga Rose. Yuta bilang mereka berkenalan lewat sebuah kejadian lucu dan berangsur akrab. Hari demi hari, keduanya sering bersama. Seperti pasangan. Tapi ketika Yuta harus kembali ke Jepang untuk kuliah, hubungan mereka jadi renggang dan Rose tidak ingin bertemu Yuta lagi entah karena apa. Lalu boom! Dia menghilang. Begitu saja. Tragis sekali kan?"

Aku menunduk, tidak langsung menjawab. Garis besar kisahku dan Yuta yang diceritakan Johnny telah memicu munculnya lebih banyak kenangan. Mereka menyatu, berkumpul, kenangan-kenangan indah yang sekarang terlalu menyakitkan untuk di ingat. Mereka menjadikanku selembar daun di tengah arus deras sungai bernama 'masa lalu'. "Menurutku itu hanya kisah biasa yang tidak romantis."

Johnny memasukkan kedua tangannya ke saku celana, menoleh ke belakang sejenak seolah takut ada yang menguping. Aku mengikuti gerakannya, waswas sekaligus berharap. "Bagian romantisnya adalah, Yuta tidak pernah berhenti mengharapkan Nona Rose. Yuta pikir jika dia menunggu cukup lama, pada akhirnya mereka akan bertemu lagi. Lalu kembali bersama."

Mataku terasa panas, perih. Ditusuk harapan yang diwakilkan Johnny. Harapan Konyol Yuta yang tidak sadar itu sia-sia, berujung kekecewaan akibat peristiwa yang di mulai 7 tahun lalu. Yuta tidak tahu bahwa aku sudah menikah, berubah, hingga ia mungkin tidak akan mengenaliku lagi. Ini labirin yang membingungkan dan kejam, dia seharusnya tidak ikut masuk.

Yuta, apa yang akan terjadi jika kau tahu nanti?

Aku berpura-pura menggaruk alisku, padahal sebenarnya menghapus air mata sebelum terlanjur menetes. Jangan menangis dulu, tidak boleh. "Bagaimana kalau gadis ini tidak ingin bersamanya? Atau ... ada sesuatu yang membuat mereka tidak bisa bersama?"

Kening Johnny berkerut. "Apa maksudmu?"

"Yah ... bisa saja kan dia sudah menikah?"

"Oh, itu." Johnny mengangguk, menghela napas. "Aku sudah mengatakannya pada Yuta, tapi dia tidak mau mendengar. Dia keras kepala, tahu? Kurasa itu karena semua orang punya 1 cinta yang tidak bisa mereka lupakan, tidak dapat di kikis waktu, apalagi terganti oleh orang baru, namanya, cinta sejati."

"Benar sekali." Aku setuju dengannya, menanggapi dengan suara parau dan terdiam.

Rasa sesak ini menyiksa.

Kupikirkan ucapan Johnny tentang cinta yang murni, dan menyadari bahwa keputusanku datang kemari adalah kesalahan. Benar bertemu Yuta akan membuatku bahagia, lalu setelahnya apa? Kebersamaan yang ia inginkan tidak akan terwujud sebab Lily ada di antara kami, menghalangi, memupus tiap untaian harapan.

Aku tidak boleh egois. Yuta harus serta berhak bahagia, memulai hidup baru dan mengalihkan tatapannya dari gadis dalam lukisan ini, karena sejujurnya, Rose yang ia kenal sudah tidak ada一menghilang bersama semua mimpi-mimpiku.

Sekarang, aku telah memiliki kehidupanku sendiri. Memang bukan yang terbaik dan bukan jenis kehidupan yang kuinginkan, tapi aku bisa menjadikannya lebih baik. Belum terlambat untuk itu kan?

Aku tersenyum一setidaknya mencoba一dan melirik jam yang terpampang di layar ponselku. "Johnny, aku harus pergi. Terima kasih atas cerita singkat tadi. Bilang pada temanmu一" Suaraku tercekat. Aku harus menelan ludah dengan susah payah terlebih dulu. "Bilang pada temanmu untuk move on, jangan mengharapkan sesuatu yang tidak jelas."

"Eh?" Heran karena reaksi dan ucapanku yang sangat cepat, Johnny menatapku dan diriku versi lukisan bolak-balik. "Bukankah kau baru sampai? Aku melihatmu saat masuk."

Lagi, aku tersenyum. Tak sampai setengah jam tepatnya, terlalu singkat. Bila menuruti hati, aku pasti akan tinggal hingga waktunya tutup, memandang semua benda-benda yang pernah disentuh Yuta. Menghirup bau cat yang akrab dengannya. Menunggu dia datang. Tapi aku tak bisa melakukan itu, statusku tak memperbolehkannya. "Ya, tapi aku ada urusan. Selamat ... tinggal."

"Sampai jumpa," balas Johnny berbeda, seakan mengharapkan kami bertemu lagi. "Sampai jumpa terdengar lebih baik."

Aku mengangguk pelan, memerintahkan kakiku agar berjalan. Membentaknya supaya dia menurutiku dan enyah dari sini. Seumur hidup, rasanya aku belum pernah merasa seberat ini pergi dari suatu tempat, tapi kemudian aku teringat sesuatu. "Sebentar, apa nama lukisannya?"

Dan Johnny menjawab, "Yuta memberinya nama Gadis Dalam Kenangan."

Gadis dalam kenangan...

Aku berterima kasih ulang padanya, lalu keluar dari galeri, melewati semua pengunjung dengan wajah tertunduk tanpa berani menatap lukisan itu lagi atau lukisan lain. Semakin dilihat semakin menyakitkan. Semuanya mengingatkanku pada gambar-gambar Yuta yang pernah menjadi koleksiku.

Mereka adalah salah satu hartaku yang paling berharga; kertas-kertas indah yang aku satukan menjadi sebuah makalah. Aku membersihkannya tiap minggu, mencegah debu menghinggapi permukaannya, memastikan tidak ada ujung kertas yang terlipat atau kusut. Namun sehari sebelum pernikahanku, aku membakarnya, mengira melakukan itu akan membantuku melupakan dia.

Ternyata tidak.

Sesampainya di mobil, tangisku tidak bisa ditahan lagi. Aku membuka masker, membiarkan air mataku jatuh. Aku menangis untuk seseorang yang pernah menjadi milikku, dan cinta yang direnggut paksa oleh takdir. Ada banyak sekali rasa sakit yang tak bisa diungkap dengan kata-kata.

Aku bukan orang yang cengeng.

Aku adalah wanita kuat yang jarang menangis, tapi ketika itu terjadi, akan sulit bagiku menghentikannya. Sebagian lengan mantel kiriku sudah basah karena air mata sekarang, pandanganku buram.

Aku tidak bisa pulang dalam keadaan begini. Tidak mungkin. Tapi singgah ke tempat Lisa juga bukan pilihan. Dia akan tetap mengomel meski aku tidak bertemu Yuta, merepet kesana-kemari dan menyebutku ceroboh karena coba-coba tidak setia. Lisa yang baik, yang memandang dunia dengan cara yang berbeda denganku, tidak akan paham mengapa aku melakukan ini; bahwa aku butuh bertemu Yuta, bukan sekedar "ingin".

Jadi setelah mencari-cari, aku memutuskan menepi di sebuah bar yang tidak jauh dari pameran. Minum sedikit pasti akan membuatku tenang daripada nekat mengemudi dan mengambil resiko di tilang, atau yang lebih buruk, kecelakaan. Kuraih dompet yang ada di dashboard, membuka pintu mobil.

Tapi saat melakukannya, seorang pria yang keluar dari bar tanpa sengaja menabrak pintu mobilku hingga tersandung. Ponsel dalam pegangannya, yang menjadi penyebab ia tidak fokus, terlempar ke udara bak kembang api yang meluncur dengan tidak elit. Benda itu terjatuh, disusul pemiliknya yang kehilangan keseimbangan.

Refleks, aku mengulurkan tangan untuk membantu, tapi kejadiannya terlalu cepat dan sepasang tangan kecilku tidak bisa berbuat banyak. Dia tetap jatuh ke aspal dengan keras, lalu mengumpat tak kalah kerasnya. "Chikushou! Aduh, bahuku ... sialan, sakit sekali..."

Terdiam sejenak karena ikut kaget, aku menutup mulut, nyaris tertawa seandainya tidak berpikir itu tidak sopan. Sebaliknya, aku membungkuk di hadapan si pria, meraba bahunya dan memeriksa apakah ada luka. "Maaf, maaf! Aku tidak sengaja. Kau baik-baik saja kan? Kau tidak terluka?"

Pria itu mendongak, mata kami bertemu.

Seketika, seketika, tatapannya membuatku lupa pada apa yang hendak kukatakan. Dadaku kosong; dia mencuri napasku hingga habis tak tersisa. Dia membekukan aliran darah, merampas semua fungsi tubuh dan detak jantungku. Dia melakukannya; dia menyentakkanku dari apa yang selama ini kusebut "hidup", padahal itu tiada artinya, tidak tanpanya. Aku membeku di laut yang terpengaruh musim dingin abadi, tapi dia menolongku, mengguncangku hingga tersadar dan berkata, "Bangun."

Tubuhku meresponnya, mataku meresponnya, hatiku meresponnya.

Aku benar-benar bangun. Aku hidup kembali.

"Rosie?"

"Yuta..."

Masa lalu datang seperti ombak besar yang siap menyeretku hingga tenggelam.

Dia di sini.

Yuta di sini.

Aku tak percaya ini. Itu Yuta. Yuta-ku tersayang, berdiri dalam jarak sangat dekat tak sampai serentangan lengan. Dia bersamaku. Mimpi macam apa ini? Mengapa surga tiba-tiba terbuka dan membiarkanku masuk?

Tidak, ini bukan mimpi. Aku mencubit lenganku sendiri dan rasanya sakit. Ini kenyataan. Berkah sekaligus kemalangan. Hadiah merangkap bencana.

Lisa rupanya keliru; Yuta sudah berubah. Lihatlah dia, pemilik wajah yang kurindukan. Dia semakin dewasa, tampan, berbeda. Yuta bukan lagi remaja 18 tahun yang tidak bebas. Sekarang dia pemuda 27 tahun yang tak terikat aturan sekolah sehingga melakukan hal-hal yang dia suka.

Itu termasuk mewarnai rambutnya jadi berwarna merah, menindik telinga; 3 di kiri, 5 di kanan. Juga memakai pakaian bertuliskan kata-kata berbahasa Inggris yang tidak akan menyenangkan para guru. Sang ikon ketidakteraturan, begitu salah 1 julukannya dulu, dan dia jelas berniat mempertahankan julukan tersebut.

"Halo, Rosie. Lama tidak bertemu, ya?"

Dia bicara. Suara indah itu akhirnya menyapa telingaku setelah 7 tahun lamanya. Membuat rindu dalam hatiku ibarat hewan terkurung yang meraung-raung minta dilepaskan. Membuatku ingin menghambur ke pelukannya, memangkas jarak di antara kami, dan tak pernah melepasnya.

Namun, apakah aku masih berhak?

Apakah itu tindakan yang tepat?

Aku menertawakannya; ironi yang membelenggu kami hingga kini. Mencekik erat kian detik, menggoda air mata untuk menitik. Ini salah. "Yuta ... ya, lama sekali. Apa kabar? Maaf, aku harus pergi. Aku sibuk hari ini."

Terlalu banyak omong, terlalu banyak berbohong. Aku kacau. Aku tak tahu apa yang harus di ucapkan selain 'maaf'. Tapi apakah itu ada gunanya? Apakah kata itu masih ada artinya bila terucap dari seseorang yang mengecewakanmu lagi dan lagi? Aku menggigit bibir. Aku benar-benar harus pergi.

Sebelum semuanya terlambat, aku segera berbalik, meraih pegangan pintu mobil. Tapi panik mengakibatkan kunci mobil lepas dari genggaman tanganku, meluncur bebas menuju aspal keras yang lebih dulu dihantam ponselnya.

Untungnya, belajar dari kesalahan, Yuta berhasil menangkapnya, mengamankan benda itu dan menutup pintu mobilku dengan bersandar di sana. Dia mengambil alih, membalikkan situasi. "Kenapa buru-buru? Kau tidak mau menyapa teman lamamu ini?"

Teman. Teman apanya? Kami lebih dari sekedar teman一semua orang, bahkan Jaehyun pun tahu. Teman kata yang sangat remeh untuk menggambarkan kami. Aku ingin protes, marah karena ia bicara begitu. Tapi urung, mendapati wajah murung yang tak sepenuhnya bisa ia tutupi. Mata tak dapat berbohong; merefleksikan apa yang sebenarnya ia rasakan. Dan sungguh, melihatnya seperti ini menyakitiku lebih dari apapun. "Maaf, aku punya urusan penting di suatu tempat. Berikan kunci itu."

Dia tidak menurut. Yuta tidak pernah mematuhi orang lain kecuali itu yang ia inginkan. Dia mempertahankan kunciku, alatku melarikan diri, dan malah meremasnya hingga aku khawatir dia terluka. "Urusan apa, Rosie? Kau lupa memasak makan malam untuk suami dan anakmu?"

Yuta mengatakannya dengan ringan, sangat santai, seolah kalimat itu candaan, tapi aku merasa seolah ada yang baru menyiram kepalaku dengan seember air dingin. Aku tersentak. Aku takut padanya, takut mendengar lanjutan kalimatnya. Tanganku mulai gemetar.

"Kenapa terkejut begitu?" Yuta mengimbuhkan, tidak menatapku, melainkan langit biru cerah yang menaungi kami. Ada seekor burung cokelat kecil yang melintas, mengejek manusia-manusia yang tak beruntung memiliki sayap dan kebebasan sebanyak dia. "Kau salah kalau mengira aku tidak tahu apa-apa seperti dulu, Rosie. Memang butuh waktu lama, tapi sekarang aku tahu alasanmu mengatakan semua kebohongan di taman; tentang kau yang mau berhenti berjuang jadi penyanyi, dan tidak ingin bertemu denganku lagi. Semua itu kau katakan karena kau akan menikah dengan Jaehyun kan?"

"Lebih tepatnya." Mata kami kembali bertemu, mencerminkan rasa sakit masing-masing. "Karena kau hamil dan harus menikah dengannya."

Maap ya reader baru, ini lama karena gua lagi fokus namatin dulu. Percayalah, kalian lebih enak baca versi revisinya kok, karena versi lama tuh bikin mata berkunang2 sama pengen nyemil insto saking alaynya.

Jadi sabar sj 😳👍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro