Bagian 8 - Jalur E-10
January 15, 2018
Lofoten, Norwegia
08.20
Perjalanan ketujuh muda-mudi itu tertahan, saat 15 menit perjalanan badai salju menerjang pagi hari itu. Banyak mobil yang memilih menepi atau bahkan memutar balik. Sam sempat memperingatkan Luther untuk tidak melanjutkan perjalanan saat mereka masih di Reine, tapi Luther tetap melanjutkan perjalanan. Alhasil, kini mereka terjebak macet karena mobil mogok di depan mereka menghalangi jalur dua arah itu.
Mayoritas penduduk di kepulauan Lofoten bekerja sebagai nelayan, rumah-rumah penduduk pun membentuk semacam pondokan atau kabin tradisional khas Lofoten, Rorbu namanya. Setiap musim dingin, bau amis dari ikan Cod yang tergantung akan merebak kemana-mana.
Matahari muncul dengan malu-malu hampir pukul 10 pagi. Mobil yang ditumpangi mereka baru bisa melaju kembali lantaran mobil pembersih salju baru selesai membereskan jalanan dari sisa badai. Dengan kecepatan rata-rata, Luther fokus mengemudi, membelah jalur E-10 yang menghubungkan rantai kepulauan pegunungan kasar di lepas pantai utara Norwegia.
Jangan lupa, sistem transportasi di kepulauan itu dilengkapi kamera pendeteksi kecepatan. Jika seseorang mengemudi di atas batas yang ditentukan, polisi tidak akan segan-segan untuk menilangnya.
Sisa perjalanan masih satu jam setengah lagi. Kali ini Luther meminta Sam untuk menggantikannya mengemudi. Dengan suasana dalam mobil yang masih hening tanpa suara, Luther menepikan mobil di pinggir jalur Venstersand.
"Hoamm... Apa sudah sampai?" tanya Bisma sambil meregangkan otot-otot tubuhnya. Sedangkan Luther dan Sam menuruni mobil. Bisma duduk sendiri di bagian kursi kedua, dilanjut oleh Kristin dan Reylan di baris ketiga, kemudian Shea dan Alex berada di baris terakhir.
Sebuah sirine patroli terdengar, sepertinya baru saja dihidupkan, suaranya semakin kencang dan bergerak mendekat ke arah mobil yang mereka tumpangi.
"Kalian akan mendapatkan masalah!" ujar Alex dengan nada datar, membuat semua orang yang tadinya dalam posisi istirahat menjadi tertarik dengan apa yang sedang terjadi. Sam baru saja menaiki mobil dan duduk di kursi kemudi, belum sempat menyalakan mesin, seorang polisi sudah mengetuk kaca mobil terlebih dahulu.
"Apa kalian membuat kesalahan?" tanya Bisma. Luther dan Sam kembali menuruni mobil untuk menghampiri polisi tadi.
"Selamat siang, Pak!" sapa polisi tersebut.
"Siang, Pak. Apa kami membuat kesalahan?" tanya Sam to the poin.
"Benar, kalian parkir sembarangan, itu melanggar aturan lalu lintas kami!" Polisi itu mengeluarkan sebuah map dan kertas, lalu mencatat sesuatu.
"Kami hanya berhenti sebentar untuk pindah tempat duduk, Pak. Setelah ini kami akan melanjutkan perjalanan." Luther mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Tetap saja, kalian melakukan pelanggaran!" Polisi itu terus mencatat, mulai dari pemeriksaan nomor mobil hingga identitas Sam dan Luther.
Kristin menggerutu di dalam mobil, sedangkan Bisma yang sendari tadi penasaran dengan apa yang terjadi terus menerus mendongakkan kepalanya untuk dapat melihat ke arah luar jendela sebelah kanan, posisi Sam, Luther dan polisi itu berada di belakang mobil.
"Bisma, bisakah kamu diam. Keluarlah jika kamu memang ingin tahu!" Shea merasa terganggu karena bayangan kepala Bisma yang tesorot lampu dalam mobil bergerak-gerak di depan wajahnya.
"Um, maafkan aku Nona backpaker. Apa kau lapar? Aku mendengar raungan dari arah belakang sendari tadi. Awalnya kukira serigala, tapi sepertinya suara itu datang dari perutmu. Mau makan?"
"Do you think it's funny, huh?" Kristin memutarkan bola matanya dengan malas.
"Oh, ayolah Nona seleb. Aku tidak mengajakmu bicara. Lagipula aku berkata serius, bukan candaan."
"Kami punya banyak makanan, jika dia lapar, pasti sudah mengambilnya." Alex berkata seolah membela Shea. Gadis itu sama sekali tidak menanggapi ucapan Bisma maupun yang lainnya.
"Enam puluh Euro yang terbuang sia-sia, huh!" keluh Luther saat memasuki mobil.
Reylan meneguk air mineral dalam botol yang ia bawa, kemudian bertanya pada keduanya, "Apa yang terjadi?"
"Kami dianggap parkir sembarangan," jawab Sam sambil memakai seatbelt-nya.
"Aku tidak akan membayar untuk itu, itu murni kesalahanmu!" terang Kristin.
"Peraturan di negara ini memang sangat ketat, kalian perlu berhati-hati dan mematuhi semuanya!" ucap Alex, menutup percakapan.
Peraturan lalu lintas di Norway benar-benar sangat ketat. Salah satu kewajiban pengemudi adalah menyalakan lampu kendaraan baik siang maupun malam. Kamera pengawas tidak lepas di sepanjang jalan. Meskipun termasuk pelosok, semua terjangkau oleh jalan raya.
Wajar saja jika Norwegia ini disebut tempat termahal di dunia. Selain bahan bakar yang sangar mahal, padahal negaranya merupakan penghasil bahan bakar minyak yang besar, setiap jalur dikenakan tarif penggunaan jalan. Namun, sistem pembayarannya tidak ditempat seperti negara-negara lainnya. Sistem pembayaran otomatis terdeteksi oleh kamera-kamera pengenal plat mobil di beberapa ruas jalan. Nantinya, tagihan akan dipintai setelah beberapa minggu atau bulan kemudian lewat tagihan pos. Untuk mobil sewa nantinya ditentukan pemilik lewat hitungan jalan yang dilewati, terpantau lewat GPS.
Siang hari dapat dikatakan cerah, mungkin itulah alasan mengapa negara empat musim sering dikatakan mengalami cuaca ekstrem, pergantian cuacanya tidak dapat diduga.
"Biar aku bertanya, sebenarnya kalian hendak pergi kemana? Tolong jawab dengan jujur." Luther memecah keheningan, mencoba membuka percakapan dengan pertanyaan yang berharap akan dijawab oleh yang lainnya.
"Aku sudah mengatakannya, Luther. Aku dan Sam akan pergi ke Laupstad," sahut Bisma.
"Aku tidak bertanya padamu Bisma, aku bertanya pada yang lainnya." Luther melirik tajam pada pria yang duduk dibelakangnya itu.
"Oh, kau tidak mengatakan itu sebelumnya," jawab pria itu acuh tak acuh. Kemudian membuka sebungkus snack yang ia ambil dari tas belanjaannya. Meskipun memiliki badan yang dapat dikatakan kurus, pria itu sangat hobi makan.
"Kalian, Reylan dan Kristin. Kemana kalian akan pergi?" tanya Luther lagi.
"Ke Lofoten!" kata Reylan.
"Jawaban yang sangat baik, kita semua pun kini berada di Lofoten. Bisa kamu memberitahukannya dengan spesifik?" ujar Sam menimpali.
"Em— ke tempat yang kalian tuju saja."
"Rey, kemana sebenarnya kita akan pergi. Dimana tempat yang indah untuk Aurora itu?" Kristin mengguncangkan tangan kekasihnya.
"Aku nyatakan kalian berdua tidak punya tujuan!" kata Sam.
"Bagaimana dengan kalian, Alex? Shea?" Luther membalikan badannya dan berdiri dengan lututnya agar dapat melihat orang yang ia ajak bicara.
"Aku akan mendaki! Entah itu Galdhopigen, Hermannsdalstinden ataupun Higravstinden yang kalian katakan tadi. Jika diijinkan, aku ikut bersama kalian, jika pun tidak... Aku akan berangkat sendiri sesuai tujuanku!" jawab Shea mantap.
"Alex?"
"Aku tidak tahu, sebelumnya Shea mengatakan setuju aku ikut dengannya. Tapi untuk sekarang, sepertinya tidak. Aku tidak tahu akan pergi kemana."
"Benar-benar manusia yang tidak memiliki tujuan!"
"Baiklah, Sam. Terserah apapun katamu. Kenyataannya memang begitu, aku tidak akan pulang ke negaraku untuk sementara waktu. Jika kalian akan ada rekomendasi tempat, atau mungkin akan menurunkan ku di jalan sekalipun, itu bukan masalah."
Shea terdiam, merenungi kata-kata yang diucapkan Alex. Sebenarnya ia merasa kasihan juga dengan pria itu, dan entah mengapa ia menjadi ragu terhadap rencananya yang ingin mendaki sendiri setelah bertemu Alex dan orang-orang yang berniat mendaki juga.
"Baiklah, pertanyanku yang terakhir... Apa keluarga kalian mengetahui kalau kalian pergi ke negara ini?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro