Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 10 - Satu Atap

"Apa yang terjadi dengan tanganmu?" tanya Luther saat melihat gerak-gerik Shea seakan menutupi sesuatu.

"Bukan apa-apa, hanya terasa sedikit kaku saja," jawabnya seraya tersenyum singkat.

Sendari tadi Samuel memikirkan bagaimana kelanjutan perjalanannya juga rekan-rekan yang baru ia temui beberapa jam yang lalu. Percayalah, ada ketakutan besar saat ia membayangkan bagaimana orang-orang awam itu melakukan sesuatu yang sebenarnya bisa sangat beresiko untuk mereka.

"Bagaimana, Shea? Setelah merasakan suhu di sini apa kamu masih berniat untuk tetap ikut bersamaku, Bisma dan Luther?" tanya Sam. Pria itu menatap lurus pada gadis yang sendari tadi tetap ingin ikut mendaki bersamanya.

"Kurasa begitu, ini baru awal 'kan? Aku hanya perlu beradaptasi dengan iklimnya. Lagipula perjalanan jauh juga menjadi faktor mengapa kondisiku terlihat kurang fit seperti ini." Gadis itu mengganti posisi lilitan scraf yang sendari tadi bertengger di lehernya.

"Jangan terlalu memaksakan diri, mundur lebih baik daripada menantang mati!"

"Sam, aku tahu kamu sarkastis tapi jangan berbicara seperti itu." Bisma memperingatkan temannya. Sebercanda-bercandanya Bisma, ia tetap bisa diajak serius saat situasinya memang serius.

"That's my mean, Dude!"

Asing, canggung dan bingung. Mungkin tiga kata itu cocok untuk mewakili situasi yang kini tengah dirasakan oleh tujuh manusia berdarah Eropa yang kini berakhir dalam satu atap untuk alasan berteduh.

"Oke guys, bisakah kita mengobrol dengan lebih santai, contohnya menceritakan tujuan sebenernya liburan kalian. Begitu. Jika seandainya kita akan bersama dalam waktu yang lebih lama, itu akan bagus 'kan?"

"Kalau begitu, apa tujuanmu ingin mendaki Gunung Higravstinden, Bisma?" tanya Luther. Ia tahu pria humoris itu mencoba mencairkan suasana yang sebenarnya terasa kurang nyaman bagi semuanya.

"Ohoo!!! seharusnya aku yang menanyakan itu kepadamu terlebih dahulu, tukang rental!" kata Bisma seraya menaikturunkan kedua alisnya.

"Baiklah, aku akan bercerita. Apa kalian akan mendengarkan?" Luther pun menanggapi Bisma dengan santai, tanpa merasa tersinggung dengan panggilan—tukang rental yang dilontarkan pria humoris itu.

"Cerita saja, ku yakini seratus persen semua yang ada di sini merupakan pendengar yang baik. Benar begitu 'kan? Kawan?" Bisma menatap satu-persatu orang yang ia sebut kawan itu. Tanpa balasan kata dari siapapun. Sam hanya mengangguk kecil sedangkan Kristin meniup poninya sendiri dengan malas.

Luther menghelas napas pelan. "Aku datang kemari sebagai syarat tantanganku. Aku memiliki kekasih bernama Diandra, aku akan melamarnya sepulang dari sini. Entah dari mana ide gila itu muncul, aku rasa tempat yang tinggi akan sempurna untuk sebuah potret cahaya Aurora!"

Semua orang yang tadinya nampak tidak tertarik untuk bercakap mulai mengalihkan tatapannya pada orang yang tengah bercerita. Beberapa dari mereka mulai menanggapi cerita Luther, meskipun masih sedikit terlihat acuh tak acuh.

"Perjuanganmu bagus juga, dia pasti salut padamu," ujar Shea. Sebuah pujian yang nampaknya datang dari jiwa seorang pendaki. Beda cerita kalau Luther tidak membahas soal petualangan atau pendakian.

"Sebenarnya aku salut terhadap tekad yang kamu punya, tapi aku kurang setuju dengan alasan konyol yang kamu miliki," ucap Alex, seakan tidak menyetujui ucapan Shea.

"Apa yang perlu dibanggakan? Jelas-jelas dia sendiri mengatakan kalau idenya gila, 'kan?" Kristin merupakan tipe manusia yang suka disanjung, biasanya manusia seperti itu pantang menyanjung orang lain. Orang-orang yang sudah paham tentang karakter seperti itu seharusnya tidak merasa tersinggung ataupun memasukannya ke dalam hati.

Luther mengusapkan tangannya pada wajah. Ia pikir topiknya akan menjadi bahan obrolan seru, atau sekedar basa-basi agar mereka bisa memulai pendekatan lebih jauh. Nampaknya, ide Bisma yang satu ini tidak tepat sasaran, buktinya... Bukan keasyikan yang terjadi di ruangan ini, tetapi sebuah keributan—lagi.

"Make it stop, dia hanya bercerita. Bukan mengajak kalian berdebat!" tegur Samuel. Reylan melirik ke arah Samuel dengan tatapan yang kurang bersahabat, entah berantah apa gerangan yang pria itu pikiran tentang seorang Samuel.

Orang yang memiliki ide untuk memulai percakapan kini malah terdiam dan merenung. Seakan tengah memikirkan sesuatu yang salah.

'Diandra? Praha? Republik Cheko. Haha, lucu sekali.' pikir Bisma.

Suasana menjadi hening kembali, hingga sebuah suara yang kurang semangat menusuk telinga keenamnya.

"Aku merasa rindu rumah?" Seorang penikmat liburan seperti Kristin mengatakan bahwa ia rindu rumah? Yang benar saja. Apa sebenarnya yang salah dengan dirinya. Mood yang buruk karena kejadian di bandara hingga berakhir di tempat ini, sekarang? Atau karena Reylan yang tidak seserius dirinya dalam merencanakan perjalanan.

"Kamu bisa menghubungi keluargamu," sahut Bisma.

Kristin menggelengkan kepalanya. "Aku menonaktifkan ponselku."

"Oww!" Luther sedikit terkejut dengan jawaban Kristin.

"Oh ya, bagaimana dengan kalian, Shea? Alex? Apa kalian sudah membeli kartu perdana negara ini?" tanya Bisma.

"Aku tidak memerlukannya."
"Aku tidak membutuhkan itu!" Dengan tidak sengaja Alex dan Shea menjawab pertanyaan itu secara bersamaan.

Bisma bertepuk tangan saat mendengar keduanya menjawab dengan serentak. "Aku doakan ketika pulang ke Athena nanti kalian jadi pasangan!"

"Siapa yang mau dengan pria aneh seperti dia?" cetus Shea.

"Jangan terlalu percaya diri, Nona. Aku juga tidak berminat sama sekali kepada gadis ceroboh dan over anxiety sepertimu!" balas Alex tidak kalah sengit, namun masih dengan nada biasa dan ekspresi tanpa emosi.

"Kristin, mengapa kamu menonaktifkan ponselmu?" Sam akhirnya angkat bicara, menanyakan alasan tidak logis seorang Kristin yang menonaktifkan ponselnya saat liburan.

"Em, aku hanya tidak ingin diganggu oleh notifikasi yang masuk ke ponselku."

"Benar begitu?" tanya Sam lagi. Namun Luther menginterupsinya ....

"Sebentar, kalian belum menjawab pertanyaanku yang di mobil. Keluarga kalian, apa mereka tahu? Sam? Bisma?"

Sam hanya memberikan jawaban lewat alis yang terangkat.

"Keluargaku tidak akan peduli aku akan pergi kemanapun," jawab Bisma.

"Well, sorry. Bagaimana dengan kalian, Kristin dan Reylan?"

"Orang tuaku tahu aku pergi ke Norway. Lebih tepatnya Oslo. Aku sudah menghabiskan dua hari disana. Aku tidak ingin melewatkan hal yang banyak dituju orang-orang saat liburan ke negara ini, jadi keputuskan untuk kemari. Lagipula visaku berlaku 2 Minggu," jelas Kristin, diikuti anggukan Reylan.

"Miliku satu minggu," kata Luther.

"Punyaku dan Sam juga!" ujar Bisma.

"Shea?" tanya Luther.

"Aku sudah ijin ke pamanku."

"Dan ia mengijinkanmu mendaki seorang diri?"

"Tidak, aku memiliki alibi lain untuk itu."

"Berbohong? Apakah tidak akan terjadi apa-apa?"

"Ya, selama 7 kali terakhir. I'm done."

"You're so lucky!"  ucap Luther sekaligus mengakhiri topik pembicaraan mereka.

"Tolong pikirkan dengan matang dan tentukan keputusan kalian. Aku tunggu jawabannya pagi hari nanti." Sam beranjak dari sofa lalu bergegas pergi ke kamarnya, disusul oleh Bisma dan Luther.

"Sleep well, kawan-kawan petualangku!" Secepat itu Bisma menyabetkan kata 'kawan' kepada mereka. Padahal ia sendiri tidak tahu apakah mereka bersedia menjadi kawannya atau tidak.

Alex bangkit tanpa mengucapkan sepatah katapun, pria itu juga bergegas menuju kamarnya.

"Giselle—"

"Tidak apa, Rey. Kita bisa tetap ikut bersama mereka. Kita akan baik-baik saja. Aku percaya kamu bisa melindungiku," ucapnya dengan nada pelan.

Shea mendengarkan obrolan sepasang kekasih itu dengan seksama, ia dapat mengira-ngira bahwasannya kedua orang itu juga memiliki hal yang tidak beres terhadap perijinan keluarganya.

"Emm, Kristin, aku akan pergi ke kamar. Kapan kau akan tidur?" tanya Shea dengan ragu. Pasalnya, aura rival diantara mereka masih mendominasi, dan kini mereka diharuskan tidur bersebelahan. Basa-basi mungkin bisa sedikit mengurangi ketidaknyamanan, pikir Shea.

"Ya, aku akan segera menyusul!" jawab Kristin. Shea dapat melihat kecemasan berlebihan yang coba ditutupi gadis Spanyol itu.

Lagi-lagi Shea membenarkan posisi syal yang ia gunakan, sambil sesekali mengusapkan tangannya.

Tanpa ia sadari, bercak merah itu tertinggal jelas dan sudah cukup banyak menodai scraf berwarna terang pemberian Alex.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro