Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 1 - Samuel Gioze

January 01, 2018

Lisboa, Portugis.

HAPPY NEW YEAR !!!

Seruan terompet pompa atau biasa disebut Pump Horn bergema dari berbagai arah, seperti sorakan penonton yang tengah menonton babak final Euro Cup di dalam stadion. Ribuan percik cahaya membentuk kembang berwarna-warni, begitu indah menghiasi langit ibu kota.

Di sinilah aku, di atas sebuah perbukitan kecil Lisboa, mendirikan tenda dum berukuran sedang bersama adik perempuanku. Sebenarnya cuaca tengah memasuki musim dingin kali ini, tapi rengekannya sangat sulit untuk ku tolak. Ah, dia memang selalu mengambil kendali atas diriku.

Namaku Samuel Gioze, seorang mahasiswa semester 7 yang baru saja menyelesaikan kesibukan ujian dan segala laporan akhir tahun. Aku tinggal bersama adikku, kedua orang tua kami sudah meninggal saat usia kami masih cukup muda. Keduanya tewas kehabisan oksigen saat pendakian di Gunung Denali, Alaska.

Dua minggu lagi aku akan melakukan sebuah perjalanan jauh, menuju Lofoten, Norwegia. Negara dingin yang bersebrangan dengan kutub Utara.

Aku belum mengatakan informasi ini pada adikku, jika ia tahu, ia pasti akan melarangku untuk pergi. Suhu di sana akan sangat dingin, apalagi puncaknya akhir Januari ini.

Sebenarnya, Lisbon juga sama-sama negara bermusim dingin, suhu rata-rata di tempat ini berkisar 15°C dan malam menuju pagi bisa sampai 4-5°C, itu sudah cukup dingin bagi kami.

"Kita turun pukul 01.30!" ujarku pada Carly saat jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari.

"Mengapa tidak menginap disini saja?" tanyanya. Aku tidak bisa menjamin pagi hari suhunya akan tetap sama seperti sekarang.

"Kakak harus pergi ke kampus, Carl. Pertemuan besok tidak bisa dilewatkan." Alibiku padanya. Padahal aku hanya tidak ingin cuaca malam memengaruhi kondisi kesehatan tubuhnya.

"Tidakkah kamu merasa dingin?" tanyaku lagi. Sendari tadi ia hanya memerhatikan langit di depan kami, padahal letupan-letupan di udara itu sudah mulai berkurang atau hampir tidak ada.

"Tidak, Kak. Ini tidak sebanding dengan apa yang dirasakan Ayah dan Ibu!" jawabnya, aku tidak suka alasan itu, sungguh. Memang baik saat seorang anak mengenang kepergian orang tua, tapi bertindak tidak memerdulikan diri seperti ini bukanlah alasan yang tepat.

"Carly, Kakak tidak akan melarang kamu melakukan apa yang kamu suka. Tapi, jika kamu seperti ini, Kakak tidak akan tinggal diam. Kakak cuma punya kamu sekarang, Kakak tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi padamu."

Carly mengalihkan tatapannya sendunya padaku, aku dapat melihat kesedihan itu dalam matanya. Hembusan nafas panjangnya terdengar hingga ke telingaku. "Akupun hanya memilikimu, Kak. Jangan pergi kemanapun, tetaplah di samping Carly ya!" ujarnya yang kemudian memelukku.

"Kalau begitu kita turun saja sekarang!" titahku seraya bangkit, membereskan beberapa tupperware serta alat pemanggang barbeque di depan tenda. Carly tidak menolak, kurasa ia mencerna dengan baik kata-kataku.

Kami berdua pun segera pulang ke rumah.

***

Pagi hari dengan kehangatan cahaya orange di tungku perapian. Jika ini musim panas mungkin kondisi langit sudah terang benderang, sedangkan hari ini, pukul 07.00 saja langit masih terlihat muram.

"Carly, Kakak berangkat!" teriakku saat selesai menyantap sarapan yang Carly sediakan di atas meja.

"Kenapa pagi sekali?" sahutnya dari arah dapur, ia pasti tengah berkarya merias beberapa cupcake seperti biasa.

"Kakak akan mengunjungi toko, ada beberapa masalah yang harus diurus." Toko yang kumaksud adalah sebuah toko elektronik besar peninggalan Ayah dan Ibu. Aku yang memanajemen usaha itu, mempekerjakan beberapa karyawan untuk mengurusnya. Salah satunya pamanku, adik laki-laki dari ibu.

Kudengar derap langkah kaki yang menghampiri, panggilan Carly menahan pergerakanku saat hendak membuka pintu.

"Ini, tolong berikan pada paman. Aku membuat rasa blueberry kali ini," ujarnya sembari menyodorkan dua buah paperbag. "Yang satunya lagi bawalah oleh Kakak, bagikan juga kuenya kepada kak Juan dan kak Bisma."

"Kamu mencoba menggoda mereka dengan kue-kue ini?" tanyaku padanya, mencoba menggoda.

"Huh." Dia meniup poninya sendiri. "Aku membuatnya cukup banyak, siapa yang akan memakannya jika bukan paman dan teman-teman Kakak?" Ya, dia membuat semua kue itu hanya sebatas hobi, bukan untuk dijual atau hal lainnya.

"Iya, iya baiklah. Kalau begitu Kakak berangkat ya!"

"Dah!"

Aku berangkat menuju toko menggunakan mobil pribadi, salju tipis memenuhi sisi jalan raya yang kulewati. Setelah menyelesaikan segala urusan di toko, akupun melanjutkan perjalanan menuju kampus.

"Bro!" panggil seorang pria yang ku kenal menggunakan jaket hijau di ujung sana. Aku melihatnya dari ujung koridor. Ia melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Namanya Juan Lovito, teman dekatku. Geng kami terdiri dari tiga orang, aku, Juan dan Bisma. Nampaknya, Bisma belum memunculkan dirinya di tempat ini.

"Bagaimana pesiapannya?" tanya Juan. Pergi ke Norwegia merupakan rencana kami bertiga. Liburan mahasiswa berlangsung selama hampir 2 bulan, dengan beberapa tugas yang perlu dikerjakan. Saat kami bertiga tengah berdiskusi, usulan konyol itu berasal dari ide di kepala Bisma.

"Hmm, cukup baik." Segala keperluan memang sudah kupersiapkan, tinggal satu hal lagi yang belum aku lakukan--bicara pada Carly.

"Apa kita benar-benar akan pergi kesana?" tanyanya lagi. Seakan masih banyak keraguan diantara kami.

"Ya, kita akan mengamat langsung Nothern Light dengan mata kepala kita sendiri, lalu mengabadikan moment serta membuktikan teori sebagai salah satu praktek dalam mata pelajaran jurusan Astronomi, sekaligus menjadi orang pertama yang mewakili klub fotografi yang memburu Aurora disana." Itu mungkin alasan terbaik yang bisa digunakan.

"Apa sebaiknya kita mengatakan rencana ini kepada dosen atau ketua klub juga?" Pertanyaan ini pernah kutanyakan pada diriku sendiri. Keduanya memiliki resiko yang sama besar.

"Tidak perlu, kita akan berangkat tanpa sepengetahuan mereka. Bagaimana jika kita berangkat kesana kemudian tidak mendapat hasil apapun? Let's action, keep silent."

Sebuah notifikasi muncul bersamaan pada handphone kami. Itu berasal dari klub Fotografi. Mereka akan mengadakan rapat seusai kelas.

"Bagaimana soal rapat ini? Mereka pasti akan bertanya tentang tujuan kita."

"Katakan saja kita akan pergi ke negara Eropa bagian Utara, tidak perlu dijelaskan tempat apa dan objek apa yang akan kita cari."

"Baiklah, aku akan segera menghubungi Bisma, belum terlihat juga kepala anak itu!"

***

Satu minggu sebelum keberangkatan aku memberanikan diri untuk mengatakan tentang rencana perjalananku pada Carly, aku mengatakan bahwa ini bagian dari tugas praktikum kuliah. Beruntung aku memiliki satu tugas bagian Astrogeografi, itu berhasil membuatku meyakinkannya. Mau tidak mau aku harus tetap harus berangkat, 'kan?. Tetapi, meskipun begitu, aku tetap membaca kekhawatiran besar di raut wajahnya.

"Carl!" panggilku mencoba menyadarkannya yang sendari tadi terlihat melamunkan sesuatu.

"It's ok, Kak. Asal Kakak bisa jaga diri dan kesehatan selama disana. Aku tidak apa-apa disini sendiri, lagipula hanya beberapa minggu."

Aku tahu, meskipun dia berkata demikian, lain lagi dipikirannya. Ia tidak sepenuhnya menatap mataku saat berbicara, bibirnya mungkin tersenyum--tapi tidak dengan matanya.

"Pulang dengan kondisi baik ya!" ucapnya lagi, kemudian melenggang dari hadapanku.

Ada sesuatu yang perlu ku ungkap selama raga ini masih berdiri kokoh. Hidup dengan dipenuhi rasa penasaran sebenarnya terasa menyiksa bagiku.

Setelah kurasa semua persiapan perjalanan ini telah lengkap, semakin gencar keinginanku menginjakkan kaki di tempat itu dan menemukan apa yang ingin kucari selama ini.

'Maaf Carl, Kakak sedikit berbohong.'

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro