05_hopefulness
Padahal hanya dua puluh menit berada di dalam mobil, tetapi kelopak mata Issa yang tidak kunjung terbuka sempurna, sudah cukup menjelaskan betapa netra gadis itu belum terbiasa dengan cerah yang menusuk tepat ketika langit biru memayunginya langsung. Mentari di cakrawala Solo rupanya sedang ingin memamerkan gagahnya. Issa perlu mengerjap beberapa kali sebelum membiarkan sneakers yang dia pakai bergerak lebih jauh memasuki sebuah gang yang tidak sempit, tetapi tidak cukup untuk dibilang lebar. Setidaknya, sampai seberkas suara menghentikan geraknya.
"Brifieng dulu bentar."
Segera saja, Issa memakukan tubuh pada tanah sebelum membawa arah pandangnya berbalik, pada tempat yang menjadi arah suara milik Gyan tersebut. Gadis itu mendekat pada tiga lelaki yang berdiri dekat dengan sebuah motor dan satu mobil terparkir. Rupanya, hanya Issa yang bergerak lebih dulu. Ya, mau bagaimana lagi? Lukisan di sebuah bangunan di depan sana yang tampak mengintip sedikit, terlalu menyita perhatiannya tepat setelah mata cantik gadis itu mampu beradaptasi dengan terik.
Issa menggaruk belakang lehernya sedikit. Salah tingkah. Untung tidak ada yang memperpanjang pergerakan sok tahunya tadi, meski dia dapat menangkap gelagat Raja yang tampak sedang menahan tawanya. Pelototan tentu saja menjadi hal pertama yang Issa berikan. Meski respons gadis itu hanya berhenti di sana, diinterupsi oleh suara Gyan yang segera mengisi.
"Hari ini kita fokus ke pendekatan, biar ke depannya mereka lebih open ketika riset dan pengambilan gambar. Ingat, riset dalam pembuatan dokumenter itu on going research, terus berjalan dari proses perancangan sampai editing nanti. Based on facta, itu alasannya. Kita bakal mengunjungi tempat ini berkali-kali. Jaga hubungan yang baik, biar mereka berkenan untuk provide informasi yang kita butuhkan." Kalimat panjang itu diucapkan Gyan dengan membagi tatapannya pada masing-masing dari mereka, yakni Issa, Raja, dan Yesha.
Bagaimana dengan Visca? Perempuan yang menjadi redaktur politik itu memiliki banyak agenda wawancara. Itu yang menjadi penjelasan absennya eksistensi Visca hari ini.
"Jelas, kan?" tanya Gyan memverifikasi.
"Jelas, Mas." Kompak, respons itu berasal dari Raja dan Issa.
"Aman, Yan." Sedangkan ini suara Yesha, yang ternyata tidak selesai sampai di sana. "Eh, mau ngingetin aja, sih. Kita posisinya sebagai volunteer, ya. Jangan sampe bingung mau apa, pokoknya bantuin pihak Kayu Apu, cek kerjaan peserta, bantuin anak-anak yang lagi belajar baca, atau sekadar tanya-tanya, tapi jangan sampai ganggu. Terus, langsung membaur aja nanti, pengurus yang kita hubungi ke sininya masih nanti soalnya. Intinya, kalian bangun kedekatan sama semua elemen di sana, kayak yang dibilang Pak Director tadi." Di ujung kalimat, Yesha melirik Gyan dengan mengubah nada bicara menjadi memiliki kesan ledekan.
Gyan? Tentu tidak merespons positif. Lelaki itu mendengkus, yang membuat tiga orang lainnya terkekeh geli.
Issa tidak tahu apakah Yesha dan Gyan merupakan teman dekat bahkan di luar pekerjaan. Mungkin, nanti dia bisa menanyakannya kepada Raja. Sebab, menurut gadis itu, Yesha yang tampak santai dan makin ke sini makin terlihat isengnya, akan membuat sebuah pertemanan menjadi lucu jika Gyan yang menjadi partnernya. Mereka terlihat bertolak belakang. Kemungkinan besar, pertemanan mereka tidak akan berjalan dengan teramat datar.
Atau mungkin, Gyan hanya sekaku itu kepada orang yang belum dekat dengannya? Issa tidak bisa mengira lebih jauh. Mungkin, dia akan menemukan jawabannya ketika nanti bisa mengenal Gyan dengan lebih dekat? Kan, masa depan tidak ada yang tahu.
Pikiran itu segera dienyahkan dari kepala sang gadis ketika instruksi untuk bekerja sudah diberikan. Mereka berjalan dengan pasti untuk menuju Rumah Baca Kayu Apu. Jaraknya tidak lebih dari seratus meter dari titik mereka berdiri tadi. Dan sepanjang memangkas jarak tersebut, wajah Issa sumringah bukan main.
"Wuaaah." Satu-satunya gadis dalam rombongan, tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Gambar kayu apu yang tadi hanya terlihat sedikit, kini memanjakan netranya tanpa tedeng aling-aling. Di bagian atas, terdapat tulisan besar "Rumah Baca Kayu Apu" yang menunjukkan identitas bangunan yang menyatu dengan kediaman warga ini.
Issa baru memiki kesadaran untuk mengontrol diri ketika senggolan kecil menyapa lengannya. Itu dari Raja, yang tengah menggenggam kamera.
"Ayo," ajak si lelaki sembari mengarahkan kepala ke pintu lebar tempat Yesha dan Gyan menenggelamkan eksistensinya. Issa tidak membantah, melainkan patuh berjalan ke arah yang ditunjuk Raja sembari melempar senyum pada beberapa pemuda yang terlihat membawa bongkahan tanah liat.
Seiring langkahnya, mata gadis itu tetap beredar meraup segala hal yang tersaji. Di space kecil tepat di depan jendela yang dipayungi atap genteng, baju dengan warna-warni yang coraknya beragam, tergantung rapi. Keberadaannya mengingatkan Issa pada foto yang ditampilkan Gyan kemarin, yakni karya tie-dye. Sepertinya, ini hasil produksi yang sudah mencapai tahap akhir, yakni di jemur dengan tanpa paparan matahari langsung.
Sesampainya di dalam, Issa semakin dibuat terkagum. Mengingat background tempat ini yang diceritakan Gyan kemarin, Issa tidak berharap akan ada warna riuh dan ramai yang hangat. Akan tetapi, kini dia bisa menemui bermacam warna yang menghiasi dinding yang membentuk karakter tradisional hingga modern, menciptakan nuansa artsy yang menyenangkan. Apakah ini karya para warga atau memang hasil tangan pengurus Kayu Apu?
Issa masih membawa matanya berkeliling ketika Raja berucap, "Gue keliling ambil foto, ya, Sa. Lo mau ikut atau ...."
"Gue ke sana aja, deh." Issa memotong kalimat Raja, menunjuk pada arah di mana dia melihat seorang pria setengah baya membawa gerabah kasar.
Raja mengangguk, lalu keduanya saling memisahkan diri.
Bangunan ini tampak seperti bekas tempat produksi. Ruangan paling depan sangatlah lebar, tidak memiliki sekat berupa tembok. Hanya ada lemari besar di pojok ruangan, sepertinya sekaligus dijadikan dinding penyekat perpustakaan dengan sisi lainnya. Jika Issa dapat menebak, ini merupakan ruang kegiatan utama. Di sisi yang berseberangan dengan letak perpustakaan, terdapat tempat yang sedikit lebih tinggi dari sekitarnya. Di sana, terdapat beberapa karpet yang tergulung. Sedang lukisan yang sedari tadi Issa kagumi berdiri sebagai latar belakang.
Gadis itu menghentikan gerak matanya, kembali fokus pada pintu yang dia tunjukkan kepada Raja tadi, sebelum mendekatinya.
Sebenarnya, kegiatan pertama yang Issa tangkap adalah anak-anak yang sedang sibuk dengan buku-buku dan mainan tradisional di sudut yang menjadi perpustakaan. Akan tetapi, gadis itu tidak terbiasa menangani anak kecil.
Namun, ternyata pilihannya juga bukan sesuatu yang sepertinya akan mudah ditangani. Tepat kala Issa berada di ruangan yang ternyata cukup luas itu, bukan hanya meja panjang nan lebar yang menyambut, tetapi juga sepasang mata yang menyorot ke arahnya.
Kaki kanan yang baru saja menyentuh lantai keramik, menjadi sedikit kaku. Mungkin kalau Gyan--sang pemilik manik jelaga itu--menatapnya lebih lama, Issa bisa saja memilih kabur dari sana. Untungnya, Gyan kembali sibuk berbincang dengan seorang pria yang tengah sibuk dengan meja putar untuk membuat gerabah.
Meski masih kikuk, Issa berusaha untuk membaur. Keberadaan Gyan membuatnya hati-hati untuk bertindak. Bisa jadi, kesalahannya akan diperbincangkan di kemudian hari.
Jangan berpikir bahwa Issa sudah melupakan insiden yang menjadi interaksi pertama mereka. Tiap kali melihat Gyan, sebenarnya dia masih terbayang dengan hal memalukan tersebut. Akan tetapi, Gyan yang tampak tidak peduli untuk menyinggungnya, membuat gadis itu bisa lebih santai. Ya, lagi pula untuk apa Gyan menyinggung hal seperti itu? Kalau soal kinerja atau tingkah laku Issa, sih, tidak heran kalau diungkit-ungkit terus.
"Bapak, saya gabung buat lihat, ya," ucap Issa setelah mendekati seorang pria usia empat puluhan yang sibuk dengan bakal gerabahnya.
Pria itu menoleh, lalu tersenyum tipis. "Oh, iya boleh, Mbak."
Obrolan berlanjut, sembari Issa membantu si bapak untuk sekadar mendekatkan gayung berisi air, gumpalan tanah liat tambahan, atau lap kering. Gadis itu jadi tahu, bahwa hari ini sedang ada beberapa latihan, termasuk latihan menjahit dan pembuatan gerabah ini. Namun, para peserta sudah cukup lihai dengan pembuatan gerabah, karena ini bukan pelatihan yang pertama. Pun tidak banyak pelatih dari Kayu Apu yang mendampingi.
"Ndak coba market place, Pak? Biar lebih luas juga pemasarannya."
Issa mencuri pandang ke arah Gyan yang berada di sisi berlawanan dengannya, ketika tanya dari mulut lelaki itu terdengar. Dia berasumsi, Gyan sedang membicarakan pemasaran hasil karya peserta. Toh, tempat ini dibuat dengan salah satu tujuan utama untuk mengangkat tingkat ekonomi warga di sini yang dilekatkan stigma negatif, bukan?
"Kabarnya, sih, memang mau dirintis, Mas. Memang, penjualan tradisional itu sedikit sulit bagi kami. Tahu sendiri, ya, kami dipandangnya seperti apa. Jarang yang mempercayakan uang mereka untuk ditukar dengan hasil karya kami." Si bapak membalas dengan kekehan. Namun, meski berjarak, Issa dapat menangkap gurat kecewa di dalamnya.
"Namanya manusia, ya, Pak. Suka nggak sadar kalau semua orang punya masa depan. Lihat orang lain selalu lewat masa lalu saja." Keduanya tertawa atas ucapan Gyan. "Nanti mungkin saya dan teman-teman bisa bantu untuk transaksi yang online juga. Saya yakin, bakal sukses besar kalau produknya bagus-bagus begini."
Sejenak, pikiran Issa beku, berhenti pada kalimat terakhir Gyan. Lelaki itu sangat gemar menyalurkan optimisme.
Saya percaya kamu mampu.
Kalimat itu terlontar sore kemarin lusa. Kalimat yang menghentikan Issa untuk menggerutu ketika pertama mendapat informasi bahwa Gyan akan menjadi pendamping magangnya. Kalimat yang membuat dadanya menghangat. Kalimat ... yang sekadar mirip pun tidak pernah diterimanya.
Dia mungkin tidak menyadari, tetapi kalimat itu juga membuatnya lebih memperhatikan Gyan dibanding sebelumnya.
Pun kini, ketika lelaki itu mengenakan jaket seusainya kunjungan mereka ke Kayu Apu untuk hari ini. Lelaki itu tampak tidak banyak bicara, tetapi sekalinya berucap sangat teratur dan berisi. Lebih banyak lagi cukup menusuk, jika konteksnya adalah berbicara kepada Issa. Meski sensasi sebal yang sebelumnya bersarang, sepertinya perlahan hilang karena kalimat itu.
"Sa." Raja menarik Issa dari lamunannya.
Gadis itu segera menoleh pada sahabatnya. "Eh? Udah? Yuk." Issa segera mendekat pada mobil yang membawa dia dan Raja ke tempat ini. Namun, belum satu langkah pun dia tapakkan, Raja menghentikan dengan mencekal tangannya.
"Kenapa, Ja?" tanyanya.
"Lo pulang sama Mas Gyan, Sa. Gue sama Mas Yesha mau motret dulu buat jurnalisme foto."
Sontak, Issa melotot mendengar ucapan Raja. Tadi, mereka memang berangkat dengan hanya dua kendaraan untuk alasan kepraktisan. Dia dan Raja menaiki mobil, sedang Gyan dan Yesha menggunakan motor sang director proyek ini. Namun, dia tidak memperkirakan hal ini. Maksudnya ... sikap seperti apa yang harus dia ambil ketika berada di boncengan Gyan selama kurang lebih dua puluh menit?
"Raja-nya tak pinjem sek, ya, Sa."
Kalau Yesha yang entah sejak kapan berada di sebelahnya sudah ikut berucap, bagaimana Issa bisa memprotes?
Alhasil, dia hanya tersenyum dan menyetujui. Langkahnya kini dia ubah untuk mendekati Gyan yang sudah berada di atas motor. Namun, Issa salah fokus ketika mendapati Gyan yang tengah memasangkan headset bluetooth ke telinga kiri. Sedang yang sebelah kembali dia masukkan ke dalam saku.
"Nih," ucap lelaki itu sembari menyodorkan helm kepada Issa.
Sang gadis menerima. Akan tetapi, bukannya langsung mengenakan pelindung kepala tersebut, entah atas dorongan apa dan siapa, Issa justru mengatakan sesuatu yang mungkin akan disesalinya.
"Mas, headset yang satu boleh saya yang pake aja, nggak?"
Benar saja. Hanya berselang detik dari usainya kalimat itu, Issa menggigit bibirnya karena tatapan heran yang Gyan berikan kepada Issa. Lelaki itu bahkan mengurungkan gerakannya untuk memakai helm.
Kontan, dia berniat untuk menarik kata-katanya. "Eh ...."
Akan tetapi, respons Gyan lebih cepat. Tanpa disangka, lelaki itu mengeluarkan headset bluetooth dan mengulurkan kepada Issa. Canggung, sangat. Namun, Issa tetap menerima lalu memakainya, sembari menyaksikan Gyan yang bertindak seolah itu bukan hal yang besar.
"Naik."
Issa menurut, mengisi jok motor sport milik Gyan. Tubuhnya siap dibawa pergi, terutama ketika Gyan membunyikan klakson untuk memberikan kode pamit kepada Raja dan Yesha.
Sepanjang jalan, tidak ada percakapan yang tersisa. Hanya mereka yang berbagi lagu dari headset bluetooth milik Gyan. Sampai lantunan lirik Coastline memenuhi rungu Issa.
"Loh, Mas suka Hollow Coves juga?" Sang gadis berucap refleks, tetapi dia tidak menyesal. Menemukan pendengar band indie satu itu bukanlah hal yang mudah, menurut pengalamannya.
Meski yang dia dapat hanya, "Lumayan."
Ya, Issa seharusnya tidak berharap banyak atas respons Gyan. Namun, gadis itu kembali tersenyum karena ditarik oleh alunan musik yang tengah memanjakan pendengarannya.
"Seleranya bagus." Gumaman itu tidak terdengar oleh Gyan, tetapi mega merah Surakarta jelas tidak memberinya abai.
Kayu apu tuh iniii. Di part depan-depan, insyaallah aku jelasin filosofinya. Sekarang aku kasih gambarnya dulu biar bisa bayangin bentuk lukisan yang dimaksud Issa hehe.
Part ini nggak perlu glosarium kan, ya?
February 26, 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro