03_opposite
"Oooh, I'd be nothing without you. Oooh, there'd be no song without you, without youuu."
Mobil yang ruangnya tak seberapa, kini dipenuhi dengan suara lantang Issa, yang langsung heboh saat lagu HONNE mengalun dari audio mobil yang sudah tersambung dengan Apple Music-nya. Seolah hari kemarin tidak pernah ada, senyumnya merekah lebar. Di pelukan gadis itu terdapat sebungkus besar tortilla chips dan kripik kentang berkemasan karton dengan karakter berkumis sebagai ikon merknya.
Issa sangat beruntung, karena kali ini Nadya tidak ikut serta karena agenda perdananya dengan rekan di tempat magang. Sebab, jika malam ini gadis itu juga turut berada di dalam mobil bersama dirinya dan Raja, sudah pasti Issa akan mendapatkan setidaknya dua ocehan. Pertama, karena lagu bergenre alternative atau indie yang terputar dan dinilai membuat ngantuk oleh Nadya, serta suara sang gadis yang melengkingnya bukan main.
Kalau Raja, sih, tidak banyak protes. Pun meski dia bukan penikmat musik indie, Raja membiarkan saja Issa menyetel lagu-lagu kesukaannya itu. Walaupun agenda carpool karaoke ini menjadi milik Issa sepenuhnya, sedang Raja hanya bergumam sedikit sebab tidak terlalu hafal lirik. Tidak seperti Nadya yang terus berebut untuk mendengarkan melodi lantunan Taylor Swift, yang kata Issa, "Pathetic bener, hobi kok ngajak galau orang satu dunia."
"Eh, kaki lo jangan naik, Sa. Gue baru cuci mobil luar dalam."
Ya, kalau Raja, sih, paling protesnya terkait kebersihan dan kerapian. Snack yang tidak boleh jatuh, jendela yang harus dibuka jika memakan sesuatu yang baunya menyengat, atau menurunkan kaki dari dasbor seperti yang baru saja dia peringatkan.
Issa pun segera menuruti titah itu. Entah kenapa, meski sudah hafal dengan tabiat Raja yang seperti ini, dia dan Nadya tetap saja melakukan hal-hal yang dapat mengganggu keseimbangan kerapian dan kebersihan mobil Raja.
"Kayaknya kalo disuruh milih ngasih tumpangan gue yang abis nyemplung ke comberan atau ninggalin gue diketawain setiap orang di jalan, lo bakal milih yang kedua saking nggak maunya Dimy kotor," kata Issa sarkastik.
Dimy itu nama mobil Raja, berasal dari kata diamond.
"Udah pasti nggak, sih?" Raja membenarkan, membuat Issa melemparkan bantal leher ke arah lelaki itu.
"Tega!"
Tawa menjadi sahutan yang diberikan Raja. Namun, bukannya cemberut, Issa justru ikut terkekeh. Mood-nya sedang sangat baik hari ini. Rasanya, dia ingin tertawa sepanjang waktu, tidak peduli meski bibir gadis itu akan sobek. Bahkan saat Raja sudah meredakan tawanya pun, Issa masih setia dengan kekehan-kekehan kecilnya.
Sampai Raja berucap, "Udah kenapa, Sa. Kering gigi lo, cengengesan mulu dari tadi."
Issa menoleh, masih dengan raut sumringah. Sebelum kembali menerawang ke depan sembari berujar, "Seneng banget tau, Ja!"
Tak berselang detik, Issa dapat melihat dari sudut mata bahwa Raja membagi tatap padanya dan jalanan malam di hadapan. "Seseneng itu?"
Anggukan semangat yang menjadi respons.
"Then, why didn't you choose journalistic instead?"
Tidak ada yang salah dengan pertanyaan Raja. Di kampus mereka berkuliah, Jurusan Ilmu Komunikasi--jurusan mereka saat ini--memang memiliki dua konsentrasi yang bisa dipilih di semester empat, yakni Jurnalistik dan Komunikasi Strategis.
Logikanya, jika Issa sebegitu tertariknya dengan jurnalisme, dia harusnya memilih Jurnalistik dibanding Komunikasi Strategis yang lebih berfokus pada penggunaan komunikasi untuk mencapai benefit tertentu, bukan?
Namun, pada kenyataannya Issa juga bingung. Tidak ada jawaban yang kunjung dia berikan, selain hening akibat lenyapnya sisa tawa sang gadis.
"Uhm ... sorry for asking. Just forget it, Issa."
Issa selalu beruntung karena lelaki di sebelahnya adalah Raja. Tidak perlu bertanya seberapa peka lelaki itu soal suasana. Buktinya, sekarang pun dia berinisiatif memangkas perasaan tak nyaman yang menguar dari Issa meski tidak dikatakan.
Senyum milik Issa kembali tertarik. Tangan yang semula menggantung di atas kemasan makanan ringan, kini bergerak masuk untuk mengambil beberapa keping keripik kentang.
"Aaa." Bahasa nonverbal itu menjadi isyarat bahwa Issa ingin agar Raja membuka mulut dan menerima suapannya.
Sang lelaki tidak menolak, membuat suara renyah terdengar sebab kunyahan berlangsung di dalam mulutnya. "Thank you," ujar lelaki itu.
Sedang Issa termenung sembari menatap raut tenang Raja yang dihiasi senyuman. "Sorry for not telling you much about myself."
Baik dengan Nadya atau Raja, Issa memang cenderung menghindari topik personal. Bukan sekali dua kali Nadya memberinya helaan napas panjang ketika Issa terlihat tidak baik-baik saja, tetapi Nadya merasa tidak bisa membantu apa pun karena memang dia tidak tahu-menahu masalah apa yang mungkin dihadapi Issa.
"No worries. Sometimes, some things are better left unsaid."
Raja, Raja. Lelaki itu bukan main baiknya. Issa bahkan tidak mampu memberikan jawaban apa pun, melainkan melamunkan betapa beruntungnya dia memiliki Raja sebagai sahabatnya.
"Udah, ah. Let's just sing like crazy! Atau gue minta bayaran ke lo karena udah maksa buat carpool karaoke di weekdays, buat ngerayain bergabungnya lo di tim, tapi malah mood-nya rusak."
Issa terkekeh. Tangannya segera bergerak menyentuh layar head unit. Layar terus bergulir, sampai Issa menemukan satu lagu yang dia inginkan dan menekan tombol putar.
"Lo nggak boleh protes!"
Prelude A Man Who Can't Be Moved yang dilantunkan The Script tertutup karena seruan Issa. Sedangkan Raja hanya menghela napas pasrah. Issa tahu betul, Raja sangat membenci lagu ini. Lagu paling bodoh dan pathetic katanya.
"Terserah lo, terserah."
Issa tertawa keras karena respons itu. Pun ketika Raja mengusak rambutnya, lalu membawa punggung tangannya turun dan bersinggungan dengan pipi sang gadis. Issa hanya menjauhkan kepalanya sedikit, menghindari usapan punggung tangan Raja karena rasa geli.
Namun, tawanya tak hilang. Dia senang. Dia suka afeksi dari Raja.
Baiklah. Biar hari ini berjalan dengan baik sampai akhir. Biarkan kesenangan sejak di kantor tadi semakin sempurna dengan menghabiskan beberapa jam ke depan bersama Raja.
***
Dari jarak beberapa meter, helaan napas Gyan dapat terdengar dengan jelas. Buktinya, Yesha sampai memberikan tatapan heran kepada lelaki yang akan menginjak usia 26 dalam beberapa minggu.
"Kowe ditugasi buat mendamaikan konflik Rusia-Ukraina opo piye, Yan? Perasaan berat banget hidupmu," Yesha memecah hening di ruangan besar Navigasi Media tempatnya bekerja sehari-hari, yang tidak sedang diisi oleh para pekerja media mengingat matahari sudah terbenam sejak tadi. Akan tetapi, yang didapatnya hanya lirikan singkat dari Gyan.
Lelaki itu pun mendengkus dan memilih fokus pada beberapa berkas yang akan dibawanya pulang. Memilih mengabaikan lelaki yang berada di kubikel paling ujung depan itu, sementara dia berada di ujung yang berlawanan.
Sementara itu, Gyan sama sekali tidak berminat dengan kegiatan mengetiknya. Suasana hatinya sangat buruk hari ini. Hingga tanpa sadar, dia mengentakkan mouse dengan cukup keras dan lagi-lagi membuat Yesha menoleh.
Namun, berbeda dengan sebelumnya, kali ini Gyan yang berbicara terlebih dahulu.
"Ini Pak Fatwa ide dari mana, sih, segala masukin anak magang ke tim project? Kenapa nggak masukin Mas Hilal atau Mbak Vindy aja yang jauh lebih profesional?"
Sejak rapat siang tadi, Gyan memang beralih menjadi mode menyeramkan, meski suasana buruk hatinya itu dia tanggalkan ketika melakukan liputan. Tentu saja, alasan profesionalisme. Akan tetapi, semakin dipikirkan, dia semakin tidak habis pikir dengan keputusan Pak Fatwa. Bukankah Anugerah Dewan Pers itu ajang besar? Mengapa justru memasukkan orang-orang amatir ke dalam tim delegasi?
"Biarin aja, sih. Itung-itung mereka belajar." Yesha menanggapi dengan santai.
Hal itu justru membuat Gyan semakin tersulut. "Kok kamu santai banget? Nggak punya motivasi menang? Mending ngundurin diri aja kalo gitu."
Gyan ini kalau berbicara memang tidak ada filternya. Kalau Yesha tidak mengenalnya dalam waktu yang lama, sudah tentu keributan yang akan terjadi. Akan tetapi, untungnya Yesha sudah terbiasa dengan mulut yang halal untuk digampar itu.
Yesha menarik napas panjang. Tangannya sudah berhenti bekerja karena beberapa berkas yang dia butuhkan sudah dimasukkan ke dalam tas dan siap dibawa pulang.
"Gini, ya, Mas Gyan yang terhormat. Kamu kalau nggak terima ya sana bilang ke bosmu itu. Tanya langsung kenapa keputusannya gitu." Tidak ada jawaban dari Gyan. Yesha melanjutkan kalimatnya sembari mencangklongkan tas ke pundak. "Lagian Raja iki. Kamu yo udah tahu kalo anaknya emang jago fotografi sama videografi."
Raja, sih, tidak terlalu menjadi masalah. Gyan juga mengakui itu. Akan tetapi, tidak dengan gadis itu.
"Wes, aku balik dulu. Nggak usah pulang malem kowe, Yan. Dibegal kapok."
"Mulutmu."
Yesha tergelak sembari berlalu meninggalkan ruangan itu. Sementara Gyan memijit pelipisnya. Satu, karena artikel lifestyle yang semua informasinya lebih mirip seperti ajang flexing si narasumber, dan dua, terkait susunan tim untuk Anugerah Dewan Pers.
"Gabung, Yan. Kalau tim kita bisa juara, berapa pun itu, kamu saya kasih kesempatan naik posisi ke redaktur atau malah kepala."
Itu yang dijanjikan oleh Pak Fatwa ketika membujuk Gyan agar mau bergabung dengan project untuk awarding itu. Gyan menerimnya, tentu saja. Lagi pula, lelaki itu punya kehidupan yang harus dihidupi. Tidak hanya kehidupan dirinya, tetapi juga keluarganya. Mengandalkan penghasilan dari menjadi staf hanya akan menyulitkan diri sendiri.
Sedang selama ini, kesempatan promosi tidak pernah datang. Bukan karena Gyan tidak kompeten, tetapi karena banyak atasan yang tidak menyukainya. Bahkan, dia dimutasi secara sepihak ke Divisi Lifestyle meski Investigasi dan Sosial-Politik adalah kompetensinya. Jangan tanya kenapa. Gyan bahkan ingin melupakan saja segala memori di baliknya.
Lalu, dengan tanpa diskusi, Pak Fatwa memasukkan dua anak magang ke dalam tim yang hanya akan berisi lima orang. Gyan bisa berharap sejauh apa?
Perlahan, ingatannya terlempar pada kemarin lusa. Pada gadis yang akan satu tim dengannya dan sialnya memiliki perangai yang tidak disenangi Gyan. Penggerutu. Lelaki tidak yakin performa timnya akan baik jika seperti ini. Gadis itu pasti akan menyebabkan masalah.
Kalau begitu, bukankah keputusannya untuk tergabung dalam tim akan sia-sia? Dia bahkan semakin kesal ketika mengingat kesempatan promosi yang diberikan Pak Fatwa.
Sekali lagi, Gyan menggeram dan menekan keyboard dengan hiperbolis hingga tercipta suara nyaring.
Dan ketika kepala lelaki itu sedang panas-panasnya, ponsel yang berada di samping mouse menyala. Getaran terasa, berikut dengan dering yang hadir. Terlukis satu nama di sana, yang membuat Gyan mampu menormalkan deru napasnya.
Tidak menunggu lama, dia menggeser ikon hijau untuk menjawab panggilan.
"Iya, Bu?"
Dia tidak boleh menjadikan kesempatan ini sebagai kesia-siaan. Tidak, setelah mendengar suara dua perempuan dengan jarak usia yang teramat jauh di seberang sana.
Ah, lucu sekali. Satu kabar di hari ini, ternyata menuai dua reaksi yang jauh bertolak belakang dari dua manusia yang terlibat di dalamnya.
Kowe: Kamu
Iki: Ini
Opo piye: Atau gimana
***
Cast unlocked
Nakamoto Yuta NCT 127 on Instagram yuu_taa_1026 as Yeshaya Adibara
Hai! Mind to share your opinion about this part? Hihi
February 19, 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro