Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02_party pooper

"How about yours, Issa?"

Sendok yang semula hendak ditarik dari mulut, kini tertahan dengan bibir atas dan bawah yang mengapit. Mata Issa melebar, membagi tatap pada Raja di depan sana dan Nadya yang duduk tepat di sebelahnya. Dua orang yang sama-sama memusatkan pandang pada Issa.

Saat ini, mereka sedang duduk lesehan bertiga di sebuah angkringan di bawah langit Solo dengan keramaian yang tidak perlu lagi dipertanyakan. Ketiga orang itu pun turut menyumbang keramaian dengan topik perbincangan seru yang mengudara. Ah, sebenarnya hanya Raja dan Nadya yang berceloteh, sedangkan Issa aktif mengisi piring rotan berlapis kertas minyak dengan berbagai macam sate-satean. Lalu melahapnya hingga tidak sadar sudah sampai pada tusukan keberapa. Padahal, satu bungkus nasi kucing dengan porsi maha kecil miliknya saja belum habis juga.

Pasalnya, dia tidak mau merusak keseruan kedua sahabatnya yang tengah antusias menceritakan kegiatan mereka di hari pertama magang. Issa mendengarkan, kok. Sebisa mungkin, dia juga tidak menampilkan raut negatif guna menghargai keduanya.

Makanya, ketika pertanyaan itu dilontarkan oleh Raja, dia sibuk memproses dan tak kunjung menemukan respons yang tepat.

"Yeee, malah kayak orang ilang gitu ekspresi lo." Nadya menyambar, saat Issa tidak kunjung memunculkan jawaban. "Tadi aja ngerusuh ke gue."

"Hah? Rusuh kenapa? Seharian tadi gue nggak di kantor." Sang pemuda kelahiran Solo yang masih saja kagok mengucap kata 'gue' itu tampak kebingungan. Memang, tadi mereka tidak pulang bersama meski magang di tempat yang sama, sehingga sang gadis belum sempat menceritakan apa pun.

Lagi-lagi, Nadya yang menjawab. Kali ini dengan dagu yang diarahkan pada Issa. "Nggak tahu, tuh, suruh cerita sendiri. Awalnya neror gue, giliran jam kantor abis, disuruh cerita malah bilang jangan chat dulu."

Ya bagaimana mau bercerita kalau gadis itu sudah tidak memiliki sedikit pun tenaga karena peristiwa memalukan yang menimpanya? Bahkan, sekarang pun rasa lesu itu masih ada.

"Kenapa?"

Namun, akhirnya Issa mengalah. Dia menelan sisa makanan di mulut dan meletakkan sendok di piring, bergabung dengan sate usus yang tersisa setengah.

"Am I a party pooper if I say I had a bad day?"  tanya itu terlebih dahulu terlontar. Matanya diarahkan pada Raja.

"Of course no!" Nada yakin diberikan oleh Raja. Kernyitan diberikan, mewakili rasa keberatan karena Issa berpikir demikian.

Kini, Issa beralih pada Nadya dan dihadiahi kedikan bahu. "You already said it, by the way."

Refleks, Issa melengkungkan bibir, walaupun dia tahu betul bahwa Nadya memang lekat dengan hal menyebalkan seperti ini. Tidak ada maksud lain.

Namun, hal itu tetap mampu membuat Raja melontarkan teguran pada Nadya, temannya sejak SMA. "Nad ...."

Nadya menjauhkan gelas dan memundurkan badan kala mendapati Raja dan Issa menatap dramatis ke arahnya. "Ebuset. Iye iyeee, buru cerita. Lo nggak usah sok serem gitu, Ja."

Kekehan mengudara. 

"So Issa, go on," ungkap Raja setelah selesai dengan tawanya.

Issa menghela satu napas, sembari memainkan bekas tusuk sate di depannya. "It was a bad bad day!"

Mengalirlah kisah seharian ini. Issa yang semula lesu, menjadi menggebu, terutama ketika sampai pada insiden gerutuannya didengar oleh salah satu staf yang sampai sekarang tidak dia ketahui namanya dan teguran pedas yang harus Issa terima. Namun, ucapannya memelan dan bahu kembali lesu ketika dia sampai pada ....

"Anjrit, celana dalem?!"

Demi Tuhan, suara Nadya kencangnya bukan main, membuat Issa melotot lebar dan cepat-cepat mencubit paha gadis itu. Bagaimana tidak? Angkringan di Kota Solo hampir jarang sepi, termasuk yang sedang mereka tempati dan Nadya dengan bodohnya mengundang atensi. Dengan frasa yang memalukan lagi!

"Mulut lo, Nad, Allahu Akbar, nyerah banget gue." Issa menggeram dengan leher kaku, tidak berani menatap sekitar. Hanya Nadya yang diberinya tatap penuh peringatan.

Kadang Issa bingung. Kalau warga Solo disimbolkan dengan kehalusan, maka seharusnya gadis ini didepak dari kota kelahiran jauh-jauh hari. Saat pertama bertemu di hari orientasi pun, Nadya tidak ada halus-halusnya, meski aksen medok masih kental di sana. Ah, sudahlah. Cukup sampai di sini mempersoalkan stereotip Kota Solo, sebab bukan itu poin utamanya.

Nadya menutup mulut, tetapi tawa heboh tidak hengkang dari mulutnya. Meski begitu, kali ini dia menurut untuk menurunkan volume suara. "Ya lagian lo ... bisa-bisanya anjrit kepergok sama cowok? Dia juga pasti bingung mau respons apa."

"Ya mana tau bakal kepergok? Orang gue emang lagi mau beli cel ...."

Satu dehaman memutus ucapan Issa, membuat kedua gadis di sana menyadari bahwa ada seorang lelaki yang terlibat dalam percakapan ini.

"Oh iya, lo cowok juga, ya, Ja." Kalimat itu yang Nadya berikan sebagai balasan dari dehaman Raja.

Sedang Issa sudah keburu kesal karena respons Nadya tadi. "Udah, ah. Jadi tengsin lagi gue kalo inget. Skip. Sekarang mending kalian bantuin gue mikir, harus cari kesibukan dengan cara apa kalo besok tetep sama."

"Lo tuh bersyukur, Sa, elah. Ada gitu, orang dikasih enak malah minta kerjaan?"

Issa berdecak karena ucapan Nadya. "Ish. Kalo nggak dikasih kerjaan, bisa-bisa gue tidur. Lagian, sia-sia banget kalo gue magang dan nggak dapet apa-apa, padahal gue udah ikhlasin kesempatan buat ikut project LPM."

"Ya suruh siapa impulsively magang sekarang? Padahal udah mepet sama jadwal dan nggak ada perusahaan yang open lagi. Coba kalo Raja nggak punya relasi ke tempat magang lo sekarang, pasti nggak dapet instansi lo, Sa." Issa cemberut, karena Nadya benar. "Dan lo tahu, ini kantor berita, pastinya yang bakal banyak kerjaan tuh anak jurnalistik. Sementara lo anak strategis. Ngarep sibuk gitu? Aneh bener."

"Hus ... udah, udah."

Ya, fungsi Raja memang selalu menjadi penengah. Walaupun Issa dan Nadya tidak pernah benar-benar bertengkar serius, tetapi keributan akan berlangsung lama jika Raja tidak ada.

"Project LPM tuh yang buat lomba Dewan Pers kan, Sa?"

Issa mengangguk, meski rautnya belum berubah, buah percakapannya dengan Nadya.

Sementara Raja mengangguk. "Tadi gue dapet bocoran dari Mas Yesha, Navigasi juga bakal ngirim beberapa delegasi buat Anugerah Dewan Pers. Katanya, di tim media, anak magang bakal diikutsertain, kalo emang ada yang punya kualifikasi. Rapatnya besok. Gue nggak tahu mereka bakal liat anak magang dari segi apa, tapi lo coba persiapan sebisa lo, siapa tau besok dimintai pendapat pas rapat."

Sepertinya, Issa tidak pernah sebahagia ini sejak dia melepaskan keinginannya untuk menjadi bagian dari project LPM dan memilih magang untuk memenuhi beban studi Kuliah Kerja Praktik atau KKP, berkat suruhan tersirat ayahnya.

"Aaa, Raja my loveee, thank you!"

***

"Kenapa kamu punya ide buat mengangkat budaya, Keissa?"

Issa meremat telapak tangan ketika Pak Fatwa, sang pimpinan redaksi Navigasi Media, memberikan pertanyaan lanjutan setelah Issa mengungkapkan idenya tentang produk jurnalisme yang bisa dikirimkan dalam Anugerah Dewan Pers.

Tidak semua orang berada dalam rapat ini, hanya beberapa orang yang mungkin merupakan tim inti dalam project nanti dan lima orang mahasiswa magang termasuk Issa dan Raja. Mereka semua melingkari meja rapat panjang, sedang Pak Fatwa berdiri di sebelah monitor besar yang menampilkan petunjuk pelaksanaan Anugerah Dewan Pers.

Benar kata Raja, anak magang memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari project ini. Issa mungkin beruntung, karena di antara lima anak magang dari berbagai perguruan tinggi, gadis itu menjadi yang pertama dapat memenuhi permintaan Pak Fatwa untuk mengungkapkan ide.

Issa mengambil napas, sebelum bersiap berucap. "Maisie Junardy, seorang penulis novel fantasi pernah mengatakan kalau budaya itu adalah kisah tanpa akhir. Selalu ada yang baru. Sehingga saya berpikir bahwa budaya Solo yang kaya ini lama-lama akan tergeser karena budaya kontemporer semakin banyak dan terus berkembang. Salah satu cara agar hal itu tidak terjadi adalah dengan memfamilierkannya, sampai pada tahap diadaptasi menjadi gaya hidup. Kuliner di Pasar Gede bisa menjadi contoh, atau saya juga punya kenalan pemilik butik fashion modern dengan sentuhan tradisional Solo. Dari perspektif saya, jurnalis bisa menjalankan fungsi kontrol sosial dalam hal budaya dengan menggarap karya bertema demikian."

Pak Fatwa tersenyum, kemudian menjentikkan jari. "Oke, good point, Keissa."

Di sebelahnya, Raja juga menyenggol siku Issa karena mereka duduk bersebelahan. Sang gadis menoleh, membuatnya mendapati senyum sahabat lelakinya beserta acungan jempol.

Pembahasan berlanjut ke hal lain, tetapi Issa sudah amat senang dengan respons yang sepertinya sangat baik itu. Hingga setelah banyak hal diperbincangkan, Pak Fatwa kembali pada peserta magang.

"Oke. Saya belum bilang sebelumnya. Jadi, kalian diminta ikut di rapat ini karena kita ingin memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk tergabung dalam project yang terbilang cukup prestisius, apalagi kalau nanti menang. Kita juga butuh pemikiran segar dari rekan-rekan mahasiswa, karena bagaimanapun kalian adalah generasi yang sangat krusial dalam perkembangan jurnalistik. Karenanya, saya mohon kesediaan beberapa dari teman-teman. Tidak semua, ya, karena jumlah maksimal tim yang memang terbatas. Tetapi, jangan khawatir, kalian bisa belajar dari project lain."

Jantung Issa berdegup bukan main. Ini adalah inginnya sejak pertama dia tahu bahwa Dewan Pers mulai melibatkan mahasiswa dalam penghargaan bergengsinya. Walaupun dia tidak pernah terpikirkan akan tergabung dengan para jurnalis dan bukannya rekan-rekan di LPM.

Dari sebelah, dia merasakan genggaman pada punggung tangan yang diletakkan di atas paha. Itu Raja.

"Calm. You'll be one of them."

Benar saja. Suara yang terdengar selanjutnya adalah Pak Fatwa yang menyebut nama Issa dan juga Raja. "Selamat bergabung dan bekerja sama dengan tim."

Gadis yang sempat menghadap ke depan itu, kembali menoleh pada Raja secepat kita. "You too, Mr. Superbly Photographer!" pekiknya tertahan.

Sedang Raja hadiahi dirinya dengan senyuman.

"Sekali lagi, teman-teman magang yang lain tidak perlu berkecil hati, ya." Pak Fatwa mengedarkan tatap, sempat beradu pandang dengan Issa juga sebelum lanjut berucap, "Ada yang mau disampaikan sebelum saya tutup?"

Issa menggeleng, dengan senyum yang belum juga tanggal. Dia tidak sempat memperhatikan sekitar, apakah ada orang yang angkat tangan sebelum suara Pak Fatwa kembali terdengar.

"Gimana, Yan?"

Di detik itu, Issa menoleh pada arah pandang Pak Fatwa dan menemui seseorang yang baru saja menurunkan tangannya. Orang itu, batinnya sambil menggigit bibir bawah. Eksistensi seseorang yang dipanggil "Yan" itu sedari Issa abaikan, sebab dia tidak memiliki muka bahkan untuk sekadar menatap tanpa dibalas. Akan tetapi, sekarang secara refleks Issa justru menolehkan kepala ke arahnya.

"Pesan aja, Pak, untuk temen-temen mahasiswa, khususnya yang tergabung di project, jangan berpikir kalau temen-temen jurnalis punya tugas buat memenuhi ekspektasi kalian. Kita di sini bekerja sama-sama. Semuanya punya tanggung jawab untuk menggarap project dan mencari apa pun yang dimau, selama positif. Kalau apa yang dicari belum ketemu, ya inisiatif cari. Kalau mau belajar, ya dekati yang kiranya bisa kasih pembelajaran. Jangan malah minta dihampiri, apalagi disuapi." Lelaki itu berujar panjang lebar. Tatapannya lurus ke depan, tidak bisa dibaca ekspresinya, meski nada bicara sudah dipastikan bergerak dengan datar.

Familier, apalagi kalimat terakhir. Issa tidak mau gede rasa, tetapi dia tidak bisa menyangkal pemikiran bahwa sepertinya Yan-Yan itu tengah menyindirnya.

Di depan, Pak Fatwa tampak tertawa canggung. "Oke, oke. Thank you, Yan. Raja sama Issa, jangan dijadikan tekanan, ya. Enjoy saja, hitung-hitung cari pengalaman. Begitupun sama Mbak-Mas yang lain, enjoy aja magang di sini, ya."

Semua peserta magang mengangguk, termasuk Issa, meski dia melakukannya dengan kaku. 

Sampai Raja menepuk sikunya beberapa kali. Kala sudah bertatapan, lelaki itu berbisik, "Mas Gyan tuh, party pooper."

Mas Gyan? Siapa itu? Issa tidak tahu. Akan tetapi, jika dia adalah orang yang sama dengan si Yan-Yan tadi, maka Issa setuju.

Gadis itu menatap pada lelaki dengan panggilan 'Yan' yang tengah berdiri dan bersiap meninggalkan ruangan setelah Pak Fatwa menutup rapat. Dasar Mas Gyan party pooper! batinnya kesal.

GLOSSARIUM

Strategis atau Komunikasi Strategis: Mengacu pada seni dan ilmu mempengaruhi peristiwa untuk mendapatkan hasil strategis (marketing, public relation, politic campaign, dll)Dalam hal ini, ilmu komunikasi digunakan untuk tujuan yang berhubungan dengan bisnis, brand, perusahaan, dan lainnya. Di cerita ini, Komunikasi Strategis adalah konsentrasi atau peminatan yang dipilih Issa di dunia perkuliahannya.
Anugerah Dewan Pers: Program apresiasi atau awarding yang diberikan oleh Dewan Pers kepada jurnalis, masyarakat, perorangan, media, hingga pemerintahan dalam usahanya berkontribusi dalam jurnalisme berkualitas. Tentu, dalam cerita ini terdapat bumbu fiksi yang dicantumkan, tidak sepenuhnya berdasarkan realitas.

**Sebenernya bakal aku jelasin sambil jalan, sihh. Tapi kalo kamu keganggu karena asing sama istilah/situasi tertentu, tanyain aja, yaaa. Nanti aku jawab hehe

***

Cast unlocked
Na Jaemin NCT Dream on Instagram na.jaemin0813 as Raja Rince Zacharias

Ini kepanjangan gak siiii?

February 13, 2023.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro