5. Luka
Tubuh Razavi terperanjat, bangun dari ranjang. Ia mengusap wajah yang terasa basah. Menatap ke sisi kiri melihat siapa yang membangunkannya dengan cara menyiram dengan air. Ia bangkit dari duduk, berdiri sembari menunduk dalam. Bulu kuduk kini berdiri merasakan amarah tertahan dari sang papa.
"Apa karena kakak gilamu itu, kamu jadi bangun ke siangan?" Rayhan mendelik, menggulung tangan kemeja sampai siku.
Razavi tak menjawab. Pandangannya mengedar mencari sosok sang kakak. Semalam, ia baru bisa tertidur di pukul dua dini hari. Sesudah menyelesaikan perintah Rayhan, belum lagi mengerjakan tugas power point untuk dipresentasikan sekarang.
"Kakak enggak tidur sama Zavi, Pa," elak Razavi berbohong.
Rayhan menarik sudut bibir membentuk senyuman remeh. Berjalan mendekat ke arah Razavi. Mengangkat wajah anak laki-laki itu agar ia leluasa menatap manik mata yang sama seperti dirinya. Binar jernih dan penurut dari manik mata anak itu. Rayhan sangat suka pada anak itu, berharap kalau Razavi bisa me jadi sepertinya. Tidak seperti Rezky, lelaki paruh baya itu sungguh kecewa pada anak pertamanya.
"Kamu pikir bisa bohongin, Papa?"
Pernyataan itu membuat Razavi merinding seketika. Suara sang papa terdengar tak bersahabat. Pikiran Razavi terbelah menjadi dua. Bingung harus menjelaskan bagaimana dan khawatir mengenai kondisi sang kakak sekaligus bertanya-tanya ke mana perginya Rezky.
"Jangan bertindak bodoh, Za. Kamu sama kakakmu itu sudah berbeda. Rezky sekarang, bukanlah Rezky yang kamu kenal dulu. Dia sudah gila," lanjut sang papa sembari mengguncang pelan bahu Razavi.
"Kakak kayak gitu juga karena perbuatan Papa," batin Razavi.
Mulut Razavi terkatup rapat. Tak mendengarkan dengan benar apa yang diucapkan oleh Rayhan. Ia hanya menatap mulut lelaki paruh baya itu dengan perasaan campur aduk. Terlebih lagi jika kalimat yang terlontar selalu merujuk pada sang kakak. Membuat emosi Razavi berkobar saja mendengarnya.
"Pa!"
Lama berdiam dan sang papa hendak keluar dari kamar, Razavi kembali bersuara. Menunduk menatap lantai. Tangan laki-laki itu mengepal, mengumpulkan sedikit keberanian dalam benak. Ia ingin sekali melontarkan satu pertanyaan yang terpendam di hati sejak dulu. Namun, ia tidak berani melontarkan pada sang papa.
"Apa? Kamu ingin membela kakakmu lagi? Sudah tidak ada harapan buat Rezky sembuh," ujar Rayhan apatis.
"Papa tau apa? Bukannya Papa sendiri yang memberhentikan pengobatan kakak? Papa yang enggak punya harapan buat ngeliat kakak sembuh. Papa terlanjur malu 'kan punya anak yang disangka gila kayak kakak?"
Deru napas Razavi tak beraturan. Setiap kata yang terucap ialah berasal dari dasar hatinya. Ia menatap ragu sekaligus takut pada Rayhan. Emosi yang sedari ditahan, kini terlampiaskan dengan berbagai ucapan dari dasar hati.
"Kamu menyalahkan Papa di sini? Kalo seandainya dia mau nurut. Ya, enggak akan kayak gini. Salah dia sendiri, yang jadi gila!" bentak Rayhan yang tak ingin disalahkan.
Razavi mengulas senyum kecut. Sudah menduga jawaban apa yang akan didapat dari Rayhan jika sudah membahas tentang Rezky. Pandangan Razavi mengedar ke sudut ruang kamar. Menarik napas serta mengembuskan dengan pelan.
"Selama ini Papa pernah ngertiin perasaan anak Papa sendiri enggak, sih?"
"Apa selama ini kamu ngerasa Papa tidak pernah mengerti tentang dirimu dan Rezky? Papa ngerti dan Papa ngelakuin hal baik untuk kalian berdua."
"Dengan cara maksa dan mengendalikan hidup kita?" Tatapan Razavi begitu dalam menatap pada manik mata sang papa.
Keluhan dari dasar hatinya kini tersampaikan begitu saja. Razavi lelah, ia ingin sekali didengarkan.
"Kamu tidak suka dengan cara didik Papa? Kamu ingin bebas seperti yang lainnya? Dan kamu tidak suka dengan belajar?" Rayhan mendelik tajam. Nada suaranya pun terdengar meninggi, membuat Razavi tersentak.
"Jika kamu masih ingin hidup tenang dan hidup enak, maka turuti saja. Padahal apa yang Papa suruh, tidak begitu berat," desis Rayhan tepat di depan wajah Razavi.
"Jangan mau kalah sama Julian. Persiapkan dirimu untuk ujian kelulusan nanti. Jika kamu masih ingin berdebat lagi, maka Papa tidak akan segan membawa Rezky jauh dari sini," lanjut Rayhan penuh dengan penekanan. Ia sangat tidak suka bila Razavi bertindak seperti tadi lagi.
"Pa ...."
Pukulan keras melayang di tulang pipi kanan Razavi. Kepala laki-laki itu terayun ke samping kiri. Memegangi pipi kanan yang terasa panas serta nyeri. Tak sampai di situ saja, Rayhan menarik rambut Razavi dengan kasar, sehingga membuat anak laki-laki itu meringis kesakitan.
Mengikuti langkah Rayhan yang menyeret sembari menjambak rambut Razavi ke arah kamar mandi. Rayhan mendorong Razavi ke dalam kamar mandi, mengangkat kembali wajah yang hampir mirip dengannya. Ditatap sedemikian lekat sembari membingkai wajah itu.
Razavi kembali meringis saat sang papa menekan luka di tulang pipi kanannya. Pasti sudah berdarah, rasanya begitu perih dan nyeri. Ketakutan kian menyelimuti melihat tatapan mata dari sang papa. Razavi merasa kenyang menelan kembali ludahnya sendiri guna meredakan rasa takutnya.
"Mandi! Bersiap ke sekolah," pungkas Rayhan yang tak ingin dibantah lagi.
***
Berkat kuasa sang papa, Razavi bisa masuk ke kelas tanpa harus dihukum. Bahkan Rayhan mengantarkan sampai memasuki pekarangan sekolah. Tak lupa juga dengan berbagai tatapan jelek didapat olehnya dari anak-anak yang tengah dihukum karena datang terlambat.
"Muka lo kenapa, Za?"
Pertanyaan dari Niko membuat lamunan yang singgah di kepala hilang seketika. Razavi menoleh menatap Niko yang sudah duduk di bangku depannya. Begitu juga dengan Robi dan Fadli mengekor, menarik kursi yang ada di samping ke arah meja Razavi. Guru mata pelajaran pertama takada, hanya menyuruh mengerjakan soal yang terdapat di buku paket. Hal tersebut dimanfaatkan oleh anak-anak kelas untuk bersantai.
"Jatoh," kata Razavi berbohong perihal lebam di wajah.
Niko tak percaya begitu saja. Luka yang ada di pipi Razavi bukan seperti luka jatuh. Terlebih lagi luka itu sedikit membengkak sekaligus merah kebiruan. Ditatap sedemikian lekat oleh Niko di sekitar luka, membuat Razavi merasa risi.
"Itu kayak luka tonjok," sahut Robi yang juga ikut memperhatikan.
"Udah enggak usah dipermasalahkan soal luka gue. Lagian ini beneran luka jatoh, kok."
Razavi tidak ingin salah satu dari anak-anak kelas mengetahui bagaimana kondisi keluarganya. Mereka hanya tahu bahwa Razavi merupakan anak orang kaya dan si kutu buku. Selebihnya biarkan ia sendiri yang merahasiakan.
"Oh ya, anak kelas sebelah ngajak tanding futsal hari Sabtu. Lo bisa gabung, Za?"
Niko mengutarakan pertanyaannya. Mengalihkan topik pembicaraan guna mencairkan suasana yang tak nyaman. Lagi pula, Niko tidak ingin tahu lebih ataupun ikut campur dengan masalah Razavi. Ia hanya bertanya dan khawatir terhadap teman sekelasnya.
"Ketua kelas, dipanggil bu Donna ke kantor!"
Niko menoleh ke arah pintu sembari mengacungkan jempolnya. Lalu beranjak dari duduk meninggalkan tempat Razavi setelah berpamitan. Sementara Razavi, ia masih menimang ajakan Niko tentang tanding futsal tersebut. Kalau ia meminta izin pada sang papa, kemungkinan tidak akan diizinkan. Akan tetapi, kalau nekat bisa bahaya juga.
"Kayaknya gue enggak bisa gabung, deh. Gue gabung pas lomba tahunan antar kelas aja, bentar lagi, 'kan?"
Robi dan Fadli mengangguk. Sebelumnya, Robi sudah menduga akan ada penolakan dari Razavi. Entah mengapa ia begitu penasaran dengan kehidupan Razavi. Sedari kelas X sampai XII, laki-laki itu selalu menyendiri bahkan bisa dikatakan nyaman dengan kesendirian. Membuat Robi merasa kalau Razavi itu memiliki rahasia yang tidak ingin orang lain tahu.
"Muka lo lumayan pucet, Za. Mending lo ke UKS sana. Gue takut lo pingsan pas praktikum di lab nanti," ucap Robi mengutarakan niat baiknya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro