Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23. Ketakutan Razavi

Perasaan Elita campur aduk, rasa cemas mulai mendominasi dalam benak. Ia berjalan tergesa-gesa melewati beberapa orang di rumah sakit. Buliran bening mulai berjatuhan membasahi pipi. Napasnya memburu kala sampai di depan resepsionis, bertanya mengenai korban kecelakaan yang baru saja terjadi.

Sang resepsionis menjawab sembari menunjukkan ruang UGD di mana suami dan anaknya berada. Setelah mengucapkan terima kasih, Elita berjalan terburu-buru menuju ruang UGD yang ditunjukkan tadi. Berharap bahwa keadaan sang suami serta anak baik-baik saja.

Pandangan Rezky terlihat kosong tertuju ke arah ruang UGD yang tertutup rapat. Ia menahan napas kala pintu ruangan tersebut terbuka, seorang dokter beserta empat suster mendorong brankar seseorang yang ditutupi oleh kain putih. Tangan Rezky bergemetar, sedangkan Elita menutup mulut terkejut.

"Tunggu, Dok. Apakah ini korban kecelakaan yang baru saja terjadi di perapatan lampu merah di jalan Jend Ahmad Yani?" Riyan menghentikan laju dorong brankar sang dokter serta empat suster yang turut membantu.

Dokter setengah baya itu mengangguk, menatap kepada Riyan dengan sendu. "Benar, Pak. Korban mengalami pendarahan di kepala yang menyebabkan geger otak serta setengah wajahnya rusak, sehingga korban dinyatakan meninggal pada pukul 17.55 WIB, karena kekurangan darah," imbuh sang dokter.

Tubuh Elita hampir saja merosot ke lantai mendengar kalimat yang terlontar. Untung saja, Rezky dengan sigap menahan tubuh wanita itu. Mata mulai mengabur, buliran bening berjatuhan tanpa diperintah. Dada Elita bergemuruh hebat melihat tubuh seseorang yang terbaring di brankar ditutupi kain putih.

"Apakah korbannya seorang remaja atau lelaki berkepala empat?" tanya Riyan kembali memastikan.

"Remaja, berumur kisaran tujuh belas tahun," ujar sang dokter.

Ketakutan kian menyelimuti, suasana mendadak mencekam bagi Rezky. Mendung di pelupuk mata Rezky, kini mulai berjatuhan menjadi gerimis. Berbagai memori masa kecil memberontak di kepala.

Tangan Elita perlahan terulur untuk menyingkap penutup kain itu. Tangisan yang memelan, kini terdengar memilukan. Apalagi yang dikatakan oleh sang dokter ialah seorang remaja, bisa saja itu Razavi. Entah mengapa, penyesalan menyelimuti benak kala mendengar nama anak itu.

Bayangan memori masa silam memberontak tanpa bisa dihalau. Elita tak tahu harus melakukan apa jika anak yang belum sempat ia bahagiakan, malah pergi meninggalkan rasa kesakitan serta penyesalan dalam benak Elita.

"Mama! Kak Rezky!"

Tangan Elita tertunda di udara, ia menajamkan telinga mendengar suara berat yang tak asing. Sontak saja Elita dan Rezky menoleh ke arah kanan, melihat orang yang dikhawatirkan berdiri dengan banyak luka di wajah serta tangan yang diperban.

Elita langsung berlari menghambur ke dalam pelukan anak laki-laki itu. Sementara, Riyan membiarkan sang dokter untuk melanjutkan perkejaan mengurusi jenazah korban dan mengatakan bahwa tadi terjadi sedikit kesalahpahaman. Ia menatap lekat ketiga keluarga di depan mata yang saling berpelukan sambil menumpahkan tangis.

Wajah tampan Razavi kini dipenuhi oleh luka. Luka tonjok dari Rayhan saja belum sembuh, sekarang malah ditambah oleh luka dari kecelakaan. Bawah mata terlihat bengkak di keduanya. Kening dibaluti oleh perban, serta tangan pun ikut diperban karena mengalami patah tulang.

Sebelum kecelakaan itu benar-benar terjadi Razavi sempat melepaskan sabuk pengaman dan membuka pintu mobil sedikit. Tepat saat matanya melihat truk yang melaju dari arah berlawanan. Sontak saja ia langsung melompat keluar dari mobil menghindari maut itu, meskipun dengan mengorbankan tubuhnya. Sampai wajah di bawah mata terluka akibat terkena pecahan kaca mobil. Tangan pun ikut mengalami patah tulang.

"Wajahmu ... pasti sakit," ucap Elita sembari membingkai wajah penuh luka itu.

Wajah wanita paruh baya itu sembab, terlalu banyak air mata yang mengucur. Tubuh Razavi menegang, bibir gemetar saat ingatannya tertuju pada kecelakaan yang lalu. Wajah sang papa yang bersimbah darah banyak, bahkan orang-orang yang mengerumuni. Membuat Razavi merasa sesak napas saja, Riyan yang peka akan kondisi Razavi segera merangkul membawa tubuh anak laki-laki itu ke kursi tunggu.

"Tenangkan dirimu, Za. Inget sama lukamu saja, jangan pikirkan hal lain selain dirimu," tutur Riyan mengusap lembut bahu kekar itu.

Buliran bening di pelupuk mata Elita tak henti-hentinya turun. Ia membiarkan Rezky merangkul tubuh lemahnya, menatap sayu kepada Razavi yang terlihat ketakutan. Rasa syok dari kecelakaan itu pasti masih membekas dalam ingatan.

"P-papa ...." Mulut Razavi bergumam dengan susah payah. Tangan mengepal guna meredakan rasa takut dalam diri.

Keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Kepala terasa pening sekaligus nyeri akibat luka. Ia memejamkan mata, menelan ludah sendiri dengan susah payah. Berkata kepada diri sendiri untuk tetap sadar. Namun, nyatanya ia tidak bisa mengendalikan. Buliran bening yang ditahan, jatuh begitu saja. Razavi histeris, sontak saja Riyan langsung menarik tubuh gemetar itu dalam pelukannya.

Melihat kondisi Razavi yang seperti itu membuat dada Rezky sakit. Andaikan saja ia tidak mengungkapkan kesembuhan, mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi. Terkadang rencana Tuhan begitu lucu dan memilukan. Ia hanya mampu mengeratkan rangkulan di tubuh Elita. Menenangkan wanita paruh baya itu, mencoba menjadi tameng di kala Elita bersedih.

Membutuhkan waktu lama untuk menenangkan Razavi dari rasa cemas serta takut. Tangan anak laki-laki itu terangkat dan tertuju ke arah ruang ICU. Tubuh masih terlihat sesegukan karena tangan, raut wajah begitu pucat, serta ketakutan yang menghantui masih membekas di manik itu.

"Papamu ada di ruang ICU?" tanya Riyan begitu lembut.

Razavi mengangguk mengiakan. Wajahnya menunduk dalam, menautkan dua tangan guna meredam dan melawan rasa takut yang menyelimuti benak. Melihat Razavi yang sekarang membuat Riyan menaruh rasa iba serta kasihan. Ia membiarkan Elita serta Rezky untuk pergi lebih dulu ke ruang ICU agar mengetahui lebih lanjut kondisi dari Rayhan.

Sementara Riyan masih menemani Razavi, duduk di kursi tunggu dalam keheningan. Pasti berat apa yang dirasakan oleh Razavi. Menjadi saksi dalam tragedi kecelakaan yang dialami oleh papa sendiri.

Kebencian dalam diri Razavi sirna kala melihat tubuh paruh baya itu tergelatak dalam mobil yang terbalik dengan kondisi bersimbah darah. Membuat dada semakin diliputi rasa bersama serta sesak secara bersamaan.

***

Semilir angin malam menerpa wajah Razavi yang dipenuhi oleh luka. Sorot matanya tertuju ke depan, melihat pemandangan kota di malam hari dari atas rooftop rumah sakit. Walaupun ia sempat tidak diperbolehkan berdiam di rooftop oleh seorang penjaga keberhasilan di rumah sakit itu. Membutuhkan waktu hampir setengah jam demi bisa menenangkan diri. Berkat dari usaha Riyan juga bantuan obat yang selama dikonsumsi.

Ia memejamkan mata merasakan hembusan angin menerpa wajah. Membiarkan pikirannya berkenalan jauh. Tak peduli lagi bila ingatan itu tertuju pada sang papa. Mata itu terbuka secara perlahan, membulat terkejut mendapati Rezky berdiri di depannya dengan binar sendu.

"Gue seneng lo bisa balik kayak dulu lagi." Razavi mengulas senyum senang melihat keberadaan sang kakak yang sekarang.

Sementara Rezky hanya mengulas senyum tipis. Ia pun bahagia, tetapi hanya sekejap. Terganti oleh rasa bersalah menyelimuti benak.

"Gue minta maaf, karena gue lo jadi menderita kayak gini," ujar Rezky.

Razavi mengulas senyum kecil. Lagi pula semua yang terjadi bukan karena kesalahan Rezky. Akan tetapi, keegoisan, ambisi, dan gila hormat dari Rayhanlah yang menyebabkan semua derita itu bersinggah. Hanya saja cara untuk mendapat ambisi itulah yang salah.

"Ini bukan salah lo sepenuhnya, lagi pula apa yang dilakukan oleh papa buat kita itu udah jalan yang terbaik. Walaupun cara dia ngedidik kita agak salah," kata Razavi mencoba mencairkan suasana yang terasa tegang.

"Terbaik apanya? Malah dia bikin hidup kita kayak di neraka. Sekali enggak diturutin, malah kena gebuk."

"Bersyukur aja, Kak. Lagian berkat usaha dia, hidup kita pun keliatan enak banget. Kebutuhan sehari-hari terpenuhi, makan enak, dan enggak perlu ngerasain nahan laper."

"Maksud lo harta? Harta enggak bisa bikin kita bahagia, Za." Rezky memandang Razavi penuh arti, begitupun sebaliknya. Kerinduan tentang masa kecil membelenggu dalam benak.

"Lo salah, Kak. Di zaman sekarang, harta ialah hal paling utama dalam hidup. Dengan harta pun kita bisa beli kebahagiaan, ya, meski cuma sekejap. Lo harus bisa maafin papa di keadaan yang sekarang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro