Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Kabar buruk

Setelah bersusah payah mengetuk pintu dari dalam hingga berteriak meminta dibukakan. Pada akhirnya pintu itu terbuka oleh kedatangan Riyan. Sepupu dari Rayhan itu sengaja mampir untuk mengetahui kabar tentang Razavi, mengingat anak laki-laki itu datang kembali berkonsultasi mengenai gangguan kecemasan yang diderita. Wajah sembab dan kekhawatiran dari wajah Rezky membuat laki-laki berumur kisaran 29 tahun itu mengerutkan dahi dengan bingung.

Ia ingin bertanya, tetapi melihat Elita yang hilir-mudik sembari menghubungi seseorang ditelepon membuat ia mengurungkan diri. Namun, Riyan tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya melihat Rezky sudah kembali seperti orang normal pada umumnya. Ia menepuk pelan bahu anak laki-laki itu, senyum kecil terbingkai di wajah.

"Riyan, sebelum kamu sampai di sini. Kamu melihat mobil Mas Rayhan tidak di jalan keluar dari perumahan ini?"

Elita menyerah menghubungi ponsel milik Rayhan berulang kali. Melihat Riyan mengangkat bahu tidak tahu dan gelengan kepala, membuat Elita menghela napas kasar. Ponsel sang suami tersambung, tetapi tidak diangkat sama sekali. Ia melirik ketiga bodyguard yang berdiri di ambang pintu dengan wajah menunduk. Ia tidak yakin kalau salah satu dari mereka mengetahui perginya Rayhan.

"Memangnya ada apa, Kakak Ipar? Apa suamimu pergi tanpa izin? Dan kenapa wajah kalian terlihat cemas seperti ini?" tanya Riyan menatap penuh ingin tahu.

"Rayhan marah sama aku gara-gara masalah di kantor. Aku enggak tahu pasti apa masalahnya, dia cuma bilang kalo aku sudah mempermalukan dirinya di sana. Di saat itulah, Rezky datang ... menyalahkan dan melontarkan berbagai pernyataan yang membuat Rayhan semakin marah." Elita menjelaskan dengan susah payah. Ia tidak bisa tenang sebelum mengetahui keberadaan Rayhan. Apalagi sang suami pergi bersama anak bungsunya, takut kalau lelaki paruh baya itu berbuat nekat hanya karena perlawanan yang dilakukan oleh Razavi.

"Seharusnya dia bahagia karena anak pertamanya telah sembuh," gumam Riyan yang mampu didengar oleh Rezky.

"Dia pergi?" tanya Riyan memastikan sembari mengangkat satu alisnya.

Elita mengangguk dengan cepat, berusaha menghubungi kembali nomor telepon Rayhan. Perasaannya tak karuan, antara cemas, khawatir, dan takut menjadi satu. Sungguh, pikiran Elita kini berkecamuk. Terlebih lagi, Rayhan pergi saat suasana hatinya sedang marah. Takut terjadi apa-apa di jalan sana.

"Dia pergi sama Razavi. Setelah memukul saya, dia pergi bawa Razavi dengan paksa," sahut Rezky dengan pandangan tertuju ke lantai, begitu kosong.

Hati Riyan terasa tercabik melihat tatapan kosong itu. Memahami bahwa Rezky masih dalam proses penyembuhan, ia ingat betul pada saat Rezky butuh uluran tangan kala Rayhan mengasingkan anak laki-laki itu. Tinggal sendiri, jauh dari rumah utama, dan dipasung. Jika mengingat itu membuat Riyan merasa takut sekaligus kasihan pada Rezky. Tidak hanya Rezky, Riyan pun merasa kasihan pada Razavi.

"Pergi dengan perasaan marah membawa Razavi?" Riyan menyimpulkan. Kalimat itu mendapatkan anggukan cepat dari Elita.

Membuat Riyan mengembuskan napas kasar. Ia sangat mengenali bagaimana sifat Rayhan, yang merupakan tipe laki-laki temperamen, keras kepala, dan mudah sekali tersinggung. Tatapannya tertuju pada tiga bodyguard suruhan Rayhan, meminta bantuan pada ketiga laki-laki itu untuk menghubungi Rayhan atau bisa melacak keberadaan mobil yang ditumpangi oleh Rayhan.

Melihat kepanikan serta kekhawatiran di raut wajah Elita. Membuat perasaan Rezky merasa bersalah saja. Seharusnya ia tidak menunjukkan kesembuhannya di depan sang papa. Jika saja ia masih bersikap seperti seseorang bodoh dan gila di depan Rayhan, mungkin saja kejadian ini tidak akan terjadi. Akan tetapi, bila ia terus-menerus seperti seseorang yang memiliki gangguan kejiwaan, ia merasa kasihan pada Razavi yang diyakini sedang tertekan menjalani peran sebagai anak kebanggaan dan dituntut agar tetap menjadi yang terbaik di mata publik.

Kesembuhan yang dialami oleh Rezky, berkat kegigihan Razavi yang menginginkan ia kembali normal. Menjalani hidup sebagai seorang Rezky Andrean Zeyino, seperti dulu lagi. Serta mendapatkan kehidupan yang layak.

"Seharusnya Rezky enggak nunjukin kesembuhan Rezky sekarang," ucap Rezky pada diri sendiri. Pandangannya tertuju ke lantai, menunduk dalam merasa bersalah.

Riyan dan Elita memandang Rezky dengan tatapan berbeda. Riyan mengulas senyum tipis sembari menepuk pelan. Begitu juga Elita berdiri di samping laki-laki itu, buliran bening yang menetes segera ia seka dengan pelan.

"Ini bukan salah kamu, Re. Lagian Mama sama adikmu ngerasa bahagia, kamu bisa sembuh." Elita mengulas senyum kecil, mencoba menenangkan. Takut, kalau tekanan dari masalah yang dihadapi sekarang bisa menyebabkan Rezky kembali stres dan berujung pada gangguan kejiwaan yang pernah dialami.

"Kesembuhan kamu juga berkat Razavi, jika saja dia tidak menghubungi Om. Mungkin Om enggak akan tahu bagaimana kondisimu," sahut Riyan, turut menenangkan kondisi Rezky.

Dering panggilan masuk membuyarkan berbagai lamunan ketiga orang yang sedang khawatir di depan rumah besar itu. Pandangan Elita tertuju ke layar monitor ponselnya, mengerutkan dahi melihat nomor asing di layar itu. Segera ia mengangkat telepon itu, wajah yang tadi kebingungan berubah menjadi terkejut. Pijakan di kaki terasa lemas, aliran darah terasa terhenti di sekujur tubuh, pandangan Elita mengabur. Ia hampir saja jatuh ke lantai jikalau Rezky tidak menahan tubuh wanita paruh baya itu.

Buliran bening terjatuh begitu deras, telepon yang digenggam kini mengendur jatuh ke lantai. Elita menutup mulut, menghambur ke dalam pelukan Rezky. Menumpahkan tangis dalam pelukan itu setelah mendapatkan telepon dari rumah sakit. Melihat Elita yang mendadak seperti itu membuat kedua laki-laki di sana, mengerutkan dahi dengan bingung.

"Ada apa, Kak?"

Elita mendongak kepada Rezky, menggenggam erat lengan kekar anak laki-laki itu. Menelan ludahnya sendiri, berusaha menenangkan dirinya yang begitu cemas dengan keadaan anak serta suaminya.

"P-pa ... pa." Elita tak sanggup berucap, ia menangis sesegukan kala ingatan buruk terlintas di kepala.

"Pa-pa ... Ra-ra ... ra-za, ke-kecelakaan." Setelah berhasil menenangkan diri sendiri, kalimat itu terlontar juga.

Dunia Rezky seketika runtuh mendengar kabar itu. Membuat tubuh Rezky mundur selangkah, mendung di wajah menjadi gerimis deras. Ia mengigit bibir bawah, berusaha menenangkan gejolak ketakutan dalam diri. Bayangan siluet senyum dari wajah Razavi terlintas, keceriaan sang adik, dan berbagai kenangan bersama laki-laki berputar di kepala bagaikan kaset favorit.

"En-enggak mungkin," tutur Rezky mengulas senyum kecut sembari menggeleng pelan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro