Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Gadis

Sudah dua hari, Razavi mengikuti bimbingan serta pelatihan berbagai soal dengan Pak Oki. Dalam dua hari juga ia mengantar Rezky psikoterapi secara diam-diam. Tak lupa juga ia menyuap para asisten rumah tangga dan bodyguard yang disewa oleh sang papa. Razavi sudah memikirkan tentang hal ini secara matang-matang. Siap menerima konsekuensinya apabila Rayhan mengetahui perihal kembalinya Rezky psikoterapi.

"Olimpiade ini bertingkat nasional, kerjakan sebisa dan semampu kalian saja. Jangan memaksakan apabila kalian tidak mampu. Kalah menang, itu sudah biasa. Untuk PPKN akan diwakilkan oleh Razavi, yang Sastra dan Sains akan diantarkan oleh Pak Bandi ke SMA Dwiwarna 3. Semangat, tinggal beberapa hari lagi kalian akan bertarung." Pak Oki kembali memberikan semangat serta petuah untuk anak didiknya sendiri.

"Sekarang, kalian bisa istirahat. Setelah istirahat kembali ke kelas, karena bimbingan serta latihan untuk sekarang sampai di jam istirahat saja," lanjut Pak Oki mempersilakan anak didiknya untuk beristirahat serta mengakhiri pertemuan pelatihan olimpiade tersebut.

Setelah kelas pelatihan berakhir, Razavi berjalan menelusuri lorong yang menghubungkan ke ruang UKS. Ia ingin meminta obat maag, sakit di perut sangat menganggu konsentrasi belajar Razavi. Penyakit bawaan ketika ia telat makan serta sedang tak bernafsu. Lima hari, ia mengalami nafsu makan yang menurun.

Langkah Razavi terhenti saat sorot matanya tidak sengaja menangkap tubuh mungil dari seorang gadis yang selalu singgah di hadapannya. Razavi mendekat tanpa suara. Matanya menajam melihat pergelangan tangan gadis itu yang memerah, luka gores berbentuk horizontal seperti gelang. Ia merasa kalau luka tersebut ialah luka baru.

"Lo suka self harm?"

Sontak saja gadis itu langsung tersentak sekaligus mendongak pada Razavi. Suara berat laki-laki itu benar-benar mengejutkan dirinya yang sedang melamunkan banyak hal. Aulia menyembunyikan luka tersebut ke balik kardigan yang dikenakan. Padahal ia selalu bisa menyembunyikan luka tersebut dari teman-temannya. Namun, sekarang ... Razavi telah mengetahui bahkan mengenali luka apa yang ada di pergelangan tangan.

"Lo udah lama berdiri di situ?" Aulia mengulas senyum kecil menatap sekilas pada Razavi, lalu kembali menunduk meredakan degupan jantung. Bukan karena memiliki rasa pada laki-laki itu, melainkan takut kalau salah satu dari teman sekelas mengetahui luka yang ada di tangannya.

"Enggak usah ngalihin pembicaraan. Gue tanya sekali lagi, lo pernah self harm?"

Kini Razavi ikut duduk bersama Aulia. Saling berdiam satu sama lain, menyibukkan diri mendengarkan apa kata hati serta isi kepala masing-masing. Rasa penasaran kian menyeruak dalam benak mengenai luka seperti self harm tersebut. Ini kali pertama ia melihat seseorang menyakiti dirinya, pasti ada alasan tertentu mengapa orang itu memilih melampiaskan dengan cara melukai dirinya sendiri.

Razavi tahu itu, karena dulu sang kakak pun pernah melakukan self harm dengan cara memecahkan cermin rias dengan sekali pukulan. Setiap Minggu tangan sang kakak sering berdarah dan meninggalkan bekas lukanya.

"Harus banget gue jawab? Lo juga sering ngalihin setiap gue tanya luka yang lo dapet setiap tahunnya. Kelas X, XI, dan sampe sekarang." Aulia membalikkan ucapan Razavi.

Razavi menatap lekat wajah Aulia. Entah mengapa ucapan gadis itu ada benarnya. Saat kelas X, XI ia juga pernah mendapatkan luka yang sama di wajah. Namun, ia sama sekali tidak ingat siapa yang mengobati. Ia hanya nurut, yang terpenting lukanya mengering. Selebihnya ia sama sekali tidak ingat apa pun.

"Diam-diam lo berantem 'kan di sekolah? Kayak di novel-novel romansa Wattpad gitu. Seorang cowok kutu buku, diam-diam memiliki gang berandal di luar sekolah."

"Enggak usah banyak ngayal! Lagian luka itu enggak ada apa-apanya."

"Kalo gitu sama dong, luka ini." Aulia menunjukkan luka di pergelangan tangan kirinya, seulas senyum tipis terbingkai, "juga enggak seberapa," imbuh Aulia dengan lirih.

Razavi bergeming. Pikirannya berkecamuk, nada bicara gadis itu mendadak berubah menjadi sedih. Kepalanya menoleh ke samping, menatap lekat wajah itu dengan penuh arti. Ternyata tidak hanya ia yang memiliki beban masalah yang besar, orang lain pun sama halnya.

"Yaelah, udah lupain tentang luka gue. Lo mau ngapain ke sini?" Aulia mengalihkan topik pembicaraan, merasa tak nyaman dengan suasana yang mendadak canggung.

"UKS."

"Ngapain? Emang lo sakit? Perasaan luka di wajah lo udah lumayan membaik." Aulia meneliti setiap inci wajah Razavi. 

"Lo ngapain di sini?" Razavi malah balik bertanya. Tentu saja ia bertanya, karena merasa heran melihat gadis itu duduk sendirian di tempat yang lumayan sepi.

"Tenangkan diri," balas Aulia sekena.

Embusan napas berat menguar. Razavi merasa aneh, mengapa ia bisa jadi sok akrab dengan teman sekelasnya.

"Lo banyak masalah, ya? Saran gue, kalo ada masalah jangan dipendam ataupun dilampiaskan ke diri sendiri." Entahlah, Razavi ingin sekali mengucapkan kalimat tersebut.

"Masalah emang enggak bakalan berhenti buat gangguin kehidupan manusia. Luka yang gue dapet ini ...." Aulia menunjukkan pergelangan tangan yang terdapat luka gores, "pas gue enggak bisa marah ke siapa pun, cuma tubuh gue yang bisa gue lampiaskan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro