Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Keterpaksaan

Tubuh Razavi sontak saja langsung duduk, ia terkejut saat merasakan wajahnya dibasuh oleh air dingin. Ia mengusap wajah yang basah, menoleh ke samping kiri, mendapati sang papa tengah berdiri sembari memegang gelas di tangan. Jakunnya naik turun, menelan ludah sendiri berulang kali. Debaran di jantung kian memompa dengan kencang. 

"Mimpimu indah, Za?" Rayhan menaruh gelas ke atas nakas, bersedekap dada menatap tajam pada Razavi.

Lagi-lagi tatapan seperti itu yang didapat oleh Razavi dari sang papa. Ia menurunkan kaki dari ranjang, berdiri berhadapan dengan sang papa. Tatapannya tertuju ke lantai putih, enggan menatap mata yang menyiratkan kemarahan itu. Razavi hampir lupa bahwa kemarin ia sedang dihukum, terkunci di ruang penyimpanan.

Rayhan mendekat satu langkah, menaruh lengan kekarnya di bahu anak laki-laki itu. Suasana di ruang kamar terasa pengap bagi Razavi, bahkan mencekam merasakan aura intimidasi dari Rayhan. Razavi takut, telapak tangan mulai mengeluarkan keringat kembali. Mata memerah menahan tangis, sungguh dadanya berdebar kencang karena rasa takut.

Jemari Rayhan beralih ke tengkuk leher Razavi. Menekan leher anak laki-laki itu dengan pelan. Kemudian, beralih ke pipi yang terlihat lebam dan bengkak akibat pukulan yang dilakukannya kemarin.

"Bukankah kamu ada di ruang sempit itu, mengapa bisa ada di sini?"

Rayhan mundur satu langkah. Membuang tatapan ke arah lain dengan helaan napas berat. Tangannya mengudara, lalu mendarat di pipi Razavi. Satu pukulan mengenai luka lebam di pipi kanan tepat bawah pipi. Lagi, anak laki-laki itu kembali mendapatkan luka di wajahnya.

"Ah, sial! Sebenarnya aku tidak ingin merusak wajah tampanmu yang mirip denganku, tetapi melihatmu yang semakin hari makin memberontak. Membuatku ingin melampiaskannya," ujar Rayhan.

Razavi bergeming, menoleh menatap takut-takut pada Rayhan. Hatinya ingin memberontak, ia lelah jika harus dijadikan samsak sang papa. Ia manusia, memiliki perasaan, dan batas kesabaran. Namun, siluet wajah Rezky berputar di kepala. Ia tidak ingin melihat sang kakak menderita bila ia berani melawan Rayhan. Razavi sangat kenal betul bagaimana sifat keras sang papa.

"Cepat bersiap. Papa akan mengantarmu ke sekolah!" perintah Rayhan dan bersiap pergi meninggalkan kamar itu.

"Pa!"

Langkah Rayhan terhenti, ia membalik menatap Razavi dengan kerutan di dahi. Menunggu apa yang akan diucapkan oleh anak itu.

"Sebenarnya Papa sayang enggak sama Raza?" Razavi hampir tercekik mengucapkan satu pertanyaan yang terbersit dalam hati.

Hanya kalimat itu yang mampu dilontarkan. Masih banyak kalimat-kalimat yang lain dalam hati untuk sang papa. Dari cara Rayhan menatap membuat Razavi bisa menyimpulkan bahwa Rayhan menyayangi, tetapi cara menyalurkan rasa kasih sayang tersebut ialah salah.

"Papa sayang sama kamu. Dan Papa melakukan hal yang terbaik buat kamu. Asalkan kamu nurut, Papa akan baik sama kamu."

"Kenapa Raza harus nurut? Papa enggak kasihan sama Raza? Papa enggak ngerti sama perasaan Raza?"

"Udah, enggak usah dramatis! Cepat mandi sebelum Papa memukulmu kembali!"

Rayhan berjalan menjauh meninggalkan Razavi yang masih mematung di tempatnya. Satu tetes buliran bening lolos dari pelupuk mata Razavi. Ia berjalan dengan lemas keluar kamar tamu, menelusuri sudut ruangan guna kembali ke kamarnya.

***

Jam ketiga sudah berakhir, tergantikan oleh jam istirahat. Kini Razavi sedang berada di ruang pelatihan untuk anak-anak olimpiade. Mereka akan dilatih dan diberi bimbingan oleh Pak Oki. Berusaha fokus dengan soal yang sedang dikerjakan.

Soal luka di wajah, Razavi sempat mendapatkan berbagai pertanyaan penasaran dari anak kelas sekaligus guru yang mengajar. Bahkan Pak Oki pun turut bertanya mengenai luka di wajah. Seperti luka habis bertengkar, membuat ia mendapatkan gunjingan dari anak kelas lain. Seseorang yang dikenal sebagai anak pintar dan menjadi panutan di sekolah, kini dituduh sebagai anak berandal di luar sekolah.

Razavi tak habis pikir dengan pikiran netizen mengenai kehidupan pribadinya. Apalagi kabar berita tersebut sedang memanas di sekolah. Ia menghela napas pelan, mengalihkan tatapan ke arah jam dinding di depannya. Rasa lapar menggerogoti perut.

Ia bisa saja mengumpulkan lembaran soal yang sudah terisi pada Pak Oki. Namun, keinginan untuk ke kantin rasanya menyurut. Ia takut bertemu dengan orang-orang yang menatap sebelah mata karena luka di wajah.

Setelah selesai mengumpulkan soal ke Pak Oki, Razavi kembali duduk. Mengeluarkan sebotol air serta mengambil satu pil obat antiansietas milik Rezky. Sang kakak juga memiliki penyakit yang sama yakni kecemasan apabila sedang kambuh. Meminum hingga tertelan, ia menoleh ke sekitar yang mana dirinya menjadi objek atensi anak kelas lain.

Razavi tidak sendiri di ruang pelatihan, ada dua cewek dan satu laki-laki anak kelas sebelah. Tak ada satupun orang yang dikenali oleh Razavi di antara mereka. Razavi membalas menatap kepada mereka, kini mereka mengalihkan tatapan ke arah lain.

"Raza, kamu boleh istirahat. Yang lainnya pun silakan istirahat. Nanti setelah istirahat kita lanjutkan ke soal selanjutnya." Pak Oki mengintruksikan pada anak didiknya untuk merehatkan diri sejenak.

Razavi beranjak dari duduk, berjalan keluar dari ruangan itu menuju perpustakaan. Mungkin dengan membaca, bisa mengalihkan pikirannya yang berantakan. Setiap lorong dan koridor yang dilewati, Razavi tak lepas menjadi atensi anak-anak yang lain. Belum lagi ia mendapatkan tatapan penasaran dari berbagai mata.

"Woi, Za! Mau ke mana?"

Teriakan Robi menggelegar di koridor anak kelas sebelas Mipa. Ketiga laki-laki itu berjalan mendekat ke arah Razavi, berusaha mengejar, dan mensejajarkan dengan langkah Razavi.

"Muka lo enggak mau diobatin, Za?" Robi bertanya di samping kiri Razavi, di sisi kanan ada Niko yang turut menatap dari samping.

Merasa tak nyaman dikelilingi oleh ketiga temannya. Membuat Razavi menghentikan langkahnya sekaligus menatap sinis pada ketiga laki-laki itu.

"Terserah gue! Mau gue obati atau enggak. Lo pada ngapain ngikutin gue?" Razavi mendelik sinis. Merasa tidak suka bila ketenangan yang akan didapatkan nanti malah sirna, hanya karena kehadiran ketiga laki-laki itu.

"Wes, santuy, Boy! Galak amat, Za," sahut Fadli di samping Robi.

"Nanti, pulang sekolah jangan lupa buat ke lapangan futsal, ya. Ada latihan," kata Niko.

Razavi bergeming. Sepertinya hari ini ia tidak bisa mengikuti latihan futsal tersebut. Ia sudah memiliki janji pada dirinya sendiri. Untuk bertemu dengan salah satu dokter yang dulunya pernah menangani sang kakak. Tidak hanya sang kakak saja, ia juga sempat menjadi pasien dokter itu karena kecemasan yang dimilikinya. Razavi ingin kembali berkonsultasi mengenai penyakit yang diderita, ia lelah jika harus dihantui oleh rasa takut serta cemas berlebihan.

"Gue enggak bisa. Mungkin kalian bisa masukkin gue ke pemain cadangan. Lagian, gue enggak minat ikut futsal, cuma terpaksa karena kasihan sama kalian," ucap Razavi mengulas senyum tipis. Ia berbohong, dari dasar hatinya ia merasa senang bisa bermain futsal dengan anak-anak lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro