Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Rumah Nyai

Setiap tempat memiliki kisahnya sendiri. Entah itu cerita pilu mendayu-dayu, romantis yang menghanyutkan atau bahkan mistis yang mencekam. Semuanya memiliki daya tarik juga peminatnya tersendiri. Seperti sebuah rumah yang berada di kawasan Jakarta Selatan. Keangkerannya yang begitu masyhur, membuat gadis bernama Anjani penasaran, ingin merasakan aura horor di sana. Sebuah rumah megah bergaya Belanda, yang disebut orang-orang sekitar sebagai 'Rumah Nyai'

Menurut cerita yang beredar, pada jaman penjajahan kolonial Belanda dulu. Hiduplah seorang penari wanita yang menjadi pujaan banyak lelaki. Termasuk seseorang berpengaruh dari negeri kincir angin, yang tidak diketahui namanya.

Konon, mereka hidup bersama selama beberapa tahun. Lalu, seseorang itu tewas secara misterius. Tidak lama setelahnya, wanita bernama asli Sulastri itu pun meninggal. Anehnya, tidak ada yang tahu, ke mana atau di mana mayat kedua manusia itu dikubur. Hingga sekarang, itu semua tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan.

"Gila lo, Jan. Pagi-pagi udah cerita begituan, gak ada bahasan lain apa? Gibah kek," ujar Kia memotong ocehan ketua gengnya. Gadis beralis tipis itu memanglah yang paling penakut, di antara keempatnya.

Nina mendesis bak seekor ular yang siap menerkam mangsanya. "Lo takut, ya? Lagian, otak lo ini kudu disterilisasi, biar gak mikirin gibahan mulu. Unfaedah tau gak." Kia memonyongkan bibirnya, sambil merapikan anak rambutnya yang terjuntai akibat terpaan angin.

"Gue ada ide. Gimana, kalau kita uji nyali di sana?" tanya gadis yang biasa dipanggil Jani, kepada ketiga temannya.

"Ogah," jawab Kia dan Febi bersamaan. Nina dan Jani saling pandang, kemudian tersenyum.

Senyum kedua gadis itu terlihat aneh, baik Kia maupun Febi yakin. Ada siasat buruk di dalamnya. Terutama sunggingan Jani, anak kedua dari tiga bersaudara itu selalu penuh solusi-solusi licik nan pelik. Entah bagaimana otaknya dapat berputar begitu cepat saat membuat rencana-rencana nyeleneh, yang sebenarnya tak bermanfaat sama sekali.

Jani mengangkat kedua tangannya, menengadah ke udara sambil berteriak, "Nenek, engkau setuju 'kan dengan ideku?" Omong kosong. Ingin rasanya Kia menyiram wajah menyebalkan di depannya ini dengan air keras.

"Nenek setuju, Cu," timpal seseorang yang tak lain adalah Nina, dengan suara yang diberat-beratkan layaknya nenek tua.

"Gue menang. Artinya lo berdua kudu ikut. Nanti gue WhatsApp-in apa-apa aja yang harus kalian bawa, dan kapan kita ke sana, oke," tegas Jani menyudahi diskusi absurdnya.

Bel penanda pelajaran dimulai berbunyi, keempat gadis itu memasuki kelasnya masing-masing. Ya, mereka tidak belajar dalam satu ruangan yang sama, hanya saat jam istirahat saja mereka berkumpul.

Persahabatan keempat gadis itu bermula saat sama-sama menjadi siswi baru. Mereka satu kelompok ketika mengerjakan tantangan dari OSIS, dan sejak saat itulah, The Gembel Elite terbentuk, dengan Anjani sebagai leader-nya.

🖤🖤🖤

Hari yang sudah dijanjikan pun, tiba. Sesuai kesepakatan, mereka menginap di rumah Nina, sebab tempat tinggal gadis bermata sipit itu yang paling dekat dengan tujuan. Senter dan beberapa botol air minum sudah masuk tas. Di sini, perasaan Kia mendadak tak karuan. Takut? Benar. Tapi ada rasa yang lebih kuat dari sekadar takut, yakni khawatir. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi.

Keempat gadis itu mulai berjalan selangkah demi selangkah. Menyusuri gang sempit, jalan paling dekat menuju rumah nyai. Cahaya lampu yang temaram membuat suasana suram kian kental. Mata Kia berkeliling, mencoba mencari pemandangan yang bisa memudarkan rasa takutnya. Namun, nihil, kanan kiri hanya terlihat tembok kusam yang menjulang. Hanya coretan-coretan abstrak yang entah bentuknya apa sebagai penghias.

Kia mengeratkan dekapannya pada lengan Jani. "Kita balik lagi aja, yuk. Perasaan gue makin gak enak."

"Ini udah setengah jalan, Ki. Udah tenang aja," hibur Jani berusaha menenangkan.

"Belum terlalu jauh kok, Jan. Udah ayok, balik lagi aja." Sang ketua geng menghentikan langkahnya. Menatap Kia lekat, seolah menyalurkan sebagai keberanian yang bersemayam dalam dirinya. Lalu kembali berjalan.

Kini mereka sudah sampai di tempat tujuan. Hawa dingin nan mencekam langsung menyambut, sangat cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri. Bangunan ini persis seperti yang ia dengar. Bergaya khas rumah Belanda zaman dulu yang tidak terurus. Beberapa ubin keramik rusak, plafon bolong-bolong, dan ditambah pohon-pohon besar yang mengelilingi. Semakin menambah kesan angker.

Tiba-tiba angin kencang dari arah timur berembus, membawa daun-daun kering beserta bau busuk yang amat menyengat. Menciptakan rasa mual yang tak tertahan.

"Gue gak kuat, Jan. Ini busuk banget." Angin masih berembus, malah semakin kencang. Tubuh mungil Anjani sampai terpental beberapa meter dari posisi awalnya berdiri. Beruntung tangannya sempat meraih pilar, hingga membuatnya tak terseret makin jauh.

Tanpa sepengetahuan Jani, Nina dan Kia, Febi meludah. Bukan hanya itu, ia bahkan mengumpat dengan segala perkataan kotornya. Merutuki rumah bobrok beraroma busuk yang ada di depannya.

Aneh, angin tiba-tiba berhenti, bak ada tameng besar yang menghalaunya mengamuk lebih ganas. Kia, Nina dan Febi segera membantu Jani berdiri. "Kalian gak apa-apa?" tanya Jani yang langsung dihadiahi sentilan di dahi oleh Nina.

"Harusnya kita yang nanya, lo gak apa-apa 'kan?" Jani mengangguk. Meski lututnya terasa lemas akibat mencoba bertahan dari terpaan angin dahsyat tadi, ia masih sanggup untuk kembali berdiri kokoh.

"Masih mau lanjut?" tanya Kia yang kian merasa tak nyaman. Namun, ketiga temannya malah mengangguk antusias.

Nina menunjuk sebuah jendela yang rusak. Itu sangat jelas terlihat dari kacanya yang tidak berada lagi di tempat seharusnya. Mereka saling lempar pandang sesaat lalu mengangguk, seolah sudah sangat siap untuk bertempur dengan segala kengerian di dalam sana. Hanya Kia yang semakin gusar.

Mereka saling bergotong royong agar bisa masuk. Mulai dari Febi, Kia, lalu Nina mereka melompat dengan bantuan Anjani yang berjongkok sebagai tumpuan. Tak perlu khawatir, meski tubuhnya mungil, gadis beriris cokelat ini cukup kuat menahan beban yang bahkan tiga kali lipat dari bobot tubuhnya.

Kini giliran Jani yang melompat ke dalam. Sialnya ketiga temannya tak ada yang menolong, hingga ia harus bersusah payah sendiri baik ketika mencoba naik maupun turun.

"Sial kalian semu -" ucapannya langsung terpotong. Mulutnya menganga, terpesona oleh keindahan yang ada di dalam rumah tersebut. Sungguh berbanding terbalik dengan keadaan di luar tadi.

Lantai marmer berwarna putih gading, pilar-pilar besar, di atasnya bertabur batu merah delima yang ia yakini berjenis ruby. Lampu gantung nan elegan persis seperti yang ada di rumah mewah Nina. Sungguh memanjakan mata.

Belum lagi sofa besar yang nampak sangat empuk, lukisan-lukisan estetik yang pastinya sangat mahal. "Wah, ini serius rumah yang sama dengan yang kita datengin tadi?" tanya Febi seolah tak percaya dengan segala kemewahan yang nampak di depan matanya kini.

Gadis berkulit sawo matang itu berjalan ke sana-kemari, menyentuh barang-barang yang menurutnya pasti lebih mahal dari yang ada di rumah Nina. Lalu duduk di sofa bermotif bunga itu untuk sekadar merasakan seberapa empuknya benda mati ini.

"Gila sih ini, empuk banget gengs. Sini deh." Jani bersyukur hanya ada mereka berempat di sini, jika tidak. Febi pasti habis diolok-olok. Ya, dia bukan berasal dari keluarga berada. Jadi begitulah kelakuannya ketika melihat barang-barang mewah.

Ketakutan Kia memudar. Anjani dan Nina merasa tak salah sudah menjalankan ide gila ketua geng ini. "Atur jam, kita berpencar."

Keempat gadis itu menyamakan jarum jam yang ada di pergelangan tangan mereka, dan sepakat akan bertemu kembali di ruangan ini lima belas menit kemudian. "Kalau ada apa-apa langsung komunikasi, oke." Anjani pun memulai panggilan grup, agar mereka tetap terhubung.

Berpencar di mulai. Anjani bersama Kia ke lantai atas, keduanya berpisah di ujung anak tangga. Jani ke arah kamar dan balkon, Kia ke bagian belakang lantai ini. Sedangkan Febi dan Nina mengekplorasi bagian bawah.

Lima belas menit berlalu, mereka kembali ke titik awal. "See, ternyata rumor tetaplah rumor. Cuma omong kosong warga, biar gak semua orang tahu kemewahan di sini," ujar Jani santai.

Tiba-tiba sekelabat bayangan hitam tampak melintas, di salah satu pintu kamar yang terbuka. "Kalian lihat?" Febi, Jani dan Nina mengangguk.

Nina mendorong Kia agar mengecek apa yang melintas tadi. Dengan ragu-ragu Kia mulai menyambangi kamar yang lupa Febi tutup pintunya tadi, dan lampu-lampu mendadak padam. Sialnya, ponsel mereka pun tiba-tiba mati.

"Sial kenapa tiba-tiba mati gini, sih," umpat Febi. Anehnya, meski keadaan sekitar begitu gelap, mereka tetap bisa melihat satu sama lain. Kia segera berlari menghampiri teman-temannya. Namun, sosok hitam yang mereka lihat tadi menangkap sebelah kaki Kia.

Menyeret gadis berzodiak Aquarius itu hingga membentur dinding. Sedang sosok hitam tadi lenyap, seperti tertelan oleh dinding tebal yang kini mulai tampak lusuh. "Kia, lo gak apa-apa?" tanya Jani langsung membantu temannya berdiri.

Febi masih mematung, memandangi sekeliling. Kini ia sadar, apa yang ia dan teman-temannya lihat tadi adalah sebuah fatamorgana. Tipuan setan agar mereka lengah akan ancaman yang tersembunyi. Sofa, lampu gantung, lantai marmer, pilar besar, berubah menjadi begitu buruk. Bahkan tanaman liar yang merambat tumbuh subur di sana.

"Ayo balik," rengek Kia ketakutan.

Jani berlari lebih dulu agar bisa membantu teman-temannya keluar, tapi ... jendela tadi sudah tak berada di sana lagi. Entah bagaimana kusen kayu itu kini berada jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Kia dan Febi mulai panik.

"Geng ...," lirih Nina dengan suara bergetar. Matanya melotot memandangi bagian atas. Jani, Kia dan Febi mengikuti arah pandangan Nina. Dan ... puluhan bahkan ratusan bayangan hitam berputar-putar membentuk pusaran yang siap menyedot apa pun di sekitarnya.

Keringat dingin mulai membanjiri tubuh keempat gadis belia itu. Kini raga mereka bagai terkunci, amat sulit digerakkan. Dari tengah pusaran keluar cahaya putih, begitu terang. Sangat menyilaukan mata, perlahan mendekati Kia.

Tepat di hadapan wajah Kia, sinar itu meredup. Jantung gadis bertubuh sintal itu berdegup amat kencang, sekujur badannya basah bak tersiram hujan keringat. Mulutnya tiba-tiba terbuka dan cahaya putih tadi masuk ke sana. Kia sontak memegangi lehernya, tenggorokannya terasa panas bak dimasukkan bara api yang masih menyala. Matanya membulat sempurna, napasnya memburu bagai dikejar ribuan hewan buas. Tidak, ini bahkan lebih mengerikan dari hewan buas apa pun.

"Kia ... Kia. Tolong ... tolong kami." Hanya itu yang bisa Jani, Nina dan Febi lakukan. Sebab, tubuh mereka benar-benar tak bisa digerakkan.

Di luar rumah, dua orang hansip tengah berpatroli. Pria bertubuh tambun memintanya berhenti sejenak. "Muh, kamu denger suara teriakan gak?"

Lelaki bernama Muhardi, beberapa kali mencoba menajamkan pendengarannya, tapi nihil, ia tidak mendengar apa pun selain suara pepohonan akibat tertiup angin. "Perasaan kamu saja paling, Drun."

"Iya kali, ya. Lagian, rumah ini 'kan sering banget ngeluarin suara-suara aneh. Aku sampe merinding Muh," papar Madrun sambil menunjukkan rambut-rambut halus di tangannya yang berdiri.

Kia pasrah akan nasibnya kini, rasa panas yang menyerang lehernya makin menjadi. Tubuhnya terlalu lemah untuk bertahan lebih lama lagi. Sepersekian detik kemudian cahaya putih tadi keluar dan Kia ambruk. Jani, Nina dan Febi pun bisa bergerak kembali.

Jani langsung merengkuh tubuh ringkih Kia. Menepuk-nepuk pipi tembam sahabatnya cukup keras agar kembali sadar. "Kia bangun."

Tangis ketiganya makin pecah, saat tubuh Kia tak memberi respon apa pun. Nina ingat air minum yang mereka bawa, ia pun mencoba meminumkannya pada Kia, dan berhasil.

"Ya Tuhan, Kia syukurlah." Kia terbatuk sambil berusaha untuk duduk, tapi sayang tubuhnya terlalu lemah.

"Gue takut," seru Nina lalu merangkul ketiga sahabatnya, dan menangis. Ini kali pertama ia tak tahu apakah besok masih bisa melihat atau tidak? Semua yang ada di sini begitu menyeramkan. Kini ia menyesal telah menyetujui ide Jani.

"Gue minta maaf, ya. Udah bawa kalian ke sini, gue nyesel." Anjani menangis sejadi-jadinya. Ia benar-benar menyesal telah membawa sahabatnya ke dalam rumah terkutuk ini. Terlebih kepada Kia. Padahal, ia sudah berulang kali diingatkan untuk tak melanjutkan ide gila ini.

"Kita udah terlanjur di sini. Daripada saling menyalahi diri sendiri, lebih baik kita cari jalan keluar," kata Febi berusaha menenangkan ketiga sahabatnya. Sejujurnya, ia pun tak kalah takut dari mereka.

Febi berusaha membantu ketiga sahabatnya berdiri, tiba-tiba, cahaya putih tadi mengangkat mereka hingga menyentuh langit-langit, di mana kini bayangin hitam tadi menampakkan wujudnya yang berupa wajah penuh belatung.

Tak lama kemudian, cahaya putih menghempaskan mereka hingga menembus lantai, melintasi ruang gelap tak berujung yang entah apa namanya.

"Nyai, kami sudah membawa para gadis lancang itu kemari," seru mahluk berbulu lebat dengan sebuah tanduk runcing di ujung kepalanya, pada sang majikan.

Wanita yang tengah menyisir rambut panjangnya sambil bersenandung itu, mengangguk. Sebelumnya beranjak dari duduknya, Nyai membolak-balikkan tangannya. Memastikan kuku panjangnya tak ada yang patah, akibat kecerobohan dayangnya tempo hari.

Hatinya berbunga sekaligus terluka. Empat gadis belia yang sangat cocok untuk aura kecantikannya, datang dengan suka rela. Namun, ia juga sedih, karena salah satunya telah berlaku tidak sopan padanya. Matanya melotot, membuat iris hitamnya berubah menjadi merah menyala. Kemarahan tercetak jelas di raut wajahnya.

Gelak tawa membuat Jani sadarkan diri, matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya. Goa batu lembab, bau anyir di mana-mana, dan ornamen-ornamen tengkorak yang terpajang di sepanjang dinding goa, hanya satu dua obor sebagai penerangan. Ia yakin, siapa pun akan sepakat dengannya, jika tempat ini sangatlah menjijikkan.

Suara tawa masih menggema, tapi tiada apa pun yang terlihat di sana, kecuali ketiga sahabatnya yang juga sama sepertinya. Tangan dan kaki terikat oleh sesuatu yang terlihat seperti rambut.

"Nina, Kia, Febi! Bangun," teriak Jani tertahan. Ia tak ingin makhluk lain di tempat ini terbangun.

Tak ada jawaban. Jani mencoba merangkak mendekati Febi, sebab dia yang paling dekat. "Febi bangun."

Febi bergeming, sungguh batin Jani teriris. Tubuh temannya kini penuh dengan luka dan darah, terutama Kia. Di lehernya bahkan tercetak lebam kehitaman yang amat pekat. Belum sempat ada yang terbangun, sebuah derap langkah terdengar.

Sial bagi Jani, ia tak bisa kembali ke posisi awalnya. Alhasil, ia hanya bisa berpura-pura tak sadarkan diri lagi. Suara langkah terdengar semakin nyaring, dan semakin banyak. Seolah ribuan pasang kaki ikut bergabung dalam sebuah parade jalan santai, yang sering sekolahnya adakan.

"Wah, rupanya tamu kita sudah ada yang bangun," seru sebuah suara dengan aksen medok khas orang jawa.

"Buka matamu cantik." Sesuatu benda kenyal nan basah, juga berbau tidak sedap menggerayanginya. Takut, hanya rasa itu yang hinggap di jiwanya. Entah pergi ke mana, keberanian yang selalu bertengger di dirinya.

Jani tetap tak mau membuka mata. Namun, sesuatu yang kenyal itu mulai melilit kuat, membuatnya kesulitan bahkan hanya untuk bernapas. Perlahan tapi pasti, Jani merasa tubuhnya terangkat, dan benar. Untuk kesekian kalinya ia dihempaskan bak sebuah mainan yang bisa dibanting sesuka hati.

"Buka matamu bocah. Kamu pikir aku tidak tahu, jika kamu sudah siuman, hah!" bentak Nyai. Suara menggelarnya mampu menggetarkan seisi goa, hingga beberapa batuan jatuh mengenai Febi, Nina juga Kia. Dan itu membuat mereka juga tersadar.

Terdengar suara isak dari ketiga temannya, otak Jani buntu sekarang. Gadis berkulit putih itu bingung, tak tahu harus berbuat apa, selain menuruti perintah seseorang yang suaranya begitu menggema tadi.

"Ampuni kami, kami mohon," lirih Jani memelas. Sungguh, ia ingin pulang, kembali ke tempat di mana seharusnya ia berada. Bukan di goa antah berantah begini.

Nyai tertawa terbahak-bahak. "Aku tidak biasa memaafkan manusia. Apalagi bocah ingusan macam kalian. Apa kalian tidak tau siapa aku?"

"Su-Sulastri!" seru Febi tergagap.

Nyai mendekati Febi, kuku panjangnya mudah saja melepaskan ikatan rambut kebenciannya. "Apa kalian tahu, siapa yang menyebabkan kalian masuk ke sini?" tanya Nyai sambil terus menatap Febi intens.

Hening, tak ada yang berani menjawab. Mereka terlalu takut untuk membuka mulut, mengeluarkan kata-kata sebagai jawaban pertanyaan wanita ayu bergaun merah menjuntai itu.

"Gadis ini!" Tentu saja Kia, Jani dan Nina tak percaya dengan ucapan wanita itu. Bukan menyalahkan, tapi mereka sadar siapa yang mengajak mereka ke sini, terutama sang ketua geng.

"Tidak ada yang mau menjawab? Baik, biar kukasih tahu. Gadis ini," ujarnya dengan mencengkeram rahang Febi kuat. Sedangkan gadis itu hanya bisa menangis. Ia benar-benar tidak tahu apa yang telah diperbuatnya.

"Aku mohon ampuni teman-temanku. Aku siap melakukan apa pun, asal temanku bisa kembali dengan selamat," pinta Jani sekali lagi.

"Sayangnya, aku lebih suka kalian semua ada di sini," tegas Nyai. Kini mulut wanita berkuku panjang itu mulai komat-kamit, merapalkan mantra saktinya untuk membalas penghinaan atas sakit hati yang diterimanya.

Tidak ada yang bisa keempat gadis itu lakukan selain menangis. Sekarang, secara ajaib tubuh mereka terangkat dan berkumpul di titik tengah, di mana setitik sinar bulan masuk melalui celah goa yang sangat kecil.

Wajah ayu Nyai perlahan meluntur, berubah jadi penuh keriput dan mengelupas. Mengeluarkan bau anyir khas darah segar. Ya, wanita di depannya kini hanya memiliki separuh muka, separuhnya lagi sudah tak berbentuk. Kilatan matanya kian tegas, taring mulai tumbuh dan mencuat hingga melewati garis bibirnya.

Jani, Nina, Febi dan Kia bergidik ngeri. Makhluk di hadapannya benar-benar menakutkan. Nyai mendongak, sepersekian detik menyemburkan cairan berwarna kehitaman yang amat sangat busuk baunya. Tidak hanya itu, kulit mereka melepuh, menimbulkan rasa perih tak tertahan.

Benjolan-benjolan yang tercipta akibat cairan hitam tadi pecah dan mengeluarkan nanah. Menjijikan. Hanya kata itu yang pantas untuk mendeskripsikan keadaan mereka sekarang.

"Maafkan aku, aku tidak sengaja meludah. Sungguh, aku tidak tahu kalau itu sangat menyinggungmu. Aku mohon," teriak Febi memohon ampunan.

Nasi sudah menjadi bubur. Ada kekecewaan yang hinggap di hati Jani, Nina dan Kia. Kesalahan yang temannya lakukan mengantarkan mereka sampai sejauh ini. Memang tidak mutlak, andai Febi mematuhi, andai Febi tidak meludah, andai dan andai.

Hanya pasrah yang tersisa, tak ada jalan terbuka untuk mereka pulang. Semua pintu tertutup rapat, bahkan jika itu sebuah lubang semut mereka tetap tak akan pernah bisa menjangkaunya. Kecerobohan gadis belia yang terlalu menganggap sepele dunia spiritual, dan rasa penasaran yang tidak pada tempatnya, menimbulkan akibat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

"Kalian, selamanya akan tinggal di sini dan menjadi dayangku. Se-la-ma-nya," tegas Nyai diiringi tawa membahana, diikuti ribuan pengikutnya. Tulang-belulang yang semula hanya hiasan dinding goa kini menjelma menjadi berbagai bentuk makhluk, dan itu sangat menakutkan.

🖤🖤🖤

Keesokan paginya, orang tua Nina kelimpungan mencari anak semata wayangnya. Sepasangan suami-istri itu begitu panik, mendapati kamar putrinya kosong tak berpenghuni. Mereka ingat, gadis-gadis belia itu meminta izin untuk keluar mencari angin, dan sampai sekarang belum kembali.

Mereka melapor ke RT setempat, menceritakan tentang kronologis perginya sang anak dengan ketiga temannya. Lalu, hansip yang semalam berjaga teringat akan teriakan dari Rumah Nyai, dan mengajak warga ke sana.

Benar saja, keempat gadis itu terkapar tak bernyawa dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Seluruh kulit tubuh mengelupas, darah bercampur nanah menggenang di sekitarnya.

Orang tua Nina, terutama sang mama menangis histeris, mereka tak menyangka akhir hidup para gadis ini berakhir dengan amat tragis. Saat hendak meraih tubuh anaknya, sesuatu dalam kantong hoodie Nina menyala. Pesan masuk di ponsel pintar itu, bertuliskan.

"Mama, tolong!"

---------------------
.
.
.
.
.

Hai hai, ketemu lagi sama aku yang super kiyut ini, eak. Pokoknya dibaca aja, insyaAllah menghibur. Kalau enggak, ya dihibur-hiburin aja. Haha.

Sampai jumpa di cerpen berikutnya. Salam manis dari othor manis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro