Leman & Leha
Murid baru yang menarik perhatian seisi sekolah, ternyata tidak hanya terjadi di sinetron, atau drama dari negeri ginseng sana saja. Di Indonesia raya, khususnya SMA Cendekia, pun sama. Seminggu terakhir bocah pindahan dari luar kota itu bak magnet, yang menarik seluruh gadis-gadis, kecuali Nadin. Gadis yang selalu mengikat rambut panjangnya itu, tak tertarik sama sekali untuk menyimak ocehan Kanaya, sahabatnya. Yang sedari tadi terus saja membicarakan siswa itu
Kesal omongannya tak digubris, Kanaya merebut ponsel pintar yang sedari tadi menyedot perhatian Nadin. Sontak gadis bermanik cokelat kehitaman itu mendelik. "Apa-apaan, sih. Balikin HP gue!" pekiknya.
Dengan cepat Kanaya memasukkan benda pipih itu ke dalam ranselnya. "Gak bisa! Lo mesti dengerin gue dulu," tegas Kanaya.
Nadin melipat kedua tangannya di depan dada, dan menyuruh sahabatnya untuk lanjut berbicara. Kanaya menarik kursi yang didudukinya, agar lebih dekat dengan lawan bicaranya, kemudian menyandarkan kepalanya di pundak Nadin. “Lo tau, Raja itu beda banget sama cowok-cowok lain. Dia gak cuma ganteng, tapi juga pinter,” kata Kanaya sembari membayangkan saat berpapasan dengan cowok itu pagi tadi.
“Tau darimana lo, dia pinter? Terus, tau dari mana juga, kalau nama dia Raja?” tanya Nadin.
Kanaya menegakkan kepalanya dan berujar, “Kan di baju ada namanya, gitu doang gak bisa nebak. Terus, ya dia langsung masuk tim inti basket. Apa coba namanya, kalau gak pinter?”
Nadin terbahak, perasaan geli menjalari seluruh tubuhnya. Bagaimana bisa masuk tim inti basket disebut pintar? Jika begitu, berarti mereka yang berhasil meraih peringkat pertama di kelasnya, adalah jenius. “Lo sendiri, 'kan tau, gimana susahnya masuk tim basket, meski pemain cadangan,” cetus Kanaya.
Hampir saja Kanaya mendapat jitakan dari Nadin, karena sudah berani mengungkit hari memalukan itu. Hari di mana ia ditolak langsung saat mendaftarkan diri sebagai pemain cadangan klub basket, setahun lalu. “Ngomong itu sekali lagi, gue tabok lo,” ancam Nadin.
“Udah sini, balikin HP gue. Gue mau pulang, si gembut pasti udah kangen banget sama gue.” Nadin merebut tas Kanaya, dan mengambil ponselnya. Kemudian meninggalkan sahabatnya yang belum selesai bicara.
Sesampainya di rumah, hal pertama yang ia lakukan adalah memeluk gembut, bantal guling kesayangannya. Sudah beberapa kali benda empuk itu hendak dibuang sang mama karena bau dan jelek. Tetapi, Nadin dengan segala alibi dan keteguhannya, berhasil menyelamatkan kesayangannya itu. “Gambut, gue tuh sayang banget sama lo. Lo juga sayang, 'kan sama gue?” tanya Nadin, kemudian ia menggerak-gerakkan bantal itu seperti orang yang mengangguk.
“Kalau lo sayang juga sama gue. Bawa orang yang udah ngasih elo ke gue balik. Gue kangen,” lirihnya sembari membawa gembut dalam pelukan.
Keesokan harinya, seperti yang sudah-sudah. Setiap hari Sabtu, SMA Cendekia dan SMA Tunas Bangsa akan melakukan pertandingan persahabatan. Kali ini giliran sekolah di mana Nadin menuntut ilmu yang jadi tuan rumah. Kanaya yang biasanya tak pernah minat menonton basket, seketika menjadi amat antusias. Ia pun mengajak sahabatnya untuk ikut menyaksikan. Namun, ditolak.
“Enggak!” tolak Nadin langsung. Namun, melihat sahabatnya yang nampak sedih, ia menjadi tak tega. “Iya, ayo gue temenin. Jangan manyun lagi, lo jelek tau gak.” Seulas senyum pun terukir di bibir tipis Kanaya.
Kanaya mengambil tempat duduk paling depan, ia ingin menyaksikan pertandingan dari jarak dekat. Dan Nadin, hanya bisa mengikuti saja. “Lo bohong, ya, sama gue. Katanya udah mulai,” protes Nadin merasa ditipu. Sedangkan sahabatnya itu hanya cengengesan.
Para pemain beserta pelatihnya mulai memasuki lapangan, sorak-sorai dari dua sekolah membuat suasana lapangan kian riuh. Tidak terlalu buruk, pikir Nadin. “Itu Raja,” jerit Kanaya kegirangan, sambil menunjuk ke pemain yang tengah mengencangkan tali sepatunya.
“Gimana menurut lo, ganteng, 'kan?” tanya Kanaya sembari menyenggol bahu kiri Nadin.
“Hmm ... lumayan. Jadi dia, alasan lo ngotot pingin nonton ini pertandingan?” tanya Nadin balik. Kanaya tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang rapi juga putih.
Permainan pun dimulai. Di pertengahan, pertandingan mulai menarik. Benar yang sahabatnya katakan, cowok bernama Raja itu bermain amat apik. Netra cokelatnya pun terpaku padanya. Namun, semakin diperhatikan wajah siswa baru itu semakin nampak tak asing. “Lo tau gak, itu bocah nama lengkapnya siapa?” teriak Nadin. Kanaya tak mungkin dengar jika ia berbicara pelan.
“Rajata Attariq, kalau gak salah. Kenapa emang?” tanya Kanaya penasaran. Pasalnya, yang ia tahu sahabatnya ini tak pernah tertarik dengan siswa berlabel “populer”.
“Ikut gue.” Nadin menyeret sahabatnya agar keluar dari sana. Ia harus memastikan sesuatu, dan itu tidak bisa dilakukan sendirian.
Kini kedua gadis belia itu sudah berada di depan ruangan Tata Usaha. Netra cokelatnya melirik ke kiri dan ke kanan. Memastikan keadaan sekeliling sepi. Kanaya yang tidak mengerti dengan apa yang sahabatnya ini lakukan, hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Lo inget, gue pernah cerita tentang si gembut?
“Guling jelek itu,” jawab Kanaya, “iya gue inget, kenapa?”
“Bagus kalau lo inget. Gue cuma ngetes aja, takut lo amnesia.” Sebuah sentilan pun mendarat indah di kening Nadin. “Sekarang, lo jaga-jaga di sini. Gue bakalan masuk, buat mastiin sesuatu. Ketuk pintu, kalau ada yang ke sini, oke,” terangnya. Belum sempat dijawab, gadis berusia 18 tahun itu, sudah menghilang di balik pintu.
Kanaya mondar-mandir bak alat setrika, ia pun terus mengamati sekeliling kalau-kalau ada yang tiba-tiba datang. Sedangkan di dalam sana, Nadin langsung mengambil buku induk di mana semua data siswa tercatat, dan mulai membalik halaman demi halaman dengan sangat hati-hati, untuk menemukan yang ia inginkan. Sampailah di halaman terakhir, segera ia ambil ponselnya dan memotret tulisan di sana, kemudian mengembalikan ke tempat semula.
Jantung Nadin hampir copot, kala pintu berbahan dasar kayu itu terbuka. Namun, ia bisa kembali bernapas lega, saat kepala Kanaya menyembul dari baliknya. “Cepetan,” bisik Kanaya.
Nadin pun cepat-cepat keluar dan ruangan tersebut, dan nahas. Pak Hendro, wali kelas mereka sudah berada di sana sambil berkacak pinggang, lalu berkata, “Ngapain kalian di sini, hah?”
“Kami ... anu, Pak,” jawab Nadin ambigu, menciptakan sebuah kerutan di kening Pak Hendro.
“Kami menutup pintu, Pak. Tadi kami lihat pintunya terbuka, jadi sama Nadin ditutup lagi,” kilah Kanaya.
“Iya, Pak, bener kata Kanaya. Lain kali, pintu ini harus ditutup dengan benar, bila perlu dikunci. Kalau enggak, bisa aja seseorang masuk dan mencuri sesuatu yang penting di sana. Kan bahaya, Pak,” imbuh Nadin penuh semangat.
Kanaya tertawa garing, bukankah seseorang yang tengah sahabatnya bicarakan itu dirinya sendiri? Ingin sekali ia memukul kepala gadis yang berdiri di sampingnya ini. “Kalau gitu kami pamit pulang dulu, Pak. Selamat siang,” ujar Kanaya menutup percakapan absurd ini.
Tanpa menceritakan apa yang ia lakukan di ruang Tata Usaha tadi, Nadin langsung meninggalkan sahabatnya yang masih kebingungan akan gelagatnya yang tidak biasa itu. “Hei, bocah gak ada akhlak! Bisa-bisanya lo, ya. Langsung pergi gitu aja, “ teriak Kanaya.
Nadin tak menggubris teriak temannya, dan segera keluar untuk menunggu angkutan kota yang biasa membawanya pulang. Dan begitu sampai rumah, tujuan utamanya ialah kamar sang mama. Ia ingin membagi berita besar sekaligus membahagiakan ini pada wanita yang telah mengandungnya. “Mama ... Mama ...,” panggilnya lantang.
“Mama di belakang, Nak,” sahut sang mama dari arah halaman belakang.
Nadin pun kembali berlari, dan langsung memeluk Mama El erat. Saking eratnya sang mama sampai sesak napas. “Eh, maaf, Ma. Aku terlalu seneng.”
Mama El meletakkan teko yang biasa digunakan untuk menyiram tanaman, ke tempatnya. Ia baru saja mengisi wadah itu dengan air, agar sore nanti tidak perlu diisi lagi. Sementara Nadin ia sudah sangat tak sabar untuk bercerita tentang kebahagiaannya hari ini. Apalagi jika bukan karena siswa baru di sekolahnya itu. Ya, ia adalah sahabat masa kecilnya, yang delapan tahun lalu pindah ke luar kota, karena papanya yang dipindah tugaskan.
“Jadi, anak Mama mau cerita apa?” tanya Mama El sembari mendudukkan bokongnya di kursi. Sedangkan Nadin duduk bersimpuh di depan mamanya. Lalu menunjukkan sebuah foto yang ada dalam ponsel pintarnya. “Apa ini?” sambungnya seraya mengambil benda pipih itu dari tangan putrinya.
“Mama ingat Tante Fitri, Om Syahir? Dulu mereka tinggal di rumah dinas yang sekarang ditempati Pak Riyadi di blok R sana?” tanya Nadin berusaha mengingatkan mamanya tentang keluarga sahabat masa kecilnya itu.
“Sayangnya Mama lupa, Nak. Dan ini, apa?” tanya sang mama pura-pura tidak mengerti. Dan itu berhasil membuat putri semata wayangnya jengkel.
“Ih, Mama. Yang dulu sering main ke sini, yang punya anak cowok seumuran aku,” paparnya sekali lagi. “Itu alamat mereka sekarang, Ma. Dan Rajata, satu sekolah sama aku,” lanjutnya.
Mama El pun tak sanggup lagi menahan diri untuk tidak tertawa. Sekarang Nadin sadar, ia baru saja dikerjai sang ibunda. Ia pun merebut ponselnya dan masuk ke kamarnya. Hingga makan malam tiba, gadis bersurai panjang itu tidak berniat berbicara dengan orang tua tunggalnya itu. Wanita paruh baya itu sendiri, tak ambil hati. Ia sangat mengenal tabiat anaknya.
Kenangan bercengkerama dan bermain dengan riang saat masih kanak-kanak dulu, terputar otomatis di otak cantiknya. Langit-langit kamar pun bak layar film yang menampilkan kegiatan mereka dulu. Amat menyenangkan. Malam ini, Nadin bertekad ada tidur lebih cepat, agar besok ia bangun lebih pagi. Ia sudah tak sabar, ingin segera menyapa dan mengingat keseruan masa kecil dulu.
Waktu telah berlalu, gelapnya malam berganti dengan teriknya cahaya yang dipancarkan sang raja siang. Begitu jua dengan jiwa, setelah sekian lama terasa kosong akibat kehilangan. Kini, penghuni yang dulu sempat pergi telah kembali, siap mengisi ruang yang memang ada hanya untuknya.
Begitu bel pertanda pelajaran hari ini berakhir, Nadin menyuruh Kanaya untuk pulang terlebih dahulu. Ia berdalih ingin membantu petugas OSIS membersihkan lingkungan sekolah. Tentu saja gadis penyuka warna merah itu tak percaya. Piket kelas saja tidak pernah dilaksanakan, apalagi ini. Mustahil. Namun, Kanaya tetap mengiakan omongan sahabatnya itu.
Seperti yang Kanaya duga, Nadin berbohong. Gadis bertubuh mungil itu berada di depan kelas XII IPA 2, di mana Rajata berada. Saat cowok tinggi itu keluar, ia langsung menyapanya dengan akrab, dan itu sukses membuat keduanya menjadi pusat perhatian. “Hai, Leman,” sapa Nadin, dengan senyum manis menghiasi wajah ayunya.
Teman sekelas Raja yang masih ada di sana tertawa. Ya, mereka menertawakan Nadin yang memanggil orang dengan sembarang. “Kalau gue yang jadi Raja. Udah gue lempar itu muka pake sepatu. Jijik, sok akrab,” celetuk salah seorang gadis yang memang terkenal congkak.
“Kita gak saling kenal, jadi jangan pernah sapa gue lagi, oke. Mending lo pergi sekarang! Atau ....” Rajata memotong kalimatnya. Manik elangnya menatap Nadin tajam.
“Atau apa?” tukas Nadin. “Lo gak inget sama gue? Gue Nadin, temen kecil lo,” jelasnya , mencoba mengingatkan cowok di depannya kini akan dirinya.
Rajata tak berniat meladeni cewek yang tidak dikenalnya itu, ia pun memilih pergi, daripada harus berdebat dan menjadi pusat perhatian lebih lama lagi. Apa Nadin diam saja? Tentu saja tidak. Ia berjalan cepat mengekor tepat di belakang cowok seratus persen ia yakini Rajata teman masa kecilnya. “Gue gak percaya lo lupa sama gue. Kita cuma gak ketemu delapan tahun Ja,” oceh Nadin sembari susah payah mengimbangi langkah cowok di depannya ini.
Karena Rajata yang menghentikan langkahnya tiba-tiba. Kejadian menubruk punggung pun tak terhindarkan. “Aww ... lo bilang dulu, kek. Kalau mau berhenti,” oceh Nadin sembari mengusap-usap keningnya yang tertutup poni.
Rajata berbalik dan mendorong tubuh mungil Nadin dengan kasar, hingga terjatuh. Tak hanya itu, ia juga berteriak, “Udah gue bilang kita gak saling kenal! Masih aja ngikutin. Urat malu lo pasti udah putus.”
Ucapan cowok di depannya begitu pas mengenai ulu hati, menciptakan luka nan perih yang tiada tara. Genangan air yang sedari tadi di pelupuk pun, mulai luruh. “Lo jahat! Rajata yang gue kenal dulu gak kaya gini,” cicit Nadin, diiringi tangis.
Nadin berlari, membawa sebuah lara yang telah Rajata torehkan di relung hatinya. Kanaya yang melihat kejadian itu dari kejauhan tak bisa berbuat banyak, ia lebih membiarkan sahabatnya untuk menata perasaannya sendiri. “Haih, Nadin. Lo terlalu gegabah,” gumamnya.
Sampai rumah, Nadin menangis tersedu-sedu di pangkuan sang mama. Ia tak menyangka jika Rajata telah melupakannya. Padahal, dahulu mereka telah berjanji akan selalu mengingat satu sama lain. Mama El sendiri dibuat kelimpungan, karena gadisnya tak jua berhenti menangis sambil meracau. “Mama bakal ngabulin apa pun keinginan Nadin, dengan syarat berhenti nangis. Mama pusing, Nak,” gerutu Mama El.
Perlahan tangisan Nadin mulai mereda. Meski itu tidak mengurangi nyeri dalam hatinya, setidaknya bisa digunakan suatu saat nanti. “Mama janji?”
“Iya, Mama janji. Sekarang mandi, ya. Anak Mama jelek banget kalau nangis gini,” hibur sang mama sembari mengusap lembut sisa-sisa air mata di pipi putrinya.
Malam kian beranjak, jam pun sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Ia masih tak percaya jika Rajata sudah melupakannya. “Gimana bisa gitu, gue aja masih inget,” omelnya, yang entah suaranya terdengar amat nyaring. “Gue mesti atur rencana,” lanjutnya.
Sebuah ketukan pintu yang cukup keras menyadarkan. Rupanya semalam ia ketiduran di meja belajar, bukan kasur. Segera ia meraih jam yang ada di depannya, syukurlah masih jam enam kurang. “Iya, Ma. Aku udah bangun, ini mau mandi.” Ajaib, gedoran itu pun lenyap.
Sesampainya di sekolah, dengan tekad yang bulat dan kuat Nadin menemui wali kelasnya dan memohon untuk pindah kelas. Tentu saja permintaannya itu ditolak mentah-mentah, karena alasan yang ia ajukan terlalu klise, yakni tidak betah. Tak patah arang, gadis belia itu memintanya teman sekelasnya untuk merundungnya tepat sebelum Pak Hendro masuk untuk mengisi pelajaran. Bahkan Kanaya yang sudah kadung gemas, sampai memukul kepala sahabatnya itu.
Ternyata itu berhasil, Pak Hendro meminta orang tua Nadin untuk ke sekolah besok. Ada satu hal yang kadang ia sendiri pun tidak pahami. Saat memikirkan hal-hal seperti ini, otaknya seolah bekerja amat cepat, berbanding terbalik ketika belajar. Janji yang Mama El ucapan ketika menenangkannya waktu itu pun ia manfaatkan. Ya, saat memberitahu jika wali kelas memanggilnya, Nadin menekan ibunya untuk mengikuti semua ucapannya nanti.
Meski begitu, Mama El tak mau rugi, ia meminta anaknya untuk tidak lagi membolos pelajaran, dan nongkrong di kantin. Sepakat. Ibu dan anak itu kini sudah berhadapan dengan Pak Hendro. Lelaki paruh baya itu menjelaskan apa yang Nadin alami kemarin, dan memutuskan untuk memindahkannya ke lain. Dan kelas lain itu ialah XII IPA 2.
Setelah semua prosedur dilalui, Mama El pulang. Dan kini Nadin duduk tepat di bangku sebelah Rajata. Jangan tanya bagaimana perasaannya kini, sudah pasti senang bukan main. “Hai, Leman. Sekarang kita sekelas.”
Yang Rajata katakan mengenai urat malu Nadin yang sudah putus, sepertinya benar. Sebab meski sudah dibentak, bahkan makanan yang ia bawakan dibuang di depan matanya, tak menyurutkan semangatnya dalam berusaha mendekati sama sekali. Puncaknya saat Rajata memergoki sendiri, ia tengah mengambil fotonya. Ia marahi habis-habisan. Dan banyak yang menyaksikan.
“Lo bener-bener, ya. Selain pengganggu, juga penguntit. Kalau lo gak ada kerjaan, mending lo pulang. Gak ada gunanya lo di sini!” tegasnya dan mengusir Nadin untuk segera menyingkir dari lapangan.
Nadin meremas ujung roknya. Sesungguhnya ini sangat melukai harga dirinya. Namun, ia harus bisa menahan, demi membuat cowok arogan ini kembali mengingatnya. “Tahan, Nadin. Tahan,” ujarnya menenangkan diri sendiri. Ditariknya napas dalam, dan mengembuskan perlahan.
Kanaya tak tega melihat sahabatnya diperlakukan semena-mena begitu. Ia pun menghampirinya dan berusaha menghiburnya dengan mengajaknya ke kantin. Menurut penelitian yang entah ia tak tahu siapa penelitinya, makan bisa memperbaiki suasana hati yang rusak. Tapi sepertinya itu benar adanya, sebab Nadin kembali ceria setelah perutnya terisi dengan baik, terlebih gratis.
“Besok pertandingan jam berapa, Nad?” tanya Kanaya, ia juga tak ingin melewatkan pertandingan rutin itu. Lumayan cuci mata, sebab cowok-cowok SMA Tunas Bangsa memang lebih banyak yang beningnya, ketimbang buriknya.
“Kayak biasanya, jam 1.” Kanaya manggut-manggut, sembari kembali menyesap jus jeruknya.
Pertandingan yang semula dijadwalkan di SMA Cendekia, berubah. Karena tiba-tiba SMA Tunas Bangsa kedatangan pengawas yang ingin turut menyaksikan. Syukurlah sekolah memiliki bus wisata, jadi, baik pemain maupun yang mau ikut menyemangati, bisa berangkat bersama-sama.
Ketika sampai, Nadin langsung membuntuti tim basket sekolahnya, ada hal yang harus ia lakukan. Setelah tahu ruang ganti mereka, dan memastikan tidak ada orang di luar, gadis bermanik cokelat pekat itu masuk. Tujuannya tak lain ingin memasukkan, diari yang dulu mereka buat bersama.
Bukan tulisan yang mendayu-dayu, atau curhatan yang penuh air mata. Melainkan tempelan-tempelan dedaunan berbentuk unik, juga bunga-bunga kecil nan sedap dipandang.
Nahas, saat ia sudah berhasil dengan misinya. Para pemain dari SMA Tunas Bangsa masuk. "Wih, ada cewek nih. Ngapain di sini?" tanya salah satu dari tiga cowok tersebut.
"A-aku nyari kamar mandi. Iya, aku salah masuk. Permisi." Segera Nadin meninggalkan tempat itu. Namun, gagal.
Cowok-cowok itu menariknya, membawanya ke saah satu sudut. Membuatnya terimpit di antara orang-orang yang tidak ia kenal. Sesungguhnya, kini Nadin mulai takut.
"Aku mau keluar," mohon Nadin.
"Kok buru-buru, sih? Oh iya, 'kan mau ke kamar mandi, ya. Mau aku antar?"
"Gak usah, aku bisa sendiri." Nadin benar-benar ketakutan. Kini, ia mulai menyesal, karena tidak mengajak Kanaya untuk menjaga di luar, seperti saat memasuki ruang tata usaha dulu.
"Ada apa ini?" Nadin kenal suara itu, itu adalah Rajata.
Rajata menerobos cowok-cowok yang seperti membentuk dinding untuk menghalangi Nadin. Ditatapnya bocah-bocah itu satu pet satu, kemudian menyeret gadis yang terimpit di sana.
Sesampainya di depan gudang, Raja memaki Nadin habis-habisan. "Lo gila apa? Bisa-bisanya lo masuk ke sana sendirian, lo ...."
"Iya, gue gila. Gue gila karena lo. Lo sering bilang urat malu gue udah ilang, 'kan? Iya, lo bener. Urat malu gue udah ilang. Dan itu demi lo. Apa salah kalau gue mau ngedapetin sahabat kecil gue lagi?" papar Nadin berapi-api.
"Saat anak-anak dulu ngejauh karena bokap yang tersandung kasus korupsi, lo enggak. Saat mereka mencaci gue karena bokat yang mati bunuh diri di penjara, lo malah stay. Apa salah kalau gue gak mau kehilangan sosok itu? Hah, apa gue salah?" Kini Nadin tak mampu lagi menahan diri, tangisnya pecah.
"Apa yang bikin lo gak mau deket lagi sama gue? Apa gue semenjijikan itu?" Ia sudah tak sanggup lagi menerima penghinaan ini. Namun, ia harus bertahan, demi mendapatkan kembali sahabat kecilnya.
Rajata frustrasi melihat gadis menjengkelkan di depannya kini menangis tanpa henti. Ia pun memilih pergi, gendang telinganya bisa-bisa pecah, jika bertahan lebih lama lagi.
"Sekali lagi. Kasih gue kesempatan sekali lagi. Kalau lo tetep gak inget dama gue. Gue janji, bakal lupain semuanya."
"Hanya sekali. Ingat!"
Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang sudah di janjikan, yakni TK di mana mereka pertama kali kenal. Nadin mulai mengajak Rajata berkeliling, ke lokasi-lokasi yang pernah mereka datangi untuk bermain dulu.
Mulai dari SD, taman bermain, hingga sebuah rumah kosong yang memiliki halaman luas. Nadin menunjuk sebuah gundukan tanah, dan membongkarnya. Ketika di keruk cukup dalam, ada sebuah kotak berbahan plastik berukuran sedang, saat dibuka di dalamnya terdapat sebuah ketapel dan jepit rambut miliknya dulu.
"Kami selalu bilang aku cantik ketika pake jepit ini. Ketapel ini juga kamu buat sendiri dari kayu pohon jambu, yang ada di belakang rumah gue dulu."
Bulir bening kembali mengalir. Membasahi pipi tirusnya. "Gue udah pasrah. Kalau emang lo tetep gak inget. Biar gue kasih tau, nama lo dulu Leman, dan gue Leha. Nama itu lo sendiri yang milih."
Tanpa sepatah kata, Rajata meninggalkan Nadin yang masih tersedu sambil kembali merapikan tanah yang digalinya tadi. Namun, baru beberapa langkah ia berbalik.
"Sebenernya gue inget semuanya. Lo, diari, kotak tadi, dan semuanya. Gue inget semua." Nadin lekas berdiri dan menghampiri Rajata yang masih mematung.
Sepersekian detik kemudian, air mata meluncur bebas dari manik elangnya. "Lo nangis?" tanya Nadin.
"Gue mantau semua kegiatan lo dari sosial media. Lo doang yang gak tau. Alasan gue pura-pura gak inget gak lain,. karena gue suka sama lo. Gue gak mau menodai persahabatan kita dengan cinta sesaat yang sangat bisa menghancurkan segalanya. Gue minta maaf," terang Rajata diiringi isak.
Nadin menggenggam tangan Rajata. "Gue terima alasan lo. Karena yang terpenting, lo masih inget sama gue. Itu udah cukup.
"Makasih."
Nadin mengacungkan jari kelingkingnya. "Ayo kita berjanji, gak akan saling jatuh cinta. Dan tetap bersahabat sampai selamanya."
Rajata mengait kelingking itu, dan menguncinya. "Janji."
Ada hal-hal yang memang sebaiknya dilupakan demi kenyamanan bersama. Namun, alangkah lebih baik jika diungkapkan. Memang kadang terasa sakit, tetapi itu jauh lebih terhormat daripada memendam dan melukai banyak pihak.
.
.
.
.
.
.
Alhamdulillah, cerpen ketiga selesai juga. Semoga syukak. Salam manis dari author manis. Eak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro