Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bunga Tanpa Aroma

26 Mei 2018

Sekarang adalah ulang tahun Abimanyu, pria muda yang membuat jantung Kiara kembali berdetak, setelah kepergian sang suami untuk selamanya setahun silam. Keduanya sudah berjanji akan merayakan hari spesial itu bersama. Dalam balutan dress biru muda favoritnya, wanita yang masih tampak seperti gadis itu terlihat sangat anggun.

Ia turun dari mobil berwarna black sapphire kesayangannya. Melangkah menyusuri lorong, mendekati kamar di mana kekasihnya berada. Sampailah di depan pintu berbahan dasar kayu itu, niat mengetuk ia urungkan karena suara gelak tawa yang begitu renyah terdengar di telinga.

"Abi ... Abi, lo ini. Pacaran kok sama janda, mana lebih tua pula. Lo udah gak bisa cari yang gadis?" Garis senyum yang tadi terukir di bibir Kiara memudar. Ia sangat menanti apa jawaban sang kekasih atas candaan temannya itu.

"Bener banget, gue cariin 10x lebih muda dari pacar janda lo," timpal yang lain. Sedang Abi hanya tersenyum hambar.

Di balik pintu, Kiara masih menyimak obrolan para pria muda itu dengan saksama. Meski kian meradang, ia masih sanggup menahan, menunggu lelakinya mengeluarkan kalimat manis untuk penawar lara hatinya. Namun, apa yang ia dengar tak sesuai dengan kehendaknya.

"Bunga! Kiara ibarat sebuah bunga tanpa aroma, wanginya telah hilang bersama ...."

"Mbak woy. Yang sopan lo sama orang tua," sahut teman yang bernama Kristian memotong kalimat Abi dibarengi tawa meremehkan.

Cukup! Kiara tak sanggup mendengar lebih banyak lagi ocehan mereka, ia berniat meninggalkan tempat itu. Namun, saat ingin beranjak ia malah terjatuh, membuatnya mengaduh kesakitan sebab kakinya terkilir.

Abi yang sangat hafal suara wanitanya langsung keluar. Benar saja, Kiara tengah berusaha berdiri, ia nampak kesusahan. Pria berbadan kokoh itu lantas memegangi kedua bahu kekasihnya. "Kamu gak apa-apa, Kia? Masuk dulu, kakimu sepertinya terkilir. Biar kupijit."

Kedua teman Abi yang tadi asyik menertawakannya terdiam seribu bahasa. Seketika itu pula, perasaan bersalah menggerogoti hatinya.

"Bi, kita pulang dulu, ya. Bye Kia." Kristian dan Nugroho langsung tancap gas begitu menaiki kendaraan roda duanya.

Di dalam ruang berukuran 3x4 meter tersebut, Abi memijit pergelangan kaki Kia pelan, takut membuat kekasihnya semakin kesakitan. Bibir wanita kelahiran 1993 itu bagai terkunci, tak ada sepatah kata terdengar. Namun, saat pria keturunan Jawa-Bali itu mendongak, pipi sang kekasih telah basah oleh air yang mengalir dari matanya. Ia segera memeluk untuk menenangkan.

"Sudah kubilang, lebih baik hubungan ini tak terjalin sama sekali. Aku mendengar semuanya, Abi! Kamu juga mengatakan aku sudah tak memiliki aroma lagi," ocehnya diiringi air mata yang berderai.

Abi melepas pelukannya, menangkup kedua sisi wajah sang pujaan sambil mengusap air matanya sayang.

"Jangan salah paham, Sayang. Dengan atau tanpa adanya aroma, kamu tetaplah bungaku. Penghias hidupku. Maaf, jika ucapanku telah menggoreskan luka di hatimu." Dikecupnya kening Kiara penuh cinta.

"Jangan pernah berkata seperti itu lagi, oke! Aku sangat mencintaimu. Maaf, ya." Kiara bergeming.

"Aku gak mau kehilangan kamu, Sayang. Sekarang lebih baik tunggu di mobil, aku ganti baju dulu," sambungnya. Kiara mengangguk.

Saat menunggu Abi, pikiran Kia menerawang jauh. Mengingat tiap momen ketika indra pendengarannya mendengar suara sumbang mengenai hubungan asmaranya. Ya, gurauan yang terasa seperti olokan itu terlalu sering sampai pada gendang telinganya. Itu juga, yang membuat Kia harus rela, melepas cintanya. Ia tak ingin Abi terus menerus diolok-olok rekannya.

Kini, sejoli yang belum lama menjalin kasih itu tengah menikmati santap siang di restoran western milik kenalan Kia.

Kia selesai terlebih dulu, keduanya lebih banyak diam sejak tadi, hanya suara pisau dan piring yang sesekali terdengar karena beradu.

"Aku mau putus!" ujar Kia memecah keheningan juga konsentrasi Abi pada makanannya.

"Berhenti memikirkan ocehan mereka, dan lanjutkan makanmu."

"Aku sudah selesai dan mau kita putus!" Abi menatap Kia tajam, napasnya memburu menahan amarah. Ini sudah ketiga kalinya, wanita yang duduk di hadapannya mengucapkan kalimat menyebalkan itu.

"Hubungan kita bahkan belum genap tiga bulan, Kia. Dan ini sudah ketiga kalinya kamu ingin putus. Kamu pikir hubungan ini hanya sebuah permainan?" Kia terdiam. Ia tak pernah menganggap ini permainan.

"Perbedaan di antara kita begitu mencolok, Abi. Aku gak tahan denger kamu diolok-olok temanmu," lirihnya berusaha menahan tangis.

Abi meraih tangan kiri kekasihnya dan berkata, "Lupakan temanku, Kia! Kamu hanya perlu mengingatku. Abimanyu. pria yang sangat mencintaimu."

"Aku mau pulang, kakiku sakit." Abi mengangguk. Menaruh dua lembar seratus ribuan dan menggandeng wanitanya ke mobil.

Sepanjang jalan menuju kediaman Kia, tak banyak yang keduanya bicarakan. Hanya basa basi ucapan selamat ulang tahun sebagai penghidup suasana.

Kia sudah masuk ke kediamannya, Abi pun sudah kembali ke kosnya. Di dalam rumah, wanita bermata sayu itu lekas mengepak pakaian dan barang berharganya. Ia sudah bertekad, akan menjauh dari kehidupan sang kekasih.

Dua tahun kemudian ....

Jalanan Jakarta yang biasanya padat mendadak terasa sunyi. Tentu, wanita berzodiak Taurus itu merasa senang, karena artinya ia bisa sampai restoran lebih cepat dari hari-hari sebelumnya. Ya, harta warisan yang ia dapat dari almarhum suaminya digunakan untuk membangun sebuah tempat makan yang menyediakan olahan khas Bali.

Kualitas makanan yang mumpuni, juga harga yang terjangkau membuat tempat pemuas rasa lapar itu hampir tak pernah sepi. Seperti hari ini, meski baru buka sejam lalu, pengunjung sudah padat.

"Mbak ...," panggil Meta menghentikan langkahnya. Ia adalah asisten Kia.

"Iya, Met. Kenapa?" tanya Kia pada gadis manis di depannya.

"Anu, Mbak. Ada sedikit kendala. Pelanggan di meja 026 komplain. Dia bilang, makanan yang datang gak sesuai pesanan. Tapi, pas saya tanya mana yang gak sesuai, dia cuma bilang 'tanya aja sama kokinya' gitu," papar Meta berusaha menirukan ucapan pelanggan itu.

Kia terkekeh, ia pun mencubit pipi Meta gemas. "Kamu lucu banget, sih."

Meta memonyongkan bibirnya tanda merajuk. Kia mendatangi meja nomor 026 yang dimaksud dan menyapanya ramah. Sepasang suami istri yang cukup sering datang ke restorannya ini. Sedangkan sang asisten bak ekor kucing yang terus berada di belakang pemilik tubuh.

"Selamat pagi, Pak, Bu. Saya dengar ada salah pesan, boleh saya tahu bagian mana yang salah?" tanya Kia ramah, suara si suami yang tadi sempat meninggi pun menjadi lebih rendah saat menjawab pertanyaan pemilik tempat makan ini.

"Ah iya, begini, Mbak. Lawar yang yang datang ini terlalu pedas, gak kuat perut saya mencernanya. Kalau nanti saya jadi diare karena ini, bagaimana?" tuturnya santai.

"Tapi, Pak. Standar pedasnya lawar memang ...." Kia meremas lengan Meta agar tak melanjutkan kalimatnya.

"Oh baik, kalau begitu biar saya minta koki ganti lawar Bapak dengan yang pedasnya lebih rendah dari ini. Bagaimana? Atau Bapak mau ganti menu lain?"

"Lawar tidak ada cabai sama sekali." Kia pun membawa lawar ke dapur dan meminta koki untuk menggantinya. Sedangkan Meta ia suruh ke ruangannya untuk menaruh tas tangannya.

"Mas, jangan pedas sama sekali, ya," perintah Kia pada Tio, koki andalannya. Lelaki yang merupakan suami dari sepupunya mengacungkan jempol tanda mengerti.

Kia tak lantas pergi, ia mengamati sekeliling. Melihat-lihat ruangan bernuansa putih lengkap dengan segara perabotannya, rasanya masih seperti mimpi. Tempat makan yang ia dirikan dua tahun lalu kini sudah menjadi restoran yang cukup memiliki kelas.

Tiba-tiba netranya terkunci pada gelas kecil dengan motif bunga yang menggantung di rak stainless.

"Bunga tanpa aroma," gumamnya ketika meraba motif bunga pada gelas.

Kenangan saat berada di toko pernak-pernik bersama Abi pun terputar otomatis di benaknya. Kala itu dia mengambil gelas berukuran sama seperti yang ada di depannya, hanya saja tanpa motif.

"Ya ampun, Bi. Gelas sekecil itu mau kamu beli? Buat apa?" tanya Kia ketika sang kekasih mengamati benda bening itu.

"Aku lagi banyangin kamu, Ki."

"Bayangin gimana?" tanya Kia kembali.

"Banyangin kamu polos, bening, bersih seperti gelas ini, tanpa ada sesuatu yang menghalang-halangi," jelas Abi sembari menaik turunkan sebelah alisnya.

Kia menyilangkan kedua tangannya di depan dada lalu berteriak, "Dasar mesum."

"Dasar mesum," lirihnya diiringi senyum pahit.

"Siapa yang mesum?" tanya Tio memecah lamunan Kia.

"Seseorang, yang sampai detik ini masih menguasai hatiku, Mas. Sudahlah, aku ke ruangan dulu." Tio mengangguk.

Tepat saat Kia baru keluar dari pantry ia berpapasan dengan lelaki yang persis seperti Abi. Tetapi, pria itu tak melirik Kia sama sekali. Apa karena aku sedang teringat padanya? Lntas orang tadi terlihat sepertinya? Pikirnya.

Kia mengembuskan napas kasar, membuang semua pikiran aneh yang hinggap di kepala cantiknya. Wanita berambut panjang itu pun melanjutkan langkahnya. Sampai di depan pintu, seorang pelayan memanggilnya. Memberitahu kalau tadi ada yang masuk ruangannya.

"Oh, itu pasti Meta. Saya memang menyuruh dia menaruh tas saya," seru Kia menanggapi aduan karyawannya itu.

"Saya juga tahu kalau Mbak Meta, Mbak. Tapi itu cowok. Saya temenin masuk, ya, Mbak. Takut di dalam ada apa-apa." Kia mengangguk.

Ia mengamati tiap sudut ruangannya, tidak ada yang aneh. Semua nampak sama seperti sebelumnya, Kia pun meminta pelayan itu melanjutkan pekerjaannya dan tak perlu mengkhawatirkannya.

Kia merebahkan tubuhnya di sofa empuk hadiah dari sang mama, nyaman sekali. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu pun berniat menelpon ibunya untuk sekadar mengucapkan terima kasih atas pemberiannya.

Tetapi, pemilik nama lengkap Kiara Aliya itu tak mendapati tasnya di manapun. Kemudian ia teringat laporan ada yang masuk ruangannya. Kia bergegas ke ruangan CCTV yang berdampingan dengan kantornya, mengecek siapa yang masuk ke sana.

"Randy, coba cek rekaman sekitar 30 menit lalu. Lihat siapa yang masuk ruangan saya setelah Meta." Sang operator itu langsung mengikuti arahan atasannya. Dan ternyata, cowok yang dimaksud karyawannya tadi adalah Abimanyu. Artinya, lelaki yang ia kira "Terlihat seperti" Abi adalah ....

"Cek seluruh sudut, apa pria ini masih di sini?" Tunjuk Kia pada Abimanyu.

Dapat, ternyata Abi masih di restoran, sedang mengobrol dengan beberapa pria sebayanya. Kia langsung mendatangi kerumunan lelaki muda itu. Hatinya tak karuan, antara sedih, marah dan bahagia bercampur jadi satu.

"Permisi, bisa mengobrol sebentar?" Lima orang yang sedang asyik bercengkrama itu menoleh bersamaan, lalu saling melempar pandang. Mereka tak tahu, siapa di antara mereka yang ingin diajak bicara.

Abi berdiri, memberi isyarat agar Kia pergi duluan dan juga berpamitan sebentar pada teman-temannya. Di antara keempat pria muda itu adalah Kristian.

"Kalian ingat cewek yang pernah gue ceritain?" tanya Kris pada yang lain.

"Yang buat lo ditonjok sama Abi?" kelakar yang lain mengingat momen memalukan itu.

"Kampret emang kalian. Iya yang itu. Nah, cewek tadi orangnya." Ketiganya manggut-manggut saja menanggapi ocehan Kris.

"Gue ngerasa salah udah mengolok-olok hubungan mereka, saat Kia pergi dan membuat Abi murung berbulan-bulan, gue sadar, gak seharusnya gue jadiin mereka lelucon. Dan sebagai penebus dosa, gue kasih tahu Abi tempat ini."

Di ruangan Kia, Abi hanya menyimak wanita kecintaannya meluapkan amarah karena ia membuang tasnya ke tempat sampah. Pria berwajah oval itu menarik pujaan hatinya dalam pelukan. Menyalurkan segala kerinduan yang selama ini membelenggu hati juga jiwanya, menebus kegelisahan akibat kehilangan.

Kia memberontak. Tetapi, Abi kian mengeratkan dekapannya.

"Diamlah, Kia! Diam." Untuk sesaat Kia pun terhanyut dalam arus kerinduan, membiarkan ombak kehangatan menerpa hatinya yang telah lama kedinginan.

Abi mengendurkan rangkulannya, memandang lekat wajah ayu sang pujaan, menyusuri mata sendunya, mencari setitik cinta yang mungkin masih tersisa untuknya.

"Di mana tasku?" Abi tersenyum kecut.

"Aku membuangnya." Kia mendorong tubuh pria di depannya dan berlari menuju tong sampah yang ada di belakang restorannya.

Abi menyusul dan mengamati wanitanya, sekitar lima menit Kia mulai terlihat kesal karena tak juga menemukan apa yang dicarinya.

"Sudah ketemu?" teriak Abi menggoda Kia.

"Diam dan bantu aku mencarinya," sahut Kia kesal.

Abi pura-pura ikut mencari di bagian lain tempat beraroma tak sedap itu. Ya, tas milik Kia tak sungguh-sungguh ia buang. Itu hanya trik agar Kia menemuinya. Pria yang belum lama menyandang gelar Sarjana Teknik itu menghubungi Kris agar membawa benda yang sedang ia dan pujaannya cari.

"Ketemu," seru Abi lantang.

Kia menoleh, mendekati dan merebut barang miliknya.

"Terima kasih, Abi," ucapnya tulus.

"Akhirnya aku mendengarmu menyebut namaku lagi. Sebagai imbalan karena telah menemukan tasmu, aku ingin mengantarmu pulang," pintanya tanpa basa-basi.

"Pulang? Aku bahkan belum ada 2 jam di sini," pungkasnya dan melenggang pergi, meninggalkan tempat kotor itu. Sedang Abi, mengekor seperti anak ayam yang mengikuti induknya.

"Kamu pemilik tempat ini, bisa datang dan pulang sesukamu," ocehnya, sambil terus mengikuti sampai kantor Kia.

"Aku bukan boss yang seperti itu," tandas Kia.

"Kalau begitu beri aku nomor teleponmu."

"Tidak!" protes Kia.

"Berarti biarkan aku mengantarmu pulang atau akan terus mengikutimu seperti anak ayam."

"Iya, iya. Kamu tunggu di luar, kamu antar pulang aku sekarang. Puas?"

"Sangat puas."

Setelah itu, Abi intens mendekati Kia. Tiada hari baginya tidak mendekati sang pujaan. Demi melancarkan dan memuluskan aksinya, pria pengangguran itu pindah kos ke daerah Tanjung Duren, dekat dengan restoran milik Kia.

Bagaimana dengan Kia? Tentu saja ia risih, sebab itu membuatnya semakin tak bisa melupakan cintanya. Wanita berambut panjang itu juga jadi malas bepergian. Karena begitu keluar dari rumah, Abi pasti sudah berada di teras, sedang mengobrol dengan papanya.

Seperti hari ini, mama Kia bahkan memaksanya untuk menemui Abi. Ya, wanita paruh baya itu merasa iba melihat pria muda yang pantang menyerah mendekati putri bungsunya.

"Kia gak kasihan, itu temennya sendirian loh, di luar." Kia memutar matanya malas dan kembali merebahkan tubuh mungilnya.

"Kia ... tidak sopan membuat tamu menunggu lama." Kia bangun dan mengepalkan tangan kanannya.

"Kia pastikan ini terakhir baginya kemari," ucapnya bersungguh-sungguh, lantas turun dari ranjang dan menemui lelaki tak kenal lelah dalam usaha mendekatinya.

Tanpa tedeng aling-aling Kia langsung mengusir pria muda itu.

"Pergi dari sini dan jangan pernah datang lagi!" seru Kia tanpa memandang ke arah di mana Abi duduk.

"Kenapa kamu tak ingin aku datang lagi? Kamu takut semakin jatuh cinta padaku?" Abi bangkit dan mencengkeram lengan Kia kuat. Menariknya agar mendekat, mencoba menghapus sekat yang tak terlihat.

"Kamu diam, berarti apa yang kukatakan itu benar. Sejatinya kamu masih sangat mencintaiku, Kia. Akui saja." Mata Kia menghindar, tak berani beradu pandang lebih lama lagi dengan pria di depannya.

"Ti-tidak. Bukan begitu. Itu karena ... karena waktu itu kamu telah lancang masuk ruanganku dan membuang tasku ke tempat sampah. Tidak sopan," kilah Kia tergagap.

"Itu persis seperti yang kamu lakukan padaku dua tahun lalu. Kamu membuangku seolah diri ini tak memiliki arti apa pun." Kia terdiam.

"Perlu kamu ketahui, aku tidak membuang tasmu, aku hanya ingin mencari perhatian darimu. Aku memohon seperti dua tahun lalu, jangan terlalu mendengarkan kata orang, dan jangan pernah membuangku lagi. Aku sangat mencintaimu, Kia," lirih Abi penuh harap.

"Pulanglah, ah tidak, pergilah dari hidupku! Aku capek!"

Abi melepas genggaman tangannya, membelai lembut wajah ayu sang kekasih dan mengecup kening Kia kilat lalu berbisik, "Besok aku kemari lagi."

Malam kian larut. Tetapi, mata Kia tak jua mau terpejam. Segala posisi ia coba untuk menidurkan tubuhnya yang terasa amat lelah. Namun, nihil netra cokelatnya tetap saja segar bugar. Kia mencoba membaca buku dengan cokelat panas sebagai pendamping, ia berharap itu membuat matanya lelah kemudian mengantuk dan tidur.

Sejam berlalu, tiga puluh bab sudah habis terbaca, cokelat hangat juga tak tersisa. Tetapi, mata tetap saja terjaga. Tak pantang menyerah, Kia kembali membaca buku yang lain.

Tengah khusyuk dengan buku di tangan, tiba-tiba Kia mendengar suara seperti lemparan batu mengenai kaca jendelanya. Awalnya ia tidak menghiraukan tapi lama-lama suara itu semakin intens membuatnya tak nyaman. Kia melongok, dan mendapati Abi di bawah sana tengah berusaha untuk melempar lagi.

Rencana Abi memancing Kia keluar berhasil. Lelaki muda itu tersenyum puas.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Kia ketus.

"Karena kamu gak bisa tidur, ayo menikmati suasana malam. Kamu pasti bosan." Abi menggandeng tangan wanita kesayangannya itu. Dan mulai mengajaknya berjalan santai.

"Tahu dari mana aku gak bisa tidur?"

"Dari lampu kamarmu yang masih menyala."

"Kamu ...." Abi menghentikan ocehan Kia dengan jari telunjuknya.

"Diam dan cukup nikmati saat ini. Kamu terlalu banyak omong, telingaku rasanya sakit." Kia memicingkan sebelah matanya. Abi terkekeh dan makin mengeratkan genggamannya.

Dua sejoli itu berjalan ke arah taman kompleks, tak ada percakapan pula di antaranya. Keduanya sama-sama tengah menikmati momen kebersamaan yang telah lama hilang, mengisi kembali ingatan mereka dengan hal-hal menyenangkan.

Tidak perlu dipungkiri, Kia pun sangat menikmati momen ini. Tanpa sadar ia balas menggenggam tangan kekar Abi. Tiba di taman, mereka memilih duduk di bawah tiang lampu ketimbang bangku yang tersedia.

Abi membuka percakapan dengan menceritakan, bagaimana ia bisa sampai di restoran milik Kia pada hari itu.

"Awalnya memang sulit, sebab tak ada petunjuk apa pun. Aku bahkan memukul Kristian, dan menyalahkannya atas kepergianmu," jelasnya.

"Kristian mencarimu tanpa sepengetahuanku, katanya sebagai permintaan maaf atas candaannya hari itu," lanjutnya. Kia menyimak dengan saksama tiap penuturan lelaki pemilik hatinya.

"Mau mencoba?" Abi refleks menoleh, menatap wanitanya lekat. Kia pun bakas memandang dalam mata kekasihnya.

"Mau mencoba sekali lagi denganku? Sesungguhnya aku pun sangat terluka setelah meninggalkanmu, Abi. Berusaha melupakanmu terasa begitu menyakitkan, mengingatmu pun makin membuatku lara. Melupakan atau mengingat sama-sama menciptakan lara. Sekarang kamu di sini, bukankah sakit karena berjuang bersama jauh lebih baik daripada menderita karena tak bisa melupakan?" Abi bahagia sekaligus terharu mendengar apa yang wanita di sampingnya katakan. Ia pun segera membawa tubuh mungil itu ke dalam pelukannya.

"Mari mulai dari awal lagi, Sayang."

Bulan dan bintang malam menjadi saksi akan tekad keduanya yang ingin berjuang bersama. Menyatukan kembali puing-puing kapal yang sempat hilang terbawa arus. Siapkan dayung untuk membelah ombak, dan mulai berlayar di luasnya samudera cinta.

Tiap hari berlalu begitu cepat, hingga tak terasa hubungan mereka sudah berjalan satu bulan. Sejak tiba di Jakarta, Abi ikut bekerja sebagai office boy di sebuah Production House di mana Kristian bekerja. Saat jam istirahat, Kia kerap menjemput kekasihnya untuk makan siang bersama, seperti hari ini.

"Hai, udah lama nunggu, ya? Maaf, tadi ada sedikit masalah di resto. Kita mau makan di mana?" tanya Kia begitu sampai di kantor tempat Abi mengais rezeki.

"Nasi padang mau gak? Aku gak bisa keluar lama, abis ini ada meeting. Mau bantu Kris nyiapin ruangan." Kia mengangguk.

Keduanya makan tak jauh dari tempat kerja Abi. Baik Kia maupun Abi tak rewel soal makanan, yang penting halal dan enak.

Di tengah-tengah makan, Abi mengutarakan niat hatinya ingin mengenalkan Kia pada keluarganya. Wanita bermanik cokelat itu sempat takut. Namun, sang kekasih berhasil meyakinkan dan sudah disepakati, lusa keduanya akan terbang ke Surabaya, di mana orang tua Abi tinggal.

Hari yang disepakati tiba, mereka kini sudah berada di kediaman Sanstama. Kia disambut hangat keluarga besar Abi, mereka pun tak mempermasalahkan status dan usia Kia, di sana pula sang kekasih mengutarakan niatnya untuk mempersuntingnya.

Kia kembali ragu, pasalnya belum lama mereka kembali bersama, ia pun meminta waktu untuk berbicara pada keluarganya.

Sepulang dari Surabaya, Kia langsung meminta pendapat orang tuanya mengenai niat Abi.

"Papa dan Mama kembalikan semuanya padamu, Nak. Kamu yang akan mengarungi bahtera itu, kami lihat Abi anak baik," ujar papa Kia.

"Betul kata Papamu, Nak. Jangan jadikan kegagalan sebelumnya alasan untuk tak menjalin hubungan baru, apa yang terjadi dalam rumah tanggamu dulu adalah takdir, tak ada yang bisa melawan takdir, ingat itu," sambung mama Kia.

"Dan, jangan jadikan perbedaan sebagai alasan untuk tak melakukan hal baik, kamu berhak bahagia, Nak," lanjut papa.

Mendengar jawaban dan nasihat dari orang tuanya, Kia pun menjadi yakin untuk menerima pinangan kekasihnya. Papa benar, aku berhak bahagia. Gumamnya dalam hati.

Taman kompleks kembali menjadi saksi bisu, atas itikad baik keduanya untuk melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Mengubah segala perbedaan menjadi hiasan manis dalam potret cinta.

"Abi, apa gajimu di sana cukup untuk menghidupi kita?" tanya Kia dalam pelukan kekasihnya.

"Jangan khawatir, istriku memiliki restoran dengan omset besar, kita tidak akan mati kelaparan."

"Calon!" tegas Kia.

"Iya, calon," sambung Abi diiringi tawa renyah kedua insan yang tengah dimabuk asmara.

Ingatlah selalu, bahwa perbedaan tak selamanya buruk. Bahkan pelangi terlihat mengagumkan karena memiliki warna yang tak sama.

Sekian cerpen manis dari author manis, semoga syukak.

.
.
.
Gak tau mau ngetik opo meneh 😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro