Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

💢 Si Tomboy Supri

Petunjuk membaca :

💢Sebelum membaca, aku saranin kalian buat do'a dulu deh ya.

💢Jumlah kata buanyak!

💢Aku harap kalian juga siapin kantung plastik, semisal adanya baskom ya bolehlah, apa pun itu yang penting bisa buat wadah, monggo. Kalau kalian tanya, "kenapa?" Itu karena dikhawatirkan ketika sudah setengah jalan nanti ada gejolak aneh tak tertahankan dari perut kalian. 🤣

Sekian dan terima gaji.
Selamat membaca! 😉

"SUPRI!" panggil seorang pria yang duduk menegang di tempatnya. Suaranya barusan terdengar menggelegar, memenuhi ruang makan sebuah rumah tingkat dua bergaya minimalis di kawasan perumahan Tanjung Barat.

Sedangkan seorang gadis berbalut baju lengan pendek bermotif warna merah muda yang terlihat feminim, harus menghentikan tegukannya dan menaruh gelas tersebut dengan sedikit kesal ke meja.

"Apa sih Om? Saya kan dari tadi di sini. Enggak usah teriak kayak gitu juga bisa kan, " ucap gadis berusia 19 tahun yang dipanggil Supri.

Nama sebenarnya adalah Sukiyaki Prican, tetapi berkat penampilannya yang tomboy dan sudah seperti para lelaki itu, teman-teman sekelasnya sering memanggilnya Supri.

Tidak hanya itu, bahkan Ibunya sendiri pun memanggilnya dengan nama Supri. Nahas memang, tapi itu semua memang bermula dari Ibunya yang memberikan nama unik tersebut.

Ketika sedang mengandung Sukiyaki Prican, Ibunya sangat ingin memakan Sukiyaki, tetapi tidak terkabul karena setiap ingin membelinya selalu saja ada masalah, entah kehabisan, restorannya tutup atau Ibu Supri sedang tidak memiliki uang.

Sehingga, dari sanalah nama depannya berasal. Jika kalian sekarang penasaran dengan nama belakangnya, Prican itu bukanlah marga, tetapi nama singkatan yang tidak akan pernah kalian bayangkan.

Prican yang kepanjangan dari pria cantik. Berhubung Ibu Sukiyaki juga sangat menginginkan seorang anak laki-laki, tetapi yang keluar malah bayi perempuan sehingga Ibu Sukiyaki memutuskan untuk memberi nama anaknya Prican. Sukiyaki Prican.

"Ada kecoak!" seru pria itu lagi yang langsung terlonjak kaget saat kecoak di lantai dekatnya kini dalam mode terbang. Dengan terburu ia memeluk gadis yang duduk di sebelahnya, berlindung di samping kiri Sukiyaki supaya tidak terkena hewan kecil tersebut.

Sukiyaki terdiam, melirik sekilas dengan malas pada pria berusia 28 tahun yang berada di belakangnya. Sialan, muka boleh ganteng, otak boleh pinter, tapi nyali sama hewan kecil macam kecoak ginian aja nol besar! batin Sukiyaki seraya bangkit dari duduknya.

"Mau kemana?!" tanya pria tersebut panik.

"Mau ngambil kecoak terus kasih makan ke Om," balas Sukiyaki asal. Kakinya mulai melangkah, tetapi tertahan karena pria yang dipanggil om oleh Sukiyaki itu semakin mengeratkan pelukannya, dan menahan tubuh Sukiyaki untuk berjalan.

"Tidak! Saya tidak mengizinkanmu untuk ke sana dan mengambilnya. Lebih baik kita berangkat sekarang saja," ujar pria tersebut. Tangannya dengan sigap menarik Sukiyaki ke arah yang berlawanan dari kecoak di dinding.

"Aduh Om. Saya harus ambil itu dulu buat dibuang keluar. Kalau enggak nanti bakalan ada dia lagi!" seru Sukiyaki yang kekeh pada pendiriannya. Kakinya berusaha melangkah dengan paksa meskipun dadanya tertahan oleh dekapan pria di belakangnya.

Kejadian ini adalah yang ketiga kalinya setelah mereka berdua menikah, pria yang berada di belakangnya adalah Girel Rendraf, berusia 28 tahun dengan tinggi 183 centimeter yang kini telah menjadi suami sahnya.

Akan tetapi, Sukiyaki masih tidak percaya dengan apa yang terjadi beberapa hari ini. Entah keberuntungan atau kesengsaraan yang menimpanya, yang jelas itu semua adalah ulah dari si kakak.

Remi Sayuti yang merupakan kakak Sukiyaki ini sejak awal telah dijodohkan dengan Girel Rendraf, tetapi pergi begitu saja dan hanya meninggalkan secarik kertas bertuliskan penolakan, bahwa ia telah memiliki orang yang dicintai dan tidak akan kembali selama beberapa bulan ke depan.

Hingga akhirnya, keputusan yang sangat tidak pernah Sukiyaki bayangkan pun terjadi. Kedua orang tuanya memutuskan supaya Sukiyaki menggantikan posisi kakaknya dan menikah dengan Girel. Hal itu telah disetujui oleh kedua belah pihak.

Saat itu Sukiyaki tidak dapat berbuat banyak karena sehari lagi acara pernikahan dilaksanakan. Ingin kabur pun hanya akan meninggalkan beban yang sangat berat kepada orang tuanya.

Meskipun Sukiyaki sering berkelahi tanpa sepengetahuan anggota keluarga, belum lagi penampilan dan sikapnya yang seperti lelaki, tetapi Sukiyaki tidak akan berkutik jika itu berhubungan dengan ayah ataupun ibunya.

Sejak kecil, Sukiyaki termasuk anak yang penurut, dan sampai sekarang ataupun ke depannya akan tetap seperti itu.

Walaupun aku menerima pernikahan ini, aku tetap tidak menyukainya, terlebih lagi Remi Sayuti si kurang ajar itu! Awas saja jika dia masih berani pulang ke rumah Ibu, aku akan membunuhnya! batin Sukiyaki. Tangannya terkepal kuat, rahangnya pun terlihat mengeras menahan emosi.

"Tidak boleh! Kecoak itu menjijikan, kamu tidak boleh memegangnya." Lagi, kali ini bahkan Girel berhasil membuat Sukiyaki tercekik akibat lengan berototnya yang semakin lama naik ke atas.

"Lagi pula saya ngambilnya pakai tisu," jelas Sukiyaki dengan suara yang sedikit memberat akibat tertekan pada lehernya.

"Tetap saja tidak boleh! Saya tidak mengizinkannya!"

Dua kali kemarin dia juga begini! Argh! Dia ini benar-benar deh! batin Sukiyaki. Netra cokelatnya menatap tajam pada kecoak yang menempel di dinding depan.

"Sia-lan!" umpat Sukiyaki sedikit terjeda, tangannya meraih-raih di udara. Ayolah ... sedikit lagi! batin Sukiyaki gemas.

Di pagi hari seperti ini, mereka bahkan sudah melakukan aktivitas yang sangat menguras tenaga. Wajah yang memerah dengan peluh sedikit membasahi wajah juga leher.

Sungguh luar biasa hebat! Hanya karena kecoak, mereka berhasil meluangkan waktu yang begitu padat untuk berolahraga seperti ini. Saling mengeluarkan tenaga untuk adu otot. Sepertinya mereka harus berterima kasih pada si kecoak itu nantinya.

Beberapa menit telah berlalu begitu cepat, permasalahan kecoak pun akhirnya terselesaikan dengan kemenangan dipihak Sukiyaki dan Girel. Akan tetapi, itu tidak semulus yang dibayangkan, kecoak tersebut telah mati tertekan telapak tangan Sukiyaki.

"Kamu sudah mencuci tangan dengan bersih?" tanya pria dengan tinggi 183 centimeter yang berdiri di depan pintu mobil.

Sukiyaki mendelik tajam pada Girel. "Saya sudah mencuci tangan sebanyak 3 kali dengan memakai teknik cuci tangan 6 langkah, Dokter Girel Rendraf. Pakai sabun dan barusan sudah pakai handsanitizer," balas Sukiyaki kesal.

Pandangannya beralih, ia tidak memedulikan pria bernama Girel itu. "Lagi pula itu salah om sendiri. Kenapa jadi saya mulu yang kena omel," dengkus Sukiyaki kemudian masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi samping kemudi dengan perasaan kesal.

"Bukan salah saya. Kamunya saja yang tidak menurut."

"Padahal om sendiri yang lepas pelukan tadi, mana tiba-tiba begitu. Udah tahu saya lagi ngotot buat maju ke depan, kan akhirnya itu kecoak mati ketekan," ucap Sukiyaki yang ternyata menjadi penutup percakapan mereka selama di mobil.

Keduanya memilih untuk terdiam, dan melakukan aktivitasnya masing-masing. Girel yang terfokus pada kemudi, sedangkan Sukiyaki menatap pada layar smartphone-nya. Berselancar ria di dunia maya.

Lama mereka terdiam, tidak terasa mobil yang dikendarai Girel telah sampai di halaman kampus.

"Terima kasih," ucap Sukiyaki tanpa menoleh ke arah kanan. Tangannya membuka pintu mobil secara cepat. Namun, baru saja ia menurunkan satu kakinya, dehaman dari arah belakang membuat Sukiyaki berhenti.

"Seperti inikah caramu berpamitan kepada suami?" tanya Girel tajam.

"Ya," balas Sukiyaki yang kemudian turun dari mobil dan berbalik ke arah Girel, menatap pria tersebut dalam diam untuk sementara waktu.

"Saya ucapkan terima kasih banyak karena telah mengantar saya hingga ke kampus," ucap Sukiyaki yang kemudian membungkukkan tubuhnya sedikit. Tanpa melihat ke arah Girel lagi, ia segera berbalik dan bersiap pergi dari sana. Namun, lagi-lagi Sukiyaki tertahan.

"Jika seperti itu, saya akan menjawab pertanyaanmu di malam pernikahan." Girel memajukan tubuhnya sedikit ke arah kursi di sampingnya. Sedangkan Sukiyaki yang mendengar hal tersebut langsung terdiam di tempat.

"Sejak awal, saya tidak mempermasalahkan akan menikah dengan siapa. Lalu, kamu itu tidak termasuk ke dalam tipe saya," jelas Girel, berharap bahwa Sukiyaki akan menengok ke arahnya dan memakinya dengan suara keras. Mungkin.

Akan tetapi, itu hanyalah khayalan belaka. Sukiyaki memilih kembali melangkahkan kakinya seperti tidak mendengar apa pun. Meninggalkan Girel yang mematung menatap kepergiannya.

"Setidaknya, aku akan aman jika kau berpikiran demikian. Maaf karena aku tidak memberikan hakmu sebagai seorang suami," gumam Sukiyaki ketika sudah menjauh dari jalan raya, di mana Girel tadi menurunkannya.

Suana ramai terlihat di taman fakultas teknik Universitas Negeri Jakarta, Sukiyaki yang baru saja menyelesaikan kelas paginya terduduk malas di kursi taman.

Baru saja ia merasa lega karena dapat dengan santainya menikmati udara, sebuah teriakan dari arah belakangnya membuat Sukiyaki menghela napas berat.

"Haah ... kenapa pula dia muncul di waktu yang enggak tepat."

"Woy Supri, buset dah! Lu kemana aja sih? Tiga hari izin, tiga hari juga kagak ada kabar. Di telepon kagak diangkat, di chat kagak dibales. Rumah lu juga sepi banget kayak kuburan. Abis dari mana sih, hah?" Todong seorang gadis berusia 20an itu dengan wajah kesal, dan segera duduk sesampainya di dekat Sukiyaki.

"Aku habis ada acara keluarga di Banjarnegara. Kupikir bisa balas semua pesanmu, tapi percuma. Kondisinya enggak memungkinkan. Sinyal di sana susah, rumah bibiku terlalu plosok," jelas Sukiyaki berusaha memberikan alasan. Sejujurnya, kejadian yang terjadi saat itu tidaklah seperti apa yang diucapkannya.

Tiga hari kemarin itu aku habis nikah sama dokter sinting! Andai saja aku bisa bilang sama dia semudah itu, batin Sukiyaki. Tubuhnya segera bersandar pada punggung kursi.

"Maaf ya Ruyu," ucap Sukiyaki merasa bersalah.

"Kalau kamu sudah bilang begitu, aku bisa apa?" Jeda sebentar sebelum gadis bernama Ruyu itu melanjutkan ucapannya, "ngomong-ngomong, gimana rasanya di jurusan manajemen keuangan?"

"Tolong jangan tanyakan hal itu, walaupun tampilanku sebenarnya enggak masalah sama jurusan itu dan otak juga lumayan mendukung, tetap saja aku kewalahan." Sukiyaki menatap ke arah langit, "cewek jaman sekarang nyeremin. Aku ini perempuan loh, masa tetep aja mau disosor? Gila enggaj tuh? Kendala banget, kan jadinya." Lanjut Sukiyaki. Tatapannya beralih ke arah Ruyu dengan malas.

"Wuahaha. Kamu kan emang ganteng. Ahahaha. Sumpah, perutku sakit. Aduh. " Ruyu menyeka air mata yang sedikit keluar, "Yah, kalau itu mah aku enggak bisa bantu. Udah dapat nasihat suruh ganti style pakaianmu itu pun tetap saja enggak mempan. Aku nyerahlah sama urusan kayak beginian. Mulutku sampai dower ngomong sama kamu."

"Habis, mau bagaimana lagi? Berkat kejadian SD dulu, aku masih trauma. Makanya aku jadi takut dan memilih buat berpenampilan begini. Jalan malam pun enggak akan ada yang godain," jelas Sukiyaki dengan suara rendah.

"Iya, iya. Stop! Sudah, enggak usah diceritain. Aku sudah hapal." Ruyu melihat ke arah jam tangannya, "eh, Supri. Mau ke kantin enggak?" tanyanya seraya menatap Sukiyaki.

"Enggak deh, terima kasih. Aku mau langsung ke perpustakaan dulu buat nyari bahan tugas minggu depan." Sukiyaki bangkit dari duduknya. Tangannya segera mencangklongkan tasnya di sisi kanan.

"Yasudah, nanti kalau sempat aku menyusul," ucap Ruyu pada akhirnya.

"Silakan, aku akan mengirim chat jika sudah tidak di sana." Setelahnya, Sukiyaki dan Ruyu berjalan ke arah yang berlawanan.

Hari sudah mulai sore dan Sukiyaki telah sampai di rumah, suasana sepi dan gelap menyambut ketika ia membuka pintu rumahnya. Ah tidak, maksudnya rumah Girel. Ia di sini hanya menumpang, istri yang tidak memiliki apa pun dan mengikut pada suaminya, begitulah yang terjadi.

Meskipun ia sudah diberikan peringatan tidak boleh mengacau rumah Girel, tetapi kali ini Sukiyaki ingin melakukannya. Meskipun ia tidak suka dengan Girel, Sukiyaki rela belajar memasak hanya untuk mewujudkan tugasnya sebagai seorang istri. Okay, ini memang terdengar sepele. Namun, bagi Sukiyaki memasak adalah ancaman besar!

Ia sama sekali tidak memiliki kemampuan memasak, dan kali ini dengan bantuan Mbah google Sukiyaki telah siap bersama peralatan tempurnya.

"Apa pun hasilnya, aku tetap harus bersabar. Oke! Mari kita coba yang pertama, ini ... telor sambal balado. Kayaknya gampang, waktu itu lihat Ibu masak ini mudah banget kok," ucap Sukiyaki seraya mulai memilih bumbu dan menguleknya.

Itu yang ia katakan tadi, tetapi sekarang ... jam telah menunjukkan pukul sembilan malam, yang artinya sudah dua jam setengah Sukiyaki berkutat di dapur. Wajan gosong, minyak terciprat ke mana-mana, bumbu berserakan, juga telor yang gosong, semuanya terlihat begitu kacau.

"Berengsek! Aku tarik ucapanku yang tadi! Tetap saja ini susah! Mudah dari mananya? Waktu pas lihat Ibu masak kayaknya aku lagi ngantuk deh," gerutu Sukiyaki. Tubuhnya meluruh ke atas lantai, bersandar pada kulkas yang cukup jauh dari kompor.

"Udah enggak bisa masak, jadi istri si Dokter sialan itu. Punya Kakak juga berengsek begitu! Ugh! GUA KESEL BANGET," seru Sukiyaki tidak tertahankan lagi. Ia benar-benar merasa emosi.

Tubuhnya sudah lelah, dan tidak sanggup untuk melakukan aktivitas lain lagi, bahkan dapur berantakan itu dibiarkan begitu saja hingga kantuk membawanya tenggelam ke alam bawah sadar.

Suara mobil terdengar memasuki halaman rumah, dan tak lama setelahnya Girel terlihat membuka pintu. Dengan wajah yang penuh guratan kelelahan, pria itu melangkah masuk ke dalam rumah, menyusuri ruangan tamu yang lampunya masih menyala terang.

Hari ini ia benar-benar lelah, tidak hanya mengisi di bagian poli penyakit dalam, tetapi juga jadwal operasinya yang banyak. Netra hitam itu menatap lurus ke arah depan, sebelah alisnya terangkat saat mencium aroma yang sedikit aneh.

Kakinya berhenti, matanya menatap sekitar. "Dia sudah tidur? Namun, bau apa ini?" tanyanya pelan pada diri sendiri. Tangannya yang memegang ransel, segera ditaruhnya di atas sofa.

Girel yang penasaran dengan aroma seperti masakan gosong itu akhirnya memutuskan untuk memeriksanya terlebih dahulu. "Ugh ... aku harus ke dapur dulu sebelum naik ke atas," gumamnya
Masih berbalut kemeja formal.

Ia melangkah ke arah dapur sedikit terburu saat aroma itu semakin menyengat. Matanya terbelalak terkejut melihat keadaan dapur kesayangannya. Semuanya berantakan, dan itu berhasil membuat Girel emosi. Namun, seketika ia kembali tekejut mengetahui ada seseorang yang tergeletak di atas lantai.

Terlebih lagi, itu adalah sosok yang sangat dikenalnya, siapa lagi kalau bukan istrinya-Sukiyaki Prican. "Hey! Supri! Kau baik-baik saja?!" tanyanya panik seraya berlari dan berjongkok cepat ketika sudah di dekat tubuh tersebut.

Namun, ketegangan dan keterkejutan yang dialaminya barusan dalam sekejap menguap. Kedua matanya terpejam seraya memendam emosinya yang mulai menjalar. Bagaimana tidak? Semula, ia kira istrinya mengalami kecelakaan hingga menyebabkan kekacauan besar seperti ini, tapi ternyata perkiraannya salah, Sukiyaki hanyalah sedang tertidur!

"Haah ...." Girel menggaruk kepalanya dengan frustrasi, "kau ini benar-benar dapat membuatku menjadi seperti ini," gumamnya yang kemudian menggendong tubuh tersebut menuju kamar mereka.

Tiga hari telah berlalu setelah kejadian dapur berantakan yang seperti kapal pecah itu, dan kalian tahu?

Ke esokan paginya Sukiyaki mendapatkan ceramah yang cukup menohok hatinya. Hal itu langsung membuat Sukiyaki berniat untuk tidak memasak ataupun memegang peralatan dapur lagi. Akan tetapi, setelah meyakinkan diri, ia berhasil menyingkirkan pikiran tersebut.

Sebenci apa pun atau setidak sukanya Sukiyaki terhadap Girel, ia tetap harus bersikap layaknya seorang istri. Bersabar, itu adalah kuncinya. Begitulah yang dipikirkan Sukiyaki saat itu. Entah hal itu akan bertahan berapa lama.

Lalu, hari ini adalah akhir pekan. Di mana Girel akan membantu Sukiyaki belajar di beberapa materi yang tidak dikuasainya. Sukiyaki yang memang sejak kecil tidak pernah mendapatkan bimbingan privat di rumah, merasa sangat senang. Menyambut dengan begitu bahagia saat Girel mengatakan akan membantunya dalam belajar.

"Materi mana yang belum kamu mengerti?" tanya Girel seraya menatap beberapa buku di atas meja.

"Ini-"

Drt! Drt! Drt!

Getar smartphone milik Girel membuat Sukiyaki menghentikan ucapannya, netra cokelat tersebut menatap Girel yang tengah melihat ke arah smartphone hitam di sebelah buku paketnya.

"Sebentar," ujar Girel yang kemudian segera mengangkat panggilan tersebut. Beberapa detik berlalu dan Sukiyaki mengernyitkan dahinya. Sepertinya rencana ini akan gagal, batin Sukiyaki seraya menarik buku paket lainnya dan membuka secara perlahan.

"Maaf ya, saya harus ke rumah sakit. Ada jadwal operasi dadakan, dan tidak bisa digantikan." Girel menatap Sukiyaki sejenak, "saya akan ganti dilain waktu. Jika sepulang dari rumah sakit memungkinkan, maka saya akan membantumu belajar nanti malam." Lanjut Girel yang merasa tidak enak hati dengan istrinya.

Sukiyaki mengangkat wajahnya. "Iya, enggak apa-apa Om. Silakan langsung bersiap saja," tangannya menutup buku di hadapannya, "ada yang perlu saya siapkan enggak Om?" tanya Sukiyaki pelan.

Girel yang kini sudah bangkit dan membuka lemari pakaian hanya menjawab, "Tidak ada, saya hanya akan berganti pakaian dan membawa tas yang seperti biasanya."

"Baiklah." Walaupun Sukiyaki merasa kecewa karena tidak jadi belajar, tetapi dalam hatinya ia juga merasa bodo amat dengan apa yang terjadi saat ini.

Girel yang tiba-tiba mendapatkan telepon dari rumah sakit, sebelumnya memang sudah Sukiyaki perkirakan bahwa menjadi istri seorang dokter seperti Girel Rendraf pasti akan mengalami hal seperti ini.
Jadi, yasudah, pikir Sukiyaki.

Tidak terasa waktu berjalan dengan cepat, dan kini terik matahari terasa begitu menyengat. Sukiyaki tadi memang sedang berada di rumah, tapi tidak dengan sekarang.

Dengan berbalut blus bermotif bunga dan celana jeans, ia terlihat tengah berdiri santai menyandar pada meja front office yang cukup tinggi di lantai satu.

"Itu orang ke mana sih? Aku sudah nungguin selama 10 menit, tapi enggak kelihatan juga batang hidungnya. Mana ini barang enggak boleh dititipin ke orang lain segala. Hish!" dengkus Sukiyaki.

"Ah, akhirnya kamu datang juga." Sebuah suara pria dari arah samping kanan, membuatnya segera menengok.

"Seharusnya saya yang berkata demikian," sahut Sukiyaki kesal, "nih, saya sudah bawakan. Lengkap dengan semua berkas yang enggak Om suruh juga. Kali aja perlu." Lanjut Sukiyaki.

"Baiklah, terima kasih-"

"Wah! Siapa nih? Lu punya kenalan gadis kecil begini? Kok enggak pernah cerita." Tiba-tiba saja suara seorang wanita memgintrupsi mereka. Tiga dokter lelaki dan seorang dokter wanita berhenti di dekat Girel. Mereka adalah teman kerja Girel, tetapi tidak terlalu dekat.

Dengan cepat Girel membalas, "A-ahhaha ... iya, dia Adik sepupu saya," sahutnya spontan yang segera merapat pada Sukiyaki. Merangkul pundak gadis tersebut dengan santai.

Sebuah senyum tersungging di wajah keempat dokter laki-laki itu. "Wah, kapan-kapan ceritain ya! Kami pergi dulu, soalnya boss besar sudah menunggu di rawat inap," ucap seorang dokter dengan rambut panjang yang terkuncir kuda.

"Baiklah, selamat bekerja," balas Girel. Tangan kanannya terangkat menandakan bahwa ia memberikan tanda perpisahan pada teman sejawatnya itu.

Sukiyaki yang sejak tadi hanya diam, bukan berarti ia merasa bingung dengan percakapan dokter-dokter dengan wajah bening yang dapat membuat mata para wanita terbuka lebar. Akan tetapi, saat ini ia sedang merasa kesal, merasa sakit hati dengan ucapan suaminya.

Aku hanya dianggap sebagai adik ... ya? Sepertinya aku sudah enggak tahan lagi dengan semua ini. Baru menikah beberapa hari saja aku sudah mendapatkan perlakukan kayak begini. Pertama, dia mengatakan bahwa aku bukanlah tipenya. Berbadan kurus dan tidak memiliki lekuk, oke, aku memang sangat mengakuinya, batin Sukiyaki. Tatapan kosongnya tetuju ke arah lantai.

"Hey! Kamu baik-baik saja?" tanya Girel sedikit menggoyangkan tubuh Sukiyaki.

Kedua, ia memarahiku karena aku mengacau di rumahnya, membuat dapurnya berantakan bukan main. Ketiga, ia enggak jadi menepati janjinya, dan yang keempat ... baginya, aku hanyalah adik sepupu? Bukankah ini keterlaluan? pikirnya lagi di dalam hati. Sukiyaki benar-benar tidak sadar jika sedari tadi Girel telah memanggilnya.

"Hey! Supri!" panggil Girel lagi dan kali ini usahanya berhasil.

"Ada apa?" tanya Sukiyaki dengan ekspresi terkejut.

"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Girel cepat.

"Enggak ada. Kalau begitu, saya lebih baik segera pulang saja," ujar Sukiyaki cepat, "sampai bertemu di rumah. Selamat berkerja ya Om." Setelahnya ia berbalik dengan ekspresi datar. Netra cokelatnya menatap sendu jalanan di luar sana.

"Hhm," deham Girel sebagai jawaban tanpa merasa curiga dengan perubahan ekspresi Sukiyaki yang tiba-tiba. Namun, entah mengapa Girel masih terdiam di tempatnya. Menatap dalam diam ke arah istrinya hingga punggung tersebut tidak terlihat kembali.

"Maaf. Saya tahu, bahwa barusan saya telah salah berbicara," ucap Girel yang kemudian berbalik. Ia segera berlari menuju ruang rapat yang sempat tertunda.

Malam pun datang, dan Girel belum kembali juga. Sedangkan Sukiyaki? Kini ia mematut dirinya di depan cermin. Rambut pendeknya yang sedikit acak-acakan, kaos hitam dengan kemeja lengan panjang putih bergaris di gulung asal hingga ke siku, dan celana jeans hitam.

Tangannya segera melepaskan anting emas yang digunakannya, kemudian menyimpan di tempat yang aman. Hanya seperti itu saja, sudah mampu merubah keseluruhan tampilan Sukiyaki. Ia terlihat seperti seorang lelaki.

Sukiyaki tersenyum samar saat melihat penampilannya yang telah kembali seperti sedia kala. Tampilannya ini memang sudah melekat pada diri Sukiyaki sejak SD hingga sebulan lalu. Di mana sebulan lalu kakaknya menyuruh Sukiyaki untuk berpenampilan seperti gadis feminim.

Berpakaian dengan pakaian berwarna-warni dan gaya yang membuat Sukiyaki ingin muntah, tetapi pada akhirnya ia menurut karena Remi Suyati-kakaknya-mengancam akan bunuh diri jika Sukiyaki tidak belajar mengenakan pakaian seperti itu.

Walaupun terdengar konyol, Sukiyaki juga termasuk adik yang sayang sekali dengan Kakaknya. Sebelumnya ia memang tidak merasa curiga, tetapi saat ini Sukiyaki telah mengerti apa maksud dari Remi Suyati menyuruhnya demikian.

"Kau menyuruhku hanya untuk ini, 'kan?! Sialan. Masa bodoh dengan penampilan feminim. Sekarang aku sudah memikirkannya dengan matang. Aku akan kembali pada penampilanku semula."

Sukiyaki berbalik dan meraih tas ranselnya. Malam ini ia berencana pergi ke rumah Ruyu untuk melepas penat. Tepat ketika Sukiyaki akan membuka pintu, seseorang dari arah luar telah lebih dahulu membukanya.

"Ada apa dengan penampilanmu?!" tanya Girel terkejut. Bola matanya melotot melihat penampilan Sukiyaki dari atas hingga ke bawah. Sungguh, Girel tidak pernah menyangka bahwa Sukiyaki akan berpenampilan seperti ini. Ia tahu bahwa rambut istrinya pendek, tapi tidak dengan hal ini.

"Enggak ada yang salah dengan penampilan saya," balas Sukiyaki santai, "saya ingin meminta izin untuk mengerjakan tugas kelompok di rumah teman," bohongnya pada Girel. Ia sama sekali tidak memedulikan ekspresi terkejut dari suaminya itu.

Sejujurnya, saat ini Sukiyaki hanya ingin pergi dari rumah tersebut untuk mencari ketenangan, dan tidak bertatap muka dengan Girel. Meskipun jam telah menunjukkan angka 11, tetapi tidak menyurutkan niatnya untuk pergi ke rumah Ruyu, yang sebelumnya telah ia telepon dan Ruyu menyetujui hal tersebut.

Girel menggaruk kepalanya frustrasi, menjambak sedikit rambut bagian belakangnya untuk sesaat. Hari ini ia benar-benar sudah lelah dengan pekerjaannya di rumah sakit, dan kini ia harus berhadapan dengan istrinya.

Sukiyaki melangkahkan kakinya begitu saja saat melihat Girel hanya berdiam di tempat. "Tunggu," sergah Girel tiba-tiba.

Kepalanya tertunduk, tangannya langsung menahan bahu Sukiyaki yang kemudian meremasnya pelan. "Jelaskan kepada saya, apa maksudmu ini?" ucap Girel seraya menatap ke dalam manik mata cokelat tersebut.

"Ini adalah Sukiyaki Prican yang sebenarnya. Yang kemarin ... saya hanya menuruti perkataan Kakak." Sukiyaki yang menatap netra hitam itu sama sekali tidak dapat berbuat banyak. Ia merasa terintimidasi. Tatapan tajam yang dimiliki pria di depannya ini sungguh luar biasa hebat.

"Kenapa?" tanya Girel geram.

Walaupun nyalinya sedikit menciut saat melihat tatapan tajam yang begitu dekat, Sukiyaki memberanikan diri untuk tetap membalas pertanyaan Girel. "Karena itu bukan gaya saya."

Girel terdiam untuk sesaat. Tiba-tiba ia semakin mendelik ke arah Sukiyaki. "Saya tanya kenapa?!" bentaknya tanpa sadar hingga membuat Sukiyaki tersentak.

Eskpresi terkejut tercetak jelas di wajah Sukiyaki. Alasannya? Dia ingin tahu alasannya, kan?! Baiklah, akan aku beritahu semuanya! batin Sukiyaki kesal. Dalam hati ia benar-benar sudah mulai menangis. Meratapi nasibnya.

"Di bandingkan pakaian aneh itu, saya lebih merasa aman dan nyaman seperti ini! Kenapa? Karena tidak akan ada yang mengganggu saya. Lalu, Om pasti akan bertanya, 'Kenapa?' lagi, 'kan?!" jeda sejenak, Sukiyaki menatap lurus ke arah Girel, tangannya terkepal kuat di sisi tubuh.

"Itu karena saya memiliki trauma masa kecil! Kejadian saat saya kelas 5 SD. Asal Om tahu, waktu itu saya digoda oleh seorang preman karena wajah saya, bahkan saat itu saya hampir-sudahlah! Lagi pula Om enggak akan mengerti gimana perasaan saya!" Sukiyaki memalingkan wajahnya kesal. Sebulir air mata berhasil lolos begitu saja. Mengalir di pipinya, tetapi dengan cepat Sukiyaki menghapusnya kasar.

"Aku memang tidak mengerti. Bukankah bisa kamu melakukannya secara perlahan? Cepat ganti pakaian itu!" seru Girel. Tangannya menggoyangkan tubuh Sukiyaki cukup kencang. Keinginannya memang terdengar egois. Walau bagaimana pun, ini pertama kalinya ia melihat seorang gadis seperti ini, terlebih itu adalah istrinya.

Dengan perasaan kesal yang sudah tidak tertahankan Sukiyaki melepaskan kedua tangan Girel di bahunya. Hatinya sudah cukup terluka karena Kakaknya, dan sekarang luka itu bertambah besar berkat pria di hadapannya ini.

"Dengar ya Om! Ini adalah hidup saya. Saya lebih memilih menjadi seorang lelaki ketimbang gadis feminim jika tak ada orang yang menghargai keputusan saya ini!" setelahnya, Sukiyaki berlari keluar rumah dengan cepat.

"SUKIYAKI PRICAN!"

Cukup lama Sukiyaki berlari tanpa arah hingga peluh mulai bercucuran. Langkahnya pun terhenti tepat di depan sebuah gedung hiburan malam di jalan kawasan para elit. Ia menengok ke arah kanan, melihat gedung cukup tinggi berdiri di sana.

Sekelebat ide terlintas di benaknya. Aku sudah lelah, bagaimana jika aku bekerja menjadi gigolo saja? pikir Sukiyaki dalam hati.

Perlahan ia mendekat ke arah pintu masuknya. "Maaf, silakan tunjukan kartu identitas atau kartu keanggotaan terlebih dahulu," ucap salah satu pria dengan tinggi sekitar 180 centimeter dan tubuh yang terlihat atletis.

"Eh?" Sukiyaki menatap ke arah lengan yang menghadangnya itu, mengikutinya hingga menuju pada manik mata pria di sampingnya.

"Sebentar," ucap Sukiyaki yang langsung mengambil dompetn di dalam tas. Mencari-cari kartu identitas yang biasanya selalu ia bawa ke mana-mana.

"Loh?" Sukiyaki kembali mencarinya, tetapi tetap saja tidak membuahkan hasil karena kartu identitasnya tertinggal di rumah.

"Saya enggak bawa," kata Sukiyaki spontan, kemudian menatap ke arah pria bertubuh tinggi itu.

"Kalau begitu, maaf saja. Saya tidak dapat mengizinkan Anda masuk ke dalam."

"Eh!? Ayolah, saya ingin mendaftar pekerjaan di sini! Apakah kalian tidak membutuhkan seorang gigolo?!" seru Sukiyaki kekeh.

"Tidak!" jawab si pria penjaga dengan tegas.

"Tunggu dulu, sepertinya aku mendengar ada seseorang yang mengatakan gigolo?" Suara wanita dari arah belakang sana terdengar masuk ke dalam indra pendengaran Sukiyaki. Membuatnya langsung bergeser melihat siapa pemilik suara tersebut.

"Saya ingin melamar pekerjaan sebagai gigolo di sini," ucap Sukiyaki penuh dengan keyakinan.

Wanita berbalut dress malam berwarna merah yang sedikit terbuka itu berjalan ke arah luar. Melangkah sedikit menyerong ke sisi kanan lobi gedung tersebut. "Kemarilah," perintahnya.

Tanpa banyak bicara, Sukiyaki menghampirinya. "Apakah Anda pemilik dari gedung ini?" tanya Sukiyaki.

"Benar, aku adalah boss di sini. Apa mau mu?"

"Saya ingin mendaftarkan diri sebagai-"

"Sebagai gigolo?" potong wanita tersebut seraya melipat tangannya di depan dada.

Tatapannya menyelidik Sukiyaki dari atas hingga bawah. "Penampilanmu bagus dan sangat menarik, meskipun hanya dengan style sesederhana ini," gumam wanita bersurai panjang sepinggang tersebut.

"Bagaimana?" tanya Sukiyaki cepat. Ia benar-benar sudah tidak waras hingga memilih untuk mengambil jalan ini.

Dunia gelap sangatlah menyeramkan, tetapi Sukiyaki berani untuk berperan di dalamnya. Semua kejadian yang telah di hadapinyalah yang membuatnya menjadi seperti ini.

"Aku tertarik padamu."

Di sisi lain, Girel terus mencari Sukiyaki dengan kalut. Ia sudah mendatangi berbagai tempat, tetapi semua tempat tersebut telah tutup. Sekalinya ada, itu hanyalah sebuah restoran makan biasa, dan sudah pasti ia tidak berada di sana.

Lama Girel mencari hasilnya tetap nihil. Menelpon semua teman sekelas Sukiyaki, hingga sahabatnya yaitu Ruyu, sudah ia lakukan.

Ia terdiam dengan napas yang terengah-engah di dalam mobil setelah tadi berlari masuk ke dalam salah satu restoran yang masih buka.

Meskipun ia tahu istrinya tidak ada di sana, Girel tetap memeriksanya. Tangannya memukul setir di hadapannya dengan kesal. "Sial! Kau itu pergi kemana, Sukiyaki?!"

Girel yang sedari tadi sedang mengatur napasnya seraya melajukan mobilnya kembali, seketika tersentak saat mengingat ucapan terakhir Sukiyaki sebelum pergi.

Pikirannya langsung melayang ke mana-mana, membayangkan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi.

"Tidak mungkin jika ia pergi ke-tidak! Ia tidak mungkin berbuat bodoh seperti-" Girel menghentikan ucapannya, matanya menatap sosok yang sangat ia kenal sedang berdiri di luar sana.

Tanpa menunggu lama, ia segera memarkirkan mobilnya di pinggir jalan, mematikan mesinnya dan keluar secara tergesa, berlari secepat mungkin mendekat ke arah dua orang yang sedang berdiri di sisi kanan lobi gedung hiburan malam.

Rasanya Girel hampir gila sejak awal selama ia mencari Sukiyaki, apalagi saat dirinya tidak kunjung menemukan Sukiyaki, dan kini ... perasaan itu seakan membuncah.

Girel benar-benar ingin memeluk tubuh gadis tersebut dengan erat. Meluapkan segala perasaannya, dan tidak membiarkannya pergi lagi seperti ini.

"Sukiyaki!" panggil Girel tepat di belakangnya.

Sukiyaki terlonjak kaget, tubuhnya segera berbalik dan menatap tidak percaya pada sosok tinggi pria di hadapannya.

"Ayo kita pulang. Kita dapat menyelesaikan permasalahan ini secara baik-baik," ucap Girel. Kini ia telah mengerti, berkat ke egoisannya itu seseorang telah terluka. Ia tidak bermaksud demikian, ia hanya ingin memperbaiki apa yang salah di sini.

Sukiyaki berbalik, ia tidak memedulikan ucapan suaminya barusan dan lebih memilih untuk mempercepat kesepakatan dengan wanita pemilik gedung hiburan malam itu.

"Bagaimana boss? Apakah Anda menerima saya untuk bekerja di sini?" tanya Sukiyaki ke arah wanita berbalut dress mewah berwarna merah.

"Aku tidak masalah, sepertinya kau adalah barang bagus jika bekerja menjadi gigolo di tempatku-"

"Tidak! Mohon maaf, saya menolaknya. Istri saya bukanlah seorang pria, dan dia tidak akan bekerja di sini." Tolak Girel dengan cepat seraya meraih pergelangan tangan Sukiyaki, hingga membawa gadis tersebut ke dalam pelukannya.

Ekspresi terkejut terlihat di wajah wanita cantik itu. Meskipun ia tahu bahwa seseorang seperti Sukiyaki hanyalah orang yang putus asa dan mengambil keputusan acak tanpa pikir panjang, tetapi ia tidak pernah berpikir bahwa gadis berusia 20an ini adalah seorang wanita!

Sebelum wanita dengan surai hitam tergerai itu berbicara, Girel segera berpamitan dari sana. Tempat hiburan malam adalah tempat yang sangat ia benci. Bau alkohol dan musik yang terdengar memekakkan telinga, semua itu hanya dapat merusak dan Girel tidak menyukainya sama sekali.

"Lepaskan!" perintah Sukiyaki berusaha meronta.

"Sebelumnya maaf jika ia telah merepotkan Anda. Terima kasih." Girel berbalik. Menuntun Sukiyaki di sampingnya, meskipun gadis itu terus saja meronta.

"Lepaskan, Om!" perintah Sukiyaki lagi, "saya enggak mau pulang!" serunya masih mencoba untuk meronta.

"Saya tidak ingin menyakitimu, jadi berhentilah meronta hingga kau masuk ke dalam mobil," ucap Girel berusaha selembut mungkin.

Pada akhirnya, Sukiyaki terdiam melihat hal tersebut. Perlakuan Girel seketika berubah, genggaman tangan yang semula mencengkeram erat kini telah mengendur, menggenggam pergelangan tangannya dengan penuh kehati-hatian.

Waktu berlalu dengan cepat, Sukiyaki dan Girel telah sampai di rumah, terduduk dalam diam di sofa ruang keluarga. Suasana sedikit canggung dan itu terasa tidak enak untuk Sukiyaki. Ia memperhatikan jarinya yang saling bertaut di atas dengkulnya dengan kesal.

"Maaf ...." Satu kata itu keluar dari bibir Girel dengan lancar, membuat Sukiyaki menegang di tempatnya.

"Saya terlalu egois, dan memaksakan kehendakmu dalam hal berpenampilan," tutur Girel seraya menatap Sukiyaki, "Mulai sekarang, saya akan mencoba untuk menerimanya. Akan tetapi ...." Girel menghentikan ucapannya. Netra hitamnya menatap lurus ke arah Sukiyaki.

Sedangkan Sukiyaki yang mendengar hal tersebut segera mengangkat kepalanya. Apa yang ingin dikatakannya? batin Sukiyaki seraya membalas tatapan tersebut.

"Berjanjilah pada saya, jika kamu akan belajar untuk berpenampilan sewajarnya seorang perempuan. Walaupun sangat perlahan, itu tidak menjadi masalah untuk saya, asalkan kamu mau melakukannya," jelas Girel, "bagaimana?"

Hening sejenak, Sukiyaki yang mendengarkan penuturan dari suaminya seketika mencerna dengan keras. Ia memang tidak menyukai Girel, dan masih memiliki perasaan kesal perihal pernikahan ini. Akan tetapi, entah mengapa ia mulai merasa nyaman, perlakuan Girel yang beberapa waktu tadi telah berhasil membuat Sukiyaki goyah.

Setelah dipikir-pikir. Sejak awal sebenarnya ia enggak pernah melakukan penolakan, terkecuali dengan penampilanku tadi. Ucapannya pun selalu seperti berusaha untuk membuatku tetap merasa nyaman berada di sampingnya, meskipun ini pernikahan karena terpaksa, tapi ia sama sekali enggak mempermasalahkannya, batin Sukiyaki.

"Aku ...." Sukiyaki kembali terdiam. Ia mencoba mengatur napas sejenak. Jantungnya tiba-tiba saja berdetak kencang, entah mengapa ia merasa gugup.

Tatapannya berpaling, ia tahu bahwa Girel Rendraf adalah suaminya, dan menurutnya pernikahan bukanlah sebuah mainan. Sukiyaki hanya ingin melakukan pernikahan sekali seumur hidup.

Tidak ingin adanya perceraian, dan itu tandanya ... ia harus menyetujui apa yang diucapkan Girel. "Aku setuju. Jika Om berkata demikian ... seenggaknya saya akan berusaha melakukan hal tersebut, Om," ucap Sukiyaki dengan nada rendah.

Senyum samar tercipta di bibir Girel saat mendengar jawaban Sukiyaki. "Aku juga akan berusaha sebisa mungkin untuk meluangkan waktu dan menjadi seorang suami yang baik." Jeda sebentar, hingga Girel mengatakan sesuatu yang membuat Sukiyaki tercengang, "jadi bagaimana? Kamu sudah tidak marah? Bisakah aku meminta hakku malam ini?" tanya Girel dengan sebelah sudut bibirnya yang tertarik.

"HAH?!" teriak Sukiyaki. Kini Girel telah berani untuk melakukan serangan beruntun, tidak hanya dia yang meminta haknya sebagai suami, tetapi juga panggilannya yang berubah menjadi aku, dan semua itu berhasil membuat Sukiyaki panik bukan main.

Namun, berbeda dengan Girel, ia menghiraukannya begitu saja dan berjalan menuju dapur untuk mengambil sebotol air minum.

"O-Om, bercanda kan?" tanya Sukiyaki terbata dari arah ruang keluarga.

Dalam diam, senyum di bibir Girel semakin merekah. Ia menutup botol dan memasukkannya kembali ke dalam kulkas. Langkahnya perlahan membawa mendekat ke arah Sukiyaki yang sedang memainkan jari jemarinya dengan panik.

"Iya saya bercanda," ucapnya pelan, "begitu kan yang kamu inginkan? Sayangnya tidak, aku benar-benar meminta hakku saat ini juga." Lanjut Girel tepat di samping telinga kanan Sukiyaki.

"Wuargh!" Sukiyaki terlonjak kaget, ia tidak menyangka bahwa Girel akan muncul tiba-tiba dari arah belakang seperti barusan. Terlebih lagi, ucapan itu ternyata tidak main-main.

Girel terduduk disamping Sukiyaki dengan santai dan setelahnya ia menarik tangan Sukiyaki hingga gadis tersebut terduduk di pangkuannya.

Memeluk tubuh kecil itu dengan penuh perasaan campur aduk yang tidak dapat ia jabarkan. Perasaan yang sama sekali belum pernah dirasakannya selama 28 tahun ia hidup.

Gila, satu kata itu berhasil menggambarkan Girel saat ini. Ia mulai melakukan aksinya secara perlahan kepada Sukiyaki.

"Om! Saya kan belum-aah ...." Sukiyaki langsung menutup bibirnya saat sebuah desahan berhasil keluar. Hah?! Itu suaraku? Sialan! rutuk Sukiyaki dalam hati.

"Tu-tunggu dulu, argh! Om, tangannya jangan ke sebelah sana!" seru Sukiyaki dengan panik.

"Rileks, aku akan melakukannya secara perlahan, kamu cukup menikmatinya saja," ucap Girel dengan suara rendah.

"Om, tapi kan, saya belum menyetujuinya-aahh! Berhen-enggak! Jangan disentuh." Sukiyaki langsung menahan dengan kuat tangan Girel yang akan menyentuh daerah dadanya.

"Kenapa?" tanya Girel seraya menyandarkan dagunya di bahu kiri Sukiyaki.

"Sa-saya bukan mau menolak keinginan Om, tapi ... sebelumnya Om harus tahu. Saya ini enggak memiliki tubuh berlekuk seperti wanita lain. Saya seperti laki-laki, bahkan di luar atau sekolah pun juga sama,"

"Maksudmu?" tanya Girel menggoda. Sejujurnya ia telah mengetahui apa maksud dari istrinya ini. Akan tetapi, Girel sengaja menggodanya, karena menurutnya ini menyenangkan.

"Ish ... Om enggak peka amat sih. Saya itu enggak punya dada besar! Udah ah, saya malu." Sukiyaki melepaskan tangan Girel kesal dan segera menutup kedua wajahnya.

"Saya sudah tahu," kata Girel lembut tepat di samping telinga kiri Sukiyaki, "rileks saja."

Malam semakin larut, dan mereka melalui malam tersebut dengan panas. Sesuatu yang tidak pernah Sukiyaki bayangkan sebelumnya. Sesuatu yang cepat atau lambat akan terjadi pada dirinya, dan kini akhirnya benar-benar terjadi.

Tidak terasa pagi mulai datang, Sukiyaki yang baru saja membuka matanya langsung tersentak. Tatapannya tertuju lurus pada wajah pria yang berada di hadapannya saat ini. Sebuah rona merah seketika muncul kembali di pipinya. Terasa hangat ketika ia mengingat kejadian semalam.

Aku sepertinya benar-benar telah jatuh hati padanya, batin Sukiyaki.

"Sudah bangun?" tanya Girel dengan suara parau. Ia menyipitkan matanya menatap ke arah Sukiyaki yang sedang menutup setengah bagian wajahnya menggunakan selimut.

Girel mengernyitkan dahinya. "Kenapa?" tanyanya lagi.

"Enggak kenapa-kenapa," balas Sukiyaki cepat. Saat ini, jantungnya benar-benar seperti ingin keluar dari tempatnya. Berpacu sangat cepat seakan dapat meledak saat itu juga!

Girel memposisikan tubuhnya sedikit naik, menyanggah kepalanya dengan sebelah tangan. "Oh. Kalau begitu, hari ini kita ke rumah sakit yuk?" ajak Girel dengan serius.

Sukiyaki yang mendengar ajakan Girel langsung bingung bukan main. Dahinya berkerut dalam. "Mau ngapain? Aku malas ke mana-mana, dan lagi pula masih sakit di sana ...," ucap Sukiyaki malu-malu.

"Kita periksa ke poli kandungan di rumah sakit tempat saya bekerja. Di sana Dokter kandungannya lebih berpengalaman, sama seperti saya ini, tapi sayangnya saya Dokter bedah penyakit dalam jadi enggak terlalu paham dengan yang begituan." Girel berbicara secara santai seperti orang bodoh.

Sukiyaki yang berada di sampingnya melotot hebat, dan langsung memaki Girel, "Kita kan baru melakukannya malam ini. Bagaimana bisa dia sudah langsung jadi?!"

Sebuah tinju berhasil Sukiyaki layangkan hingga Girel mengaduh. Namun, setelahnya sebuah gelak tawa terbahak tedengar dari arah Girel, yang langsung membuat Sukiyaki semakin menjadi-jadi memberikan hantaman keras kepada suaminya itu.

Girel sama sekali tidak merasa bosan jika menggoda Sukiyaki. Meskipun ia tahu konsekuensinya, hal itu malah membuat Girel semakin tertantang, ingin lagi dan lagi melakukannya.

Girel Rendraf, Kelak aku akan sangat berterima kasih bahwa kau telah mempertahankanku dan membuatku menetap di sisimu untuk selamanya.

.

.

TAMAT

Alhamdulillah akhirnya selesai juga. Terima kasih sudah membaca, jangan lupa berikan dukungannya ya.

Saya tunggu kritik dan saran dari kalian.
Terima kasih.
Sampai jumpa lagi chuy!! 👋🏻

.

.

Jakarta, 15 Agustus 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro