🌸 Goodbye Hero
Bel sekolah telah berbunyi beberapa jam yang lalu, tetapi gadis bersurai hitam sepundak itu baru saja keluar dari kelas. Tubuhnya berbalut seragam putih-biru menandakan bahwa ia masihlah duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Langkahnya terlihat enggan untuk melanjutkan. Waktu terus bergulir hingga tanpa sadar netra bening kecokelatan itu terlihat sedikit bergetar sesaat ia mulai melewati sebuah gang yang tak jauh dari sekolah.
"Ternyata masih berani lewat sini ya? Kemarin kabur gitu aja enggak ngasih duit ke kita, sekarang lo mau lewat sini lagi? Emang punya nyawa berapa, hah?"
Gadis itu langsung menghentikan langkahnya, tangannya yang berpegangan pada setiap sisi lengan tasnya semakin mengerat. Ia amat kenal dengan suara ini. Perasaan kesal bercampur takut langsung muncul begitu saja, membuat mood gadis tersebut berubah drastis.
"Dudun ...," gumam gadis tersebut sedikit marah. Ia tahu bahwa sekelompok pria di hadapannya saat ini adalah murid SMA di sebelah sekolahannya yang juga sering memalak anak sekolahan di jalanan sempit tersebut.
Nama ke lima siswa itu sudah dikenal oleh pelajar di sekitar SMP Garda. Mereka adalah geng dari SMA Huse yang terkenal akan murid-murid nakalnya.
Akan tetapi, gadis bernama Arumaya yang biasa dipanggil dengan Maya ini tak dapat berkutik bila sudah menghadapi kejadian seperti ini. Di hari sebelumnya Maya memang bisa lolos, itu pun karena ia selalu saja pulang terlampau sore dan untuk saat ini ia hanya menunggu satu jam saja karena sedang merasa tidak enak badan, sehingga tidak sampai setengah enam sore seperti biasanya.
Kaki Maya perlahan melangkah mundur saat 5 orang siswa yang berpakaian seragam abu-abu dengan kaos yang terlihat tidak rapih itu berkelakuan seperti gangster mulai mendekatinya.
"Ayo cepat, sini serahin duit lo! " ucap salah seorang siswa yang merupakan wakil ketua di dalam geng tersebut.
"O-ogah amat, buat apaan ngasih duit. Lagian ... ini kan jalan umum, bukan jalanan Mbah mu," balas Maya seakan tak takut dengan para siswa tersebut.
"Banyak banget bacotnya ya, udahlah buruan siniin tas lu!" geram siswa laimnya yang sedang merokok. Ia langsung berjalan terburu ke arah Maya, kemudian menarik tas yang berada di punggung gadis tersebut secara paksa.
"Iih! Apaan sih! Lepasin dong, aku tuh enggak punya salah sama kalian!" seru Maya. Tangannya berusaha menarik kembali tas miliknya sekuat tenaga.
"Berisik! Elu diam saja deh mendingan, siniin tasnya!" bentak siswa tersebut hingga membuat Maya terdiam untuk sesaat.
Matanya menatap lurus ke arah dua tangan yang sedang menarik tas berwarna hitam tersebut, hingga tiba-tiba saja Maya membentak tak mau kalah, "Enggak! Ini tasku, aku enggak bakalan kasih ke kalian!" Matanya terpejam rapat seraya menarik tasnya.
Siswa dengan sepuntung rokok menyala yang masih terselip di celah bibirnya itu langsung menghentikan gerakan tangannya, menatap gadis bersurai sepundak dihadapannya dengan kesal. "Ck! DASAR BOCAH!" dengkusnya yang kemudian menarik kasar tas tersebut hingga Maya jatuh tersungkur.
Netra bening kecokelatan itu bergetar pelan, ia tak menyangka bahwa hal seperti itu akan menimpanya lagi. Kejadian yang amat dibencinya, yang selalu saja membuatnya harus kehilangan uang secara terus menerus.
Kepalanya tertunduk dalam, sepasang mata yang terpejam rapat, serta tangan yang terkepal menahan amarah, hal itu membuat Maya merasa tak berguna. Cukup sudah! Aku enggak tahan lagi kalau harus begini terus, tapi bagaimana? Memangnya aku bisa apa?! batin Maya
Bugh!
Tanpa di undang, seorang siswa berbalut seragam putih-abu-abu seperti Dudun serta kawan-kawannya itu datang dan langsung menendang tangan siswa yang tadi menarik tas Maya secara paksa.
Maya terdiam sejenak kemudian mengangkat wajahnya secara perlahan menatap ke arah depan. Pemandangan yang tak pernah ia bayangkan sama sekali. Seorang pangeran berseragam sekolah berdiri dengan gagahnya di depan sana.
"Shh!" desisan kecil terdengar ketika tas itu terlempar, rahang siswa tersebut terlihat mengeras. Sekilas ia melihat ke arah tangannya yang terasa sakit.
"Pahlawan kesiangan datang? Lu mau nolongin bocah kencur ini?" tanyanya di akhiri sebuah tawa.
Maya yang melihat hal tersebut perlahan bangkit dan melangkah mundur, ia tidak tahu siapa siswa SMA yang baru saja datang untuk menolongnya. Akan tetapi ... dalam sekali pandang, Maya merasakan adanya sesuatu yang mulai mekar dengan indah di relung hatinya.
"J-Jo!" panggil Dudun panik ke arah temannya. Manik matanya menatap lurus sosok siswa yang baru datang tersebut. Berdiri tegap di depan sana, di mana postur tubuh dan sikap yang ditunjukkan terlihat bagaikan seorang tentara. Ya, Dudun tak mungkin salah lihat.
"J—Jo! Ayo kita mundur!" perintah Dudun semakin panik saat melihat siswa yang baru datang itu mulai berjalan mendekat.
"Ngapain mundur? Kok Lu cemen banget dah! Lihat noh-"
Duagh!
Hitungan detik, teman Dudun kini telah terkapar di atas jalanan beraspal. Dudun yang melihat hal tersebut tentu saja merasa ketakutan. Dia memang seperti berandalan yang suka memalak orang, tetapi ia sangat mengerti dengan jarak perbedaan kekuatan antara dirinya dengan orang yang baru saja datang.
"Hari ini lo lolos lagi bocah, lain kali awas aja! Gua enggak akan biarin lo kabur semudah itu!" ancam Dudun seraya melangkah mundur dengan tergesa bersama keempat temannya hingga akhirnya berlari meninggalkan Maya dan juga siswa berkacamata di depan gadis tersebut.
Dia kayak pahlawan, pangeranku akhirnya muncul ..., pikir Maya, wajahnya terlihat begitu senang bahkan ada sedikit rona merah yang muncul dikedua pipinya karena merasa malu. Sungguh, sebelumnya ia tak pernah merasa seperti ini. Ada seseorang yang menolongnya, ditambah lagi seorang pria dan pria itu merupakan tipe idealnya!
Siswa bertubuh tinggi, dengan rambut pendek yang sedikit acak-acakan serta kacamata yang bertengger di atas batang hidungnya, ia terlihat seperti murid teladan dengan seragam rapih yang melekat di tubuh tersebut.
Aaah ... andai aku bisa jadi pacarnya! batin Maya.
"Segera pulanglah. Jam segini enggak baik buat perempuan kalau masih diluar," kata siswa tersebut yang membuat lamunan Maya buyar seketika.
"A-ah!" Secara tergesa Maya berlari kecil untuk meraih tasnya yang dilempar tadi, kemudian segera berbalik dan berterima kasih kepada siswa tersebut, "terima kasih banyak ya Kak sudah mau nolongin Arumaya!" ucapnya penuh perasaan. Maya sepertinya benar-benar menyukai kakak kelas yang baru ditemuinya itu.
Siswa tersebut hanya menggedikkan bahunya acuh tak acuh, pandangannya lurus menatap netra cokelat milik Maya. Untuk beberapa detik keheningan menyelimuti mereka hingga tiba-tiba saja siswa tersebut berbalik, melangkah tanpa sepatah kata meninggalkam Maya yang masih berdiri mematung.
"Ha-aaah! Tu-tunggu sebentar! Nama!" seru Maya yang baru saja tersadar, "nama Kakak siapa?!" tanyanya seraya berlari kencang, langkahnya terhenti menghadang siswa berkacamata itu.
"Aku harus tahu nama Kakak!" ucapnya tegas, netra kecokelatannya menatap lurus pada sederet kata yang terjahit di lengan kanan.
SMA Kirwata? Bukannya itu di sebelah sekolahku? batin Maya, tangannya meraih sedikit ujung lengan seragam tersebut dan menariknya pelan. Namun, gerakannya terhenti saat ia merasakan adanya tatapan menusuk yang amat dingin tertuju padanya.
Tanpa berani melihat ke arah mata sang pemilik seragam tersebut Maya melepaskan genggamannya dengan takut-takut, kemudian melangkah mundur secara tergesa. Instingnya mengatakan bahwa ia harus segera memberi jarak dengan pria di hadapannya itu.
"Erzio," ucapnya tiba-tiba yang membuat Maya langsung mengangkat wajah. Akan tetapi, pemandangan yang tak pernah terbayangkan olehnya terlihat jelas di depan mata.
Hal itu benar-benar telah berhasil membuat Maya terpaku di tempatnya. Sepasang manik hitam penuh sorot mematikan yang terbingkai kaca mata, ditambah hidung mancung dan senyum tipis yang tercipta, sungguh membuat Maya terpesona.
Sedetik setelahnya siswa tersebut telah berbalik, berjalan menjauh pergi meninggalkan Maya di gang sempit itu sendirian dengan lampu jalanan yang berkedip-kedip dan memberikan kesan suram.
"Kayaknya dia anak teladan, dan kayaknya ... aku suka sama dia deh," gumam Maya seraya mencangklong tasnya dengan benar. Netra cokelatnya terpejam pelan untuk beberapa saat. Embusan napas kasar terdengar dari arah Maya.
"Sudahlah, lebih baik aku pulang saja," ucapnya kemudian melangkah pergi dari gang tersebut.
Hari terus berlalu, dan Maya masih saja berjuang supaya dapat bertemu kembali dengan siswa SMA bernama Erzio. Padahal ia pun sedang sibuk untuk mempersiapkan Ujian Nasional. Namun, hari demi hari ia lalui dengan sabar, dan menyempatkan diri untuk menunggu pria tersebut di depan pintu gerbang SMA Kirwata sepulang jam sekolahnya.
Walaupun sepertinya kecil kemungkinan untuk bertemu, karena setiap hari menunggu selalu tak mendapatkan hasil apapun. Ia bahkan sudah bertanya pada beberapa murid yang lewat, tetapi mereka mengatakan bahwa Erzio selalu saja ada kegiatan kelas dan masih banyak lagi alasan lainnya.
Entah itu hanya alasan atau memang benar Erzio memiliki jadwal yang padat, Maya sungguh tidak tahu dan masih mengharapkan untuk bertemu dengannya. Ia ingin berterima kasih dengan benar kepada Erzio.
"OH!" seru Maya saat netra cokelatnya menangkap sosok yang ia kenal. Kakinya tanpa sadar telah bergerak, ia berlari dengan sangat cepat hingga kini telah berada di belakang siswa tersebut. Untuk beberapa saat ia mengatur napasnya, dan berusaha berjalan senada dengan orang yang berada di depannya.
"Halo Kak! Kita ketemu lagi yah?" ucap Maya seraya terkekeh di akhir kalimat. Akhirnya aku bisa ketemu Kak Erzio lagi! batin Maya sangat senang. Langkahnya sedikit terburu dan kini posisinya berada di sebelah kiri Erzio. Tatapannya tertuju ke arah kanan, sudut bibirnya saling tertarik ke atas membentuk senyum manis yang begitu tulus.
Erzio menghentikan langkahnya, sepasang manik hitamnya melihat gadis kecil di samping yang ternyata adalah siswi SMP kala itu ia tolong. Erzio terlihat biasa saja, bahkan wajahnya tak menampilkan ekspresi apa pun, ia sama sekali tak terkejut melihat kejadian ini.
Dia bahkan sampai mengejarku masuk ke sini .... Ku kira hanya akan menunggu di depan gerbang saja, pikir Erzio yang kemudian segera mengalihkan pandangannya ke arah depan.
Senyumnya ... manis, tanpa sadar Erzio menutup setengah wajahnya menggunakan telapak tangan. Entah mengapa ia merasa malu, dan ada sesuatu yang terasa aneh.
"Sebenernya ... aku mau ngucapin terima kasih ke Kakak," kata Maya dengan suara pelan kemudian membuka tasnya sedikit rusuh.
Erzio yang tak peduli mulai melangkahkan kakinya, berjalan meninggalkan Maya yang masih saja mencari sesuatu di dalam tas. "Eh? Kak, tolong tunggu sebentar!" teriak Maya, kakinya mulai berlari dengan tangan yang merogoh tas-nya.
"Kak Zio bentar, ya ampun. Ah! Nih dia!" Dengan ekspresi sumringah, Maya menyodorkan sebuah kotak berwarna biru tua berukuran sedang dengan sebuah pita biru muda yang terikat rapih di atasnya.
Erzio yang melihat hal tersebut menaikkan sebelah alisnya, menatap bingung ke arah kotak tersebut dan secara bergantian menatap ke arah Maya seraya terus berjalan pelan.
"Tolong terima ini," Maya segera menarik tangan Erzio yang berjalan di sebelahnya dan menaruhnya ke dalam genggaman pria tersebut, "aku mau berterima kasih dengan benar sama kakak. Kalau kemarin enggak ada Kak Zio, aku enggak tahu bakalan jadi gimana. Makanya ... tolong diterima ya Kak," jujur Maya. Setelahnya ia melangkah mundur dan menampilkan senyum riang seperti biasa.
Erzio yang tak ingin menerima hadiah apa pun dan dari siapa pun langsung mengulurkan tangannya ke arah Maya, ia berniat untuk mengembalikannya. Benda berbentuk kotak yang terlihat begitu memikat. Entah apa isinya, tetapi itu terasa sedikit berat.
"Ini—"
"Sampai jumpa lagi Kak Zio!" potong Maya cepat, yang langsung berlari ke arah luar gerbang. Meninggalkan Erzio yang terdiam dengan mata mengikuti kemana arah Maya berlari, pandangannya beralih pada bingkisan yang berada di telapak tangan kirinya.
"Haah ...," embusan napas kasar terdengar dari arah Erzio, perlahan ia menarik tangan kirinya. Kemudian menggenggam bingkisan tersebut dengan sedikit erat.
"Menyusahkan saja," dengkusnya seraya berjalan kembali.
"Arumaya!"
Langkah Maya yang sudah berada di dekat pintu kelas seketika terhenti saat mendengar seruan tersebut. Tubuhnya berbalik, sebuah cengiran khas tersungging di bibirnya.
"Mau kemana lagi buru-buru begitu?" tanya wanita berseragam biru tua yang masih terduduk di kursi depan kelas. Kursi khusus yang memang disediakan untuknya.
"Mau ke toilet bu, Maya sudah enggak tahan," bohong Maya seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Entah sudah yang keberapa kali ia beralasan seperti ini setiap bel pulang berbunyi. Memang tak ada salahnya langsung ke luar kelas karena sudah waktunya pulang, tetapi ... hey, di kelas masih ada guru yang sedang membereskan perlatannya, bagaimana ia bisa bersikap seperti itu?
Maya bahkan melupakan gurunya yang masih terduduk di kursi guru. Pikirannya telah bercabang kemana-mana, antara persiapan ujian nasional dan Erzio, pria itu benar-benar telah membuat Maya tak ingin jauh darinya. Pesona kuat yang menurut Maya luar biasa berbeda.
Kedua audut bibirnya tertarik, sebuah senyum tersungging di bibir Maya, "Maya permisi ya bu. Selamat sore," ucapnya seraya menundukkan kepalanya sedikit kemudian berbalik dan segera berlari keluar sekolahan.
Kelasnya yang berada di lantai pertama memudahkannya untuk sampai di depan gerbang, langkahnya begitu ringan dengan sudut bibir yang terus tersungging, membayangkan bagaimana wajah tampan Erzio kala itu tersenyum tipis. Lagi, jantungnya mulai berdetak tak karuan.
Kakinya seketika berhenti. Oh, ya Tuhan! Dunia Maya seakan dipenuhi dengan bunga-bunga yang bermekaran. Wajah Erzio terlihat nyata di kejauhan sana. Membuat Maya segera berlari mendekat ke arah sudut jalan yang sepi dan jarang digunakan oleh orang.
Namun, semakin lama langkahnya semakin terasa berat. Maya melihat Erzio yang berdiri menghadap jalanan berbelok di sebelah kiri sana. Tak terlihat apa yang sedang ada di depannya, tetapi Maya tahu bahwa Erzio tak sendirian.
"Lo enggak capek pake baju rapih kayak gitu mulu apa Er?" tanya siswa yang berpakaian seragam tak lengkap dan tak mengikuti aturan sekolah.
"Kata siapa?" tanya Erzio datar. Wajahnya tak terlihat banyak ekspresi. Ia melangkah dan menendang sebuah botol beling ke arah dinding di depannya yang hampir saja mengenai telinga kiri seorang siswa sedang berlutut dengan tangan terikat ke belakang.
"Hiiii! A—ampun! Tolong ampunin gue!"
Maya yang berjalan perlahan langsung bersembunyi di balik sebuah pohon berukuran besar yang berada sebelum belokan. Napasnya seakan tercekat di tenggorokan sesaat mendengar suara yang dikenalnya kembali berbicara.
"Ampun? Orang yang sudah tahu siapa gua ... enggak akan lolos dengan mudah," ucap Erzio, sebelah sudut bibirnya terangkat. Menampilkan senyum miring yang begitu sinis. Tangannya mencengkeran kerah baju siswa di hadapannya, kemudian menariknya supaya mendekat.
"Jika ingin hidup, lu harus nurut sama kata-kata gua." Suaranya terdengar pelan dan dalam, hingga tak hanya membuat takut siswa junior yang berlutut di depan Erzio, tetapi Maya yang bersembunyi di balik pohon berjarak 7 meter dari posisi mereka pun bergidik ngeri.
Jantungnya semakin berdetak tak karuan, perasaannya benar-benar tercampur aduk. Semua yang telah ia bayangkan tentang Erzio hanyalah khayalan belaka. Erzio bukanlah murid teladan, itu hanyalah sebuah kedok. Sifat aslinya sama saja seperti siswa bermasalah lainnya. Ia bahkan terlihat lebih senior dalam hal seperti itu dan menyeramkan dari pada Dudun juga kawan-kawan nya.
Di tempat persembunyian, Maya membayangkan sikap Erzio yang dingin serta wajah tampan yang jarang menampilkan ekspresi, hal itu langsung membuat Maya kembali bergidik. Wajah yang selalu di bayangkan dalam benaknya selama ini adalah Erzio yang tersenyum dan bersuara lembut ketika menolongnya waktu itu, tetapi sekarang ... semuanya sirna.
Pupus, itulah satu kata yang berhasil menggambarkan suasana hatinya saat ini. Ia sudah tidak memiliki harapan, dan membuat Maya perlahan menghapus Erzio dari ingatannya.
Kakinya mulai melangkah meninggalkan tempat tersebut. "Benar kata mama, cinta anak SMP itu cuma cinta monyet. Aku lebih baik balik seperti biasa," gumamnya, pandangan Maya terus tertuju ke arah jalanan di depan. Melangkah sedikit berat dengan kenyataan pahit yang menyebalkan.
Suasana hening yang begitu mencekam terasa di dalam perpustakaan SMP Garda. Hari sudah sore tetapi Maya masih berkutat dengan tumpukan lembaran soal yang diperkirakan akan keluar dalam ujian Nasional nanti. Ia menyempatkan diri untuk belajar mandiri beberap jam sebelum sekolahnya di tutup.
"Akhirnya aku bisa lihat Arumaya yang sesungguhnya lagi. Lega banget rasanya ya ampun," ucap auara pelan yang kini menarik kursi di depan mejanya, kemudian duduk di sana dengan santai.
"Kamu udah mulai dapat pangsit buat raih juara satu lagi, kan?" goda sahabat Maya yang bersurai hitam sepinggang. Suaranya terdengar begitu kecil, berusaha menahannya supaya tak membuat kegaduhan di ruangan tersebut.
"Oh Ya lord, binasakan saja orang ini dari perpustakaan suci Pak Nyoman!" seru Arumaya tanpa sadar.
"SSSTTT!"
Maya yang terkejut seketika menutup rapat mulutnya. Aih, bodoh! Ini kan perpustakaan, dasar si Lintah got sialan, batin Maya kesal. Pandangannya tertuju lurus pada sahabatnya, terlihat ajakan perang yang begitu kuat.
Namun, dalam hitungan detik Maya tiba-tiba saja mengembuskan napas kasar, "Haah ...." Kepalanya tertunduk dan menyandar pada tangan kanannya yang terlipat di atas meja.
Kemarin si ono, dan sekarang aku sudah menyerah. Perlahan harus lupain kejadian itu. Cinta masa anak sekolah begini ternyata beneran cuma cinta monyet ya? Lebih baik aku terima wangsit buat jadi juara satu lagi aja.
.
.
Tamat
Syududu, ini project ke 3 dan kali ini genrenya adalah teen. Yah, berharap ini bisa masuk teen sih. Saya masih belajar, jadi harap maklum yaw.
Ini juga kirimnya telat. Melebihi batas yang sudah ditentukan, jadinya kena punishment dari Centauri. 😂
Yoweslah ya, nantikan project cerpen dengan genre lainnya di sini dan di akun Bootis lainnya yoow!
Bye-bye and terima gaji. 😉👋🏻
.
.
Naskah:
Jakarta, 04 Desember 2020
Publish:
Jakarta, 04 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro